Share

ALASAN

Malamnya Mas Bima sampai di rumah pukul dua belas malam. Umumnya waktu lembur kantor hanya sampai jam sembilan malam, kalau pun molor tidak lantas sampai jauh larut. Aku belum tidur saat Mas Bima pulang, sengaja menunggunya di ruang tengah rumah kami.

Terdengar derit pintu utama terbuka, lalu ditutup lagi dan denting anak kunci di putar. Dia memang punya kunci cadangan, jadi sewaktu-waktu pulang tidak perlu membangunkan aku atau pembantu kami untuk membukakan pintu. Aku menunggu hingga Mas Bima sampai di ruang tengah.

"Baru pulang, Mas?" tanyaku tanpa beranjak dari duduk berselonjor di sofa panjang.

Aku melihat Mas Bima terlonjak hingga langkahnya mundur beberapa jengkal. Aku sengaja mematikan lampu utama di ruangan ini dan hanya menyalakan lampu hias kecil yang cahayanya sangat temaram. Wajar kalau Mas Bima tidak melihatku, ruangan ini cukup gelap.

"Kamu belum tidur, Dek?" tanya Mas Bima kemudian.

"Belum. Kenapa larut sekali pulangnya, Mas?" jawab dan tanyaku seraya beranjak mendekati Mas Bima. Tanganku menekan sakelar di dinding, lampu menyala terang dan aku bisa melihat dengan jelas wajah suamiku.

"Kerjaanku hari ini banyak sekali. Pagi sampai siang metting dengan calon klien, jadi aku baru bisa fokus di kantor pas sore, aku terlalu asik kerja sampe enggak sadar sudah terlewat waktu pulang," terang Mas Bima panjang lebar.

Aku mengangguk-angguk mengerti. Asik kerja atau asik dengan teman kerja, Mas? Pertanyaan yang hanya kubatin.

Alasannya masuk akal, kalau saja mataku tidak menangkap satu keganjilan padanya. Mas Bima menghabiskan waktu sekian belas jam untuk bekerja dan meeting di sana sini, tetapi aku tidak melihat raut lelah pada wajahnya. Justru suamiku terlihat begitu segar dengan rambut yang kelihatan sedikit basah oleh keringat.

"Aku tadi meneleponmu, tapi ponselmu tidak aktif."

"Oya?" Mas Bima memandangku bingung, dia merogoh saku celana dan kemeja mencari keberadaan ponselnya.

"Ah, ternyata ponselku mati. Ya ampun, sepertinya kehabisan daya, aku lupa mengisi dayanya," katanya seraya menepuk kening sendiri.

"Lihatlah, Dek. Benar-benar mati, boleh aku pinjam chargermu, Dek? Chargerku ketinggalan di mobil." Mas Bima menunjukkan ponselnya padaku, benda itu tetap tidak menyala walau sudah beberapa kali ditekan tombol untuk mengaktifkan.

"Kok bisa sampai lupa, Mas? Bukannya kamu sangat sibuk meeting di beberapa tempat, lalu bagaimana menghubungi klien kalau ponselmu mati?"

"Aku--aku menghubungi ... Fina. Fina yang menghubungi mereka. Ya, Fina yang menghubungi klien-ku. Jadi aku janjian ketemunya lewat Fina." Mas Bima beralasan, gugup bicaranya begitu kentara kalau sedang ada yang disembunyikan. Melihat gelagatnya yang demikian aku tahu kalau dia tengah berbohong. Pandai juga caranya berkelit.

"Kamu enggak lagi bohong, kan, Mas?" todongku tidak percaya.

"Bohong gimana maksudmu, Dek? Kamu lihat sendiri ponselku mati. Lagi pula untuk jadwal bertemu dengan klien sebelumnya udah di atur semua oleh Fina, jadi aku tinggal jalan sesuai jadwal yang udah ada. Lagi pula kenapa aku harus bohong sama kamu, Dek?"

"Karena untuk menutupi gundikmu!" Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut ini. Aku tidak bisa lagi menahan diri. Aku ingin segera tahu dan mendengar pengakun Mas Bima langsung.

"Kamu barusan ngomong apa, Dek?"

"Ada hubungan apa kamu dengan Fina, Mas?" tanyaku langsung pada inti permasalahan.

"Fina, kan sekretarisku di kantor, Dek. Apa kamu lupa?"

"Sekretaris yang mengirim video des*han pada atasannya?"

Bisa kulihat ekspresi wajah Mas Bima yang terkejut. Mungkin dia tidak menyangka kalau aku sudah tahu permainan busuknya.

"Bagaimana, Dek? Aku enggak ngerti maksudmu."

"Tadi pagi saat ponselmu tertinggal, Fina menelepon dan aku menerima telepon itu. Dia mengirim satu video por*o ke ponselmu, Mas?" ujarku sambil tidak melepas pandangan dari wajah Mas Bima.

"Astaga. Jadi kamu melihat video itu, Dek."

"Iya, Mas. Yang di video itu kamu dengan Fina, kan? Sudah berapa lama kalian bermain seperti itu, Mas? Kamu tega menghianati pernikahan ini, Mas!"

Aku tidak mau berlama-lama memendam perasaan sakit. Namanya perselingkuhan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Harus secepatnya di basmi.

"Dek, jangan sembarangan mengambil kesimpulan. Video tadi itu, Fina salah kirim."

Aku menyungging senyum miring mendengar ucapan Mas Bima barusan, tentu saja aku tidak percaya. Alasannya untuk membela diri terlalu klise dan sudah bisa kutebak.

"Aku juga bingung pas tadi di kantor Fina tiba-tiba minta maaf dan bilang kalau udah salah kirim video. Mungkin yang dimaksud Fina video yang tadi kamu lihat, Dek," lanjut Mas Bima.

"Lalu sejak kapan dia memanggilmu Sayang, Mas?"

"Sayang?" ulangnya dengan kening berkerut. "Aku bahkan baru tahu dari kamu kalau Fina memanggilku seperti itu."

"Sudahlah, Mas kamu jangan berkelit lagi. Jujur saja ada hubungan apa dengan sekretarismu itu?"

Aku semakin tidak sabar dengan gaya Mas Bima yang bertele-tele dan berlaga pilon. Tinggal jujur saja apa susahnya. Toh, yang namanya kebusukan mau disembunyikan seperti apa pun akhirnya akan tercium juga. Cepat atau lambat, sekarang atau nanti. Bau busuk tidak mungkin berubah wangi.

"Dek, aku harus jujur seperti apa lagi? Aku udah bilang, kan. Aku dan Fina enggak ada hubungan apa-apa. Tadi itu Fina salah kirim video. Dan, mungkin salah juga pas memanggil aku. Dikiranya pacaranya atau siapa. Atau, malah kamu yang salah denger."

"Telingaku masih normal, Mas! Masih bisa mendengar dengan baik, dan tadi itu jelas banget Fina manggil kamu Sayang!" tegasku, menolak Mas Bima yang malah meragukan kemampuan pendengaranku.

"Dek, jangan marah-marah seperti ini," katanya seraya hendak meraih tanganku, tetapi segera kutepis.

"Bagaimana aku tidak boleh marah kalau kamu sudah berbuat serong, Mas?"

"Tidak, Dek. Kami enggak ada hubungan apa-apa selain Fina sebagai sekretarisku. Kamu harus percaya sama aku, Dek. Lagipula aku mana mungkin berbuat seperti itu. Aku sudah punya kamu, istriku. Yang tadi itu hanya kesalahan kecil saja. Jangan terlalu kamu fikirkan," terang Mas Bima dengan nada lebih rendah.

Haruskah aku percaya dengan kata-katanya barusan? Video yang salah kirim mungkin masuk akal, tetapi nama yang diucapkan oleh seseorang dalam video itu. Bagaimana mungkin bisa sama dengan nama Mas Bima? Sangat sulit untuk memercayai bila itu juga sebuah kebetulan. Kemudian panggilan saat aku menerima telepon. Aku benar-benar mendengar dengan jelas. Aku yakin telinga ini tidak keliru. Fina memanggil Mas Bima dengan mesra.

Ya, Tuhan. Sekarang mana yang harus kupercaya? Ingin memercayai Mas Bima, tetapi hati kecilku menolak. Ingin memaksanya untuk jujur aku tidak punya bukti lain yang bisa memperkuat dugaan ini.

"Kamu percaya, kan dengan aku, Dek?"

Aku hanya mengangguk. Baiklah, sepertinya kali ini aku harus sedikit mengalah. Memaksa pun percuma, bila tanpa bukti. Aku melihat Mas Bima menyunggikan senyum. Kali ini mungkin kamu bisa lolos dan bernafas lega, Mas. Nanti, kalau aku sudah punya cukup bukti akan kubuat kamu mengakui semuanya. Tunggu, Mas. Tunggu tanggal mainnya!

"Ya sudah ya, Dek. Aku mau bersih-bersih dulu."

"Tunggu, Mas!" cegahku, membuat Mas Bima urung melangkah masuk ke kamar kami.

"Ada apa lagi, Dek? Aku capek, mau istirahat. Kamu kalau mau ngobrol besok, aja!"

"Sebelum pulang kamu ngapain, Mas? Kenapa kancing bajumu miring begitu?" tanyaku seraya menunjuk kancing kemeja Mas Bima yang terpasang tidak sesuai.

Mas Bima melihat pada pakaiannya yang kutunjuk, kemudian wajahnya berubah pias. Kancing yang harusnya terkait pada lubang kedua, malah terpasang di lubang ke tiga. Sekilas kesalahan itu memang tidak terlihat, tetapi kalau sedikit lebih teliti kesalahan lubang kancing itu akan ketahuan, apalagi Mas Bima sudah menanggalkan jasnya. Selain itu, kemeja suamiku juga sedikit berantakan, lecek di bagian pundak dan dada kanan seperti pakaian yang habis di peras.

Tadi pagi, sewaktu berangkat dari rumah dia memakai baju dengan baik dan rapi. Aku selalu memastikan penampilan Mas Bima sebelum pergi bekerja, pakaian hingga sepatu dan kaus kakinya pun aku yang menyiapkan. Jadi, kalau Mas Bima tidak melepas kemejanya saat berada di kantor kesalahan lubang kancing ini tak akan terjadi. Masalahnya adalah untuk apa suamiku membuka pakaiannya? Ah, fikiranku jadi kembali ke video tadi pagi, suara-suara menjijikan itu kembali terputar di kepalaku. Bayang-bayang Mas Bima mencumbu wanita cantik, sekretarisnya bermain-main di pelupuk mata.

"Ini, tadi aku ... mmm ... anu, tadi aku--"

"Aku anu, aku anu. Kamu habis nganu sama siapa, Mas?"

"Bukan. Bukan gitu," jawabnya kelabakan.

"Terus?" tanyaku dengan menatap wajahnya tajam.

"Ini tadi di kantor aku gerah banget jadi sengaja buka baju. Pas mau pulang buru-buru, enggak sadar kalau salah masang kancingnya. Beneran, Dek tadi gerah banget. Lihat rambutku sampai lepek gini kena keringat."

"Kan ada AC!"

"Rusak. AC di ruanganku rusak, Dek."

Aku menatap wajahnya mencari sebuah kejujuran dan berharap menemukannya. Namun, aku tidak menemukan itu. Mas Bima memang sedang membohongiku. Oke, aku akan ikuti permainannya dan melihat sejauh mana dia mampu menutupi kebusukannya ini. Lagi pula kalau langsung menuduhnya sekarang aku belum memiliki bukti. Aku harus mencari bukti-bukti itu dulu.

"Sudah, ya, Dek. Ini, kan hanya masalah salah lubang kancing kamu jangan menatapku seperti itu."

"Sekarang cuma salah lubang kancing, besok-besok bisa salah lubang yang lain!" kataku sengaja menyindir.

"Maksudmu apa, Dek? Kamu nuduh aku lagi?"

"Aku nuduh apa? Memangnya yang mana kata-kataku menuduh kamu, Mas?" tanyaku balik.

Rupanya hati Mas Bima merasa tersenggol mendengar sindiranku barusan. Dari beberapa buku pengetahuan yang pernah kubaca, biasanya orang yang melakukan kesalahan dan tengah berusaha menyembunyikan kesalahan tersebut justru akan lebih peka perasaannya. Kalimat biasa pun bisa membuatnya merasa sedang dituduh. Seperti suamiku ini, dari awal aku tahu dia berkata tidak jujur walaupun wajahnya dibuat biasa dan setenang mungkin.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status