Zoya menarik nafas dalam dan beranjak dari duduknya. Sekuat hati dia berusaha untuk tetap tenang.
Ingat, harus banyak bukti untuk bisa memberontak dari pria seperti Zein jika tidak ingin hanya dijadikan angin lalu oleh pria itu. Zoya tersenyum menyambut langkah suaminya yang mendekati dan segera mengambil alih tas dan juga jas Zein. Sebenarnya ada rasa takut untuknya kelak memberontak. Zoya tak memiliki siapa-siapa lagi selain Zein. Jika dia dicampakkan oleh Zein lalu bagaimana dengan nasibnya kelak. Zoya melangkah mendekati Zein yang mulai membuka kancing lengan kemejanya. Dengan sigap pun Zoya mulai membantu membukakan kancing kemeja yang Zein kenakan. Aroma parfum yang sudah bercampur dengan parfum wanita membuat dada Zoya semakin sesak bahkan tangannya sedikit gemetar karena dia harus menahan rasa sakit yang semakin dalam. "Mas, tau kamu pulang lebih cepat. Aku tadi minta jemput sekalian. Aku lelah banget, Mas. Mana harus menunggu taksinya lama." "Jangan manja!" ketus Zein menghentikan pergerakan tangan Zoya. Namun hanya sebentar saja, setelah itu Zoya kembali meneruskan kegiatannya dengan sikap yang kembali tenang. "Aku ingin seperti masa-masa kita dulu, Mas. Dulu kamu begitu rajin antar jemput aku. Perhatian banget sama aku. Aku rindu masa-masa itu, Mas. Gimana kal_" "Kamu terlalu berisik, Zoya! Kamu pikir yang lelah itu hanya kamu saja, iya? Aku pulang mau istirahat bukan mau mendengar ocehan kamu yang banyak syarat. Bikin pusing saja! Awas!" Zein pun segera melangkah menuju kamar mandi dan melempar kasar kemeja yang sudah pria itu lepaskan. Menatap garang pada Zoya yang kembali harus teruji kesabarannya. Zoya mengambil kemeja yang Zein jatuhkan ke lantai. Tangannya bergetar saat melihat ada noda merah yang mana tak asing baginya karena sebagai perempuan dia tentu tau itu noda apa. Zoya melangkah mundur dan kembali terduduk melihat kemeja Zein yang ada di dalam genggamannya dengan air mata yang tak lagi bisa terbendung. "Sakit... " Hanya bisa merintih sendiri tanpa bisa melawan apa yang terjadi. Zoya menahan isak tangisnya. Dia melirik ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat. Beginikah pernikahan yang bercampur dengan kebohongan? Kedua mata Zoya terpejam saat pemikirannya sudah tak lagi bisa tenang. "Pakaian kamu sudah aku siapkan, Mas!" Zoya memberikan pakaian santai yang sudah ia siapkan untuk Zein tetapi belum sempat diambil oleh pria itu. Tatapan mata Zein membuatnya ragu untuk mendekat. "Kamu sudah selesai?" tanya Zein dengan tatapan penuh makna yang Zoya sangat mengerti arah pembicaraannya. Gelengan kepala pun ia berikan sampai dimana suara bentakan dari Zein kembali Zoya dapatkan. "Istri nggak berguna kamu!" ketus Zein kasar kemudian menepis pakaian yang ada di tangan Zoya. Pria itu pun berbalik menuju lemari pakaian dan mengambil pakaian untuk pergi. "Mas kamu mau kemana? Ini sudah aku ambilkan, Mas!" "Diam kamu! Pusing aku sama kamu! Bikin nggak betah aja kamu tuh!" sahut Zein kasar membuat kedua mata Zoya panas dan memerah. Zoya tetap berusaha untuk mendekati tetapi Zein seolah enggan dengannya. "Nggak usah deket-deket! Kenapa? Mau nangis? Aku nggak suka ya kamu cengeng begini! Banyak nuntut tapi nggak becus!" Zein segera memakai pakaiannya dan pergi dari sana. Melihat itu pun Zoya berusaha untuk mengejar hingga keduanya terlibat percekcokan di ujung tangga. "Mas kamu mau ke mana?" "Bukan urusan kamu, Zoya! Urus diri kamu yang belum bener jadi istri. Udah belum bisa ngasih anak. Berasa nikah sama perempuan mandul tau nggak!" Deg Kedua mata Zoya nampak mendung mendengar itu. Perlahan dia mendongak menatap Zein yang menatap penuh kilatan amarah. Sesak sekali bahkan air mata tanpa permisi membasahi pipinya. "Mas bisa tidak jangan berbicara seperti itu. Aku baru sekali bilang tidak bisa tapi sikap kamu begitu menyakiti hati aku. Aku sudah berusaha, Mas. Kamu tau aku subur, tapi mengapa kamu tega bilang aku perempuan mandul?" tanya Zoya. "Mas salah aku apa sama kamu? Kurang aku dimana sebagai istri? Aku nggak pernah banyak menuntut dan aku pikir kamu semakin mengerti, tapi apa? Kamu semakin kasar sama aku, Mas! Kamu jahat!" lanjutnya. "Lantas aku harus meminta maaf? Aku muak sama kamu, Zoya!" Zein pun segera berlari pergi dari sana. Zoya hanya bisa menangis melihat kepergian Zein. Tangannya meraih pegangan tangga dan luruh terduduk di sana. Sudah hancur dengan kabar tadi. Sore ini pun hatinya harus kembali hancur mendapati ucapan Zein yang seperti belati menusuk hati. "Kurang sabar apa aku menghadapi kamu, Mas? Aku nggak apa-apa kamu kasar. Aku mengerti jika itu sifatmu tapi aku mohon kamu tetap setia bukan malah mencari kesenangan di luar sana. Kamu mencurangiku, Mas!" Setelah keributan yang terjadi, Zoya hanya berdiam di kamar. Zoya merenungi apa kesalahan dan apa saja yang sudah terjadi hingga rumah tangganya bisa seperti ini. Kebohongan dia pun karena tak sengaja bukan hal yang ia rencanakan. Zoya membuka kancing pakaiannya. Melihat jejak Gama yang masih nyata di salah satu dadanya. Kedua matanya terpejam kuat. Semua karena ini hingga dia membuat Zein sangat marah. Perlahan Zoya menarik diri dari sana. Kakinya terayun menuju dapur. Tidak ada rasa lapar, bahkan Zoya tak nafsu makan. Dia hanya ingin membuat minuman hangat untuk memulihkan rasa lelah dirinya. "Bisa sekalian tolong buatkan kopi?" Zoya tersentak mendengar suara seseorang, kemudian menoleh ke belakang melihat adanya Gama di sana. Tak ingin banyak bicara. Zoya pun mengangguk mengiyakan sedang Gama nampak menunggu di meja makan. Bahkan Zoya tak perduli malam ini tak ada makanan yang ia sediakan. Hatinya sedang kacau dan enggan menyiapkan hanya untuk Gama. "Kopinya, Kak." Zoya meletakkan segelas kopi untuk Gama dan segera beranjak tanpa menunggu jawaban dari Gama. Namun nyatanya pria itu pun tak berniat mengucapkan terimakasih untuknya. "Jadi wanita itu jangan terlalu bodoh, Zoya. Apa gunanya ada hak asasi kalau ujung-ujungnya hanya mengalah dan menerima kekalahan atas perilaku buruk orang lain?" kata Gama. Zoya terdiam mendengar penuturan dari kakak iparnya itu hingga Gama beranjak dari sana untuk menuju ke teras samping rumah. Zoya menarik nafas dalam dan terpejam sebelum kemudian memijit pelipisnya. Semua yang terjadi seperti tak lagi ada privasi. Sebab, kini Gama semakin tau permasalahan yang ada dalam rumah tangganya. Semakin malam, Zoya menjadi semakin gelisah memikirkan Zein yang tak kunjung pulang. Zoya menguap dan hampir tertidur kalau saja suara bantingan pintu tidak membangunkannya. "Mas Zein!""Sembunyikan apa?" Gama terlihat santai berbeda dengan Zoya yang tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Zoya mendadak bingung dalam bersikap, panik juga, khawatir semua terbongkar meskipun Zoya tau pasti ada masanya semua akan tau apa yang terjadi pada Sena. "Mas... " Zoya menyentuh lengan Gama tetapi pria itu justru meraih tangannya kemudian melepaskannya begitu saja. Zoya bungkam mengikuti langkah Gama yang terlihat maju mendekati Bara. "Apa yang Om curigakan? Katakan saja sekiranya aku bisa meluruskan atau menjelaskan. Tidak masalah! Aku akan menjawabnya," kata Gama tanpa takut. Bara pun melangkah mendekati hingga keduanya saling berhadapan. Bara menatap Gama dengan tatapan menyelidik. "Dimana Sena? Apa kamu menyembunyikannya? Selama menikah kamu tidak pernah datang membawa Sena. Kamu juga lebih sibuk dengan istri pertamamu itu." "Ingat Gama! Kamu sendiri yang meminta Sena padaku. Seharusnya kamu lebih bertanggung jawab dengan putriku! Bukan pilih kasih dengan ha
"Apa aku sehina ini, Dito? Aku hanya ingin mencintai dan dicintai oleh orang yang aku sayang. Bukan diperlakukan seperti ini." Suara Sena terdengar lemah dan tatapan wanita itu begitu mengiba dan memelas. Kedua mata Sena pun semakin tak henti mengeluarkan air mata hingga terlihat sangat menyedihkan. Memang Sena sangat-sangat menyedihkan sekali. Selain berantakan dan kotor seperti tak terurus. Sena juga terlihat seperti orang yang tidak waras. Padahal wanita itu masih bisa diajak berpikir. Hanya saja mungkin ada gangguan mental karena ambisi dan obsesi hingga merusak otak dan hati Sena. Penyakit hati memang sangat-sangat berbahaya bagi penderitanya. Maka dari itu dianjurkan menjadi manusia yang baik-baik saja. Tidak bisa diraih ya ikhlaskan. Bukan malah terus menginginkan hingga memicu perbuatan yang tercela. "Aku ingin bebas, Dito." "Aku sudah mengajakmu untuk berubah, Sena. Aku juga sudah menjanjikan untukmu bebas jika kamu mau berubah." Dito menarik nafas dalam dan se
Kedua insan yang tengah dimabuk cinta kini sama-sama terlena dengan gelombang cinta yang mereka buat. Hasilnya, tubuh gemetar hebat di kala pelepasan yang sangat melenakan. Gama cukup berhati-hati meskipun hal itu membuat Zoya geregetan sendiri. Namun keduanya sama-sama menikmati dan kini tengah terengah menikmati denyutan kecil yang membuat keduanya tersenyum senang. "Mas... " "Hhmm... Makasih Sayang." "Ya," kata Zoya. "Apa ada yang sakit? Bagaimana dengan anak kita? Dia baik-baik saja?" tanya Gama yang kemudian memiringkan tubuhnya untuk menjangkau Zoya. "Sepertinya sangat suka dikunjungi oleh Ayahnya," jawab Zoya dengan senyum tipis dan tangan mengusap rahang Gama. Wajahnya mungkin saat ini masih terlihat sangat seksi. Buktinya Gama mengecup tangannya hingga Zoya kemudian beralih pada tengkuk Zoya dan berbisik di sana. "Wajah kamu sangat menantang sekali, Sayang. Apa kamu tau jika setelah mengejang, kamu sangat seksi?" "Apa yang ada di dalam pikiranmu hanya
Di rumah besar keluarga Atmanegara, Bara terduduk menyesap kopi buatan sang istri. Diam terlihat banyak beban sampai di mana sang istri mendekati dan duduk di samping pria paruh baya itu. "Ada apa, Mas? Aku lihat kamu sedang banyak pikiran. Apa yang sedang mengganggu pikiranmu?" "Aku merindukan Sena. Apa kamu melihatnya saat ke rumah Gama?" Bara menoleh ke arah sang istri yang menggelengkan kepala. Terlihat Santi pun sangat merindukan Sena meskipun ada rasa sakit mengingat Sena pernah membangkang. "Lalu kemana?" "Katanya Sena belum pulang, masih seperti dulu, Sena akan mencari kesenangan sendiri tanpa memikirkan orang di sekitarnya. Aku kadang tidak enak hati dengan Gama, Mas." "Gama pasti sangat membandingkan Sena dan Zoya. Sementara Zoya masih rajin dan ikut membantu Gama di kantor. Sifatnya sangat jauh sekali dengan Sena." Terdengar Bara mendesah kasar mendengar penuturan dari sang istri. Diam keduanya sama-sama saling berpikir sampai dimana Bara memutuskan untuk
"Mas kamu sungguh tidak ada malu! Aku nggak enak hati dengan Asisten Dito, tapi kamu malah sengaja banget. Lagian mau ngapain, Mas?" Sepertinya Zoya pura-pura tidak tau, padahal kalau sudah begini, mau apa lagi jika bukan bercinta tujuannya. Sayangnya wanita kadang suka sekali menutupi hanya untuk sebuah kejelasan. "Mau apa lagi jika bukan untuk mengeksekusi kamu, hhmm? Bersiaplah Sayang! Kamu sulit aku abaikan," kata Gama dengan langkah yang membawa mereka ke dalam kamar. Tak lupa Gama pun mengunci pintu kamar agar tidak ada yang menganggu kegiatan mereka. Namun Zoya mengalihkan inginnya Gama. Padahal niatnya hanya iseng, tidak taunya kepancing sampai ingin digemesin begini. Pria memang suka tidak tahanan. "Mas kamu nggak mau makan dulu? Mandi gitu? Gemesnya sama aku pending dulu! Jangan begini!" Namun Gama tidak bisa dinanti-nanti. Pria itu merebahkan tubuh Zoya ke ranjang yang menjadi media untuk bercinta. Ya, bercinta. Mau apa lagi? Gemasnya Gama tidak lagi bisa d
Zoya menahan tawa kala Gama kembali menghubunginya. Bolak balik menelpon membuatnya geli sendiri. Ya ampun Mas suami kalau sedang tantrum begini banget. "Maaf Mas, aku sudah mengerjaimu. Lagian kamu bikin aku pengan usil. Hihihi.... " Gama menghubungi dengan nada dering yang malah membuatnya ingin menari. Iseng banget emang bumil satu ini. Ampun dech, minta dicipok depan belakang atas bawah. Tidak tau saja suaminya sudah menahan gemas. Andai tidak ada banyak pekerjaan, pasti Gama sudah meluncur pulang. "Loh Nyonya kok seneng banget kelihatannya. Malah joget-joget. Itu bukannya Tuan yang telepon, Nyonya?" "Iya, Bi. Biarin aja, dia lagi tantrum Bi. asyik buat digodain," jawab Zoya santai dan Bibi hanya menggelengkan kepala mendengar itu dan terkekeh melihat kelakuan bumil satu ini. "Duh, Nyonya. Telepon rumah berdering. Itu pasti Tuan yang menghubungi." "Biarkan saja, Bi." "Nanti kalau Tuan marah gimana, Nyonya?" "Nggak akan Bi. Udah Bibi tenang aja ya! Serahka