Share

3. Shiny

Renata menutup telinga. Pekik tawa makhluk itu membuat telinganya sakit. Bau anyir terus merebak hingga membuat paru-parunya terasa seperti tercekik.

"Berhentiii!!!" Teriak gadis itu dengan dada naik turun

Makhluk di hadapannya menatap lurus. Lidahnya menjulur keluar bersama tetesan liur kental lalu kembali menebar tawa mengerikan.

"Plak!!! Plak!!! Plakkk!!!"

Suara pukulan terdengar. Lalu hening sejenak, hanya terdengar tarikan-tarikan napas tak beraturan.

"Dasar anak nakal!!! Sudah kubilang jangan muncul di hadapanku dengan wujud seperti itu!" Suara Renata menggema di seantero toko. Sebelah tangannya terangkat ke atas, bersiap untuk pukulan susulan.

Makhluk itu meringis, mengusap-usap kepalanya yang kena pukul.

"Maaf, aku lupa menonaktifkan mode ini." 

Bola mata Renata berputar, menjatuhkan sebelah tangan yang tadi menggantung di udara. Sambil bersungut ia menuju meja kasir. Makhluk itu mengintilinya.

"Kak, laki-laki tampan itu siapa?"

"Yang mana? Yang muda atau yang tua?"

"Dua-duanya," makhluk itu cengengesan, menggulung sejumput rambutnya yang kaku.

Renata menyeringai geli.

"Mereka pemilik baru gedung ini."

"Oh, pemilik baru. Apa?!" Mata makhluk itu bergerak ke sana-kemari. Renata meringis ngeri, bagaimana kalau copot dan menggelundung di lantai, sungguh tidak lucu. 

"Hei, ganti dulu penampilanmu. Aku bisa mati shock kalau terus melihatnya."

"Iya," makhluk itu menjawab malas tapi tak urung menurut. Memutar badannya dengan gerakan seperti dancer profesional.  Dan seperti sulap, wujudnya berganti menjadi gadis cantik dengan dandanan ala idol negeri ginseng.

Renata berdecak, sedikit kesal karena makhluk itu tak perlu bersusah payah untuk menjadi cantik dan modis.

"Terus gimana, dia maksa Kakak pindah?" 

"Begitulah."

"Kakak ga nolak?"

"Ya nolak, tapi aku bisa apa."

"Hm ... ini ga bisa dibiarin."

"Mau gimana lagi," Renata mendesah, menempelkan keningnya ke atas meja.

"Pelipis Kakak kenapa?" tanya makhluk itu ketika melihat pelipis Renata yang tampak menggembung dengan sedikit bercak keunguan.

"Kena ubin," jelas Renata sambil menyentuh pelipisnya yang mulai terasa berdenyut.

"Kok bisa? Kakak dianiaya sama dia?" 

"Bukan dia, makhluk yang mengikutinya."

"Penjaganya?" 

"Entah," Renata mengedikkan bahu.

"Kurang ajar, aku akan buat perhitungan."

"Jangan, itu bukan seratus persen salahnya. Aku yang lebih dulu mendorong sampai dia menabrak pintu."

Mata bulat makhluk itu berpendar, antusias.

"Kakak sungguh melakukan itu?"

"Aku tidak sengaja, dia terus mengejekku. Huh, dia memang seksi, tapi bibirku ini tidak murahan." Renata bercicit sambil mengingat-ngingat lengkung bibir sempurna Samudera Biru. Sedetik kemudian ia merutuk dirinya sendiri yang tanpa tahu malu memikirkan hal kotor di situasi seperti ini.

"Dia mencium Kakak?"

"Tidak, dia cuma menggodaku."

"Ya, sayang sekali."

"Hah, apa katamu?!"

Makhluk itu tertawa membuat Renata menatap sebal.

"Terus sekarang gimana, Kak?"

"Entah, aku beneran ga mau pindah dari sini." Renata menarik-narik rambutnya frustrasi.

"Benar, kalau Kakak pindah tempat ini akan jadi panas seperti dulu."

"Hei Shiny, kau pikir aku AC?" Renata mendelik.

"Tidak, tapi tubuh Kakak yang seperti AC." Makhluk yang dipanggil Shiny itu menyunggingkan senyum manis.

"Kakak mau aku nakut-nakutin si tampan itu?"

"Ngga usah, bahaya. Keliatannya dia bukan orang biasa." Tolak Renata yang dari awal sudah merasakan kalau aura Samudera Biru berbeda dari orang kebanyakan. Selain itu dua sosok berbaju putih itu terlihat bukan dari golongan makhluk tingkat bawah.

"Bahaya kalau aku sendiri, kalau ramai-ramai lain cerita." 

Shiny tersenyum miring.

"Anak nakal, kau mau apa? Jangan aneh-aneh." 

"Kakak tenang saja," Shiny meyakinkan lalu melenggang menembus tembok, raib entah ke mana.

"Hei ... Shiny ... heiii!!!"

Renata berdecak, Shiny jenis demit yang jarang berpikir panjang. Maklum saja dia berasal dari kelas bawah, bukan demit kelas elit. Jadi tak ada yang mengajarinya untuk mendahulukan otaknya daripada ototnya.

Meski begitu Shiny demit yang langka. Kepribadiannya sedikit absurd, berbeda dari demit kebanyakan.

Contohnya, biasanya demit menakut-nakuti manusia karena iseng, merasa terganggu atau disuruh orang. Tapi Shiny murni karena ingin berteman.

Entah apa yang membuatnya sampai berpikir untuk memiliki banyak teman manusia. Yang jelas keinginannya itu sering kali berujung sial. Entah karena manusia yang diajak berteman olehnya pingsan, kabur atau memaki. 

Sebenarnya itu belum seberapa, masih ada yang lebih mengenaskan dari itu, yaitu disiram air jampi berbau minyak nyong-nyong untuk kemudian ditangkap dan dimasukan ke dalam botol, lalu dibuang ke tengah laut atau sungai besar.

Benar-benar tragis. Anehnya Shiny tak pernah kapok.

Ah, andai mereka tau betapa lucunya gadis demit itu.

Renata tersenyum, mengingat pertemuan pertamanya dengan Shiny. Saat itu ia baru saja pindah ke tempat ini. Tanpa henti Shiny mengekorinya. Pagi siang malam makhluk itu menempel padanya seperti permen karet. Berceloteh bak burung beo sedang belajar kata baru.

Renata hanya diam. Pura-pura tak mendengar atau melihat keberadaannya. 

Sampai suatu hari, Shiny menolongnya dari gigitan seekor ular yang entah datang dari mana.

Cara menolongnya sama sekali tidak sesakti demit dalam film-film horor. Sekali usap atau tiup masalah selesai. Tidak sama sekali.

Shiny menghisap bisa dengan mulut!

Ya, dengan mulut. Sampai bibirnya jontor seperti orang yang baru saja melakukan filler.

Saat itu dalam semaputnya Renata tertawa terbahak-bahak, membuat shiny terkejut setengah mati. Tak menyangka selama ini Renata bisa mendengar dan melihatnya.

Sebagai ucapan terima kasih Renata mengabulkan permintaan gadis itu untuk menjadi temannya. Ia membiarkan Shiny berkeliaran di sekitarnya, menemaninya berceloteh, nonton drakor dan rutin mentraktir makan minum sampai sekarang.

Renata bersyukur, kehadiran Shiny sedikit memberi warna pada hidupnya yang sepi.

"Sore Mbak Rena." Seonggok daging hidup segar muda menggemaskan tersenyum. Gigi gingsulnya menyembul manis. Menarik seluruh pikiran Renata kembali ke tempatnya.

"Sore Ken."

"Maaf saya terlambat, macet tadi."

Ken, pekerja paruh waktu Renata menunduk, jemarinya bertaut, khawatir disemprot si bos.

"Tidak apa-apa. Sudah makan belum? Mbak mau pesen bakso, kamu mau?"

"Belum, mau Mbak."

"Ok." 

Renata mengambil ponsel, memesan tiga bakso dan tiga es jeruk peras. Ya, tiga. Satu lagi untuk Shiny. Kalau tidak ikut dipesankan gadis demit itu bisa merajuk semalam suntuk. Entah itu dengan mengetuk-ngetuk benda, pura-pura menangis atau menirukan suara-suara binatang. Kalau sudah begitu bukan cuma Renata yang repot tapi seluruh penghuni gedung ini auto susah tidur.

Ken naik ke atas mengganti baju seragam sekolahnya dengan baju biasa di kamar mandi. Sementara Renata mengecek pesanan yang masuk ke toko online-nya. Dengan cekatan gadis itu memisahkan barang pesanan ke dalam keranjang, mencetak resi lalu mulai membungkus satu per satu.

Tak lama bakso mereka datang. Renata dan Ken makan dalam satu meja di sudut toko. Sepi, hanya terdengar denting sendok beradu dengan mangkuk. Kepribadian Ken yang cenderung pendiam membuat Renata enggan memulai percakapan. 

Renata menyelesaikan makannya dengan cepat lalu menuangkan bakso jatah Shiny ke dalam mangkuk, menaruhnya begitu saja di meja lalu beranjak meneruskan pekerjaannya membungkus pesanan.

Ken tidak bereaksi, sudah terbiasa dengan pemandangan itu. Tak lama ia pun menyelesaikan makannya lalu menuju meja kasir.

"Tring ... tring ... tringgg!!!" Lonceng angin di pintu berdenting, pertanda ada seseorang yang datang.

Ken mengangkat wajah, tersenyum.

"Selamat datang," sapanya dengan suara merdu mengalun pada tiga gadis manis seusianya.

Raut kaget sekaligus senang tercetak jelas di wajah gadis-gadis itu. Tak menyangka penjaga tokonya memiliki visual luar biasa.

Renata hanya melirik sekilas, entah harus bersyukur atau kesal. Tokonya menjadi semacam tempat adu nasib para gadis yang mengidolakan Ken. Tapi ia juga tak menampik jika kehadiran Ken mampu menaikan omzet.

Tapi ia kan berjualan kerajinan tangan bukan berjualan tampang anak orang ?

Hah, Renata menggaruk kepala tak gatal.

"Tring ... tring ... tring!" Lonceng angin kembali berdenting. Kali ini tak ada pelanggan, hanya Shiny yang datang lewat pintu depan dengan gerakan cepat.

Gadis demit itu sumringah menatap Ken lalu berubah cemberut saat melihat gadis-gadis yang sedang mencuri pandang.

Ia berdiri tepat di samping Ken. Membuat lelaki itu menyentuh tengkuknya karena hawa panas yang dibawa Shiny.

Renata melotot. Memberi kode agar Shiny menjauh. Dengan muka tertekuk gadis demit itu beranjak, duduk di samping Renata.

"Dasar genit," gerutu Shiny. " Boleh aku mengusirnya?" 

"Tidak boleh!" Renata spontan berteriak. Karena terakhir kali Shiny membuat pelanggannya lari tunggang langgang dengan memperdengarkan gaya tertawanya yang mirip kuntilanak, hanya karena pelanggan itu  melirik bokong Renata.

Kalau sekedar itu Renata tidak keberatan tapi masalahnya setelah itu akan timbul gosip jika toko Renata berhantu --Ya, walaupun memang benar-- dan itu akan membuat pembeli takut datang ke tokonya.

Beberapa pasang mata menatap heran. Renata berdehem, menyentuh telinga, pura-pura sedang menelepon.

Ken hanya tersenyum samar melihat kelakuan bos cantiknya. Sementara Shiny tertawa terpingkal-pingkal.

"Kak, abis magrib ikut rapat di atap ya."

"Rapat apa?" 

"Rapat misi menggagalkan rencana si tampan itu," jawab Shiny sambil menikmati jatah baksonya.

"Tidak usah, bagaimana pun dia punya hak atas gedung ini."

"Tetap saja, dia tidak boleh seenaknya. Kalau gedung ini dipugar kita harus ke mana?"

"Cari tempat baru. Di depan kan banyak pohon, sementara di sana saja dulu. Selesai dipugar kalian tinggal kembali lagi."

"Ih Kakak pikir kita monyet." Shiny cemberut. "Setelah dipugar gedung ini pasti jadi lebih ramai dan terang. Kita pasti susah buat istirahat." Gadis demit itu mendesah.

Renata melirik kasihan tapi ia juga tak berdaya.

"Pokoknya Kakak harus datang, titik."

"Tidak janji."

Shiny mengerucutkan bibir lalu mengalihkan matanya pada gadis-gadis yang sedang bertransaksi dengan Ken.

"Apa mereka tidak diajari sopan santun, bagaimana bisa terang-terangan menggoda pria seperti itu? Cih, mereka seperti lalat saja." 

"Kalau mereka lalat trus kamu apa? Lalat ijo?" tanya Renata geli mengingat bagaimana Shiny hampir setiap hari menempel pada Ken.

"Ish!" Gadis demit itu menghentakkan kaki.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status