Renata menutup telinga. Pekik tawa makhluk itu membuat telinganya sakit. Bau anyir terus merebak hingga membuat paru-parunya terasa seperti tercekik.
"Berhentiii!!!" Teriak gadis itu dengan dada naik turun
Makhluk di hadapannya menatap lurus. Lidahnya menjulur keluar bersama tetesan liur kental lalu kembali menebar tawa mengerikan.
"Plak!!! Plak!!! Plakkk!!!"
Suara pukulan terdengar. Lalu hening sejenak, hanya terdengar tarikan-tarikan napas tak beraturan.
"Dasar anak nakal!!! Sudah kubilang jangan muncul di hadapanku dengan wujud seperti itu!" Suara Renata menggema di seantero toko. Sebelah tangannya terangkat ke atas, bersiap untuk pukulan susulan.
Makhluk itu meringis, mengusap-usap kepalanya yang kena pukul.
"Maaf, aku lupa menonaktifkan mode ini."
Bola mata Renata berputar, menjatuhkan sebelah tangan yang tadi menggantung di udara. Sambil bersungut ia menuju meja kasir. Makhluk itu mengintilinya.
"Kak, laki-laki tampan itu siapa?"
"Yang mana? Yang muda atau yang tua?"
"Dua-duanya," makhluk itu cengengesan, menggulung sejumput rambutnya yang kaku.
Renata menyeringai geli.
"Mereka pemilik baru gedung ini."
"Oh, pemilik baru. Apa?!" Mata makhluk itu bergerak ke sana-kemari. Renata meringis ngeri, bagaimana kalau copot dan menggelundung di lantai, sungguh tidak lucu.
"Hei, ganti dulu penampilanmu. Aku bisa mati shock kalau terus melihatnya."
"Iya," makhluk itu menjawab malas tapi tak urung menurut. Memutar badannya dengan gerakan seperti dancer profesional. Dan seperti sulap, wujudnya berganti menjadi gadis cantik dengan dandanan ala idol negeri ginseng.
Renata berdecak, sedikit kesal karena makhluk itu tak perlu bersusah payah untuk menjadi cantik dan modis.
"Terus gimana, dia maksa Kakak pindah?"
"Begitulah."
"Kakak ga nolak?"
"Ya nolak, tapi aku bisa apa."
"Hm ... ini ga bisa dibiarin."
"Mau gimana lagi," Renata mendesah, menempelkan keningnya ke atas meja.
"Pelipis Kakak kenapa?" tanya makhluk itu ketika melihat pelipis Renata yang tampak menggembung dengan sedikit bercak keunguan.
"Kena ubin," jelas Renata sambil menyentuh pelipisnya yang mulai terasa berdenyut.
"Kok bisa? Kakak dianiaya sama dia?"
"Bukan dia, makhluk yang mengikutinya."
"Penjaganya?"
"Entah," Renata mengedikkan bahu.
"Kurang ajar, aku akan buat perhitungan."
"Jangan, itu bukan seratus persen salahnya. Aku yang lebih dulu mendorong sampai dia menabrak pintu."
Mata bulat makhluk itu berpendar, antusias.
"Kakak sungguh melakukan itu?"
"Aku tidak sengaja, dia terus mengejekku. Huh, dia memang seksi, tapi bibirku ini tidak murahan." Renata bercicit sambil mengingat-ngingat lengkung bibir sempurna Samudera Biru. Sedetik kemudian ia merutuk dirinya sendiri yang tanpa tahu malu memikirkan hal kotor di situasi seperti ini.
"Dia mencium Kakak?"
"Tidak, dia cuma menggodaku."
"Ya, sayang sekali."
"Hah, apa katamu?!"
Makhluk itu tertawa membuat Renata menatap sebal.
"Terus sekarang gimana, Kak?"
"Entah, aku beneran ga mau pindah dari sini." Renata menarik-narik rambutnya frustrasi.
"Benar, kalau Kakak pindah tempat ini akan jadi panas seperti dulu."
"Hei Shiny, kau pikir aku AC?" Renata mendelik.
"Tidak, tapi tubuh Kakak yang seperti AC." Makhluk yang dipanggil Shiny itu menyunggingkan senyum manis.
"Kakak mau aku nakut-nakutin si tampan itu?"
"Ngga usah, bahaya. Keliatannya dia bukan orang biasa." Tolak Renata yang dari awal sudah merasakan kalau aura Samudera Biru berbeda dari orang kebanyakan. Selain itu dua sosok berbaju putih itu terlihat bukan dari golongan makhluk tingkat bawah.
"Bahaya kalau aku sendiri, kalau ramai-ramai lain cerita."
Shiny tersenyum miring.
"Anak nakal, kau mau apa? Jangan aneh-aneh."
"Kakak tenang saja," Shiny meyakinkan lalu melenggang menembus tembok, raib entah ke mana.
"Hei ... Shiny ... heiii!!!"
Renata berdecak, Shiny jenis demit yang jarang berpikir panjang. Maklum saja dia berasal dari kelas bawah, bukan demit kelas elit. Jadi tak ada yang mengajarinya untuk mendahulukan otaknya daripada ototnya.
Meski begitu Shiny demit yang langka. Kepribadiannya sedikit absurd, berbeda dari demit kebanyakan.
Contohnya, biasanya demit menakut-nakuti manusia karena iseng, merasa terganggu atau disuruh orang. Tapi Shiny murni karena ingin berteman.
Entah apa yang membuatnya sampai berpikir untuk memiliki banyak teman manusia. Yang jelas keinginannya itu sering kali berujung sial. Entah karena manusia yang diajak berteman olehnya pingsan, kabur atau memaki.
Sebenarnya itu belum seberapa, masih ada yang lebih mengenaskan dari itu, yaitu disiram air jampi berbau minyak nyong-nyong untuk kemudian ditangkap dan dimasukan ke dalam botol, lalu dibuang ke tengah laut atau sungai besar.
Benar-benar tragis. Anehnya Shiny tak pernah kapok.
Ah, andai mereka tau betapa lucunya gadis demit itu.
Renata tersenyum, mengingat pertemuan pertamanya dengan Shiny. Saat itu ia baru saja pindah ke tempat ini. Tanpa henti Shiny mengekorinya. Pagi siang malam makhluk itu menempel padanya seperti permen karet. Berceloteh bak burung beo sedang belajar kata baru.
Renata hanya diam. Pura-pura tak mendengar atau melihat keberadaannya.
Sampai suatu hari, Shiny menolongnya dari gigitan seekor ular yang entah datang dari mana.
Cara menolongnya sama sekali tidak sesakti demit dalam film-film horor. Sekali usap atau tiup masalah selesai. Tidak sama sekali.
Shiny menghisap bisa dengan mulut!
Ya, dengan mulut. Sampai bibirnya jontor seperti orang yang baru saja melakukan filler.
Saat itu dalam semaputnya Renata tertawa terbahak-bahak, membuat shiny terkejut setengah mati. Tak menyangka selama ini Renata bisa mendengar dan melihatnya.
Sebagai ucapan terima kasih Renata mengabulkan permintaan gadis itu untuk menjadi temannya. Ia membiarkan Shiny berkeliaran di sekitarnya, menemaninya berceloteh, nonton drakor dan rutin mentraktir makan minum sampai sekarang.
Renata bersyukur, kehadiran Shiny sedikit memberi warna pada hidupnya yang sepi.
"Sore Mbak Rena." Seonggok daging hidup segar muda menggemaskan tersenyum. Gigi gingsulnya menyembul manis. Menarik seluruh pikiran Renata kembali ke tempatnya.
"Sore Ken."
"Maaf saya terlambat, macet tadi."
Ken, pekerja paruh waktu Renata menunduk, jemarinya bertaut, khawatir disemprot si bos.
"Tidak apa-apa. Sudah makan belum? Mbak mau pesen bakso, kamu mau?"
"Belum, mau Mbak."
"Ok."
Renata mengambil ponsel, memesan tiga bakso dan tiga es jeruk peras. Ya, tiga. Satu lagi untuk Shiny. Kalau tidak ikut dipesankan gadis demit itu bisa merajuk semalam suntuk. Entah itu dengan mengetuk-ngetuk benda, pura-pura menangis atau menirukan suara-suara binatang. Kalau sudah begitu bukan cuma Renata yang repot tapi seluruh penghuni gedung ini auto susah tidur.
Ken naik ke atas mengganti baju seragam sekolahnya dengan baju biasa di kamar mandi. Sementara Renata mengecek pesanan yang masuk ke toko online-nya. Dengan cekatan gadis itu memisahkan barang pesanan ke dalam keranjang, mencetak resi lalu mulai membungkus satu per satu.
Tak lama bakso mereka datang. Renata dan Ken makan dalam satu meja di sudut toko. Sepi, hanya terdengar denting sendok beradu dengan mangkuk. Kepribadian Ken yang cenderung pendiam membuat Renata enggan memulai percakapan.
Renata menyelesaikan makannya dengan cepat lalu menuangkan bakso jatah Shiny ke dalam mangkuk, menaruhnya begitu saja di meja lalu beranjak meneruskan pekerjaannya membungkus pesanan.
Ken tidak bereaksi, sudah terbiasa dengan pemandangan itu. Tak lama ia pun menyelesaikan makannya lalu menuju meja kasir.
"Tring ... tring ... tringgg!!!" Lonceng angin di pintu berdenting, pertanda ada seseorang yang datang.
Ken mengangkat wajah, tersenyum.
"Selamat datang," sapanya dengan suara merdu mengalun pada tiga gadis manis seusianya.
Raut kaget sekaligus senang tercetak jelas di wajah gadis-gadis itu. Tak menyangka penjaga tokonya memiliki visual luar biasa.
Renata hanya melirik sekilas, entah harus bersyukur atau kesal. Tokonya menjadi semacam tempat adu nasib para gadis yang mengidolakan Ken. Tapi ia juga tak menampik jika kehadiran Ken mampu menaikan omzet.
Tapi ia kan berjualan kerajinan tangan bukan berjualan tampang anak orang ?
Hah, Renata menggaruk kepala tak gatal.
"Tring ... tring ... tring!" Lonceng angin kembali berdenting. Kali ini tak ada pelanggan, hanya Shiny yang datang lewat pintu depan dengan gerakan cepat.
Gadis demit itu sumringah menatap Ken lalu berubah cemberut saat melihat gadis-gadis yang sedang mencuri pandang.
Ia berdiri tepat di samping Ken. Membuat lelaki itu menyentuh tengkuknya karena hawa panas yang dibawa Shiny.
Renata melotot. Memberi kode agar Shiny menjauh. Dengan muka tertekuk gadis demit itu beranjak, duduk di samping Renata.
"Dasar genit," gerutu Shiny. " Boleh aku mengusirnya?"
"Tidak boleh!" Renata spontan berteriak. Karena terakhir kali Shiny membuat pelanggannya lari tunggang langgang dengan memperdengarkan gaya tertawanya yang mirip kuntilanak, hanya karena pelanggan itu melirik bokong Renata.
Kalau sekedar itu Renata tidak keberatan tapi masalahnya setelah itu akan timbul gosip jika toko Renata berhantu --Ya, walaupun memang benar-- dan itu akan membuat pembeli takut datang ke tokonya.
Beberapa pasang mata menatap heran. Renata berdehem, menyentuh telinga, pura-pura sedang menelepon.
Ken hanya tersenyum samar melihat kelakuan bos cantiknya. Sementara Shiny tertawa terpingkal-pingkal.
"Kak, abis magrib ikut rapat di atap ya."
"Rapat apa?"
"Rapat misi menggagalkan rencana si tampan itu," jawab Shiny sambil menikmati jatah baksonya.
"Tidak usah, bagaimana pun dia punya hak atas gedung ini."
"Tetap saja, dia tidak boleh seenaknya. Kalau gedung ini dipugar kita harus ke mana?"
"Cari tempat baru. Di depan kan banyak pohon, sementara di sana saja dulu. Selesai dipugar kalian tinggal kembali lagi."
"Ih Kakak pikir kita monyet." Shiny cemberut. "Setelah dipugar gedung ini pasti jadi lebih ramai dan terang. Kita pasti susah buat istirahat." Gadis demit itu mendesah.
Renata melirik kasihan tapi ia juga tak berdaya.
"Pokoknya Kakak harus datang, titik."
"Tidak janji."
Shiny mengerucutkan bibir lalu mengalihkan matanya pada gadis-gadis yang sedang bertransaksi dengan Ken.
"Apa mereka tidak diajari sopan santun, bagaimana bisa terang-terangan menggoda pria seperti itu? Cih, mereka seperti lalat saja."
"Kalau mereka lalat trus kamu apa? Lalat ijo?" tanya Renata geli mengingat bagaimana Shiny hampir setiap hari menempel pada Ken.
"Ish!" Gadis demit itu menghentakkan kaki.
***
Malam ini terlalu dingin. Angin beraroma hujan melentingkan pepohonan ke satu arah. Entah bagaimana Renata bisa berada di sana, di tepi danau dengan jutaan cyanobacteria. Renata tak mengenal danau itu. Hanya saja warna hijaunya mengingatkan pada puding pandan lembut buatan sang ibu yang sedang menatap lurus. Benar, itu ibunya. Wanita bergaun putih yang berdiri belasan meter di depannya dengan senyum terkembang adalah ibunya. Tapi sedang apa ia di sini? Otak Renata tak bekerja, fokusnya hanya pada dada yang seperti ingin meledak oleh rindu yang keterlaluan. Renata berlari, tak peduli pada dingin yang menyentuh kakinya yang tanpa alas. "Rena," panggil wanita bergaun putih itu. Tangannya melambai lalu melangkahkan kaki, ke tengah danau, bukan ke arah Renata. "Tidak! Apa yang kau lakukan?!" Renata berteriak, langkahnya tersaruk, mengejar ibunya yang semakin masuk ke dalam danau. "Byurr!!!" Renata menerjang. Merasakan kulitnya seperti d
Jam menunjukan pukul sebelas malam tapi Renata masih belum bisa memejamkan mata. Meski memilih untuk tak ikut campur urusan para dedemit gedung dengan Samudera Biru, entah kenapa hatinya tetap gelisah.Bagaimana jika terjadi sesuatu pada para dedemit terutama Shiny? Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Samudera Biru? Ah, kenapa ia peduli, seharusnya biarkan saja, bukankah ia mendapat keuntungan jika terjadi sesuatu pada lelaki itu? Ya, minimal pemugaran gedung akan ditunda sementara."Tidak," Renata menggelang, menepis pikiran liciknya. Ia bukan jenis manusia yang gemar mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain. Ia hanya takut pada kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.Berdasarkan eksistensinya selama bersinggungan dengan alam lain. Renata sangat paham jika makhluk-makhluk itu, terutama kalangan bawah, cukup impulsif. Ditambah insting purba mereka dalam berebut wilayah dengan sistem "yang terkuat yang berkuasa" maka menahan diri adalah
Samudera Biru meraup tubuh Renata seperti meraup sejumput kapas. Rambut panjang sang gadis terburai jatuh, memperjelas wajah pucatnya. Lelaki itu mendesah lalu melangkah lebar memasuki mansion. Para penjaga menundukan kepala, memberi jalan pada tuannya yang tampak membesi.Lucas datang menghampiri, memberi kode pada salah satu penjaga untuk mengambil alih Renata namun ditampik lewat tatapan tajam menusuk. Ia menaruh Renata di ranjang kamarnya dengan hati-hati. Memeriksa denyut di lengan dan leher gadis itu kemudian sebelah telapak tangann
Renata menatap pantulan dirinya di cermin. Dress selutut warna pastel berkerah V dengan bahan lembut jatuh membuatnya terlihat seperti orang asing. Bagaimana tidak, ia sangat jarang mengenakan dress, bahkan di lemarinya hanya ada dua gaun sederhana berharga murah, sangat jauh berbeda dengan gaun yang sekarang melekat di tubuhnya."Ck, harga memang tidak pernah bohong," gumam Renata, menganyun ujung dress ke kanan dan kiri."Kau terlihat cantik, Nona."Renata menoleh, menemukan Samudera Biru bersandar di dinding dengan tangan terlipat. Rapi dan bertabur aroma kayu serta cherry yang manis."Terima kasih,"sahut Renata acuh tak acuh sambil memasukkan baju kotor ke dalam papper bag yang sebelumnya berisi seperangkat dress bersama underware berwarna senada yang terlihat cantik dan mahal. "Aku akan mengembalikannya setelah kucuci," sambungnya melewati Samudera Biru. Ia mengambil dompet dan ponsel dari nakas."Apa kau memintaku menyimpannya sebagai k
"Tok! Tokk!""Masuk." Samudera Biru melepaskan pandangan dari buku lusuh di atas meja, menukarnya dengan sosok Lucas yang kini berdiri dengan sikap sempurna."Apa sudah ada hasil?""Belum, mungkin siang ini Pangeran."Samudera Biru terdiam, kembali menekuni bukunya, bukan, lebih tepat menekuni gerak Renata yang terpampang dalam buku. Bagaimana dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil, bagaimana dia menatap ke luar jendela dan bagaimana dia menyentuh dress pemberiannya. Semuanya, setiap detailnya."Pangeran sedang mengawasi, Nona Renata?" tanya Lucas yang sempat melirik dengan ekor mata."Ya, aku ingin memastikan dia pulang dengan selamat." Samudera Biru mencoba memberi alasan logis untuk kelakuannya.Lucas hanya tersenyum, melanjutkan pembicaraan. "Mengenai gedung, apa Pangeran akan benar-benar menghentikan pemugaran?""Itu tergantung dari sikap mereka, terutama dia." Dagu Samudera Biru terangkat pad
Renata menatap mobil yang mengantarnya menjauh. Serangkum angin datang mendekat bersama energi yang familier, Shiny. "Kakak!!!" Pekik gadis itu lalu memeluk erat. Di belakangnya para dedemit gedung berkumpul, wajah-wajah pucat mereka menyiratkan lega. Renata tersenyum, melepaskan tubuh Shiny yang menggayut manja. "Kita bicara di atas," ucap gadis itu pelan, melirik beberapa toko yang sudah buka. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian karena berbicara tanpa lawan. Semua dedemit seketika menghilang kecuali Shiny. Ia menatap Renata penuh khawatir dan penasaran. "Kakak baik-baik saja? Tadinya kita akan kembali ke sana kalau sampai nanti malam Kakak belum kembali." "Aku baik-baik saja. Kita ke atas sekarang," jawab Renata sambil mengelus pipi Shiny lembut. Gadis itu menurut, mengikuti langkah Renata menuju atap gedung. "Saya bersyukur Anda dalam keadaan baik-baik saja, Nona," sambut Panglima Kuning. "Terima kasih
“Tring!! Tring!! Tring!!”Semua orang menatap ke pintu. Bukan karena dentingan lonceng angin tapi karena sosok yang masuk begitu menyilaukan.Ini sudah tiga hari berlalu sejak insiden dan pangeran peri itu baru menunjukan batang hidungnya lagi.“Selamat malam,” Ken menyapa sopan, sementara Renata diam memperhatikan setiap langkah anggunnya yang mengundang bisik-bisik pembeli.“Selamat malam juga anak kecil.”Wajah imut Ken seketika tertekuk. Lelaki itu melewatinya dengan wajah tanpa dosa.Ia menempatkan diri di kursi, tepat di depan Renata.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya dengan mata menelisik.“A ... aku baik,” sahut Renata terbata. Sedikit menjauhkan kursi agar aroma Samudera Biru tidak terlalu mengganggu saraf-sarafnya yang lapar.“Kau tidak rindu padaku kan?”Renata mengerjap, mulut lelaki ini belum berubah sedikit pun.“Tentu s
Bulan membulat sempurna. Sinarnya terlihat berkali lipat lebih terang. Bintang-bintang rasi tak mau kalah, mereka berpijaran, mengerlip pada wanita luar biasa cantik yang bersila di atas daun lotus raksasa, tepat di tengah kolam berair sejernih kaca.Cahaya putih kebiruan keluar dari tubuh wanita itu. Membumbung ke angkasa, berputar sebentar lalu melesat ke arah seorang anak perempuan yang tertidur dalam gendongan lelaki gagah yang berdiri di tepi kolam.Semua yang hadir terhenyak. Kuncup bunga mendadak bermekaran, kupu-kupu warna warni berdatangan dan bau harum semerbak dilarikan angin ke berbagai penjuru.Wanita di atas daun lotus menghentak lembut ujung kaki, melayang indah menuju tepi kolam.Semua orang menjura, memberi jalan. Dengan anggun wanita itu mendekati anak perempuan yang dilingkupi cahaya. Menyentuh lembut ruang di antara kedua alisnya.Secara perlahan cahaya itu masuk ke dalam tubuh si anak seiring bau harum yang juga menghilan