Hampir seminggu Lintang Timoer datang ke toko untuk membujuk Ken agar mau pulang ke rumahnya.
Selama itu pula ia selalu membawakan makanan dan minuman kecil untuk Renata.
Sang gadis sudah menolak sejak awal namun tak didengar sama sekali.
Dan Lintang Timoer adalah lelaki supel. Dalam waktu singkat mampu membuat Renata merasa terbiasa dengan kehadirannya. Bahkan Shiny begitu memujanya sebagai si tampan yang low profile.
Seandainya gadis dedemit itu tidak sedang sibuk belajar gerakan Lalisa Dance di atap, niscaya ia akan mengekori Lintang Timoer seperti anak ayam bertemu bapaknya.
“Nona Renata, terima kasih sudah menjaga Kenzio,” ucap Lintang Timoer membuka percakapan disela menunggu kedatangan Ken.
“Aku tidak melakukan apa-apa. Dia menjaga dirinya sendiri dengan baik, Tuan Lintang,” sahut Renata diplomatis, karena faktanya ia memang tak melakukan apa pun untuk Ken selain berusaha menjadi bos yang baik.
Rubicon putih yang dikendarai Samudera Biru melaju di jalan Raya dengan kecepatan sedang. Di sebelahnya Renata duduk sambil memainkan gawai.“Kau berdandan untuk siapa?”Renata menoleh, menatap wajah tampan yang melontarkan pertanyaan.“Untuk diriku sendiri.”“Bukan untuk lelaki bermarga Timoer itu?”“Tentu saja bukan, memangnya dia siapa sampai aku harus berdandan untuknya?”Samudera Biru mengulum senyum. Sangat puas dengan jawaban Renata yang terdengar sedikit ketus.“Apa untukku?”Mata Renata berputar. Sebal dengan kenarsisan peri itu.“Anggap saja begitu,” sahutnya malas berdebat.Samudera Biru terkekeh.“Kita akan ke mana?” tanya Renata setelah terjeda sepi sejenak.“Ke luar negeri.”“Kau serius? Aku tidak bawa paspor.”“Itu tidak diperlukan.”“
Hampir lima jam Renata bermeditasi. Saat ia diperintah membuka mata hari sudah beranjak gelap. Namun Sinar puluhan lampion yang digantung Samudera Biru di ranting pohon membuat keadaan menjadi terang dan eksotis.Renata yang merasakan dirinya penuh energi berinisiatif mengangkat benda kecil di sekitarnya. Mengubah dan menggerakkan sesuka hati tanpa kesulitan.Samudera Biru tersenyum puas. Melontarkan batu dan bongkahan air untuk memecah konsentrasi, namun sigap ditangkis Renata menggunakan media yang sama.“Kau berhasil, sayang.” Samudera Biru mengulurkan tangan, hendak memeluk.“Karena sudah berhasil maka Yang Mulia tolong jangan terus menguji,” pinta Renata kaku seraya mundur teratur.Samudera Biru menarik kembali lengannya, menatap wajah acuh tak acuh itu lekat.“Kau marah?” tanyanya lembut.Renata menggeleng. “Apa jalang sepertiku berhak marah pada seorang pangeran peri s
“Bekal?”Alis indah Renata bertaut.“Hem, aku akan pulang ke kerajaanku.”“Kapan?”“Sebentar lagi.”“Oh,” Renata menggumam, rasa tak rela yang terselip jelas membuat Samudera Biru mengelus kepalanya.“Ada beberapa informasi terkait ayahmu. Aku pulang untuk menyelidikinya.”“Bisakah aku ikut?”“Tidak sekarang. Tunggu sampai aku mengetahui situasinya dengan baik.”Renata mendesah kecewa. Samudera Biru tersenyum, ia mengeluarkan sebuah buku kecil berwarna emas dari dalam penyimpanan kasat matanya.“Buku ini adalah salah satu catatan ibuku. Berisi cara-cara dia bersinergi dengan jiwa lotus yang ada di dalam dirinya. Selama aku pergi pelajari ini.”Renata mengangguk. Menerima buku yang disodorkan Samudera Biru.“Baiklah, aku harus segera pergi, Rama sudah terlalu lama menunggu.&r
Baru beberapa menit meninggalkan kafe, Bentley yang ditumpangi Renata mendadak oleng dan hampir menabrak pembatas jalan.“Ada apa pak?” tanya Renata pada sopir yang sudah turun lebih dulu.“Bannya pecah, Nona. Saya akan menelpon ke mansion untuk meminta mobil baru.”“Tidak usah, saya tunggu sampai bapak selesai mengganti ban saja,” tolak Renata.“Itu akan membutuhkan waktu cukup lama, Nona.”“Saya pesan taksi online saja kalau begitu,” Renata kembali menolak sambil mengeluarkan ponsel.“Tapi Tuan Lucas meminta saya untuk tidak membiarkan Nona naik kendaraan umum.”“Tidak apa-apa, saya yang akan bertanggung jawab pada Tuan Lucas.”Sopir itu tampak keberatan namun Renata tersenyum meyakinkan.Tak lama taksi yang dipesan Renata datang. Sebelum pergi ia meminta maaf pada sopir karena meninggalkannya sendirian.Taksi melaju membel
Suara peluru mengoyak daging terdengar begitu jelas membuat semua orang terpaku.Sopir taksi berdiri menyeringai sambil memegang pistol. Dengan brutal kembali menembakkan peluru berulang kali.Kejadian itu terlalu cepat hingga Renata yang masih shock tak mampu berpikir kritis.Sesaat lagi timah panas akan kembali menembus tubuh Lintang Timoer tiba-tiba angin dingin menerpa. Seluruh peluru luruh ke tanah sementara sang sopir taksi terjungkal keras, muntah darah kemudian pingsan.Di depan Renata berdiri Ratansa dengan wujud perinya.“Anda tidak apa-apa, Nona?” tanyanya datar.“Aku tidak apa-apa. Dia tertembak, kita harus membawanya ke rumah sakit,” sahut Renata panik karena Lintang Timoer mulai kehilangan kesadaran.“Baik, Nona.” Rei, asisten Lintang Timoer menjawab. Berpikir jika Renata tengah berbicara padanya.Renata hanya mengangguk, tak ingin meluruskan dengan siapa ia bicara. Mereka berge
Renata menyibak selimut ketika lapat-lapat telinganya mendengar suara perkelahian.Ia beringsut turun, meraih jubah tidur kemudian beranjak menuju balkon.Matanya terbelalak ketika melihat pertempuran antara peri penjaga melawan puluhan penjual jiwa berpenampilan serupa dengan mata hitamnya yang mencolok.Dari sekian banyak penjual jiwa ada satu yang menarik perhatian Renata, yaitu sosok yang mengenakan coat panjang bertudung dengan topeng kayu tipis.Sosok itu tengah berhadapan dengan Ratansa. Mereka tampak bertarung dengan begitu sengit dan seimbang.“Jiwa lotus!” salah satu penjual jiwa yang menyadari kemunculan Renata berteriak membuat kawanannya kompak menoleh ke arah balkon.Bunyi geraman terdengar susul menyusul. Beberapa penjual jiwa melayang menuju balkon namun terpental karena menabrak dinding pelindung.Mereka kembali menggeram keras dengan geraman yang mirip binatang buas.“Nona Renata, menja
“Dari mana saja, Kakak?”Satu suara bernada sinis menyapa, membuat wajah lelaki itu semakin memucat.“Kau tak lihat aku baru saja keluar dari kamar mandi, Zio?” lelaki bertopeng yang ternyata Lintang Timoer balik bertanya lantas beranjak naik ke atas brankar.“Jangan membodohiku. Aku melihatmu pergi dengan makhluk-makhluk itu. Kau menyerang mansion Samudera Biru, bukan?”Mata Lintang Timoer bergulir santai. “Kalau sudah tahu kenapa bertanya?”Kenzio mendesis, ia maju dan mencengkeram kerah baju Lintang Timoer.“Aku tidak peduli urusan kalian dengan peri itu, tapi jangan pernah libatkan Renata, aku tidak akan tinggal diam jika dia sampai terluka.”“Memangnya apa yang bisa kau lakukan selain kabur, adik kecil?” Lintang Timoer tersenyum mengejek.“Aku bisa menghabisimu kalau perlu.”Kenzio melepaskan cengkeramannya kasar lantas meninggalkan
Renata memindahkan bubur ke dalam termos sedikit tergesa. Serangan para penjual jiwa semalam membuatnya sangat lelah dan kembali bangun kesiangan, padahal ia memiliki janji untuk menjenguk Lintang Timoer pagi ini.“Anda tidak sarapan dulu, Nona?” tanya kepala pelayan sambil mengikuti Renata.“Aku sarapan di luar saja. Apa Tuan Lucas sudah datang?”“Tuan Lucas sedang ada perjalanan bisnis ke luar negeri.”“Oh, baiklah. Aku berangkat dulu.”“Hati-hati di jalan, Nona.”“Terima kasih.” Renata menyambar tasnya dan berjalan menuju halaman di mana Ratansa dan sopir sudah menunggu.“Selamat pagi, Nona.” Kedua lelaki itu mengangguk sopan.“Selamat pagi,” sahut Renata sambil tersenyum lalu menatap Ratansa. “Bagaimana keadaanmu? Kalau masih belum pulih sebaiknya istirahat saja, tidak perlu mengikutiku hari ini.”“Saya s