Share

4. Rapat

Malam ini terlalu dingin. Angin beraroma hujan melentingkan pepohonan ke satu arah. Entah bagaimana Renata bisa berada di sana, di tepi danau dengan jutaan cyanobacteria.

Renata tak mengenal danau itu. Hanya saja warna hijaunya mengingatkan pada puding pandan lembut buatan sang ibu yang sedang menatap lurus.

Benar, itu ibunya. Wanita bergaun putih yang berdiri belasan meter di depannya dengan senyum terkembang adalah ibunya. Tapi sedang apa ia di sini? Otak Renata tak bekerja, fokusnya hanya pada dada yang seperti ingin meledak oleh rindu yang keterlaluan.

Renata berlari, tak peduli pada dingin yang menyentuh kakinya yang tanpa alas.

"Rena," panggil wanita bergaun putih itu. Tangannya melambai lalu melangkahkan kaki, ke tengah danau, bukan ke arah Renata.

"Tidak! Apa yang kau lakukan?!" Renata berteriak, langkahnya tersaruk, mengejar ibunya yang semakin masuk ke dalam danau.

"Byurr!!!" Renata menerjang. Merasakan kulitnya seperti ditusuk ribuan jarum  karena air yang sedingin es. Ia tak peduli. Matanya nanar mencari sosok wanita itu. Beruntung gaun putih yang dikenakannya terlihat mencolok di air danau yang hijau.

Renata menghentakan kaki dan lengan, melawan arus bawah air yang semakin kuat karena gelombang angin. Renata menangkap tubuh ibunya yang melayang dengan mata tertutup karena kehabisan oksigen.

Gadis itu panik, sebelah tangannya menyibak air, mencoba berenang ke atas. Saat itulah ia merasa lengan ibunya bergerak, mencekal tangan dan pinggangnya. 

"Ibu," desis Renata. Gelembung keluar dari bibirnya yang sedikit terbuka.

Wanita itu tersenyum, matanya perlahan terbuka. Renata terhenyak, mata itu berwarna merah darah, bukan cokelat seperti mata milik ibunya.

"Tidakkk!!!" 

Renata terbangun. Peluh menetes dari setiap pori. Napas gadis itu mendengus-dengus. 

Ia mengusap wajah, melirik jam di atas nakas. Pukul 18.30. Sebuah novel tergeletak di dekatnya. Ah, rupanya ia tertidur saat membaca. 

Renata tercenung, mengingat mimpinya yang terasa begitu nyata. Mata merah darah itu akhir-akhir ini sering muncul di mimpinya.

Firasat Renata tidak enak. Apa makhluk itu masih mengejarnya? Tapi ini sudah sepuluh tahun. Rasanya mustahil. Ia tak seberharga itu.

Renata berjingkat, mengambil sebotol air mineral dari kulkas dan meneguk hampir separuh isinya. 

"Tring ... tring ... tringgg!!!"

Lonceng angin di jendela berdenting. Renata menoleh, menemukan Shiny tersenyum lebar.

"Kakak baru bangun tidur?" Mata gadis dedemit itu menyelidik penampilan kusut Renata.

"Hemm," jawab Renata lalu kembali menenggelamkan diri ke atas kasur.

"Jangan tidur lagi, kita mau rapat, Kak." Shiny mengguncang bahu Renata.

"Aku absen."

"Ngga boleh, Pokoknya Kakak harus ikut." 

"Hei, Shiny?" Renata tiba-tiba mengubah posisi, bersila. Manik matanya menatap wajah cantik Shiny.

"Apa?" Gadis itu sedikit bingung dengan perubahan ekstrem ekspresi Renata.

"Kalau aku dijahati, apa kau akan melindungiku?"

"Pasti."

"Sampai titik darah penghabisan?"

Kening Shiny berkerut.

"Lupakan." Renata mengibaskan tangan. Menyesali pertanyaan konyolnya. Bagaimana bisa ia mengharap perlindungan dari demit muda yang kekuatannya belum seberapa. 

"Kakak aneh," desis Shiny. "Apa ada yang mencoba menjahati Kakak? Siapa? Si tampan itu?" 

"Tidak ada," jawab Renata lugas. Ia mengikat rambut dan beranjak menuju kamar mandi. Shiny mengekor sampai pintu.

"Kak, mandinya jangan lama-lama, yang lain udah pada kumpul!" 

"Iya, bawel!"

Shiny tertawa lalu berkelebat melewati lonceng angin, membuat benda logam itu kembali berdenting.

Renata mengeringkan rambut dengan hair dryer setelah itu menyambar piyama warna burgundy dari lemari. Ia melirik jam, hampir jam tujuh. Artinya ia masih punya cukup waktu untuk membuat kopi. Gadis itu melenggang menuju pantry dengan konsep mini bar yang lucu.

Wangi aroma kopi memenuhi ruangan, gadis itu mencicip sedikit. Setelah yakin rasanya tidak terlalu buruk Renata menaruh ketel dan beberapa cup ke atas nampan, sementara ia kembali ke kamar kecilnya --entahlah apa itu pantas disebut kamar-- karena sebenarnya itu adalah ruangan yang diberi partisi kayu model jepang lengkap dengan pintu gesernya. 

Sebelum turun Renata menyambar long coat berbahan semi wol di capstok lalu mengunci pintu kamar.

"Mau kopi?"  tanya Renata pada Ken yang masih berjaga di toko.

Ken mengangguk, menerima secangkir kecil kopi hitam dengan aroma menggoda.

"Mbak mau keluar?" 

"Ya, ada urusan di atap."

Renata membawa nampannya keluar. Berjalan memutar ke samping di mana tangga besi untuk menuju atap ada di sana. 

Gadis itu meniti anak tangga dengan hati-hati. Shiny berlari menyambut, saat mencium aroma kopi wajahnya tampak senang.

Mata Renata berkeliling, bibirnya menyunggingkan senyum tipis pada beberapa makhluk penghuni gedung yang datang.

"Kak, aku mau kopinya," rengek Shiny yang dari tadi tak henti mencolek ketel kopi.

"Iya," jawab Renata singkat lalu menuangkan kopi ke beberapa cangkir kecil.

Shiny bersorak, langsung menghirup jatahnya.

"Mm ... enakkk," desisnya dengan mata setengah terpejam. "Kalian tidak mau?" tanya gadis demit itu pada teman-temannya yang melihat dengan liur hampir menetes.

Dan tak sampai sedetik mereka sudah terlibat kekacauan, saling berebut.

"Cih, memalukan." Satu suara seketika menghentikan keriuhan. Semua mata menatap pada sosok gagah yang sedang duduk bersila menatap pemandangan, memunggungi mereka.

Sosok itu berdiri dan membalikan badan. Seketika hawa panas menyebar, membuat beberapa makhluk yang lain tampak ketakutan.

"Kak Leon mau juga?" Shiny menghampiri makhluk yang terlihat tampan itu, mengangsurkan cangkir.

"Aku tidak mau," desis Makhluk yang dipanggil Leon. Ia menatap miring pada Renata. " Kenapa gadis manusia ini ikut?" tanyanya tampak tidak suka.

Renata menarik napas, tak asing dengan sikap makhluk satu itu yang hampir tak pernah bersikap ramah terhadapnya.

"Sebenarnya saya juga tidak mau ikut, tapi Shiny memaksa." jelas Renata datar.

"Iya, aku mau Kak Rena ikut. Kenapa, ada masalah?" Cicit Shiny sambil berkacak pinggang.

"Dia hanya akan menjadi beban," balas Leon dengan intonasi meninggi.

"Dia hanya akan mendengarkan, tidak ikut berperang," kekeuh Shiny.

"Dasar anak kecil keras kepala," Leon kembali mendesis membuat beberapa makhluk semakin mengkeret.

"Hentikan!" Suara berat seorang lelaki menggelegar. 

Dari atas melayang turun sosok tinggi besar. Wajahnya tampan dan tegas. Sweater turtleneck hitam, celana cargo cream dan sepatu tactical tampak sempurna di tubuhnya.

Semua makhluk yang hadir tampak menunduk hormat termasuk Shiny. Renata menatap makhluk itu, ini pertemuan ketiga mereka dan makhluk itu tetap saja terlihat mempesona. 

"Selamat datang, Panglima Kuning," ucap Leon dengan suara rendah.

Sosok itu mengangguk lalu menatap Renata.

"Apa kabar, Nona Renata?" sapanya dengan artikulasi mengagumkan. 

"Saya baik," jawab Renata sambil menganggukkan kepala.

Panglima Kuning bisa dibilang pemimpin di gedung itu. Semua makhluk di sana tunduk padanya. Selain karena usianya yang sudah mencapai seribu tahun juga karena dulu dia adalah seorang panglima besar di salah satu kerajaan gaib.

Entah kesalahan apa yang telah dia perbuat sampai terusir dari kerajaannya dan memilih menetap di gedung ini. 

Sikapnya tenang, ramah dan tidak terlalu suka bersinggungan dengan urusan manusia. Tak heran selama tinggal di sana Renata sangat jarang bertemu dengannya.

Jika sekarang ia mengikuti rapat maka perlu sedikit dicurigai, ada masalah lebih besar dari sekedar masalah pemugaran gedung. Meski begitu Renata memilih menyimpan rasa penasarannya seorang diri.

"Jadi apa kalian sudah memutuskan?" Panglima Kuning memandang berkeliling.

Shiny mengangkat wajah. "Sudah Panglima, kita semua sepakat untuk menggagalkan rencana pemilik gedung."

"Bagaimana dengan Anda, Nona Renata?"

Renata berdehem, tak menyangka ia ikut ditanyai.

"Sejujurnya saya tidak setuju, karena bagaimana pun itu hak dari pemilik gedung ini. Meski begitu saya menghargai jika teman-teman semua memiliki pendapat yang lain," jawab Renata sesopan mungkin.

"Tentu saja dia tak akan setuju, karena itu bangsanya sendiri," ucap Leon sinis.

Untuk kedua kalinya Renata menarik napas. Andai ia punya kekuatan untuk membungkam mulut pedas makhluk itu.

"Kau sangat kasar," Shiny mendengus, matanya seperti ingin menerjang Leon.

Renata menyentuh lengan Shiny, menenangkan.

Panglima Kuning mengelus cambang tipisnya, tampak berpikir.

"Bagaimana cara kalian menggagalkan rencana itu?" 

Leon maju, ekspresinya meyakinkan.

"Langkah pertama kami akan memberi peringatan kepada pemilik gedung."

"Kudengar dia bukan orang biasa, penjaganya juga kuat. Kalian siap dengan konsekuensinya?"

"Kami akan berusaha," ucap Leon yang diaminkan makhluk lainnya.

Renata hanya diam mendengarkan, sama sekali tidak setuju.

"Jika itu keinginan kalian, maka lakukanlah dan berhati-hati. Aku hanya akan melihat dari sini."

Seketika suasana menjadi riuh.

"Kenapa Anda tidak ikut?" tanya salah satu makhluk dengan telinga lancip dan berhidung sedikit bengkok.

"Haruskah aku turun tangan hanya untuk sebuah peringatan?" tanya Panglima Kuning datar tapi efeknya membuat makhluk tadi menunduk dalam. "Jadi kapan kalian akan pergi?"

"Pukul dua belas Panglima," jawab Leon.

"Baiklah, berhati-hatilah kalian semua." 

Panglima Kuning menatap Renata, memberi isyarat agar ia mengikutinya. Tanpa banyak bicara gadis itu mengikuti. Mereka duduk di sudut, menatap ribuan lampu kota yang berkelip indah.

"Nona Renata kecewa dengan keputusan mereka?" tanya Panglima Kuning tanpa menatap.

"Tidak, seperti yang saya katakan, saya menghormati keputusan mereka. Hanya saja saya sedikit khawatir.

"Apa yang Anda khawatirkan?"

"Dua penjaga gedung ini, mereka tidak biasa, kemampuan mereka mungkin setara dengan Anda."

"Dari mana Nona tahu?"

"Entahlah, saya hanya merasa begitu," jawab Renata dengan sedikit tersenyum.

"Sebenarnya saya pun tidak setuju dengan mereka. Tapi saya ingin melihat sejauh mana mereka bertindak. Apakah mereka bertambah bijaksana atau hanya bermain di tempat."

Renata tersenyum, sedikit kagum dengan usaha Panglima Kuning membuat anak buahnya yang mayoritas berasal dari tingkat rendah menjadi lebih beradab. 

Tak lama gadis itu berpamitan karena gerimis mulai turun dan jam kerja Ken akan segera berakhir.

Panglima Kuning menatap kepergian Renata dengan mata takjub. Tadi saat mereka berbicara sebenarnya ia sengaja mengeluarkan energi untuk mengetes ketahanan tubuhnya terhadap benturan energi mereka. 

Anehnya gadis itu terlihat sama sekali tak terpengaruh. Bahkan energinya mampu meredam energi Panglima Kuning dengan baik. 

"Kau mirip seseorang," desis Panglima Kuning.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status