Share

REFLECTION
REFLECTION
Penulis: Xerin

1. I Quit!

Seledri memandangi ponselnya dengan ragu. Ada panggilan masuk berdering sedari tadi. Satu atau dua kali mungkin tidak begitu masalah atau hanya sekedar penipuan melalui panggilan telepon seperti yang pernah ia alami. Panggilan ketiga, Seledri memutuskan untuk menjawab meski ragu. Ia memasang telinganya dengan baik untuk mendengar seluruh kalimat yang diucapakan wanita dari seberang.

Tinggal di tempat dengan bahasa yang berbeda dengan bahasa Ibu tentu sangat tidak mudah, belum lagi bila sang lawan bicara mulai menambahkan sedikit dialek khas dari wilayah tertentu.

Menjadi mahasiswa asing di negeri tirai bambu mempunyai kesan tersendiri bagi gadis berambut panjang itu.

“Halo, dengan Seledri Anggun Pratama?”

Deg! Jantung Seledri memacu. Sebuah suara yang ia kenal. 

“Iya, saya Seledri,” jawabnya dengan sedikit ragu.

“Besok pagi jam sepuluh, Anda harus menemui saya di Gedung Internasional lantai tiga, ada yang harus saya sampaikan, jangan sampai terlambat.” Tanpa basa-basi, lawan bicara itu langsung mengutarakan maksud menelepon gadis itu.

Seledri menyanggupinya setelah sesaat melihat jadwal kuliahnya.

Raut wajah yang tadinya sangat gembira setelah bertemu dengan Mala berubah drastis. Seledri melangkahkan kakinya masuk ke dalam MRT. Ia baru saja pulang setelah mengunjungi temannya di Universitas Tianjin. Tentu saja sangat bahagia bisa bertemu dengan teman sesama negara kita di negeri orang atau istilah kerennya satu bahasa, satu bangsa, satu tumpah darah.

Universitas Pengobatan Tiongkok adalah tempat kuliah Seledri. Universitas  itu memiliki dua kampus yang berlokasi berbeda. Seledri menempati kampus baru yang terletak sangat jauh dari wilayah perkotaan. Dari pusat kota ia perlu menempuh setidaknya enam station MRT kemudian melanjutkannya dengan bus selama empat puluh menit.

Gadis itu sama dengan mahasiswa lainnya yang sedang menunggu bus dengan momor satu enam dua. Seandainya ini bukan malam hari, mungkin gadis itu bisa saja melewatkan bus yang akan datang. Setiap setengah sampai satu jam kemudian biasanya akan ada bus lainnya, sayangnya ini adalah bus terakhir yang menuju ke wilayah kampusnya. Sesuai dugaannya akan ada ‘perang’ di dalam bus nantinya. Berdesak-desakkan di dalam sudah menjadi hal biasa buat mereka. Ia hanya punya dua pilihan, berdesak-desakkan atau memilih taxi rental dengan membayar tiga kali lipat dari ongkos bus.

Singkat cerita, perjalanan empat puluh menit itu berakhir. Ia berjalan masuk menuju gedung asrama bernomor lima puluh enam. Dengan langkah yang malas, ia menuju kamar asramanya yang terletak di lantai tiga. Tiga satu lima, sebuah nomor yang menandakan kepemilikan.

Perlahan ia memasukan kunci dan membuka kamarnya.

“Aish! Kenapa aku harus memikirkan perkataan Li Laoshi?” ia berdecak kesal dengan dirinya sendiri. Seledri yakin, sebab panggilan dari guru itu adalah pertanda yang buruk.

***

Hari pun berlalu, ia sudah bersiap-siap menemui Li Laoshi sesuai janjinya kemarin. Seledri berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya memegang gagang pintu. Perlahan ia membuka pintu ruangan itu. Seledri berusaha tersenyum memasuki ruangan itu, senyum paksa yang memeperlihatkan barisan gigi yang rapi dan bersih.

“Zhou Laoshi, bisakah Anda mengatakan di mana Li Laoshi?”

“Seledri Pratama? Aiya, silakan langsung ke sana dan duduk dulu. Nanti Li Laoshi datang kalau sudah selesai dengan urusannya ya.”

“Duduk saja,” kata Li Laoshi begitu melihat Seledri hendak berdiri dari kursi itu.

Li Laoshi lalu menuju meja kerjanya, memosisikan duduknya dengan nyaman lalu mengambil sebuah berkas dari laci mejanya.

“Saya menerima sebuah laporan. Seledri … ah, Wang Shi Li. Saya harap Anda menjawab dengan jujur. Apa Anda mengambil kerja paruh waktu sebagai seorang guru Bahasa Inggris?” tanya Li Laoshi dengan penuh selidik.

Seledri diam sesaat, pikirannya kosong. Sama sekali tidak pernah terlintas akhirnya ia akan ketahuan. Selama ini ia benar-benar menutup rapat-rapat rahasia itu. Kini satu nama yang terlintas dalam pikirannya, Alfa.

“I-iya,” jawabnya. Wajah Seledri tertunduk. Ia tidak berani menatap wajah Li Laoshi.

“Saya tidak akan bertele-tele. Anda ke sini dengan visa pelajar dan Anda sudah tahu bahwa Anda sama sekali tidak diijinkan untuk bekerja. Jadi, mengapa Anda melakukannya?”

“Maafkan saya,” ucap Seledri dengan segera. Ia tidak bisa mengelak ataupun memberi penjelasan lain. Tindakannya benar-benar salah.

“Bagaimana kalau pihak lain yang mendapati kasus ini? ini adalah perbuatan ilegal, Anda bisa dideportasi. Saya anggap ini adalah teguran pertama dan terakhir. Sekali lagi Anda melanggar, maka beasiswa Anda akan kami cabut dan Anda boleh kembali ke Negara asal Anda.”

“Saya mengerti.” Setelah semua urusannya selesai, Seledri pamit dengan sopan dan keluar dari ruangan itu dengan wajah sedih. Ia sadar ada hal lain juga yang harus ia lakukan. Bila ia sudah ketahuan, maka ia juga perlu menemui pemilik sekolah tempatnya mengajar.

Seledri melangkahkan kakinya ke tempat itu. Tempat di mana ia biasa mengajar anak kecil.

“Anda pasti sudah tahu kenapa kami memanggil.”

“Iya, ada seseorang yang melaporkannya.”

“Maaf, kami tidak bisa memperkerjakan Anda lagi, terlalu bahaya untuk kami dan juga Anda. Ini, ambil ini sebagai pesangon. Terima kasih telah berbagi ilmu.”

“Terima kasih, saya permisi.” Lagi, ia dengan sopan meninggalkan ruangan. Rasanya hari ini begitu berat.

“Wang Laoshi, sudah mau pulang? Kan, baru aja sampainya,” tanya seorang Ibu dari salah satu murid di sana.

“Aku sedikit ada urusan hari ini.”

“Aiya, Wang Laoshi ini sangat sibuk ya, pasti banyak kerjaan.”

Seledri hanya tersenyum tanpa menjawab lebih jauh, dengan ramah, ia berpamitan dengan Ibu itu.

Hati Seledri sedikit sakit membayangkan ia tidak akan lagi kembali ke tempat itu. Jelas saja, itu adalah hari terakhir baginya menginjakkan kaki. Ia masih memegang uang dalam amplop pemberian sang pemilik sekolah. Dilihatnya sendu lalu ia masukkan dalam tasnya.

MRT begitu ramai, ia bahkan harus berdiri dan berpegangan di sana. Sekarang bukan hal yang baru lagi di Tiongkok untuk melihat banyak turis asing. Pendidikan adalah salah satu faktor terbesarnya. Banyak mahasiswa dari luar yang sangat tertarik untuk belajar di sana. Kebudayaan dan bahasa tentunya menjadi salah satu hal yang sangat menarik. Lalu bagaimana dengan Seledri?

Seledri masuk melalui penjaringan seleksi penerima beasiswa, walau hanya menerima beasiswa parsial, ia berani melangkahkan kaki dan terbang ke sana.

Tahun pertama baginya adalah neraka. Tanpa bekal bahasa yang mumpuni, ia terkadang kalang kabut saat berbicara dengan penduduk lokal. Untungnya, program beasiswa yang diberikan itu mengcover satu tahun penuh untuk pemantapan bahasa mandarin, yang artinya ia punya waktu satu tahun untuk benar-benar mempelajari bahasa di sana tanpa perlu memusingkan bagaimana caranya bertahan hidup.

“Enggak usah dipikiran ayo ikut aku, pasar malam,” ajak Claire. Ini Claire, teman sekelas Seledri yang sangat baik. Ia juga menjadi salah satu tempat kepercayaan untuk bercerita apapun.

Seledri meneguk gelas berisi cola itu dengan malas. Ia sama sekali tidak bersemangat.

“Oke,” jawab Seledri lalu merangkul temannya dan langsung menuju Line tiga MRT, mereka menuju wilayah Bijiangdao.

Tentu saja pasar malam yang mereka sebutkan bukanlah pasar malam sungguhan, itu hanyalah sebuah istilah yang mereka buat. Bijiangdao adalah salah satu wilayah perbelanjaan Kota Tianjin.

Mata mereka tertuju pada toko kecil yang ada di sana. Bagaimana tidak? Di tengah megahnya bagunan lain yang menjulang tinggi, toko itu terlihat sangat berbeda sendiri.

“Aku mau melihat-lihat,” kata Claire sambil membuka pintu toko itu. Warna merah mendominasi tempat itu. Patung dari keramik kecil menghiasi tempat ini sebagai jualan utama mereka. Bisa ditebak, ini adalah sebuah toko cendera mata.

"Hm ... menarik."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status