Zoya terdiam masih berdiri menunggu Gama yang terus sibuk tanpa memperdulikan dirinya.
Sudah hampir satu jam berlalu setelah pria itu menahannya untuk tetap di sana. Terus menunggu tetapi Gama nampak santai saja tanpa menyentuh berkas yang ia berikan. Zoya frustasi sendiri, kakinya pegal sekali tetapi Gama tetap cuek seakan tak minat. Sengaja menahannya tanpa kejelasan. Rasanya Zoya ingin mengumpat pria itu tapi semua hanya di angan karena dia tak seberani yang dibayangkan. Zoya mendengus kesal, terdengar helaan nafas kasar darinya yang ternyata bisa menarik hati pria itu. Gama melirik ke arahnya dan menyandarkan tubuh di kursi kebanggaannya. "Bosan?" "Anda masih sibuk, Pak." "Tidak sabaran." celetuk Gama yang kemudian berdecak dan mengambil berkas yang Zoya berikan tadi. Meneliti beberapa saat dan kembali menatapnya dengan lekat. Zoya menegakkan tubuhnya saat sadar Gama memperhatikan. Berharap tak ada yang harus kembali direvisi agar dia bisa mengerjakan pekerjaan lainnya, meskipun dia juga sudah siap mendengarkan komplain dari Gama karena Zoya sudah cukup hafal bagaimana pria itu dalam bekerja. Zoya tersentak saat melihat Gama melempar berkas yang ia kerjakan tadi ke atas meja kerjanya. Zoya memang yakin ada yang salah dari apa yang ia kerjakan, tapi itu juga bukan salahnya, karena memang tenggat waktu berkas itu masih lama. Seakan mengetahui apa yang sedang Zoya pikirkan, tatapan mata Gama yang tadi santai kini berubah menjadi tegas dan tajam. Pria itu mendadak berubah menjadi menyeramkan. "Perbaiki." "Baik, Pak." kata Zoya. Tak ingin banyak bicara, langsung saja Zoya mengambil berkas yang tergeletak di meja Gama. Namun saat dia ingin berbalik hendak keluar dari ruangan itu, suara bariton dari Gama menghentikan langkahnya. "Kerjakan di sini saja". "Tapi Pak..." "Kerjakan di sini, Zoya!" Tatapan Gama yang lekat dan penuh ketegasan membuat Zoya mau tidak mau duduk di hadapan pria itu. Sumpah demi apapun, dia enggan berada sedekat ini apalagi hanya berdua saja dalam satu ruangan. Ruang geraknya seakan terbatas dan gerakannya pun tak bebas. Gama terus saja memperhatikan hingga dia risih dibuatnya. "Maaf, Pak. Boleh saya mengerjakan di ruangan saya saja? Bapak membuat saya tidak nyaman." "Lantas apa yang membuatmu nyaman, hhmm? Sikap lembut atau kasar yang kamu inginkan?" tanya Gama yang membuat Zoya menghela nafas berat. "Maaf Pak, saya harap tidak ada pembicaraan yang menjurus ke arah pribadi. Kita sedang berada di kantor." "Aku tidak tahu kalau pikiranmu itu ternyata sangat kotor," sahut Gama tambah membuat Zoya geregetan. Zoya berusaha tidak lagi perduli dan pria itu pun kembali fokus dengan pekerjaannya. Dua jam mengerjakan hingga lelah merevisi sesuai inginnya Gama Prasetyo. Otak Zoya serasa panas sekali. Usai memberikan hasilnya, Zoya pun bergegas kembali ke ruangannya. Zoya butuh istirahat sejenak setalah dibuat pusing menuruti bosnya. Namun baru saja Zoya sampai di ruangannya. Pesan masuk di ponselnya dari salah satu teman yang bekerja satu kantor dengan Zein, membuat Zoya menghela nafas gusar. Zoya melirik ke kiri dan kanan. Melihat karyawan lain, semua nampak sibuk dengan pekerjaan. Zoya pun memutuskan untuk beranjak dari sana tak ingin dirinya menganggu. Ijin ke toilet untuk menghubungi temannya demi memastikan kabar yang menyesakkan tadi. "Hallo, Ren. Maaf aku ganggu. Mengenai pesan kamu tadi. Kamu serius lihat suamiku dengan wanita lain?" tanya Zoya dengan debaran jantung yang tak terkendali. Istri mana yang tak gelisah mendengar suaminya dekat dengan wanita lain. Hal itu pun semakin membuat Zoya yakin jika sikap Zein selama ini ada kaitannya dengan kabar yang temannya berikan. Pantas saja Zein tidak memperbolehkan dia untuk pindah kerja di kantor pria itu. Ternyata ada sesuatu yang selama ini Zein tutupi darinya. "Aku sich baru lihat tadi, tapi gosip ini tuh udah rame, Zoy. Hanya saja aku mau kasih tau kamu tuh maju mundur gitu. Aku takut kamu nggak percaya. Akunya juga belum lihat sendiri sebelumnya dan pagi tadi aku baru lihat dengan mata kepala aku sendiri. Pak Zein datang membawa wanita sexy yang kata anak-anak sich itu selirnya." Semakin kencang saja debaran di jantung Zoya. Salah apa dia hingga Zein tega bermain gila di belakangnya. Ingin tak percaya tetapi dia tak boleh naif hingga abai padahal sudah ada buktinya. Temannya tak hanya memberi kabar tapi juga mengirimkan foto sebagai bukti, yang sayangnya wajah wanita itu tak jelas terlihat. "Halo, Zoya. Apa kamu masih disana?" "Eh iya, maaf Ren aku malah diam. Aku nggak tau harus bicara apa." Zoya sampai berpegangan sisi wastafel karena kakinya yang tiba-tiba lemas membayangkan Zein dengan wanita lain. "Maaf ya kalau apa yang aku katakan membuat kamu syok berat, tapi ini aku lakukan karena aku nggak tega sama kamu, Zoya." "Oh iya tapi aku minta sama kamu, tolong jangan katakan pada siapapun jika kamu tau kabar ini dari aku ya. Aku masih butuh pekerjaan ini, Zoya. Aku yakin Pak Zein pasti akan marah kalau tau aku yang mengadukannya sama kamu." "I.. Iya, kamu tenang aja! Aku nggak akan menyeret kamu dalam masalah ini. Aku justru mau berterimakasih sama kamu. Lain kali jika ada info tentang Mas Zein lagi, tolong kamu kasih tau aku ya, Ren!" Zoya tak akan buru-buru menghakimi. Dia ingin mengumpulkan bukti terlebih dahulu. Namun tetap saja hatinya perih mendengar kabar buruk ini. Zoya berharap, jika memang benar Zein melakukan itu. Bukti semakin kuat agar dia bisa membongkar kebusukan suaminya. "Iya, Zoya. Aku akan kabari kamu beserta buktinya agar kamu juga percaya kalau aku nggak ada niat untuk menghancurkan rumah tangga kalian. Kamu yang sabar ya, Zoya. Ya udah kalau gitu. Aku mau lanjut kerja dulu. " Iya, makasih banyak ya, Ren." "Sama-sama." Selepas panggilan itu terputus. Zoya tertunduk menekan dadanya. Ujian apa ini? Sakit sekali ya Tuhan. Apa ini karma setelah kesalahan satu malam itu ia lakukan, tapi tadi Iren mengatakan jika gosip ini sudah lama beredar. "Mas, aku salah apa sama kamu?" Zoya terisak di sana. Sungguh ini sangat sakut sekali. Di yang mati-matian menutupi kesalahan untuk menjaga hati Zein, ternyata pria sudah berkhianat lebih dulu. Usai jam kantor berakhir, Zoya pun bergegas untuk pulang ke rumah. Sejak tau kabar itu, hatinya terasa tak tenang. Pikirannya berkecamuk hingga dia tak fokus dalam bekerja. Beruntung masih bisa menyelesaikan meskipun dia harus bersusah payah membagi hati dan pikirannya. Berusaha tetap profesional padahal air matanya sudah menumpuk di pelupuk mata. Zoya sampai lebih dulu di rumah. Masih sepi, Gama dan Zein belum ada yang menginjakkan kakinya di rumah ini. Bergegas Zoya masuk kamar kemudian terduduk di pinggir ranjang seraya membuka ponselnya yang nampak kosong dari notifikasi pesan atau panggilan yang masuk. Mustahil perhatian itu ia dapatkan dari Zein. Bukannya ini sudah biasa ia dapatkan? "Aku tidak boleh buru-buru menuduh. Aku yakin Mas Zein tidak akan mengakui. Aku harus bisa tahan. Kuat, Zoya! Aku mohon jangan menangis lagi!" Zoya berusaha menenangkan dirinya sampai dimana dia dikejutkan dengan suara pintu kamar yang terbuka dengan kasar. "Mas.""Ada apa dengan Tuan, Nyonya?" tanya Asisten Dito yang dengan tanggap dan gerakan cepat sudah sampai di kantin untuk membantu Gama. "Tidak kenapa-kenapa, hanya aku suruh makan somay tapi Mas Gama tidak mau katanya. Alhasil seperti itu," jawab Zoya. Sebenarnya ingin kasihan tapi kok malah geregetan. "Pak lebih baik anda segera ke ruangan anda dulu dari pada nanti tambah patah di sini," ujar Asisten Dito. Sebagai orang kepercayaan Gama dan orang yang sudah lama ikut dengan Gama tentu tau apa yang Gama suka atau tidak. Terlahir dari orang kaya pastinya jarang makan makanan yang dijual di pinggir jalan atau sekelas kantin. Hanya saja biasanya Gama tidak begini. Entah karena bawaan bayi atau memang Gama benar-benar mual melihat bentukan somay. Namun jika diperhatikan, tidak ada yang menggelikan. Dilihatnya enak-enak saja. "Bawa ke ruangannya saja, Pak! Nanti aku nyusul. Aku masih mau... " "Sayang kamu ikut sekalian! Jangan memancing celaka! Aku nggak suka!" sahut Gama dengan
Gama mengusap kasar wajahnya kala tak menemukan Zoya. Entah dimana sang istri. Cepat sekali kaburnya. Gemas rasanya Gama dan ingin menyusul sang istri tetapi dia kehilangan jejak Zoya. "Kamu pasti tidak jauh dari sini, Sayang. Apa mungkin kamu kembali diculik? Astaga.... Zoya." Gama segera melihat CCTV kantor untuk mengetahui kemana perginya Zoya. Sementara Dito sudah lebih dulu pergi mencari keberadaan istri dari Gama Prasetyo. Pengalaman membuat Gama semakin posesif saja. Lepas sedikit, Gama tidak akan bisa tenang. Gama tidak ingin terjadi sesuatu lagi pada Zoya. Dering ponselnya pun membuyarkan fokus Gama dari layar laptop. Gama meraih ponselnya dan langsung menerima panggilan dari Dion. "Bagaimana?" tanya Gama, kedua alisnya menukik mendengar jawaban dari Dion. Pria itu pun beranjak dari duduknya kemudian melangkah panjang meninggalkan ruangannya. Gama hampir berlari untuk menuju tempat dimana Zoya berada saat ini. Kedua tangan Gama terkepal kuat hingga urat tangan
"Terimakasih sudah diperkenankan masuk, Nyonya. Saya pamit pulang," ujar Dito dan dianggukki oleh Sinta. "Oh ya, silahkan! Terimakasih sudah mengantarkan pesanan dari Zoya tadi. Jangan lupa titipkan salam untuknya!" kata Sinta dengan ramah. "Baik, permisi." Dito pun bergegas pergi dari sana. Pria itu melangkah memasuki mobil kemudian segera kembali ke kantor. Ada hal yang harus dilaporkan pada Gama setelah apa yang atasannya itu perintahkan selesai dikerjakan. Dito juga tidak mampir ke mana-mana lagi. Tidak juga mampir untuk memberikan makan siang untuk Sena. Rasanya enggan karena tadi pagi sempat ditolak mentah-mentah yang mana malah berujung tidak ribut. Sampai di kantor bertepatan dengan para karyawan yang keluar dari ruangan meeting. Dito pun segera masuk ke dalam ruangan itu tetapi begitu herannya Dito saat melihat Gama dan Zoya ribut. "Kamu mas! Tuh mereka jadi berpikiran yang nggak-nggak sama aku!" "Berani apa mereka? Mau aku pecat memangnya? Biarkan saja!K
"Mas kamu jangan ketaluan!" pekik Zoya tetapi setelahnya kembali mendesah dengan sangat indah. Kegiatan panas pagi ini membuat hidup keduanya semakin indah. Suami istri yang saling beradu peluh ini tak lagi kuasa menahan gejolak yang ada. Sampai dimana suara panjang yang melegakan diiringi hal yang melenakan membuat mereka merasakan getaran yang membuat ketagihan nantinya. Gama menghela nafas panjang dan mengecup pucuk dada Zoya sebelum beranjak dari tubuh sang istri. Gama tersenyum menatap Zoya yang terlihat lemas di atas meja kerja. "Kenapa kamu selalu membuatku lemas begini, Mas? Kamu lama sekali, sengaja 'kan? Tubuh aku remuk, Mas," keluh Zoya yang hendak beranjak saja sulit. Mana medianya meja kerja. Geregetan Zoya jadinya. Kenapa tidak bisa cari tempat lain yang lebih nyaman agar bisa lebih leluasa dan tubuh tidak sakit begini setelahnya. "Pentok sini sakit, pentok sana sakit, ya Tuhan ini badan aku sakit banget," keluh Zoya dengan dibantu oleh Gama. Pria itu
"Mas kamu mau bawa aku kemana?" tanya Zoya yang kini melangkah panjang mengikuti Gama. Dia berusaha untuk mengimbangi Gama sampai kakinya terasa seperti melayang. Namun Zoya diam tanpa mengeluhkan itu meskipun rasanya hati ketar ketir dan jantungnya berpacu dengan cepat. Zoya sama sekali tidak mencoba melepaskan diri. Zoya tau apa yang akan Gama lakukan padanya. Sayangnya sikap Gama padanya justru menimbulkan pikiran negatif dari para karyawan. Mereka semakin tidak suka pada Gama setelah diam-diam menyaksikan pergerakan keduanya. Gama membawa Zoya masuk lift dengan bertujuan membawa Zoya menuju ruangan pria itu. Ruangan yang ada di lantai tertinggi dari gedung tersebut. Tak ada ruangan lain yang lebih aman di kantor ini selain ruangan CEO bukan. Ruangan yang bebas untuk Gama menghukum sang istri yang berani membuat cemburu. Gemas sekali Gama. Belum lagi omongan para karyawan yang justru menjodohkan Zoya dengan yang lainnya. "Mas kamu nggak malu dilihat sama karyawan kam
Zoya terduduk dengan pikiran mengarah pada Sena. Dia menoleh ke arah ruangan sana yang digunakan untuk menyembunyikan Sena. Kembali dia menatap ke arah Gama yang kini duduk di hadapannya. "Jangan pikirkan apapun, Sayang! Dia pantas mendapatkan ini semua." "Tapi apa tidak terlalu berlebihan, Mas? Kamu sudah sangat menyiksanya." "Kamu bisa sangat tega dengan Amanda, tapi kenapa dengan Sena tidak? Bukankah dia sudah sangat menyakitimu? Dia juga sama dengan Amanda yang ingin melenyapkanmu, Sayang. Buka matamu! Jangan melulu memikirkan orang yang jelas sudah ingin menggantikanmu!" Gama mengusap pipi Zoya kemudian beranjak dari sana dan berbalik menatap ke arah Dito yang masih berdiri tak jauh dari mereka. "Siapkan berkas yang akan digunakan untuk meeting hari ini! Setelah itu aku ingin kamu pergi ke rumah keluarga Atmanegara untuk mengirimkan makanan atas nama Zoya, istriku," perintah Gama. "Baik Tuan." "Bukan hanya itu, lihat bagaimana keadaan Nenek dan jika ada yang
Zoya semangat menghabiskan sarapannya. Dia sangat penasaran sekali akan kondisi Sena saat ini sedangkan wanita itu sedang merintih kesakitan karena kedua kaki dan tangan yang tak bisa keluar dari pasung yang terpasang. "Tidak usah sok baik padaku! Kamu sama jahatnya dengan Gama! Pergi sana! Aku nggak akan mau makan. Cuih!" Sena melempar ludah di wajah Dito yang memancing kemarahan pria itu. Tangan Dito meraih rambut Sena yang kusut dan menariknya ke belakang hingga wanita itu mendongak kesakitan. "Sakit Bangsad! Lepas!" "Kamu yang bangsad! Kamu nggak tau diuntung! Masih beruntung hanya di pasung tapi kamu malah kurang ajar seperti itu! Minta ampun dulu padaku, baru aku lepaskan!" sahut Dito kesal. "Tidak sudi!" PLAK Asisten Dito membuat Sena terhuyung dan membentur pinggir ranjang. Emosi Dito meluap karena Sena yang semakin kurang ajar. Tidak tau kalau masih diperhatikan, diberikan kesempatan untuk hidup, tapi malah membuat orang semakin emosi saja. "Sakit!" sen
"Tugas... " Dito seperti bingung ingin menjawab. Di sisi lain memang Gama pernah mengatakan untuk tidak menceritakan pada siapapun untuk masalah ini. Apa Zoya juga termasuk? Itu yang membuat Dito ragu. "Apa, Pak Dito?" "Itu Bu, eh Nyonya. Nganu... Mmm... " Kedua alis Zoya mengkerut mendengar penuturan dari Dito yang terbatas dan tak jelas. Zoya menatap penuh curiga pada Dito yang tak kunjung menjawab pertanyaannya. Zoya yakin, sangat yakin, jika Dito tengah menyembunyikan sesuatu. Menyembunyikan hal besar hingga membuat pria itu ragu menjawab. Zoya melangkah mendekati pria itu. Tatapannya tak lepas dari wajah Dito yang nampak bingung. Zoya sampai lupa akan batasan jika Gama melihat. Apalagi dia yang sengaja mendekati. Sampai Zoya tak sadar jika Gama memperhatikan dari atas. Gama nampak terkejut akan kedekatan keduanya. Gama memperhatikan keduanya dengan bergantian. Namun Zoya yang begitu gemas karena Dito tak kunjung menjawab membuatnya benar-benar tak main-mai
Malam panas itu membuat keduanya lelah. Mereka terdampar di pembaringan yang berantakan. Keduanya menikmati sisa-sisa getaran percintaan yang tercipta. Senyum mengiringi sisa malam mereka seiring angin yang menggoyangkan dedaunan. Bahagia itu pun tercipta seiring bumi pertiwi yang basah. Suara guyuran air dari langit menambah syahdu lelapnya kedua insan yang lelah. Tak lama, perasaan mereka saja, padahal sudah beberapa jam berlalu dari kedua mata yang terpejam mereka bertemu mimpi. Namun fajar menggugah mereka untuk memulai hari yang menantang ini. "Mas apa kamu sudah mulai kerja?" tanya Zoya pada Gama yang menjawab dengan anggukkan kepala dan masih dengan kedua mata yang terpejam. Zoya pun mengangguk paham dan lebih dulu turun dari ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Gama meraih tubuhnya yang sudah ingin beranjak dari sana. "Mandi, Mas. Gerah, nggak nyaman banget. Kamu kalau mau lanjut, oke aja, tapi nanti setelah aku mandi, cepat bangun ya, Mas!" Zoya membebaskan tetapi den