Share

TELEPON DARI SEKRETARIS

Setelah Mas Bima berangkat kerja, aku memilih kembali ke kamar. Anak-anak sudah ke sekolah diantar sopir. Biasanya aku akan membantu Bik Marni membereskan meja makan, tetapi kali ini kurasa sangat malas melakukannya.

Aku menjatuhkan bobot di kursi depan meja rias. Duduk memandang pantulan wajah sendiri di cermin. Make up tipis yang tadi kupoles tidak lantas menyembunyikan mendung di sana. Lagi-lagi aku bertanya-tanya pada diri sendiri. Apakah aku sudah tidak menarik?

Sebagai perempuan normal yang sudah pernah merasakan berhubungan, apa yang terjadi semalam membuatku insecure. Aku khawatir tidak bisa memuaskan Mas Bima di rumah dan dia akan mencari pelampiasan di luar. Walaupun selama ini kuakui Mas Bima sosok yang setia dan tidak neko-neko.

Akan tetapi, kemungkinan-kemungkinan buruk bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, tanpa pandang tipe yang bagaimana. Biarpun iman seseorang kuat, kalau tidak bisa menahan nafsu si imron siapa yang bisa menjamin sebuah kata setia?

Drrrttt … drrrttt!

Terdengar suara getar ponsel. Getaran itu bukan berasal dari ponselku, sebab benda itu tergeletak di meja depanku. Aku melihat sekeliling, mencari sumber suara yang mungkin berasal dari ponsel lain. Ternyata suara itu berasal dari ponsel milik Mas Bima. Kudekati alat komunikasi yang layarnya masih menyala berkedip, tergeletak di atas tempat tidur.

Sekretaris memanggil ….

Di layar tertera nama kontak si penelpon. Rupanya panggilan dari Fina, sekretaris Mas Bima di kantor. Takut ada hal penting yang perlu disampaikan aku memutuskan mengangkat panggilan tersebut. Sekaligus aku akan meminta Fina, untuk memberi tahu bahwa ponsel Mas Bima tertinggal di rumah.

“Selamat pagi, Sayang. Bagaimana kabarmu, aku kangen … kamu juga kangen aku, kan? Apa sudah lihat video yang barusan kukirim?”

Darah rasanya berdesir, jantungku berdetak dua kali lebih cepat mendengar suara perempuan di ujung sana memanggil Sayang. Panggilan itu ditujukan pada siapa? Suamikukah?

Aku menjauhkan ponsel dari telinga, melihat sekali lagi nama yang tertulis di layarnya. Panggilan ini benar dari Fina. Akan tetapi, kenapa dia memanggil Mas Bima demikian. Setahuku karyawan kantor memanggil Mas Bima dengan sebutan Pak. Lagipula, sapaan romantis tidaklah tepat digunakan untuk memanggil antar rekan kerja. Terlebih posisi Fina adalah sekretaris yang tahu Mas Bima sudah beristri. Bukankah yang Fina lakukan cukup lancang memanggil suami orang dengan panggilan romantis.

Kudekatkan lagi ponsel di telinga. Aku ingin memastikan kalau ini benar sekretaris Mas Bima yang menelepon.

“Hallo, ka—“

Tut … tut … tut ….

Sambungan telepon terputus sebelum aku selesai bicara. Sepertinya orang yabg berada di seberang sana kaget karena bukan Mas Bima yang menjawab telepon darinya, kemudian langsung mengakhiri telepon ini. Ah, siapa sebenarnya yang menelepon? Benarkah Fina? Sayangnya aku tidak begitu hapal suara Fina saat berbicara di telepon. Namun, dari nama kontak yang tersimpan di ponsel ini jelas menunjukkan kalau perempuan yang tadi menelepon adalah Fina.

Video. Ya, aku harus melihat video apa yang dimaksud. Aku membuka aplikasi bergambar telepin warna hijau di ponsel Mas Bima, kemudian mendownload video yang dikirim oleh kontak dengan nama yang sama seperti penelepon tadi. Lalu aku memutar video tersebut.

“Hmmmm … sayang … uh …!”

“Astagfirullah, apa ini?”

Aku refleks menekan simbol pause untuk menghentikan video tersebut. Sebab dari video itu terdengar suara-suara yang harusnya tidak direkam. Tiba-tiba saja tanganku yang masih memegang ponsel Mas Bima gemetar dan basah oleh keringat dingin. Aliran darah terasa menghangat naik ke kepala. Kenapa Fina mengirim video seperti ini pada suamiku yang menjadi atasannya di kantor?

Walaupun sudah saling mengenal dan akrab, harusnya sebagai rekan kerja Fina tetap tahu batasan. Yang Fina lakukan barusan tidak pantas. Sangat tidak pantas!

Selain terkesan tidak sopan, Fina juga harusnya menjaga, sebab Mas Bima sudah memiliki istri. Seandainya Mas Bima belum menikah pun tidak sewajarnya Fina mengirim video por*o kepada seorang laki-laki. Apa mereka ….

“Astaghfirullah … astaghfirullah … astaghfirullah ….“

Berulang kali aku merapal istigfar. Aku tidak ingin setan menguasai hati ini hingga berprasangka buruk pada Mas Bima. Sebentar aku menenangkan diri, ponsel Mas Bima masih dalam genggaman.

Setelah sedikit merasa lebih baik aku memutar kembali video tersebut. Video singkat yang durasinya tidak sampai lima puluh detik itu hanya berisi gelap. Ya, hanya gelap. Tidak ada adegan atau gambar yang terekam. Namun, sepanjang video itu suara-suara desahan dan erangan bersahut-sahutan. Seperti seseorang sengaja merekamnya saat sedang melakukan hubungan badan. Suaranya begitu jelas, laki-laki dan perempuan. Mungkin mereka pasangan. Aku semakin bingung dan tidak mengerti dengan Fina yang sudah kurang ajar mengirim video seperti ini pada Mas Bima.

Jantungku berdetak semakin tidak terkendali saat mendengar suara laki-laki dalam video itu. Aku sangat mengenal desahan itu, erangan dan lenguhannya sama persis. Aku hapal dan masih sangat mengingat walaupun sudah lima bulan lamanya kami tidak pernah lagi melakukannya.

"Tidak. Suara ini bisa saja hanya mirip. Mas Bima tidak mungkin seperti itu!" Aku berusaha menguatkan keyakinan, menepis fikiran buruk yang sempat melintas begitu saja.

“Sayangku … cintaku Bima …. “ Suara perempuan disertai lenguhan terdengar beberapa detik sebelum video selesai.

Seperti ada petir di siang bolong yang tiba-tiba menyambar tepat dikepala, seketika aku merasa lemas. Ponsel Mas Bima hampir saja terjatuh sebab aku sangat terkejut. Kenapa perempuan itu menyebut nama suamiku? Siapa sebenarnya yang berada di balik kegelapan dalam video ini? Fina dengan Mas Bima, kah? Ya, Tuhan.

Apa lewat video ini cara Tuhan menunjukkan rahasia busuk Mas Bima padaku? Apa ini penyebab berubahnya sifat Mas Bima? Aku tak menyangka laki-laki sebaik Mas Bima tega menghianati ikatan suci pernikahan ini. Mas Bima benarkah kau sudah berzina dengan sekretarismu? Astaghfirullah. Semakin aku berusaha menolak percaya, justru bayang-bayang Mas Bima tengah bergumul dengan Fina semakin jelas di kepalaku.

Aku menekan dada. Shock membayangkan kelakuan Mas Bima dan sekretarisnya. Perlahan air mata menetes tanpa bisa kutahan. Jujur aku sakit hati dan merasa belum percaya kalau Fina tega menikung dari belakang. Gadis itu ... kurang baik apa aku padanya?

Tega-teganya mereka berselingkuh. Aku selalu berusaha mencoba menjadi istri yang baik untuk Mas Bima. Selalu berdandan dan berpenampilan bersih juga wangi, agar tidak terlihat kucel meskipun seharian sibuk dengan anak-anak dan mengurus rumah. Kulayani Mas Bima sebaik mungkin. Kupuaskan mata, perut dan bira*hinya. Itu semua kulakukan semata-mata sebagai bentuk bakti dan menghormatinya.

Akan tetapi begini kenyataan yang ada di depan mata. Semua baktiku dibalas dengan penghianatan. Apa kurangnya aku sebagai istri? Dan, kenapa harus Fina yang menjadi duri dalam rumah tangga ini. Aku memang tidak bisa menyalahkan Fina sepenuhnya. Karena tidak mungkin tamu masuk tanpa dipersilahkan oleh tuan rumah.

Air mataku semakin deras melewati pipi. Sakit sekali rasanya dikhianati oleh orang yang selama ini sangat kucintai. Sudah kuberikan kepercayaan, cinta dan seluruhnya pada Mas Bima, berharap dia setia hingga kami menua bersama.

Kuhapus air mata yang semakin tak terbendung, menangis tidak akan membuat semua kembali baik-baik saja. Aku tidak boleh lemah, aku tidak boleh kalah. Bila mereka benar berselingkuh, tidak akan kubiarkan begitu saja. Dan aku juga tidak bisa mengambil kesimpulan secepat ini. Aku akan menyelidiki mereka! Harus.

Aku tidak akan diam dan membiarkan rumah tangga ini dimsuki orang ke tiga. Bagiku pernikahan hanya ada satu suami yang menjadi imam satu istri, bukan satu imam untuk memimpin jamaah para istri. Toh, selama satu orang istri masih mampu melayani Mas Bima dengan baik, untuk apa menghadirkan yang lain?

Derum suara mobil terdengar dari luar lalu di susul ketukan langkah pada lantai porselen yang semakin mendekat membuatku tersadar dari keterpakuan. Kukira itu Mas Bima yang kembali untuk mengambil ponselnya. Kusapu bersih sisa-sisa air mata dengan tisu, melihat di cermin memastikan tidak ada jejak-jejaknya lagi.

Kemudian aku sedikit memoles wajah dengan bedak agar tidak terlihat kalau habis menangis. Aku tidak mau terlihat lemah, dan belum ingin Mas Bima tahu kalau aku sudah mencium perbuatan busuk mereka.

Beberapa saat kemudian pintu kamar terkuak, muncul sosok laki-laki yang sangat kuchormati. Seperti dugaanku Mas Bima datang untuk mengambil ponselnya.

“Dek …. “ Suamiku itu masuk ke kamar dan celingukan mencari sesuatu.

“Ini ponselmu, Mas.” Tanganku mengulur ponsel padanya.

“Ah, ternyata benar ketinggalan di rumah. Syukurlah,” katanya seraya menerima ponsel itu dan langsung memasukkan ke dalam saku.

“Kenapa bisa sampai ketinggalan, Mas?”

“Mas tadi buru-buru. Lupa kalo ponsel masih di kamar. Ya sudah Dek, Mas ke kantor lagi. Terima kasih.”

"Mas!"

"Iya."

Panggilanku barusan berhasil menahan langkahnya yang hendak berbalik arah. Kami berdiri sangat dekat, hanya dipisah jarak hitungan jengkal. Aku sedikit mendongak memandang lekat wajahnya yang lebih tinggi.

Senyumnya mengembang, ditariknya tubuhku ke dalam dekapan yang nyaman. Aku selalu suka begini, sebelum mendengar orang lain memanggilnya sangat mesra. Kini aku tidak lagi nyaman berada dalam dekapan hangatnya yang seolah melindungi. Aku merasakan sesuatu yang berbeda. Terbayang perempuan lain yang juga rebah di dada bidang suamiku, aku merasa jijik. Aku mendorong tubuh Mas Bima pelan, menciptakan jarak sekian senti.

"Kamu mau ngomong?" tanyanya kemudian. Aku menggeleng. Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin kuutatakan padanya, tetapi aku belum ingin bertanya saat ini.

"Baik-baik di rumah." Kemudian Mas Bima melangkah ke luar kamar.

Dari balik jendela kamar kupandangi punggung kokoh Mas Bima, suamiku masuk ke mobil, lalu menjalankan kendaraanya meninggalkan depan rumah kami. Semuanya seperti baik-baik saja, sikap Mas Bima tenang seolah tidak sedang melakukan kesalahan. Tiba-tiba mataku memanas, seiring hati yang kian perih air mata pun kembali membanjir. Tidak menyangka suami yang kukira setia ternyata telah berkhianat.

Kamu mencoba bermain di belakangku, Mas? Aku ingin tahu sudah sejauh mana permainanmu.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status