Malam ini terlalu dingin. Angin beraroma hujan melentingkan pepohonan ke satu arah. Entah bagaimana Renata bisa berada di sana, di tepi danau dengan jutaan cyanobacteria.
Renata tak mengenal danau itu. Hanya saja warna hijaunya mengingatkan pada puding pandan lembut buatan sang ibu yang sedang menatap lurus.
Benar, itu ibunya. Wanita bergaun putih yang berdiri belasan meter di depannya dengan senyum terkembang adalah ibunya. Tapi sedang apa ia di sini? Otak Renata tak bekerja, fokusnya hanya pada dada yang seperti ingin meledak oleh rindu yang keterlaluan.Renata berlari, tak peduli pada dingin yang menyentuh kakinya yang tanpa alas.
"Rena," panggil wanita bergaun putih itu. Tangannya melambai lalu melangkahkan kaki, ke tengah danau, bukan ke arah Renata.
"Tidak! Apa yang kau lakukan?!" Renata berteriak, langkahnya tersaruk, mengejar ibunya yang semakin masuk ke dalam danau.
"Byurr!!!" Renata menerjang. Merasakan kulitnya seperti ditusuk ribuan jarum karena air yang sedingin es. Ia tak peduli. Matanya nanar mencari sosok wanita itu. Beruntung gaun putih yang dikenakannya terlihat mencolok di air danau yang hijau.
Renata menghentakan kaki dan lengan, melawan arus bawah air yang semakin kuat karena gelombang angin. Renata menangkap tubuh ibunya yang melayang dengan mata tertutup karena kehabisan oksigen.
Gadis itu panik, sebelah tangannya menyibak air, mencoba berenang ke atas. Saat itulah ia merasa lengan ibunya bergerak, mencekal tangan dan pinggangnya.
"Ibu," desis Renata. Gelembung keluar dari bibirnya yang sedikit terbuka.
Wanita itu tersenyum, matanya perlahan terbuka. Renata terhenyak, mata itu berwarna merah darah, bukan cokelat seperti mata milik ibunya.
"Tidakkk!!!"
Renata terbangun. Peluh menetes dari setiap pori. Napas gadis itu mendengus-dengus.
Ia mengusap wajah, melirik jam di atas nakas. Pukul 18.30. Sebuah novel tergeletak di dekatnya. Ah, rupanya ia tertidur saat membaca.
Renata tercenung, mengingat mimpinya yang terasa begitu nyata. Mata merah darah itu akhir-akhir ini sering muncul di mimpinya.
Firasat Renata tidak enak. Apa makhluk itu masih mengejarnya? Tapi ini sudah sepuluh tahun. Rasanya mustahil. Ia tak seberharga itu.
Renata berjingkat, mengambil sebotol air mineral dari kulkas dan meneguk hampir separuh isinya.
"Tring ... tring ... tringgg!!!"
Lonceng angin di jendela berdenting. Renata menoleh, menemukan Shiny tersenyum lebar.
"Kakak baru bangun tidur?" Mata gadis dedemit itu menyelidik penampilan kusut Renata.
"Hemm," jawab Renata lalu kembali menenggelamkan diri ke atas kasur.
"Jangan tidur lagi, kita mau rapat, Kak." Shiny mengguncang bahu Renata.
"Aku absen."
"Ngga boleh, Pokoknya Kakak harus ikut."
"Hei, Shiny?" Renata tiba-tiba mengubah posisi, bersila. Manik matanya menatap wajah cantik Shiny.
"Apa?" Gadis itu sedikit bingung dengan perubahan ekstrem ekspresi Renata.
"Kalau aku dijahati, apa kau akan melindungiku?"
"Pasti."
"Sampai titik darah penghabisan?"
Kening Shiny berkerut.
"Lupakan." Renata mengibaskan tangan. Menyesali pertanyaan konyolnya. Bagaimana bisa ia mengharap perlindungan dari demit muda yang kekuatannya belum seberapa.
"Kakak aneh," desis Shiny. "Apa ada yang mencoba menjahati Kakak? Siapa? Si tampan itu?"
"Tidak ada," jawab Renata lugas. Ia mengikat rambut dan beranjak menuju kamar mandi. Shiny mengekor sampai pintu.
"Kak, mandinya jangan lama-lama, yang lain udah pada kumpul!"
"Iya, bawel!"
Shiny tertawa lalu berkelebat melewati lonceng angin, membuat benda logam itu kembali berdenting.
Renata mengeringkan rambut dengan hair dryer setelah itu menyambar piyama warna burgundy dari lemari. Ia melirik jam, hampir jam tujuh. Artinya ia masih punya cukup waktu untuk membuat kopi. Gadis itu melenggang menuju pantry dengan konsep mini bar yang lucu.
Wangi aroma kopi memenuhi ruangan, gadis itu mencicip sedikit. Setelah yakin rasanya tidak terlalu buruk Renata menaruh ketel dan beberapa cup ke atas nampan, sementara ia kembali ke kamar kecilnya --entahlah apa itu pantas disebut kamar-- karena sebenarnya itu adalah ruangan yang diberi partisi kayu model jepang lengkap dengan pintu gesernya.
Sebelum turun Renata menyambar long coat berbahan semi wol di capstok lalu mengunci pintu kamar.
"Mau kopi?" tanya Renata pada Ken yang masih berjaga di toko.
Ken mengangguk, menerima secangkir kecil kopi hitam dengan aroma menggoda.
"Mbak mau keluar?"
"Ya, ada urusan di atap."
Renata membawa nampannya keluar. Berjalan memutar ke samping di mana tangga besi untuk menuju atap ada di sana.
Gadis itu meniti anak tangga dengan hati-hati. Shiny berlari menyambut, saat mencium aroma kopi wajahnya tampak senang.
Mata Renata berkeliling, bibirnya menyunggingkan senyum tipis pada beberapa makhluk penghuni gedung yang datang.
"Kak, aku mau kopinya," rengek Shiny yang dari tadi tak henti mencolek ketel kopi.
"Iya," jawab Renata singkat lalu menuangkan kopi ke beberapa cangkir kecil.
Shiny bersorak, langsung menghirup jatahnya.
"Mm ... enakkk," desisnya dengan mata setengah terpejam. "Kalian tidak mau?" tanya gadis demit itu pada teman-temannya yang melihat dengan liur hampir menetes.
Dan tak sampai sedetik mereka sudah terlibat kekacauan, saling berebut.
"Cih, memalukan." Satu suara seketika menghentikan keriuhan. Semua mata menatap pada sosok gagah yang sedang duduk bersila menatap pemandangan, memunggungi mereka.
Sosok itu berdiri dan membalikan badan. Seketika hawa panas menyebar, membuat beberapa makhluk yang lain tampak ketakutan.
"Kak Leon mau juga?" Shiny menghampiri makhluk yang terlihat tampan itu, mengangsurkan cangkir.
"Aku tidak mau," desis Makhluk yang dipanggil Leon. Ia menatap miring pada Renata. " Kenapa gadis manusia ini ikut?" tanyanya tampak tidak suka.
Renata menarik napas, tak asing dengan sikap makhluk satu itu yang hampir tak pernah bersikap ramah terhadapnya.
"Sebenarnya saya juga tidak mau ikut, tapi Shiny memaksa." jelas Renata datar.
"Iya, aku mau Kak Rena ikut. Kenapa, ada masalah?" Cicit Shiny sambil berkacak pinggang.
"Dia hanya akan menjadi beban," balas Leon dengan intonasi meninggi.
"Dia hanya akan mendengarkan, tidak ikut berperang," kekeuh Shiny.
"Dasar anak kecil keras kepala," Leon kembali mendesis membuat beberapa makhluk semakin mengkeret.
"Hentikan!" Suara berat seorang lelaki menggelegar.
Dari atas melayang turun sosok tinggi besar. Wajahnya tampan dan tegas. Sweater turtleneck hitam, celana cargo cream dan sepatu tactical tampak sempurna di tubuhnya.
Semua makhluk yang hadir tampak menunduk hormat termasuk Shiny. Renata menatap makhluk itu, ini pertemuan ketiga mereka dan makhluk itu tetap saja terlihat mempesona.
"Selamat datang, Panglima Kuning," ucap Leon dengan suara rendah.
Sosok itu mengangguk lalu menatap Renata.
"Apa kabar, Nona Renata?" sapanya dengan artikulasi mengagumkan.
"Saya baik," jawab Renata sambil menganggukkan kepala.
Panglima Kuning bisa dibilang pemimpin di gedung itu. Semua makhluk di sana tunduk padanya. Selain karena usianya yang sudah mencapai seribu tahun juga karena dulu dia adalah seorang panglima besar di salah satu kerajaan gaib.
Entah kesalahan apa yang telah dia perbuat sampai terusir dari kerajaannya dan memilih menetap di gedung ini.
Sikapnya tenang, ramah dan tidak terlalu suka bersinggungan dengan urusan manusia. Tak heran selama tinggal di sana Renata sangat jarang bertemu dengannya.
Jika sekarang ia mengikuti rapat maka perlu sedikit dicurigai, ada masalah lebih besar dari sekedar masalah pemugaran gedung. Meski begitu Renata memilih menyimpan rasa penasarannya seorang diri.
"Jadi apa kalian sudah memutuskan?" Panglima Kuning memandang berkeliling.
Shiny mengangkat wajah. "Sudah Panglima, kita semua sepakat untuk menggagalkan rencana pemilik gedung."
"Bagaimana dengan Anda, Nona Renata?"
Renata berdehem, tak menyangka ia ikut ditanyai.
"Sejujurnya saya tidak setuju, karena bagaimana pun itu hak dari pemilik gedung ini. Meski begitu saya menghargai jika teman-teman semua memiliki pendapat yang lain," jawab Renata sesopan mungkin.
"Tentu saja dia tak akan setuju, karena itu bangsanya sendiri," ucap Leon sinis.
Untuk kedua kalinya Renata menarik napas. Andai ia punya kekuatan untuk membungkam mulut pedas makhluk itu.
"Kau sangat kasar," Shiny mendengus, matanya seperti ingin menerjang Leon.
Renata menyentuh lengan Shiny, menenangkan.
Panglima Kuning mengelus cambang tipisnya, tampak berpikir.
"Bagaimana cara kalian menggagalkan rencana itu?"
Leon maju, ekspresinya meyakinkan.
"Langkah pertama kami akan memberi peringatan kepada pemilik gedung."
"Kudengar dia bukan orang biasa, penjaganya juga kuat. Kalian siap dengan konsekuensinya?"
"Kami akan berusaha," ucap Leon yang diaminkan makhluk lainnya.
Renata hanya diam mendengarkan, sama sekali tidak setuju.
"Jika itu keinginan kalian, maka lakukanlah dan berhati-hati. Aku hanya akan melihat dari sini."
Seketika suasana menjadi riuh.
"Kenapa Anda tidak ikut?" tanya salah satu makhluk dengan telinga lancip dan berhidung sedikit bengkok.
"Haruskah aku turun tangan hanya untuk sebuah peringatan?" tanya Panglima Kuning datar tapi efeknya membuat makhluk tadi menunduk dalam. "Jadi kapan kalian akan pergi?"
"Pukul dua belas Panglima," jawab Leon.
"Baiklah, berhati-hatilah kalian semua."
Panglima Kuning menatap Renata, memberi isyarat agar ia mengikutinya. Tanpa banyak bicara gadis itu mengikuti. Mereka duduk di sudut, menatap ribuan lampu kota yang berkelip indah.
"Nona Renata kecewa dengan keputusan mereka?" tanya Panglima Kuning tanpa menatap.
"Tidak, seperti yang saya katakan, saya menghormati keputusan mereka. Hanya saja saya sedikit khawatir.
"Apa yang Anda khawatirkan?"
"Dua penjaga gedung ini, mereka tidak biasa, kemampuan mereka mungkin setara dengan Anda."
"Dari mana Nona tahu?"
"Entahlah, saya hanya merasa begitu," jawab Renata dengan sedikit tersenyum.
"Sebenarnya saya pun tidak setuju dengan mereka. Tapi saya ingin melihat sejauh mana mereka bertindak. Apakah mereka bertambah bijaksana atau hanya bermain di tempat."
Renata tersenyum, sedikit kagum dengan usaha Panglima Kuning membuat anak buahnya yang mayoritas berasal dari tingkat rendah menjadi lebih beradab.
Tak lama gadis itu berpamitan karena gerimis mulai turun dan jam kerja Ken akan segera berakhir.
Panglima Kuning menatap kepergian Renata dengan mata takjub. Tadi saat mereka berbicara sebenarnya ia sengaja mengeluarkan energi untuk mengetes ketahanan tubuhnya terhadap benturan energi mereka.
Anehnya gadis itu terlihat sama sekali tak terpengaruh. Bahkan energinya mampu meredam energi Panglima Kuning dengan baik.
"Kau mirip seseorang," desis Panglima Kuning.
***
Jam menunjukan pukul sebelas malam tapi Renata masih belum bisa memejamkan mata. Meski memilih untuk tak ikut campur urusan para dedemit gedung dengan Samudera Biru, entah kenapa hatinya tetap gelisah.Bagaimana jika terjadi sesuatu pada para dedemit terutama Shiny? Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Samudera Biru? Ah, kenapa ia peduli, seharusnya biarkan saja, bukankah ia mendapat keuntungan jika terjadi sesuatu pada lelaki itu? Ya, minimal pemugaran gedung akan ditunda sementara."Tidak," Renata menggelang, menepis pikiran liciknya. Ia bukan jenis manusia yang gemar mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain. Ia hanya takut pada kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.Berdasarkan eksistensinya selama bersinggungan dengan alam lain. Renata sangat paham jika makhluk-makhluk itu, terutama kalangan bawah, cukup impulsif. Ditambah insting purba mereka dalam berebut wilayah dengan sistem "yang terkuat yang berkuasa" maka menahan diri adalah
Samudera Biru meraup tubuh Renata seperti meraup sejumput kapas. Rambut panjang sang gadis terburai jatuh, memperjelas wajah pucatnya. Lelaki itu mendesah lalu melangkah lebar memasuki mansion. Para penjaga menundukan kepala, memberi jalan pada tuannya yang tampak membesi.Lucas datang menghampiri, memberi kode pada salah satu penjaga untuk mengambil alih Renata namun ditampik lewat tatapan tajam menusuk. Ia menaruh Renata di ranjang kamarnya dengan hati-hati. Memeriksa denyut di lengan dan leher gadis itu kemudian sebelah telapak tangann
Renata menatap pantulan dirinya di cermin. Dress selutut warna pastel berkerah V dengan bahan lembut jatuh membuatnya terlihat seperti orang asing. Bagaimana tidak, ia sangat jarang mengenakan dress, bahkan di lemarinya hanya ada dua gaun sederhana berharga murah, sangat jauh berbeda dengan gaun yang sekarang melekat di tubuhnya."Ck, harga memang tidak pernah bohong," gumam Renata, menganyun ujung dress ke kanan dan kiri."Kau terlihat cantik, Nona."Renata menoleh, menemukan Samudera Biru bersandar di dinding dengan tangan terlipat. Rapi dan bertabur aroma kayu serta cherry yang manis."Terima kasih,"sahut Renata acuh tak acuh sambil memasukkan baju kotor ke dalam papper bag yang sebelumnya berisi seperangkat dress bersama underware berwarna senada yang terlihat cantik dan mahal. "Aku akan mengembalikannya setelah kucuci," sambungnya melewati Samudera Biru. Ia mengambil dompet dan ponsel dari nakas."Apa kau memintaku menyimpannya sebagai k
"Tok! Tokk!""Masuk." Samudera Biru melepaskan pandangan dari buku lusuh di atas meja, menukarnya dengan sosok Lucas yang kini berdiri dengan sikap sempurna."Apa sudah ada hasil?""Belum, mungkin siang ini Pangeran."Samudera Biru terdiam, kembali menekuni bukunya, bukan, lebih tepat menekuni gerak Renata yang terpampang dalam buku. Bagaimana dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil, bagaimana dia menatap ke luar jendela dan bagaimana dia menyentuh dress pemberiannya. Semuanya, setiap detailnya."Pangeran sedang mengawasi, Nona Renata?" tanya Lucas yang sempat melirik dengan ekor mata."Ya, aku ingin memastikan dia pulang dengan selamat." Samudera Biru mencoba memberi alasan logis untuk kelakuannya.Lucas hanya tersenyum, melanjutkan pembicaraan. "Mengenai gedung, apa Pangeran akan benar-benar menghentikan pemugaran?""Itu tergantung dari sikap mereka, terutama dia." Dagu Samudera Biru terangkat pad
Renata menatap mobil yang mengantarnya menjauh. Serangkum angin datang mendekat bersama energi yang familier, Shiny. "Kakak!!!" Pekik gadis itu lalu memeluk erat. Di belakangnya para dedemit gedung berkumpul, wajah-wajah pucat mereka menyiratkan lega. Renata tersenyum, melepaskan tubuh Shiny yang menggayut manja. "Kita bicara di atas," ucap gadis itu pelan, melirik beberapa toko yang sudah buka. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian karena berbicara tanpa lawan. Semua dedemit seketika menghilang kecuali Shiny. Ia menatap Renata penuh khawatir dan penasaran. "Kakak baik-baik saja? Tadinya kita akan kembali ke sana kalau sampai nanti malam Kakak belum kembali." "Aku baik-baik saja. Kita ke atas sekarang," jawab Renata sambil mengelus pipi Shiny lembut. Gadis itu menurut, mengikuti langkah Renata menuju atap gedung. "Saya bersyukur Anda dalam keadaan baik-baik saja, Nona," sambut Panglima Kuning. "Terima kasih
“Tring!! Tring!! Tring!!”Semua orang menatap ke pintu. Bukan karena dentingan lonceng angin tapi karena sosok yang masuk begitu menyilaukan.Ini sudah tiga hari berlalu sejak insiden dan pangeran peri itu baru menunjukan batang hidungnya lagi.“Selamat malam,” Ken menyapa sopan, sementara Renata diam memperhatikan setiap langkah anggunnya yang mengundang bisik-bisik pembeli.“Selamat malam juga anak kecil.”Wajah imut Ken seketika tertekuk. Lelaki itu melewatinya dengan wajah tanpa dosa.Ia menempatkan diri di kursi, tepat di depan Renata.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya dengan mata menelisik.“A ... aku baik,” sahut Renata terbata. Sedikit menjauhkan kursi agar aroma Samudera Biru tidak terlalu mengganggu saraf-sarafnya yang lapar.“Kau tidak rindu padaku kan?”Renata mengerjap, mulut lelaki ini belum berubah sedikit pun.“Tentu s
Bulan membulat sempurna. Sinarnya terlihat berkali lipat lebih terang. Bintang-bintang rasi tak mau kalah, mereka berpijaran, mengerlip pada wanita luar biasa cantik yang bersila di atas daun lotus raksasa, tepat di tengah kolam berair sejernih kaca.Cahaya putih kebiruan keluar dari tubuh wanita itu. Membumbung ke angkasa, berputar sebentar lalu melesat ke arah seorang anak perempuan yang tertidur dalam gendongan lelaki gagah yang berdiri di tepi kolam.Semua yang hadir terhenyak. Kuncup bunga mendadak bermekaran, kupu-kupu warna warni berdatangan dan bau harum semerbak dilarikan angin ke berbagai penjuru.Wanita di atas daun lotus menghentak lembut ujung kaki, melayang indah menuju tepi kolam.Semua orang menjura, memberi jalan. Dengan anggun wanita itu mendekati anak perempuan yang dilingkupi cahaya. Menyentuh lembut ruang di antara kedua alisnya.Secara perlahan cahaya itu masuk ke dalam tubuh si anak seiring bau harum yang juga menghilan
Renata merasakan tubuhnya gemetar. Meski diucapkan dengan nada santai tapi kalimat Samudera Biru sarat akan ancaman. Gadis itu menarik napas dalam sebelum akhirnya menatap tajam lelaki di depannya. “Kau sangat mengagumkan, Pangeran.” Samudera Biru mengedikkan bahu, balas menatap mata Renata yang berkilat sinis. “Jadi?” “Aku setuju.” “Gadis pintar.” Lelaki itu mengacak rambut Renata “Aku bukan anak kecil,” tepis gadis itu, menyingkirkan lengan Samudera Biru. “Ah, aku lupa kau sudah tumbuh menjadi gadis yang seksi.” “Memangnya kau tahu masa kecilku?” dengus Renata. Samudera Biru mengangguk, membuat mata Renata menyipit serius. “Benarkah? Apa kita pernah bertemu?” “Menurutmu?” “Aku harap tidak.” “Kenapa?” “Karena kau itu rubah jantan yang licik.” “Rubah? Aku peri.” “Terserah, bagiku kau itu rubah licik.” Samudera Biru tertawa lalu menjentikan jari, men