Share

REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU
REKAMAN DESAH DARI SEKRETARIS SUAMIKU
Penulis: Jenar

AWAL KECURIGAAN

"Sayang .... "

“Teruskan, Mas …. “

“Ah … aku tidak bisa melakukannya.”

Mas Bima beringsut mundur dari posisinya di atas tubuhku dan langsung mengenakan pakaiannya. Dadaku bergemuruh, nafasku memburu. Kecewa. Sedangkan lelaki yang sangat kucintai itu menatapku dengan wajah penuh penyesalan. Baru saja kami akan melakukannya, tetapi harus gagal sebab Mas Bima menyerah.

“Ada apa, Mas?”

“Aku—aku tidak bisa melakukannya malam ini, Dek.”

“Tapi kenapa, Mas? Apa aku sudah tidak menarik untuk kau sentuh?” kataku menahan tangis.

“Bukan begitu, Dek. Aku …. “

“Kamu sakit, Mas?” sambarku tidak sabar menunggu ucapan Mas Bima yang menggantung.

Ini adalah kesekian kalinya laki-lakiku gagal melakukan kewajibannya sebagai suami. Padahal kami sudah lama tidak melakukannya. Entah apa yang menyebabkan dia tidak bisa bangkit, padahal aku sudah berusaha membantunya.

"Kenapa diam, Mas? Aku butuh jawaban!"

Aku bersiap mendengar jawaban dari Mas Bima. Aku butuh alasan, kenapa dia seolah enggan menyentuh tubuhku. Kalau alasannya sebab aku sudah tak menarik lagi, sungguh aku tidak bisa terima. Kami memang bukan lagi pasangan baru, rumah tangga ini sudah dikaruniai dua buah cinta. Akan tetapi, sebagai perempuan aku selalu menjaga tubuh dan penampilan.

Khusus untuk malam ini, demi memuaskan Mas Bima aku mengenakan lingerie merah, warna favoritnya. Aku juga memoles wajah dengan make up natural, dan tak lupa menyemprotkan wewangian dengan aroma kesukaan Mas Bima.

"Aku baru pulang dari luar kota, Dek. Badanku rasanya masih capek. Malam ini kita tunda dulu, ya."

"Tapi kamu pulangnya udah dua hari yang lalu, Mas. Kemarin malam saja kamu malah lembur, dan pulang hampir subuh."

"Karena aku lembur itulah, makanya sekarang badanku rasanya lelah sekali. Kamu tahu, kan aku paling enggak bisa dipaksa kalau sedang capek," katanya memberi alasan.

"Alasan kamu dari kemrin-kemarin selalu capek, lelah, sibuk. Itu-itu saja, Mas! Apa kamu udah enggak butuh aku lagi?"

Ini bukan hanya tentang nafkah batinku yang sudah hampir lima bulan tidak dipenuhinya. Namun, aku merasa ada yang aneh pada diri Mas Bima. Selain tak pernah minta di layani, belakangan dia bersikap dingin, sering mendiamkan aku dan kerap pulang terlambat.

"Dek, kamu, kok ngomong gitu? Kamu jangan aneh-aneh, aku cuma butuh waktu untuk istirahat. Nanti kalau udah enggak capek, tanpa kamu minta pun aku akan melakukannya."

Haruskah aku percaya dengan ucapan Mas Bima? Nyatanya sudah lama sekali dia tidak menyinggung tentang hubungan ranjang, bahkan saat aku yang meminta dia malah menolak. Aku bukan haus belaian, tetapi menurutku urusan ranjang tidak hanya sekedar tidur berdua. Akan tetapi, di sana juga menentukan kualitas rumah tangga dan komunikasi antara suami dan istri.

“Aku capek. Aku mau tidur.”

Mas Bima naik ke tempat tidur, berbaring dengan posisi memunggungiku. Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya, menghilangkan sesak di dada. Lalu menarik selimut untuk membungkus tubuhku yang tak lagi ditutupi baju. Lingerie yang tergeletak di lantai kupungut, lalu aku beranjak ke kamar mandi.

Berdiri melihat pantulan tubuhku di depan cermin. Meski aku sudah memiliki dua orang anak, tetapi wajahku masih cantik, walaupun ada garis-garis halus di ujung mata yang mulai muncul, tetapi itu tidak lantas membuat wajahku menjadi tidak sedap di pandang. Tubuhku masih menarik, aku pandai merawat diri dan rutin ke salon juga berolahraga setiap minggu. Air lemon yang setiap sebelum tidur kuminum juga membuat perutku tetap singset walaupun sudah dua kali mengandung. Sekilas tidak banyak perubahan pada diriku. Usiaku baru dua puluh sembilan tahun, aku masih cantik, menarik dan enerjik.

Aku juga selalu tampil cantik dan wangi di depan Mas Bima. Aku selalu berdandan untuknya, memakai busana yang baik setiap menyambut Mas Bima pulang kerja. Aku melakukan apapun untuk membuat dia tetap mencintaiku. Aku sangat memperhatikan hal-hal apa saja yang dia inginkan dan tidak melakukan apapun yang tidak dia suka. Namun, perubahannya belakangan ini membuat pikiran-pikiran buruk kerap muncul di kepalaku.

Jangan-jangan Mas Bima memiliki perempuan lain di luar sana? Namun, kenapa Mas Bima selalu menolak berhubungan denganku? Apa jangan-jangan Mas Bima sakit? Atau karena aku sudah tidak menarik lagi? Apa dia sudah tak berselera padaku? Berbagai dugaan dan prasangka bermunculan di benak, tetapi aku buntu. Memikirkan ini semua sendiri membuatku sakit kepala dan emosi. Sedangkan Mas Bima selama ini tidak pernah bercerita atau mengeluhkan apa-apa.

Kuhirup udara sebanyak yang kudapat, lalu menghembusnya perlahan. Aku merasa sedikit lega. Mas Bima hanya lelah karena pekerjaanya sedang banyak, batinku berusaha menghibur diri sendiri. Namun, aku malah merasa sudah membohongi perasaanku sendiri.

Setelah membasuh muka dan memakai setelan tidur aku kembali ke pembaringan. Kupandang lekat-lekat wajah laki-laki yang dulu sangat hangat memperlakukanku. Mas Bima sudah tertidur lelap dengan dengkuran yang halus. Wajah suamiku begitu tampan, hidungnya mancung nyaris sempurna, dan rahangnya begitu kokoh. Aku puas-puaskan memandangi wajah tampannya yang terlihat tenang saat terlelap begini. Secara fisik suamiku tidak banyak berubah dari pertama kami bertemu, hanya berat badannya yang semakin bertambah dan model cukuran rambutnya yang berganti.

Memandangnya dengan jarak dekat membuat rasa rindu semakin menyeruak. Dahulu dia selalu memelukku saat tidur, kami bisa bertahan dalam posisi demikian hingga bangun di pagi hari. Namun, sekarang tidak lagi. Kadang saat aku terbangun malam hari, Mas Bima tidur dengan posisi membelakangi atau pindah ke kamar sebelah, terkadang juga dua tidur di kamar anak-anak. Kesannya Mas Bima seperti menjauh dariku.

Entah kenapa kepercayaanku padanya mulai terkikis, seiring cara Mas Bima memperlakukan aku yang terasa mulai berbeda. Akhir-akhir ini dia kerap pulang malam dengan dalih lembur. Tidak ada lagi acara minum teh berdua, tidak ada lagi pillow talk, tidak ada sapaan romantis atau kecupan manis saat bangun pagi, aku merasa sedih dengan sikapnya yang mendadak abai.

Sebenarnya kamu kenapa, Mas?

Setelah gagal bertempur, malam ini kami tidur saling memunggungi. Aku terlelap membawa serta pertanyaan besar yang sangat mengganggu. Sedangkan Mas Bima, entah karena benar dia terlalu lelah atau hanya alasan agar pembahasan masalah hubungan ranjang tadi tidak melebar, tidur dengan dengkur halus tanpa beban. Kami terbuai dalam mimpi masing-masing.

Keesokan harinya ketika aku menemaninya sarapan. Seperti yang sudah-sudah kejadian tadi malam tidak kami bahas lagi. Aku membuatkan roti selai kacang dan segelas vanilla milk hangat untuk Mas Bima. Dia menghabiskan sarapannya tanpa berkomentar. Mas Bima memang begitu, memakan apapun yang aku buat dan hidangkan. Tidak banyak memilih, yang penting masakan itu hasil olahan tanganku pasti di lahapnya.

“Dek, nanti aku lembur lagi, ya. Jangan menunggu, kalau ngantuk tidur saja duluan.” Mas Bima membuka percakapan setelah kami hanya saling diam.

“Lho, bukannya kemarin kamu juga lembur, Mas?”

“Iya. Pekerjaanku belakangan ini sedang banyak. Kamu tahu sendiri bagaimana di kantor.” Mas Bima menjawab dengan santai padahal pertanyaan tadi bentuk protes dariku.

“Sebanyak apa, sih sampai-sampai kamu enggak punya waktu buat aku, Mas.” Kutuangkan air putih ke gelas Mas Bima.

Tiba-tiba saja aku merasa cemburu. Cemburu pada pekerjaan Mas Bima. Sebab kesibukan kerja yang menyita waktu suamiku, aku jadi tidak diperdulikan lagi. Pagi-pagi sekali Mas Bima pergi ke kantor, pulang saat hari sudah sore. Rutinitasnya itu saja sudah membuat kami jarang bertemu, sekarang ditambah dia sering lembur, jadi waktu kami untuk bersama benar-benar hanya sedikit.

“Aku kerja, kan untuk kamu, untuk anak-anak. Untuk kalian semua, Dek,” tukasnya.

Benar memang, kerja keras Mas Bima selama ini untuk membahagiakan kami. Rumah yang bagus, kendaraan nyaman lengkap dengan sopir yang selalu stand by dan segala kebutuhan yang semuanya tercukupi, semuanya ada karena keuletan suamiku dalam bekerja. Berkat kegigihannya kami tidak kekurangan dalam hal materi. Bahkan Mas Bima juga sudah menyiapkan tabungan untuk anak-anak. Dan aku mensyukuri semuanya.

Secara dilihat mata, Mas Bima tak ada cacat dan cela. Perhatian dan sayang pada anak-anak. Ramah dan baik pada keluargaku. Akan tetapi, perasaan seorang istri tidak bisa di bohongi. Aku merasa ada yang berbeda. Dia tidak lagi terbuka padaku.

“Untuk yang semalam, Mas minta maaf,” desisnya.

"Apa kamu punya selingkuhan, Mas?" tanyaku spontan membuat Mas Bima kaget dan langsung menatap wajahku.

"Kamu jangan ngomong aneh-aneh!"

"Lalu kenapa kamu selalu pulang malam dan--"

"Aku lembur. Kerja!" potong Mas Bima tegas, penuh penekanan pada kata terakhir.

"Apa kamu udah enggak cinta lagi sama aku, Mas?"

"Dek, tolong jangan drama. Aku enggak mau moodku rusak dan kerjaanku di kantor jadi berantakan!"

"Kamu enggak jawab, berarti benar kamu udah enggak cinta sama aku, kan, Mas?"

"Cinta!" jawabnya singkat dan lirih. Jawaban yang terkesan dipaksakan, tidak berasal dari hati.

"Aku mohon kamu mengerti keadaan untuk saat ini, Dek. Aku akan lebih banyak menghabisakan waktu di kantor, karena kerjaan memang sedang banyak. Kamu tahu, kan kabarnya aku akan dinaikkan jabatan. Jadi ada beberapa hal yang harus disiapkan dan dilengkapi. Aku enggak mau kesempatan emas ini lepas begitu saja, aku sudah lama sekali mengincar posisi itu."

Suamiku menyudahi sarapannya setelah meneguk habis air putih dalam gelasnya, lalu berdiri, meraih tas kerja.

“Mas berangkat.”

Ucapannya datar dan dingin. Kecupan di puncak kepalaku pun dia lakukan hanya sekilas. Hampir sepuluh tahun mendampinginya, tentu perubahan sekecil apapun pada suamiku akan sangat kentara. Aku sangat peka.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status