Share

5. ANGGOTA BARU TIM REDAKSI

Sejak kejadian “pencurian” tulisan Rade oleh orang dari media lain, tim redaksi semakin waspada. Apalagi mereka masih melihat Aden datang dengan leluasa ke kantor. Mereka merasa percuma mengatakan kepada Bang Arif karena ia tidak percaya bahwa Aden pelakunya. Tiba-tiba pagi itu Bang Arif meminta semua anggota redaksi berkumpul di ruang rapat.

            “Kita kedatangan anggota baru yang akan bergabung di tim redaksi sebagai wartawan. Ia wartawan senior dan cukup kompeten. Rekan-rekan wartawan dapat belajar darinya,” Bang Arif membuka perkenalan sembari menyilakan Aden masuk ke ruang rapat.

            Semua mata terbelalak melihat Aden masuk ke ruang rapat sebagai orang yang diperkenalakan menjadi anggota baru tim redaksi. Semua orang menyimpan tanda tanya dalam benaknya masing-masing.

            “Saya rasa semua sudah kenal dengan Raden Wijaya Kesuma,” Bang Arif menyebutkan nama panjang Aden.

            “Senang bergabung dengan tim Tabloid WeekNews, semoga kita bisa bekerja sama dengan baik,” Aden menyapa dengan senyum sumringah.

            Senyum Aden tak cukup mampu menggugah perasaan anggota tim redaksi yang kadung tak menyukainya. Mereka hanya membalas dengan sunggingan senyum yang dipaksakan.

            Usai perkenalan, Rafly mendatangi Arif ke ruangannya. “Bang Arif  kok gak bilang dulu sama saya bahwa ada wartawan baru,” protes Rafly.

            “Ia, maaf aku tidak berkoordinasi sebelumnya sama kamu. Tapi gak masalah, Aden bukan wartawan bau kencur. Dia sudah lama malang melintang di dunia jurnalistik. Usianya dengan kamu juga tak berbeda jauh,” kata Arif.

            “Iya, Bang. Tapi semua tetap harus sesuai prosedur penerimaan wartawan baru. Kita harus bersikap adil kepada siapa saja yang menjadi anggota baru di tim kita,” Rafly bersikeras.

            “Udahlah, jangan dibuat rumit. Tidak mungkin Aden magang dulu seperti wartawan lainnya.”

            Rafly mulai tidak merasa nyaman dengan sikap Arif, terlebih kehadiran Aden. Rafly merasa Aden akan menjadi saingannya meskipun secara jabatan ia lebih tinggi dari Aden. Ia tidak suka jika ada yang akan dianggap lebih senior darinya.

***

            Matahari dengan garang menerpa bumi. Rade dan Ferdi sedang menikmati jus buah di sebuah kafe. 

            “Aku lagi kesel nih, Fer.”

            “Kamu kesel sama siapa?”

            “Aden yang kemarin aku ceritain kemarin sekantor sama aku. Aku sekarang lagi kesel banget,” katanya.

            Ferdi hanya terus mendengarkan saja sembari beredeham semua keluhan Rade. Ia menyimak dengan saksama sampai Rade puas menumpahkan semua kekesalannya. Sebenarnya ada hal penting yang ingin disampaikan Ferdi pada Rade. Namun, ia mengurungkan niatnya karena ia melhiat sepertinya suasana belum mendukung.

“Kamu kok diem aja. Oh iya, tadi katanya ada hal penting yang mau kamu sampaikan ke aku. Ada apa?” tanya Rade.

“Nanti malam saja ya, kalau kamu sudah gak kesel lagi,” kata Ferdi.

Rade mengernyitkan kening. Ia merasa curiga pada apa yang akan disampaikan oleh Ferdi, tetapi ia membuang jauh-jauh pikiran buruk. Ia merasa tidak mungkin Ferdi menyakitinya karena ia kenal benar dengan Ferdi, sosok yang sangat penyayang.

“Berarti nanti malam kamu  jemput aku lagi?”

“Iya, aku jemput kamu pas pulang kantor ya, kita sekalian makan malam,” kata Ferdi.

***

            Rade tiba di kantor usai makan siang. Ia lalu mulai mendengarkan rekaman wawancara dengan narasumber. Ia mencari beberapa data pendukung lain sebagai bahan tulisan. Ketika sedang serius menulis, ia melihat Aden mendekat dan duduk di sebelahnya.

            Aden tidak tersenyum, menyapa, juga  tidak berbicara pada Rade. Ia hanya sibuk di depan komputer kemudian membaca beberapa artikel. Sesekali Rade menoleh, tetapi Aden tetap cuek seolah Rade tidak ada di sebelahnya.

            “Sombong banget, amit-amit,” bisik Rade dalam hati.

            “Kalau bikin tulisan itu harus fokus, jangan sibuk lirik-lirik orang lain. Bagaimana bisa dapat tulisan bagus kalau gak fokus?” tiba-tiba Aden mengeluarkan celetukan.

            Rade merasa celetukan itu adalah penghakiman yang tidak beralasan terhadap dirinya. Perkataan Aden secara tersirat mengatakan bahwa tulisan Rade tidak bagus.

            “Tunggu dulu, kamu ngomong sama saya?” tanya Rade.

            Aden lalu melihat sekeliling kemudian berujar, “saya rasa di ruangan ini hanya ada kamu dan saya. Jadi tidak mungkin saya ngomong sama tembok atau sama bangku ini kan?” Aden berujar ketus sambil menunjuk kursi yang didudukinya.

            “Maksudnya apa ya? Kenapa mengatakan bahwa tulisan saya tidak bagus?”

            “Hello, Anda bisa mendengar jelas kalimat saya kan? Saya tidak mengatakan bahwa tulisan Anda tidk bagus.”

            “Tapi, tadi kamu yang bilang, bagaimana tulisan bisa bagus kalau gak fokus?”

            “Berarti kamu mengakui bahwa kamu sedang tidak fokus.”

            “Nyebelin banget,” ucap Rade pelan.

            Sudut bibir Aden menyungging ke atas.  Ia melirik Rade lalu menoleh ke komputer tanpa menjawab ucapan Rade.

            Rade lalu mematikan komputernya dan meninggalkan Aden. Aden memperhatikan Rade menuju ruangan Rafly.

            “Dasar bodoh, pasti masuk kandang buaya  lagi,” gumam Aden.

            Rade melihat Rafly sedang menelepon seseorang sehingga ia mengurungkan diri untuk masuk. Namun, Rafly melambai pertanda menyilakan Rade masuk. Rade lalu masuk dan duduk di sofa.

            “Nanti aku telepon lagi ya, titip cium untuk anak-anak. I love you,” Rafly mengakhiri pembicaraan di telepon.

            Kalimat itu sontak membuat darah Rade berdesir. Ia merasakan semacam ketidakrelaan mendengar kalimat itu. Namun, ia juga merasa bahwa tidak berhak untuk merasakan kecemburuan.

            “Telepon siapa, Bang?” kecemburuan Rade telah mendahului logikanya.

            “Oh, itu. anak-anak.”

            “Anak-anak  atau mamanya anak-anak.”

            Rafly  merasa puas dalam hatinya melihat sikap Rade. Ia melihat itu sebagai bentuk romansa Rade padanya.

            “Oh iya, ada perlu apa ke sini, Rade?” Rafly mengalihkan pembicaraan.

            “Gak jadi deh, Bang. Aku gak mau ganggu Abang,” ucap Rade ketus kemudian ke luar ruangan.

            Bukannya marah, Rafly malah tambah senang dengan sikap Rade. Ia merasa bahagia karena membuat Rade cemburu.

            “Manis banget sih kamu, Rade,” ujarnya saat Rade membalikkan badan.

            Rade keluar ruangan Rafly dengan wajah kecewa. Aden yang masih duduk di depan komputer melirik ke arah Rade. Seketika mata Rade dan Aden saling pandang. Tetapi, tidak seperti saat bertatapan dengan Rafly, Rade merasa kesal baradu pandang dengan Aden.

            “Apaan sih, ni orang.”

            Aden membuang pandangan dari Rade kemudian kembali menantap layar komputer. Ia kembali fokus membaca berbarapa artikel dengan ekspresi datar. Namun, tiba-tiba konsentrasinya hilang karena bayangan wajah Rade melintas. Ia lalu mematikan komputer kemudian menuju ke parkiran motor.

            Motor Suzuki GSX-R150 warna hitan ditunggangi Aden membelah jalanan kota. Saat berkendara, wajah Rade terus membayang di benaknya. Semakin bayangan itu muncul semakin ia tidak menyukai Rade. Terlebih saat ia memergoki Rafly dan Rade malam itu. Ia tidak tau pasti pasti alasannya, tetapi ada rasa benci dan kesal setiap melihat Rade.

            Cara berjalan, bicara, ekspresi wajah, membuatnya teringat pada seseorang sangat dibencinya. Padahal, tidak ada kemiripan identik antara Rade dengan orang itu. Aden menambah laju motornya, ia ingin membuang jauh-jauh wajah Rade. Bayangan-bayangan masa lalu tentang perempuan yang dibencinya berkelebat. Semakin ia mencoba melupakan, semakin bayang-bayang itu tampak jelas.  

           

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status