Share

RANJANG (PANAS) ADIKKU
RANJANG (PANAS) ADIKKU
Author: Ria Abdullah

adila

Author: Ria Abdullah
last update Huling Na-update: 2025-04-05 07:33:19

***

Ada apa dengan hatimu

Hati yang dulu ada untukku

Kini tak lagi sama ...

Ada apa dengan hatimu,

Karena tak kutemukan ruang yang sama, di mana aku pernah berada dan mengisinya dengan cinta.

*

Kidung kesedihan itu bergelayut di dalam hatiku setelah melihat perubahan Mas Adam, semuanya tak lagi sama suamiku mendadak dingin dan kaku setelah sekian bulan berlalu.

Dulu sebelum datangnya orang ketiga dalam rumah ini kami sangat bahagia, Mas adam memperlakukanku seperti boneka yang selalu ia gendong tinggi-tinggi dan peluk ketika ia berada di rumah. Kini ... aku tak ingat kapan terakhir kali ia menyentuh tanganku.

Aku menceritakan tentang orang ketiga bukan?

Aku tidak yakin dia adalah orang yang ketiga karena mustahil aku mencurigai adikku sendiri. Adikku satu-satunya yang dititipkan orang tua untuk tinggal di sini sementara ia menuntut ilmu di perguruan tinggi.

Dulunya Adila, kurang dekat dengan Mas Adam mereka sama sekali tidak pernah ngobrol berdua kecuali ada aku diantara mereka, adik perempuanku juga seperti menjaga jarak dengan kakak iparnya untuk menjaga perasaanku. Namun belakangan perlahan semuanya berubah kedekatan mereka berubah menjadi keakraban yang kutangkap sebagai sesuatu yang berlebihan.

Kadang aku merasa bahwa aku berlebihan,aku merasa aneh mencurigai mereka yang memang seharusnya dekat karena hubungan suami dan adikku merupakan ipar, namun aku kembali berpikir bahwa dalam agama seorang ipar pun harus dijauhkan dari pasangan kita karena sesungguhnya ipar itu adalah maut yang bisa menimbulkan ujian dan fitnah.

Aku mencoba menepis perasaan curiga dan tidak aman yang selalu meliputi di dalam dadaku selalu membisikan hal yang mengarahkan diri ini untuk curiga dan banyak bertanya.

"Mas Adam bisa anterin aku ke kampus nggak?" Pertanyaan itu, sebelumnya tidak pernah ada di meja makan, Adila selalu tahu jarak dan batasan sesuatu yang kiranya akan melukai perasaanku tidak dilakukan tapi semuanya sudah berubah dari 3 bulan yang lalu, seingatku begitu.

"Oh tentu saja Dila, aku akan berusaha untuk menyempatkan diri mengantarkanmu," jawab suamiku kepada adik kandungku yang memiliki tubuh semampai dan berkulit putih serta rambut panjang yang tergerai sebahu, hidung bangir, serta bibir tipisnya selalu menyunggingkan senyum yang menggemaskan dan tidak bosan di pandang, sehingga mustahil bagi seorang pria yang sering bertemu dan berinteraksi untuk tidak tertarik.

"Apakah itu tidak akan mengganggu aktivitas Mas Adam, Dil, biasanya kamu juga naik Gocar kan?"

"Iya, tapi belakangan aku merasa aman diantar oleh Mas Adam, nggak papa kan, Mbak?" Gadis itu sambil melirik manja kepada suamiku dan ditanggapi dengan senyum penuh arti oleh Mas Adam.

"Masa aman bagaimana? Taksi online dari aplikasi pun aman kok," sanggahku.

"Halah Yang gitu aja bisa dijadikan perdebatan, gak penting! Ayo Dil, kalo kamu udah kelar kita berangkat," ujar Mas Adam sambil mengibaskan tangannya ke udara.

"Iya Mas, ayo," jawab wanita itu sambil meneguk sisa jus jeruk terakhir di gelasnya.

Ingin kuprotes pada suamiku tentang sikap berlebihannya, namun aku tidak mau terlihat begitu cemburu di hadapan adikku, akan lucu jika pada akhirnya mereka tidak punya hubungan apa-apa. Tapi mendiamkan sikap berlebihan dan manja Adila kelihatannya akan membuatku makan hati selama berhari-hari.

"Bunda ...." Anakku membuyarkan lamunanku uang masih terdiam membisu di meja makan.

"Iya, Rain, ada apa sayang?"

"Ayah kok nggak jadi nganter aku ke sekolah? padahal Ayah udah janji kalau dia akan mengantar Rain dan tanda tangan kertas persetujuan kalo Rain boleh pergi bertanding baseball ke kota lain," tutur Rain Aditya, putra kebanggaan kami yang pintar dan berprestasi, dia kini berada di jenjang kelas lima SD.

"Oh benarkah, kalau gitu biar Bunda aja yang nganterin Rain."

"Bunda 'kan harus jaga Clara?" dia menyebut nama adiknya yang baru berusia satu tahun yang saat ini masih tertidur di peraduannya.

"Tapi Bunda bisa kok nyempetin nganterin rain ke sekolah kita ajak juga Clara," usulku sambil menyentuh kedua bahunya.

"Enggak usah Bun aku naik gojek aja, cuma ingetin aja sama ayah kalau besok adalah hari terakhir penandatanganan kertas persetujuan izin orang tua."

"Baik, Sayang."

putraku yang soleh itu kemudian mencium tanganku lalu melambaikan kecil dan berangkat pergi bayangannya yang menghilang dari balik pintu membuatku menghela nafas pelan.

"Bagaimana mungkin Mas Adam bisa lupa hal penting tentang anaknya padahal selama ini dia tidak pernah melakukan itu?"

"Apakah sekarang permintaan Adila lebih penting dari permintaan anak kami?"

Aku harus memikirkan cara untuk membahas semua ini dengan Mas Adam agar kecurigaan dan salah paham ini tidak berlarut-larut terjadi. Boleh bersikap baik kepada ipar, namun seorang suami juga harus menjaga batasan karena secara teknis Adila bukanlah mahramnya.

Lagipula Mas Adam tidak pernah bersikap sedemikian manis seperti itu pada wanita lain selain istrinya, kecuali tiga bulan ini.

Yang menjadi dilema adalah, haruskah aku mengusir adikku, sementara tanggung jawab kepada orang tua untuk menjaganya akan dipertanyakan, ataukah ... aku berbicara dari hati ke hati kepadanya bahwa aku tidak menyukai sikap manjanya kepada imam kami, tapi apakah itu tidak akan membuat dia tersinggung dan marah, lalu dia akan memilih kabur dari rumah ini karena alasan ketidak nyamanan.

Bila terjadi sesuatu tentu orang tuaku akan bertanya kepadaku tentang tanggung jawab yang mereka letakkan diatas pundak ini, tentang menjaga adikku hingga dia wisuda nanti. Jika aku tidak mampu menjaganya aku pasti akan sangat malu kepada Ibu dan Bapak.

**

Pukul tiga Sore Mas Adam sudah kembali ke rumah, aku melihat dia kembali sambil tersenyum dan bersiul dengan ceria, ketika aku tanya alasan mengapa ia pulang lebih cepat, jawabnya hanya tidak punya kegiatan di kantor.

"Mas aku ingin bicara," kataku sambil menahan debaran di dalam dada, aku merasa ini momen yang tepat untuk berbicara dengan Mas Adam sebelum Adila kembali dari kampusnya.

Ia mengernyit untuk beberapa saat sambil menatap wajahku namun tak urung dia mengiyakan permintaan itu,

"Oke silakan," jawabnya sambil memberi isyarat agar aku duduk di sofa di sampingnya.

"Aku sudah merasa bahwa titik ini kita harus berbicara Mas," ujarku memulai pembicaraan.

"Bicara apa? langsung saja aku harus bergegas beberapa saat lagi untuk menjemput Adila," jawabnya sambil melirik jam tangan.

Ada rasa miris mendengar ungkapan suamiku seperti itu, ia yang lebih mementingkan untuk menjemput Adila daripada Rain anak kami yang saat ini sedang berada di tempat les matematika, kalau dihitung jaraknya, lokasi anakku berada lebih jauh daripada kampus Adila.

"Aku ingin berbicara namun aku tidak ingin memantik pertengkaran diantara kita," kataku pelan.

"Iya, langsung aja, Aisyah, aku tak punya banyak waktu," jawabnya yang mulai tak sabar.

"Aku merasa tidak nyaman dan kedekatanmu dan Adila Mas, kalian sudah terlihat seperti sepasang kekasih dibandingkan dengan seorang ipar dan adiknya, jangan terlalu berlebihan memanjakan dan menuruti nya Mas, tak elok dipandang dan aku tidak mau menimbulkan fitnah."

"Fitnah bagaimana?" Ia melengos lalu tertawa di hadapanku.

"Ingat Mas, Adila bukan mahrammu, akan baik jika kalian terus-menerus berdua-duaan meski itu di dalam mobil. Lagipula anak kita membutuhkan lebih banyak waktu bersamamu, sementara Adila masih bisa mengurus dirinya sendiri."

"Aku cuma nganterin kok, kamu aja yang terlalu baper," jawabnya sambil memutar bola mata.

"Aku terbawa perasaan karena aku juga manusia Mas, aku punya hati dan perasaan untuk menilai, dan belakangan aku melihat perubahan itu."

"Kamu ini gimana sih?! Aku bersikap kaku dengan adik kamu salah, aku bersikap baik selayaknya seorang kakak pun salah, apa maumu, katakan hah!" Mas Adam sontak berdiri dan langsung marah kepadaku, Iya membeliak dengan ekspresi wajah yang sangat murka.

"Astagfirullah Mas, sedang berusaha mengajaknya bicara baik-baik.

"Kamu nggak masuk akal curigain aku dengan adik kamu," jawabnya lantang.

"Aku hanya meminta engkau bersikap wajar dan lebih mengutamakan keluarga dan anak kita."

"Selama ini juga begitu, apa yang beda Aisyah? haruskah aku mengusir adikmu agar kesalahpahaman diantara kita bisa pudar?"

"Enggak Mas." Aku menggeleng lemah sambil menundukkan kepala.

"Kecemburuan kamu enggak wajar!"

Selagi ia marah seperti itu, tiba-tiba ponselnya berdering beberapa kali. sambil menahan nafasnya yang bergemuruh ia meraih benda pipi dari kantongnya lalu menggeser layar dan membacanya perlahan.

Ia kemudian menuju meja makan untuk meneguk segelas air lalu beringsut pergi meninggalkanku sendirian.

"Mau kemana?"

"Mau jemput anak-anak!"

Aku tahu kalimat 'anak-anak' yang dia ucapkan itu mengacu kepada Rain dan Adila, tapi tentu saja Adila bukan anak-anak.

"Ayah ... Ituuut ...." kali ini putriku Clara yang tadinya bermain di ruang bermain keluar dari sana dan menyusul ayahnya, langkah lucu bocah kecil yang baru bisa berjalan itu terlihat menggemaskan ketika berusaha untuk mengejar dan meminta ikut kepada Mas Adam.

"Nggak bisa Clara, Ayah sibuk," jawab Mas Adam sambil mencium kening putriku lalu melangkah pergi. Putri kami yang berusia 1 tahun lebih itu merajuk sebentar lalu mulai merengek kecil, namun setelah aku bujuk dan kuiming-imingi dengan es krim dan permen akhirnya dia mau tersenyum dan mengerti.

*

Satu jam berikutnya pintu rumah kami terbuka aku masih di posisi yang sama di ruang tv sambil menunggui Clara bermain. Sebenarnya jika menghitung jarak antara kampus Adila tempat les anak kami dan jarak rumah tidaklah jauh dan sampai memakan waktu 1 jam, namun entah mengapa waktu menjemput Mas Adam selalu lama ketika menjemput adikku itu.

Mereka bertiga masuk, sedang yang Mas Adam dan adila berjalan beriringan dengan senyum dan tawa bahagia.

"Kamu bisa aja sih Mas," ucap adikku sambil menepuk dada Mas Adam dengan mesra tentu saja menyaksikan itu dadaku tiba-tiba merasa panas dan ada sensasi terbakar yang sulit kubahasakan.

"Iya dong apa yang nggak bisa, buat kamu ...."

Kalimat terakhir Mas Adam terdengar lirih namun aku masih bisa menangkapnya, apa maksud kata-kata itu? Mengapa juga dia akan rela melakukan apa saja untuk wanita yang jelas-jelas bukan istrinya?

Perlahan hatiku memantulkan rasa tidak suka pada Adila dan Mas Adam. Jelas mereka menyembunyikan sesuatu di belakangku, aku harus mencari cara untuk mengetahuinya sebelum semuanya berlalu terlalu terjadi dan mengancam kelangsungan mahligai rumah tangga kami.

Jika terbukti benar, mereka memiliki hubungan yang tidak-tidak maka aku akan mengambil langkah yang akan membuat mereka ternganga.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    23

    Hingga jenazah ibu akan diberangkatkan pulang kampung, Mas Adam belum datang atau memberi kabar sama sekali. Ia bahkan tak menjawab telepon Adila yang berharap ia segera datang."Ya, ampun mana Mas Adam, di saat seperti ini ia harusnya ada di sisiku," ratap gadis itu.Aku hanya tersenyum sambil menggeleng kecil mendengar ratapannya, tanpa malu ia menggumamkan nama pria yang dia rebut dari kakaknya sendiri. Kesal sekali aku padanya.Tepat dan saat mobil ambulans akan berangkat tiba-tiba calon mantanku hadir, Adila langsung menghambur dan meraung di pelukan kekasihnya dengan manja sedang aku hanya meringis menahan apa yang sedang merasa tak nyaman di dalam dada.Perlahan kuseret langkah menjauh, berniat kembali ke rumahku dan menemui anak-anakku, namun ayah menahan langkah dan memintaku untuk ikut."Maaf, ayah, aku gak bisa, Rain dan Clara tidak ada yang mengurus, maaf ya ayah," ujarnya sambil menangkupkan tangan.Ayahpun naik mendampingi jenazah Ibu dan ketika pintu ambulans di tutup t

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    22

    Perlahan kubayar pengacara untuk mengurusi perkara pembagian harta dan berusaha agar aku memenangkan pembagian tersebut karena bagaimana pun aku punya dua anak yang seharusnya memenangkan aset ayahnya.Pintu rumah di ketuk dan ketika kubuka wajah yang kubenci itu muncul lagi, ia mengenakan kerudung dan matanya nampak sembab oleh air mata.Drama apa lagi ini?"Boleh aku masuk?""Untuk apa? Maaf kebetulan aku mau pergi antar pesanan kue kering dan pakaian.""Sebentar saja, Mba," ujarya memelas."Baik," jawabku sambil mendengkus kesal.Dia mengambil tempat duduk di depanku kali mulai berbicara pelan,"Mbak, aku ingin kamu bicara pada Mas Adam, tadinya aku akan membiarkan dia memilih apa yang dia inginkan, tapi sesuatu terjadi," gumamnya sambil mengusap air mata."Apa?""Aku ha-hamil, Mbak," jawabnya pelan."Aku tidak terkejut karena kalian memang berzina, dan anak hasil berzina itu adalah ....""Tolong jangan dilanjutkan Mbak, aku sakit, aku merasa gak berharga setelah ini," ucapnya."K

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    21

    Iya, bisa mati berdiri jika begini,. Adila panik dan hendak membantu ibu berdiri namun wanita itu lemas dan tatapan matanya kosong. "Dengar, Bu. Seumur hidup aku tak pernah menyusahkan Ibu. Sekali ini tolong jangan susahkan aku, jika ibu sangat menjaga kehormatan Adila maka dari awal jangan biarkan dia merayu suamiku." Wanita itu tak menjawab, seolah kehilangan kata-katanya. Sedang anaknya menangkap sinyal bahwa sebentar lagi Ibu akan pingsan. "Panggilkan ambulance untuk Ibu, dan bawa dia ke rumah sakit," ujarku sambil berlalu. "Setidaknya Mbak menghargai kalo ibu pernah membesarkan Mbak," teriak Adila yang berusaha mencegahku masuk. "Aku menghargai ... karenanya aku tak sampai berbuat kasar. Setelah hari ini jangan ganggu aku lagi." Tiba-tiba tubuh ini tersungkur dan Adila makin panik, menjerit dan memanggil manggil nama ibu. "Ambil saja Mas Adam, tapi tolong selamatkan Ibu ...." "Maaf aku tidak mengambil barang rongsokan. Jika kau kehilangan minat terhadap pria itu m

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    20

    "Tolong ... tolong ...." Sayup-sayup kudengar di antara gemuruh hujan yang semakin deras.Karena merasa ingin sekali tahu, perlahan kuseret langkah menuju halaman, menggeser gerbang lalu mencoba mengintip dengan napas tertahan.Di tengah jalan yang masih lengang, kulihat Adila tengah memeluk tubuh yang tergolek.lemah.Ia menangis dan meraung kencang dan di detik kesekian aku sadar bahwa pria yang sedang dia peluk adalah suamiku. Mobil-mobil menepi dan penumpangnya turun, mengerumuni dan berusaha memberi bantuan sedang aku mematung di depan pintu pagar tanpa tahu apa yang harus aku lakukan. "Tolong ... tolong bawa dia ke rumah sakit, dia ditabrak mobil dan mobilnya kabur," jerit Adila dengan panik.Ia terlihat ketakutan dan panik berlari ke ana kemari dan memohon pada orang orang agar segera menghitung Mas Adam dengan cepat."Mbak Aisyah ... Mbak, tolong aku," ucapnya dengan air mata berderai dan ia berusaha menggapai bahuku.Aku membisu dan tak tahu harus bilang apa, tatapanku na

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    19

    Ya, aku marah luar biasa, aku kesal pada ketidak tegasannya sebagai pria. Aku ingin sekali mencabik cabik wajahnya hingga ia minta ampun. Apakah mulutnya sudah benar benar terkunci melihat ketidak adilan yang terjadi pada kami? Ia bungkam ketika ibu mencercaku, ia bahkan tak berusaha melerai mereka."Gini ya, aku akan buktikan," kata ibu dengan emosi menjadi jadi. "Coba Nak adam, mendekat sini," panggilnya."Ada apa Bu?" tanya suamiku dengan ekpspresi terpaksa."Katakan pada Aisyah, kau lebih memilih siapa? Adila atau dia? Ibu mau tahu," desak ibu sambil mendelik ke arahku dengan sinis."Anu .. Bu, izinkan saya ... Maksud saya, saya butuh waktu, saya dan Aisyah juga belum bercerai," balas suamiku"Jadi kau memutuskan untuk membela Aisyah?" tanya ibu dengan nada meninggi."Tidak juga Bu, begini ....""Ehm, sebaiknya kita pergi, Bu, malu sama tetangganya Aisyah, kita gak mau ngerusuh di kampung orang," ujar ayah sambil merangkul pundak Ibu."Ayah, katakan sesuatu, kenapa sejak kemarin

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    18

    Aku tak akan membuang waktu lagi, dengan menjual emas dan mengumpulkan sisa keuntungan dari bisnis online, aku segera pergi ke kantor pengacara untuk meminta bantuannya."Pak, saya datang kemari dengan harapan besar atas bantuan Bapak, saya berencana akan menggugat cerai suami saya, saya ingin mendapatkan hak asuh serta memenangkan rumah.""Kenapa mengajukan cerai?""Karena dia telah berzina dengan adik kandung saya sendiri," jawabku."Mengapa tidak dilaporkan ke kantor polisi?""Karena saya berat pada orang tua, mereka telah membesarkan saya."Pria itu terlihat berfikir keras lalu berkata."Anda sungguh yakin dengan keputusan anda, Bu?""Insya Allah Pak, lagi pula saya lelah memberi mereka kesempatan untuk sadar dan berubah, tapi tampaknya sia-sia, suami telah saya usir dan diapun tidak punya itikad untuk mmeimta maaf atau mengunjungi anak-anaknya.""Apakah ini sudah lama?""Perselingkuhannya sudah lama, namun kami berpisah ranjang baru satu bulan lebih," jawabku."Ibu yakin suami

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    17

    Seharusnya tidak begini lemahnya, aku sebagai istri sah, terkungkung dalam kesedihan yang panjang dan harapan bahwa Mas adam akan kembali, omong kosong!.Mana mungkin dia kembali jika sebentar lagi dia akan menikahi adila. Memangnya kenapa kalau mereka menikah dan hidup bahagia? pantaskah karena itu aku akan meringkuk memeluk sedih dan tidak mampu berdiri dan menata hidup mandiri? Aku tidak mau sekonyol itu, orang-orang akan menertawakanku sebagai budak cinta yang menyia-nyiakan hidup sendiri dan aku tidak akan menunjukkan kebodohan semacam itu.Jika ditelaah lebih jauh, sikap orang tuaku juga tidak adil kepadaku mereka memperlakukanku seolah anak tiri yang tidak patut untuk diperjuangkan haknya, tidakkah ayah dan ibu berpikir bahwa Mas Adam jelas-jelas suamiku dan Adila adalah benalu yang telah merusak rumah tangga kami, namun jauh harapan dari kenyataan, mereka malah membela anak bungsunya dan aku tidak berdaya untuk mengomentari lebih jauh.Lalu apa yang harus aku lakukan saat ini

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    16

    Aku tak percaya juga jika akupun bisa marah seperti itu, mungkin ssudah demikian kenal ditambah akumulasi rasa sakit dan dendam sehingga membuatku kehilangan kendali.Ah, lagipula pelajaran itu terlalu ringan untuknya, karena mereka sudah memutuskan untuk selalu menggangguku maka, aku putuskan juga untuk mengacaukan hidup mereka. Sepadan? iya, kurasa iya.Aku kembali ke rumah menaiki motor milikku bersama Clara sedang dua manusia laknat itu menatap kepergianku dengan sorot heran sekaligus ngeri di mata mereka. Tentang reaksi sekitar? jangan tanya lagi, mereka dibully habis-habisan.*Siang hari, aku dan kedua anakku di meja makan."Bunda ... bagaimana jualan Bunda, lancar?"Tumben sekali ia menanyakan itu, apalagi dia hanya bocah kelas lima SD."Memangnya kenapa sayang?""Ehm, kalo lancar aku boleh minta uang kebuh ya, Bund, ada praktek yang mengharuskan kita beli alat di toko buku," jawabnya sambil tersenyum."Oh, tentu sayang," balasku setengah terharu atas pengertiannya sebagai se

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    15

    Aku tidak harus selalu sedih memikirkan tentang mereka setiap kali aku teringat atau membayangkan apa yang sedang mereka lakukan air mata ini tumpah begitu saja tanpa Alasan.Aku tidak mampu menepiskan kesedihan yang besar dan kekecewaanku juga kepada Mas Adam. Teganya dia menghancurkan mahligai pernikahan kami, teganya dia meninggalkan Rain dan Clara demi kekasih baru yang telah merebut hatinya, Adila adikku sendiri"Biarkan mereka menikah dan menjalani, bahtera rumah tangga yang mereka inginkan, biarkan Adila merasakan menjadi istri dari Suamiku itu."Mereka saat ini pasti bahagia tinggal di sebuah apartemen dengan flat yang sama, aku yakin kebahagiaan itu bertambah ketika tidak seorangpun berdiri untuk menghalangi mereka saling memeluk dan berbagi kehangatan.Tiap waktu aku memikirkan tentang itu, membuatku tidak fokus, seringnya aku berdiri terpaku atau duduk dalam keadaan termenung membuat aku sendiri merasa salah, nggak usah bawa hidup ini tidak akan berjalan sesuai dengan kei

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status