Share

2. Hanya Sebuah Cermin Usang yang Mahal

Seledri dan Claire lalu masuk dan melihat-lihat, siapa tahu kan ada benda yang menarik perhatian mereka. Tempat yang terasa aneh namun akan sayang bila dilewatkan begitu saja. Seledri lalu tertarik pada sebuah benda yang terletak di sudut ruangan. Usang, itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadannya.

“Nona, apa nona mencari sesuatu yang istimewa?” tawar seorang nenek padanya.  Nenek itu lalu memberikan sebuah benda di tangan Seledri. “Ini akan sangat membantumu.”

“Tapi ….” Seledri belum selesai dengan kalimatnya. Suara nenek itu bagai sihir yang mengontrol jiwanya untuk mengambil cermin dari tangan sang nenek.

“Anggap ini hadiah, gunakan ini saat kamu membutuhkannya.”

“Seledri, hei!” celetuk Claire sambil menepuk bahunya. “Kamu bicara dengan siapa? Apa ini? apa kau ingin membeli cermin ini?”

“I-ini ….” Seledri juga bingung dengan apa yang dipegangnya, ia tidak yakin memilih benda itu.

Claire masih mengelilingi toko itu sambil memilih apa yang ingin dibelinya hingga akhirnya selesai. Setelah puas melihat-lihat, mereka ke kasir.

“Maaf nona, kami tidak menjual ini,” kata seorang karyawan.

“Lalu, bagaimana bila aku ingin membelinya?”

Kedua karyawan lalu saling berpandangan sebentar, mereka berbisik pelan lalu mengatakan pada Seledri harga yang harus dibayar.

“Seratus kuai,” kata karyawan itu tegas.

“Aiya, mahal sekali la!” protes Claire yang juga mendengar harga yang diberikan untuk sebuah cermin tua.

“Nona, cermin ini bukanlah barang sembarangan.”

“Tapi, apa ada yang mau membeli dengan harga seperti itu? Tadi kamu bilang benda ini tidak dijual.” Claire menatap Seledri sebentar lalu berkata dalam bahasa Inggris agar tidak dimengerti dua pegawai itu. “Kembalikan saja itu, cermin itu terlalu mahal.”

“Aku akan membayarnya,” Seledri lalu membuka barcode di aplikasi we Chat untuk pembayaran.

Claire yang berdiri di sana tidak habis pikir, bisa-bisanya temannya itu menghabiskan seratus kuai hanya untuk sebuah cermin usang. Seratus kuai uang yang sangat cukup untuk dipakai berbelanja di Zara atau HnM saat diskon besar-besaran. Kau bisa mendapat setidaknya dua atau tiga pakaian yang bagus bila jeli.

“Seledri, kau akan menyesal setelah ini,” ucapnya pelan.

“Aku menganggap ini hadiah karena aku baru saja kehilangan pekerjaan sampinganku,” balas Seledri santai.

Keduanya lalu meninggalkan toko itu dan melanjutkan ke tempat lain.

“Jadi, kemana kita akan menghabiskan waktu selanjutnya?”

“Saizeriya. Aku lapar dan aku kesal melihatmu membeli sesuatu yang tidak berguna.”

“Hey, come on. Ini bahkan jauh lebih baik dari pulpen yang kau beli itu. Dua puluh lima kuai? Kau bercanda, aku melihatnya di Taobao hanya sepuluh kuai.”

“What?!”

“Apa? Memang itu kenyataannya.”

“Mengapa kamu tidak memberitahuku? Oh, Sial aku baru saja menghabiskan beasiswaku untuk hal yang tidak berguna.”

“Berhentilah mengoceh dan ayo jalan, aku juga sudah lapar. Tanggal berapa ini? aku rasa salju akan segera turun.”

Mereka kemudian memilih makan di restoran Italia di sana. Menikmati makan malam dengan tenang lalu melanjutkan untuk berbelanja, lebih tepatnya menemani Claire menghamburkan uang. Seledri bisa mengontrol dirinya dengan baik kali ini, ia tidak membeli ini dan itu meskipun banyak sekali godaan dengan tulisan ‘sale’ bertebaran di mana-mana.

Setelah puas berbelanja, mereka kembali ke asrama dengan MRT line 3 dan dilanjutkan dengan bus 162 seperti biasanya.

“Nona! Nona! Halte terakhir sudah sampai!” teriak sopir yang mulai kesal.

Seledri terbangun dengan kaget. Ia tidak menyangka sangat kelelahan kali ini. ia mengambil gawai dari sakunya dan melihat jam, pukul sepuluh malam. Keadaan luar kampus begitu sunyi. Dari jauh ia bisa melihat dua satpam dengan sigap di pos mereka. Pandangan Seledri sedikit terarahkan pada sebuah kios kecil yang berada dekat halte kampus itu.

“Sejak kapan ada kios yang menjual bunga di sini?” katanya dalam hati.

“Nona, mau membeli sesuatu?” suara serak itu membuat Seledri terkejut.

“Xue Sheng, sampai kapan mau berdiri luar? Pintu pagar akan segera di tutup!”

Seledri berlari kencang menuju gerbang utama kampus sebelum ditutup. Itu adalah gerbang utama yang menghubungkan jalan besar dan juga kampus. Ia juga tersadar kalau Claire meninggalkannya di Bus tadi sendirian.

“Anak itu benar-benar kejam. Ia mengerjaiku rupanya. Tega sekali ia tidak membangunkanku saat sudah sampai.”

Ia lalu menuju asramanya, membersihkan diri dan menyiapkan susu hangat. Seledri lalu mengambil tasnya dan mengambil amplop putih pemberian pemilik sekolah.

“Xie-xie. Setidaknya ini sangat cukup untuk menghidupiku tiga bulan dengan mode hemat.” 2500 kuai uang yang didapatkan sebagai gaji terakhir dan juga pesangon. “Tapi setelah ini, dari mana aku akan hidup?”

Gadis manis itu lalu terpikat oleh suatu cahaya dalam tasnya. Ia mencari dan mendapati cermin yang baru saja di belinya.

“Bagus, dan sekarang aku baru saja menyesalinya. Seratus Kuai harusnya bisa aku gunakan untuk makan hingga minggu depan,” sesalnya sambil menyesap susu hangat itu.

Ia meletakkan cermin tua itu di meja riasnya berdekatan dengan skincare. Matanya lalu meningat sesuatu, ada yang aneh dengan cermin itu, apa benda itu tertukar? Seledri memperhatikannya lagi. Cermin itu sama sekali tidak seusang saat pertama ia membelinya.

Seledri mengambil ponsel lalu mengambil gambar dan mengirimkannya pada Claire.

[Claire- Canada]

Apa yang kamu bicarakan? Itu terlihat sama saja. Kamu hanya lelah setelah hari yang panjang Shi Li, tidurlah. Ingat, besok kita ada kelas pagi dan pastikan kamu sudah mengerjakan tugas dari Liu Laoshi.

          Sedetik kemudian Seledri teringat akan tugasnya itu. Menyelesaikan diagnosa berdasarkan kenampakan lidah bukanlah hal yang begitu mudah. Ia meletakkan kembali cermin itu dan mulai mengerjakan tugasnya.

          “Kenapa hari ini aku begitu malang? Tak bisakah aku beristirahat sebentar?” keluhnya sambil mulai menulis jawaban demi jawaban dari tugas itu. Perlahan tapi pasti, malam ini akan ia lewatkan dengan menahan kantuk.

Seakan waktu berjalan dengan sangat cepat, pagi datang begitu singkat. Seledri yang baru saja tertidur merasa kesal dengan jadwal kuliahnya semester ini. “Kelas pagi, kelas pagi, kelas pagi!” Keluh Seledri tiap kali ia bangun dan bersiap-siap.

***

“Morning, Shi Li,” sapa Claire begitu gadis cantik itu tiba di kelasnya. Seledri tidak membalas. Ia meletakkan kedua tangannya di meja dan menjadikannya tumpuan. Sleedri mengambil posisi untuk tidur di atas meja.

“Tak bisakah kamu memanggil dengan nama asliku?” balasnya dengan suara yang tidak begitu jelas sambil menahan kantuk.

“Loh, kenapa? Seluruh guru dan murid-murid di sini memanggilmu seperti itu.”

“Itu untuk mempermudah mereka menyebut namaku.”

“Bagaimana tugasmu?”

“Aku sudah menyelesaikannya, aku menghubungi semalam tapi sepertinya kamu sudah tertidur pulas. Ah, iya cermin itu ….”

“Oh, please … jangan lagi. Cermin itu hanya barang biasa dan tidak ada yang istimewa dengannya. Ah, aku tahu, sekarang kamu menyesal, ‘kan telah membelinya?” tebak Claire dengan antusias. Ia sangat yakin itu adalah hal yang ingin disampaikan Seledri.

“Tidak, bukan itu … hanya ….”

Suaranya terhenti. Ke Laoshi memasuki ruang kelas dan membuatnya harus memperhatikan dengan segera. Mereka kuliah seperti mahasiswa pada umumnya dengan wajah serius, ya bagi Seledri tentu saja tidak. Sesungguhnya, raga gadis itu memang berada di dalam kelas. Siapa yang menyangka bila jiwanya sedari tadi sudah berada di kantin. Pikirannya pun seperti itu, Seledri bahkan sudah menyusun makan siang seperti apa yang akan disantapnya nanti.

“Setelah ini tidak ada kuliah lagi, syukurlah. Ah … Harusnya aku bisa menghasilkan uang setelah ini. sekarang aku harus berhemat,” katanya dalam hati sambil memperhatikan jam dinding yang terletak di depan kelas. Ia menghitung detik demi detik sebelum bel tanda istirahat benar-benar berbunyi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status