Danastri diperbolehkan pulang hari ini meski tubuhnya masih lemah, tetapi matanya berusaha tampak tenang. Di sampingnya berdiri Widipa yang menuntun kursi rodanya dengan hati-hati.Widipa tak berkata banyak, tapi genggaman tangannya di pegangan kursi itu terasa protektif layaknya pelindung seperti malaikat. Tak banyak kata keluar di antara mereka. Hanya bunyi sepatu yang sesekali beradu dengan lantai basah."Jangan terlalu lama berada di luar. Udara dingin bisa membuatmu terserang demam," ujar Widipa pelan sambil matanya menatap jalan setapak yang dipenuhi daun gugur.Danastri tersenyum samar. “Aku sudah sehat lagipula di dalam membuatku bosan, Dipa."Widipa berhenti sejenak. Matahari sore memang hampir tenggelam hanya menyisakan semburat oranye yang redup. Dia tahu setelah kejadian terakhir dia tak bisa lagi bersikap setengah hati terhadap keselamatan Danastri.Widipa masih ingat benar ketika Dinara mengancam akan membuat Danastri menderita, wanita itu benar-benar melakukannya. Seseo
Suara mesin kopi beriringan dengan suara pembeli di kafe dekat rumah sakit siang itu menambah pikiran gelisah seseorang. Dinara terlihat duduk di meja paling pojok dengan jari-jarinya yang gelisah mengetuk gelas kopi yang mulai dingin. Sesekali tatapannya sesekali beralih ke pintu kaca, dia sedang menunggu seseorang yang dia yakini akan segera datang.Tak berselang lama sosok yang dinanti datang, Dinara tersenyum sambil melambaikan tangan. Widipa muncul dan dia berjalan tenang menghampiri Dinara.Wajah Widipa tanpa ekspresi melihat Dinara yang tersenyum menarik perhatiannya. Dia berhenti di depan meja Dinara, memilih duduk di seberang bukan di sebelahnya. Widipa hanya menatap dingin ketika Dinara hampir memegang tangannya."Terima kasih sudah memenuhi undanganku, Dipa. Aku tahu kau akan datang," kata Dinara tampak sumringah."Jangan berbasa-basi lagi. Apa yang kau inginkan dariku, Dinara?” tanya Widipa dalam dan datar. Suaranya nyaris seperti seseorang yang sudah lelah menghadapi soso
Widipa berdiri dekat jendela. Dia terdiam dengan tangan yang bersedekap sembari matanya menatap lurus ke jalanan di bawah. Dia tampak tenang, tapi jemarinya mengetuk kaca pelan sebagai bentuk tanda gelisahnya.Di belakangnya, suara lembut terdengar.dari bibir Danastri yang baru saja terbangun dari pingsannya kemarin. Danastri menyadari ada Widipa yang menunggunya."Kau datang pagi sekali,” ujar Danastri dengan suaranya yang serak, tapi matanya sudah terbuka penuh."Apa kau sejak kemarin di sini, Dipa?"Widipa menoleh sekilas. Tatapannya tajam, tapi ada kelegaan samar di dalamnya. Wajah wanita yang dia sayangi terlihat pucat dan sayu. Hati dan pikirannya kacau memikirkan Danastri yang terbaring sakit.“Jadi kau akhirnya sadar juga,” katanya datar."Iya bau kopi yang membangunkanku," sahut Danastri masih bisa bercanda sambil duduk bersandar.“Kenapa tidak bilang apa pun padaku tentang keadaanmu? Kau tahu aku tidak suka kau menyembunyikan apapun dariku," ujar Widipa.Danastri menarik nap
Suasana kantor Wirajaya Group tampak seperti di hari-hari biasanya. Suara printer yang berdengung, ada aroma kopi dari pantry menyebar dan derap langkah para karyawan yang tergesa di lorong marmer.Namun hari itu ada suasana yang berbeda yang dirasa Bagas bahkan saat dia berjalan menuju ruang kerjanya, begitu Bagas membuka pintu ruang kerjanya, dia langsung merasa ada yang tidak biasa.Di atas meja kerjanya yang selalu rapi, tergeletak sebuah amplop cokelat polos tanpa nama pengirim, tanpa segel perusahaan atau tanpa cap pos. Sekilas tampak sepele, tapi posisi amplop itu seolah sengaja diletakkan di atas map laporan keuangan yang kemarin dia periksa."Surat apa ini?"Bagas menarik napas panjang. Instingnya sebagai pengusaha yang terbiasa dengan permainan kotor politik bisnis langsung bekerja. Dia menatap sekeliling tak ada siapa pun. Perlahan dia duduk dan meraih amplop itu. Ujung jarinya bergetar sedikit saat dia membuka lipatannya.Di amplop itu ada sebuah foto yang sedang menunjukk
Rasa pusing itu kembali menyergap. Sudah ketiga kalinya obat yang dia minum tak bisa meredakan kepala yang seperti ingin meledak. Danastri memegang kepala dan memijitnya pelan-pelan agar rasa sakit itu hilang. Tanpa sadar dia tertidur."Masalah banyak yang datang silih berganti membuatku semakin stres," gumam Danastri.Pada saat itulah suara bel berbunyi. Sagara berhenti di depan rumah Danastri. Dia tak berencana datang lama hanya ingin memastikan kondisi Danastri setelah pertemuan terakhir di rumah sakit. Dia masih memikirkan keputusan Danastri yang menolak menjalani operasi.Kedua kalinya Sagara menekan bel menunggu seseorang membukakan pintu. Sedangkan dari arah dalam pelayan wanita yang sudah agak berumur membukakan pintu dengan wajah ramah."Selamat siang, Bi," sapa Sagara sopan."Iya selamat siang. Mau bertemu siapa ya, Pak?" tanya pelayan wanita tersebut."Apa Danastri ada di rumah, Bi? Saya dokter yang menangani sakitnya Danastri. Dokter Sagara," balas Sagara memperkenalkan di
Arumi dan Danastri berjalan berdampingan setelah menghabiskan waktu berdua di kafe. Mereka membawa beberapa kantong belanja dari butik. Wajah Arumi tampak tenang sementara Danastri sesekali melirik ponselnya, berharap ada kabar dari Widipa. Arumi berusaha menyenangkan hari Danastri. Mereka seakan lupa waktu karena begitu menikmati acara kencan mertua dan menantu. Namun ketenangan itu sirna ketika dua sosok perempuan berjalan mendekat dari arah berlawanan, Dinara dengan langkah angkuhnya dan Vero yang menyunggingkan senyum penuh kepura-puraan. "Bibi Arumi ... tidak menyangka bertemu di sini," ujar Dinara dengan nada manis yang terdengar menusuk. "Oh kau rupanya, Dinara." Nada suara Arumi berubah dingin seakan menanamkan jarak. "Halo nyonya Arumi. Saya Vero ibunya Dinara," kata Vero memperkenalkan diri sembari menjulurkan tangannya. "Salam kenal, Nyonya Vero," balas Arumi terpaksa menjulurkan tangannya juga. Danastri menunduk sedikit dan mencoba menahan diri dari tatapan sinis Di