Share

RAHIM PENGGANTI (Terpaksa menjadi istri ke dua)
RAHIM PENGGANTI (Terpaksa menjadi istri ke dua)
Penulis: Arvinwarda

Menikah

Penuturan Sarina bagaikan anak panah yang melesat tepat dijantung Nisa. Sakit! Bagaimana tidak, di usianya yang masih belia, Annisa harus menikahi pria beristri untuk menebus hutang-hutang pamannya yang telah tiada. Nisa ingin menolaknya, tapi dirinya tak kuasa. Setelah kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan, saat itu usinya masih tujuh tahun, dan semenjak itu, Nisa kecil di asuh oleh Paman dan buleknya.

"Apa tidak ada cara lain Bulek?"

tanyanya berat menahan air mata.

"Gak ada, Lagian anggap aja ini sebagai balas budi kamu, karna selama ini, Bulek sama paklekmu yang sudah Almarhum itu yang merawat dan membesarkanmu," ketusnya tajam.

Sesak Annisa menghirup udara. Mengatur nafas agar sebisa mungkin ia tak sesenggukan di depan Sarina dan Desi-putri semata wayang buleknya.

"Sudahlah Nis, orang yang akan jadi suamimu itu bukan orang sembarangan, dia orang kaya! kamu pasti bahagia meskipun jadi yang kedua!" tuturnya menekankan kata 'kaya' agar Annisa berhenti memasang wajah memelas tak berdosanya itu.

Nisa tak mampu lagi menjawab, air yang sedari tadi ia tahan, lolos tanpa disadarinya.

"Sudah ya. Udah malem, Bulek mau tidur, ngantuk!" Sarina berdiri setelah berucap. Meninggalkan Nisa yang tengah duduk dengan pandangan nanar.

Gontai. Annisa melangkah memasuki kamar, merebahkan tubuhnya yang lelah dengan keadaan. Menumpahkan segala beban dengan tangis dalam diam. Sampai dirinya terlelap, menuju alam mimpi yang mungkin lebih indah dari kenyataan pahit yang akan ia hadapi kedepannya.

Suara adzan subuh berkumandang, membuat Annisa terbangun dengan mata yang masih berat. Ia bangkit, melangkahkan kakinya ke kamar mandi, mengambil air wudhu, kemudian menggelar sajadah dan melaksanakan kewajibannya sebagai muslimah.

Pagi ini seperti biasa, Nisa melakukan rutinitasnya. Memasak, menyapu, dan membersihkan apa yang kotor. Kemudian membangunkan Sarina dan Desi, saat sarapan sudah siap. 

Nisa dan Desi sekolah di sekolah yang sama, mereka baru lulus satu tahun yang lalu. Bedanya, Desi kuliah, dan Nisa tidak.

Waktu sudah menunjukkan jam satu siang. Nisa tengah duduk di ruang tamu bersama Sarina. Disampingnya ada satu koper besar, dan beberapa tas yang berisi seluruh pakaian Nisa, yang sehari sebelumnya memang sudah disiapkan Sarina. 

Sarina mengatakan, jika ada orang yang akan menjemput Nisa hari ini. 

Tak lama terdengar ketukan pintu dari luar, yang lantas membuat Sarina berdiri tergopoh, menghampiri dan membukanya.

Terlihat wanita berusia sekitar dua puluh tujuh tahun dengan pakaian minim, berjalan berlenggak-lenggok dengan high heels yang tinggi memasuki ruang tamu tanpa uluk salam.

"Silahkan duduk Non!" ucap Sarina mempersilahkan.

Annisa terdiam, ia memandangi sosok  di depannya. Seakan mengerti, Wanita itu mengawali pembicaraan.

"Saya adalah Istri pertama calon Suami kamu. Kamu ikut saya hari ini, besok Akad Nikah kalian."

Dada Annisa bagai dihantam batu besar. Akad Nikah? kenapa secepat itu? dan kenapa buleknya tak mengatakan itu sebelumnya? Bahkan ia belum melihat seperti apa calon suaminya itu.

Annisa menatap tajam ke arah Sarina, meminta penjelasan.

"Bulek, apa maksud semua ini?"

Sarina merapatkan tubuhnya pada Nisa. Mencengkram kuat pergelangan tangannya, kemudian berkata lirih penuh penekanan.

"Jangan banyak tanya! Diam, dan turuti saja wanita itu!"

"Tapi, tidak begini juga Bulek!" balasnya, membuat Sarina melotot. Baru kali ini Nisa berani membantahnya.

"Heh! dengar Nisa! kamu harus bantu Bulek untuk melunasi hutang-hutang paklekmu. Ingat! dimana selama ini kamu tinggal! sekarang, waktunya kamu membalas semuanya!" balas Sarina. Ia semakin memperkuat cengkraman tangannya pada pergelangan Nisa. Tak di pedulikannya Nisa yang semakin meringis kesakitan.

Tak ada pilihan lain, Nisa terpaksa mengikuti wanita itu memasuki mobil. Ia duduk dikursi belakang setelah memasukkan barang-barangnya. Selama perjalanan, tak ada sepatah kata pun, yang keluar dari mulut keduanya.

Wanita itu memandang Nisa dari kaca spion. Cantik, manis meskipun tanpa polesan di wajahnya. Ada ketakutan dalam hatinya, bagaimana jika Suaminya benar- benar mencintainya? ia menggelengkan kepalanya kuat, mengusir bayangan yang tidak-tidak.

Sekitar setengah jam perjalanan, mereka sampai di sebuah gedung Apartemen. Mereka turun, membawa barang-barang masuk, dan menaiki lift.  Beberapa menit kemudian, sampailah disebuah pintu ruangan Apartemen. Wanita itu memasukkan Code, kemudian pintu itu terbuka, menampakkan kemewahan di dalamnya.

"Masuk!" ucap wanita itu mempersilahkan.

Nisa masuk, berjalan dengan gelisah mengikuti Wanita itu.

"Itu kamar kamu. Kamu istirahat dulu, nanti malam, akan kupertemukan kalian," ucapnya menunjuk kamar tengah.

Nisa hanya mengangguk menanggapi.

 "Aku pergi dulu," pamitnya, setelahnya pergi entah kemana.

Merasa gelisah, Nisa merebahkan tubuhnya di ranjang. Satu tetes air keluar dari matanya. fikirannya merambah pada masa depan. Bagaimana ia akan menjalani hari harinya nanti? begitu banyak pertanyaan yang bergelanyut di benaknya. Kenapa wanita itu terlihat sama sekali tak keberatan dengan pernikahan kedua suaminya? apa yang sebenarnya terjadi, masih berupa misteri.

.

.

.

Nisa terbangun, ruangan ini terlihat sedikit gelap. Ia melihat jam dinding yang berada di kamar itu. Matanya melotot melihat angka yang menempel disana. Setengah Lima sore? dirinya lantas bergegas bangkit. Membersihkan diri, mengambil air wudhu, kemudian Sholat Ashar dengan mukena yang ia bawa.

 Setelah selesai, Nisa mencari dapur, perutnya terasa keroncongan karena lapar. Ia membuka tudung saji, tiada makanan. Kemudian dengan langkah pelan Nisa mendekati kulkas, membukanya dengan ragu. Matanya berbinar melihat Isi di dalamnya. Ada daging, buah, beserta sayurannya, juga beberapa bungkus roti yang masih utuh. Tak ada salahnya jika ia memasak. Kemudian dengan cekatan ia memulai ritualnya.

Dua jam kemudian, semua sudah tersaji rapi. Ayam goreng, capcay, tumis, juga buah-buahan yang ia letakkan di piring. Sengaja ia masak banyak, kalau- kalau yang punya Apartemen datang. Merasa sudah beres, Nisa segera mengambil makan dan mengisi perutnya yang sedari tadi sudah keroncongan.

Hari semakin gelap, setelah Sholat Isya, Nisa merebahkan tubuhnya. Tak butuh waktu lama, tubuhnya yang merasa lelah membuatnya terpejam dalam sekejap.

***

Ditempat lain, seorang Wanita sedang bertengkar hebat dengan seorang Lelaki.

"Kamu sudah gila Sarah!" sergahnya berapi-api sembari mengacak rambutnya.

"Ini semua demi pernikahan kita! kamu gak tau gimana rasanya jadi aku, Mas! Ibumu terus mendesakku agar segera memberikanmu keturunan. Dan Ibumu mengancam akan mencarikanmu Istri kedua jika tiga bulan kedepan aku belum bisa hamil! aku gak bisa Mas, aku gak bisa melihatmu berbagi dengan wanita lain dalam kenyataan!"

Suara Sarah melemah, air mata keluar tiada henti sejak perdebatan mereka. Ia mencengkram kuat dada Suaminya, hingga membuat pakainnya terlihat kusut.

"Tapi tidak dengan cara seperti ini Sar, kita bisa adopsi Anak dari panti," lelaki itu melemah kala melihat tangisan istrinya semakin menjadi. Sarah memang terlihat kacau dan putus asa.

"Ibumu hanya ingin keturunanmu Mas, darah dagingmu! Aku mohon, kalian hanya menikah siri, kemudian cerai jika anaknya sudah lahir. Tentu saja aku pura pura hamil jika Istri sirimu sudah hamil," ucap Sarah sembari menghapus air matanya.

"Kita terlalu jahat Sarah," tuturnya lirih, matanya menatap kosong objek di depannya.

"Tidak Mas, aku sudah memberikan kompensasi, dan dia menerima," sanggahnya bohong, seraya memeluk erat tubuh suaminya

Lelaki itu memaki dalam hati, wanita macam apa yang rela mengorbankan harga dirinya hanya demi uang?

"Temui dia sekarang Mas, dia ada di Apartemen kita. Besok kamu harus menikahinya."

Ucapan Sarah semakin mengejutkan Aris. Sudah sematang itukah?

Selama perjalanan menuju Apartemen, mereka hanya diam. Hanyut dalam pikirannya masing-masing. Sarah terus memandangi suaminya yang tampak frustasi. Ada sedikit rasa bersalah yang bersemayam di dadanya. 

"Maafkan aku Mas, hanya ini satu satunya cara agar kamu punya keturunan, dan ibumu tak akan memisahkanmu dariku, karna kenyataannya aku tidak akan pernah bisa hamil," ucapnya dalam hati.

Tak terasa sampailah mereka di depan pintu kamar Apartemen. Aris melangkah ragu memasuki ruangan apartemennya. Sedang Sarah, ia seolah tak ada beban, kakinya melangkah tanpa ragu, dengan tatapannya yang tegas seolah ada banyak rencana yang telah ia susun dengan matang.

 Sarah menatap sekeliling, ia langsung menuju kamar Nisa setelah tak melihat keberadaan Nisa di ruang tamu. Sedang Aris, ia langsung duduk di sofa ruang tengah dengan perasan campur aduk.

"Bangun!" titah Sarah menggoncang bahu Nisa.

Nisa terbangun, mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih sangat berat. Ia terkejut, rasa kantuknya hilang seketika melihat siapa orang yang membangunkannya.

"Ikuti Aku!" pinta Sarah tanpa basa-basi. Ia berjalan berlenggak-lenggok penuh percaya diri. Tak ada kesedihan terlihat di wajahnya.

Nisa mengekori Sarah, hingga langkahnya berhenti diruang tamu. Ia melihat sekilas Lelaki yang sedang duduk dan memandanginya. Sudah pasti Itu calon suaminya, yang jelas usianya terpaut jauh dengannya. Sesak ia menghirup udara, membayangkan masa depannya yang suram, membayangkan pernikahannya akan seperti neraka.

Aris terus memandangi Nisa yang berjalan menunduk, mulai dari atas, sampai bawah. Jauh berbeda dengan apa yang ia bayangkan. Ia fikir, wanita yang akan dinikahinya adalah wanita stylish yang haus uang, dengan pakaian seksi dan menggoda seperti istrinya. Namun apa yang di hadapannya kini membantah fikiran di benaknya. Gadis itu masih sangat belia, bahkan masih pantas memakai seragam SMA. Gadis bermata dalam, dengan pakaian gamis dan hijabnya yang panjang. Begitu polos tanpa sentuhan make up yang mempercantik wajahnya. Hanya satu pertanyaan yang ada difikirannya saat ini, kenapa Gadis itu menerima kompensasi dari istrinya, apa alasannya?

"Ehem!" Sarah berdehem. Membuat Aris menghentikan tatapan intensnya pada Nisa.

"Baiklah Mas, Gadis ini yang akan menjadi Istri keduamu. Sekaligus madu siri ku," ucapnya santai, tanpa perasaan.

"Siri?" ucap Nisa lirih. Ia terkejut saat Sarah mengatakan Siri.

"Ya, Siri," balasnya enteng, seraya menatap dan menganggukkan kepalanya.

Aris terus memandangi Nisa. Menebak seperti apa wanita di hadapannya. Tapi, melihat sikap dan tampilannya, tak ada keburukan yang ternilai di fikirannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status