Share

6. Pangeran Kerajaan Peri Samudera

Samudera Biru meraup tubuh Renata seperti meraup sejumput kapas. Rambut panjang sang gadis terburai jatuh, memperjelas wajah pucatnya. Lelaki itu mendesah lalu melangkah lebar memasuki mansion. Para penjaga menundukan kepala, memberi jalan pada tuannya yang tampak membesi.

Lucas datang menghampiri, memberi kode pada salah satu penjaga untuk mengambil alih Renata namun ditampik lewat tatapan tajam menusuk. Ia menaruh Renata di ranjang kamarnya dengan hati-hati. Memeriksa denyut di lengan dan leher gadis itu kemudian sebelah telapak tangannya menyentuh dada, membagi sedikit energi untuk menormalkan aliran darah yang kacau.

Renata mengerang lirih, keringat bermunculan di dahinya seperti jejak rinai pada kaca. Pelan-pelan napasnya yang tersendat mulai terlihat lancar dan teratur.

Samudera Biru menyeka keringat gadis itu dengan handuk kecil yang disodorkan Lucas lantas menarik selimut untuk menutupi tubuhnya hingga sebatas dada.

"Semua yang terluka sudah diurus?" tanya Samudera Biru pada Lucas.

"Sudah, termasuk teman-teman Nona ini."

"Bagus, setelah diobati suruh mereka kembali ke gedung dan tolong selidiki semua hal yang berkaitan dengan dia, sedetail mungkin,"

Lucas mengangguk lalu bertanya dengan ragu "Apakah Anda membutuhkan kamar lain?" 

"Tidak, aku tidur di sini, jadi pergilah."

Lucas kembali mengangguk lalu mengundurkan diri dari pandangan. Sejujurnya ia sedikit terkejut karena ini pertama kali Samudera Biru membawa wanita ke dalam kamar pribadinya. Padahal biasanya Samudera Biru sangat protektif, selain Lucas ia tak akan pernah mengizinkan orang lain masuk ke kamarnya barang selangkah pun, tak terkecuali ayah dan adik perempuannya.

Jika wanita itu bisa sampai di tempat tidurnya berarti dia punya arti besar untuk Samudera Biru. Tapi arti apa, bahkan mereka baru bersua kemarin.

"Selamat jatuh cinta," ucap Lucas dalam hati sebelum benar-benar menyingkir.

"Kenapa kau begitu ceroboh?" desis Samudera Biru menatap Renata yang meringkuk tenang seperti bayi. Jarinya merapikan beberapa lembar surai yang menempel di pipi lalu menyentuh lebam keunguan di pelipisnya. "Apa kau begitu sibuk sampai tidak punya waktu mengurus lukamu sendiri?" sambung lelaki itu lalu mengoleskan salep yang tadi dibawa Lucas bersama handuk kecil. Setelah selesai ia kembali menatap, menaksir fitur wajah Renata dengan hati yang terasa aneh.

Gadis ini tidak terlalu cantik, malah terkategori biasa saja jika dibandingkan dengan wanita-wanita yang dikenalnya. Namun entah mengapa ia merasa terikat padanya. Ia selalu berdebar setiap kali mata mereka berserobok, seluruh indranya tiba-tiba bersekutu membentuk simpul-simpul rindu yang menyiksa lalu memaksa melakukan hal-hal yang tak pernah ia lakukan seumur hidupnya pada seorang gadis, seperti menggoda, menjahili atau mengejek, apapun itu agar dia memperhatikannya.

Dan hasratnya mudah sekali tersulut setiap mereka berdekatan. Seperti sekarang, netranya bahkan tak bisa berpaling dari bibir merah muda gadis itu, bibir yang seolah memanggil, menuntun jemarinya untuk membuat sebuah sentuhan.

Ada desir halus yang menjalar ketika ujung jari telunjuknya bertemu dengan daging selembut puding itu. Karenanya tanpa sadar Samudera Biru menurunkan kepala, siap mengenyahkan semua jarak diantara mereka, namun setitik kewarasannya yang tersisa berteriak, melemparnya pada satu kesadaran utuh.

"Astaga, apa yang kulakukan?" desahnya bergidik. Hampir saja ia mencuri ciuman dari seorang wanita yang sedang tertidur. "Memalukan," umpatnya sambil beranjak penuh penyesalan.

Dan sekarang kepalanya berdenyut, menuntut untuk dinetralkan. Lelaki itu menghembuskan napas kasar, menyeret diri ke kamar mandi. Membiarkan jutaan tetes air shower menimpa tubuhnya, membujuk hasrat yang merajuk agar bersemayam dengan tenang.

Setelah ritual pendinginannya selesai barulah ia kembali mendekati Renata, memastikan kondisinya stabil lantas menyerahkan tubuh lelahnya pada sofa besar di seberang ranjang.

Samudera Biru menatap plafon, mengingat cahaya kehijauan Renata yang sangat familier. Bagaimana gadis itu bisa memilikinya? Apa ia sadar memilikinya? Lalu bagaimana ia bisa melihat para penjaganya yang notabene berbeda dari makhluk sejenis hantu, siluman atau dedemit. Mereka sulit ditembus bahkan oleh indera keenam manusia. Kecuali orang itu memiliki kekuatan di atas rata-rata manusia biasa, memiliki perjanjian khusus atau keturunan dari manusia-manusia terpilih. Untuk yang terakhir Samudera Biru sangsi, karena mereka sudah lama melenyapkan diri, tak terjangkau penglihatan batinnya.

Jika Renata adalah salah satu dari sekian manusia yang terpilih maka ia seperti mendapat sebuah jackpot. Usahanya selama bertahun-tahun akan terbayar. Yang dicari datang sendiri ke dalam genggamannya.

"Apa ini takdir, Ibu?" Samudera Biru mendesah lalu menutup mata.

***

Renata menggeliat, merasakan cahaya matahari menyentuh wajahnya. Ia tersenyum senang, sudah lama sekali tidak tidur selelap ini. Rasanya ia ingin bermalas-malasan sedikit lebih lama di  kasur yang sangat empuk dan halus ini. Tunggu, sangat empuk dan halus? Sejak kapan kasur busanya berkarakter seperti itu? 

Kelopak mata gadis itu terangkat, mengintip. Warna keemasan langsung menyapa. Keemasan? Seprainya berwarna abu-abu!

Seketika Renata terjaga seratus persen. Memorinya dipaksa bekerja dua kali lipat menyusun keping-keping kejadian semalam. Ia ingat hal terakhir yang dilihatnya adalah tubuh seksi Samudera Biru. Tunggu, kamar ini, di mana aku? Apakah ini kamar lelaki mesum itu? Hwaaa ... Renata mengacak rambut, panik. Ia menyapu kamar luas yang kental dengan sentuhan eropa klasik itu lambat-lambat. Pandangannya membentur sosok Samudera Biru yang terlentang dengan kepala bertumpu pada kedua lengannya.

"Ah, sial! Aku benar-benar berada di rumahnya tapi kenapa bisa sekamar? Apa ia melakukan hal buruk ketika aku tidur?" Rambut-rambut halus di sekujur tubuh Renata berdiri, ia berjingkat, memeriksa apakah ada jejak-jejak nafsu pada kasur. Aman, tak ada apa-apa di sana.  Meski begitu ia masih belum puas kalau belum memeriksa setiap inci tubuhnya secara saksama dari atas sampai ke bagian paling sakral di bawah sana.

"Apa kau beharap semalam kita bercinta?"

Tepp! Renata melepas karet celana piyama, menghentikan aksi mengintip area sensitif. Wajahnya semerah kepiting dalam kukusan. Sungguh, ia tak ingin berbalik.

"Kenapa aku di sini? Kenapa kau sekamar denganku?" cicit Renata menutupi rasa malunya dengan bersikap galak. Matanya melempar peperangan pada Samudera Biru yang kini bersila dengan kepala bersandar pada hulu sofa.

"Ini kamarku, kau menumpang di sini," balas Samudera Biru acuh tak acuh.

"Aku tidak memintamu membawaku ke sini. Kau kan bisa mengantarkanku ke toko."

Samudera Biru mendesah, paginya diisi dengan omelan wanita, sempurna. 

"Kau pikir aku jasa pengiriman. Kau pingsan seperti mayat, Nona. Jika aku tidak membantumu, kau hanya akan tinggal nama."

Renata terdiam, setelah perisai hijaunya menghilang dadanya memang terasa sakit dan sesak membuat penglihatannya mengabur. Ah, pelindung itu kenapa ada di tubuhnya? Kapan ibunya memberikan itu? Renata mengingat-ngingat masa ketika ibunya meregang nyawa. Tak ada hal dramatis yang dilakukan wanita itu selain tersenyum dan menyentuh pipinya. Apa mungkin memindahkan kesaktian cukup dengan hanya menyentuh dalam tempo singkat. Renata mengerjap, ibunya memang penuh misteri.

"Apa yang kau pikirkan?" 

Renata sedikit tergagap, Samudera Biru sudah berdiri di hadapannya. Tubuhnya yang kokoh membuat Renata tanpa sadar menelusur sampai ke wajah khas bangun tidurnya yang terlihat menawan.

"Tidak ada," jawabnya lalu cepat-cepat memalingkan mata dari pekerjaan cabulnya. "Apa kau seorang pangeran, kenapa desain kamarmu seperti ini?" Gadis itu mencoba mengalihkan pembicaraan sebelum lelaki itu memulai ejekannya.

"Aku memang seorang pangeran," jawab Samudera Biru santai lalu kembali meletakan pinggulnya di sofa. Melipat kaki dan tangan dengan gerakan memukau.

Jika tak mengingat mulut kurang ajarnya mungkin Renata akan percaya pada perkataan Samudera Biru. Sejak pertama bertemu dia memang tampak berbeda dari orang kebanyakan. Setiap gerakannya terukur, anggun dan alami seperti memang terlahir dengan semua itu. Belum lagi visual dan kekayaannya yang tampak di atas rata-rata akan membuat semua orang mengamini jika dia adalah seorang pangeran tanpa cela.

"Pangeran bermulut kotor? Hah, lelucon," gumam gadis itu pelan.

"Apa? Kenapa kau bergumam, tak percaya?" tanya Samudera Biru melihat tatapan meremehkan di mata Renata.

"Tidak, aku percaya padamu wahai Pangeran Samudera Biru." Renata menyilangkan sebelah lengannya di dada lalu membungkuk dalam.

Samudera Biru yang melihat itu terkekeh. Dia berdiri dan kembali mendekati Renata.

"Hei, lihat aku baik-baik," perintahnya sambil mengangkat dagu Renata hingga gadis itu terpaksa menatap.

"Wusss ...." angin hangat disertai asap tipis menyelimuti tubuh Samudera Biru lalu menghilang dengan cepat entah ke mana.

Renata mengerjap, mulutnya menganga, terpana pada wujud di hadapannya. Di lihat dari sisi manapun wajah itu memang wajah Samudera Biru tapi penampilannya luar biasa berbeda. Ia mengenakan baju yang mirip dengan baju hanfu berwarna putih keperakan. Ornamen rumit berwarna senada menempel di kedua bahunya yang kokoh. Sebuah mahkota berdesain simpel dengan berlian berwarna biru terang melingkar di batas antara kepala dan dahi, selaras dengan rambut hitam legamnya yang hampir menyentuh pinggang. Satu cincin berbentuk naga berwarna perak melingkar angkuh dijari telunjuknya dan yang paling mencolok dari semua itu adalah semburat cahaya keemasan yang terpancar dari tubuh tegapnya.

Secara keseluruhan ia adalah keindahan.

Renata merasakan tubuhnya seperti tak bertulang, melorot begitu saja ke lantai. Gadis itu menarik napas, mengisi jantung yang terasa kekurangan oksigen akibat lupa bernapas untuk sesaat.

Samudera Biru tertawa terbahak-bahak lalu mengibaskan tangan dan wujudnya seketika kembali pada sosok Samudera Biru yang berpiyama. Ia berjongkok di hadapan Renata. Lagi-lagi mengangkat dagu gadis itu.

"Sepertinya kau sangat terpesona oleh wujud asliku, Nona?" 

Renata menghembuskan napas kasar, menepis tangan Samudera Biru dan mengumpulkan kesadarannya yang tercecer. Satu pertanyaan lolos begitu saja dari mulutnya "Kau ini pangeran dedemit dari kerajaan mana?" 

"Apa referensi makhluk alam lainmu hanya sebatas dedemit, Nona?" sindir Samudera Biru membalas ejekan Renata waktu itu. "Aku pangeran kerajaan peri samudera," lanjutnya penuh ketegasan.

"Peri? Kau seorang peri?" tanya Renata dengan mata tak percaya.

"Ya," jawab lelaki itu lugas.

"Benarkah, kenapa jauh sekali dari wujud peri yang sering aku lihat di film kartun? Apa kau punya sayap?"

Samudera Biru kembali terbahak, gadis ini sangat menggemaskan. "Tidak, tapi aku bisa membuatnya."

"Boleh aku lihat?" tanya Renata penuh harap, tak peduli lagi pada logikanya yang berteriak-teriak jika ini hanya sebuah tipuan murahan. Renata menyukai sayap sejak kecil, buku gambarnya selalu penuh dengan gambar sayap aneka warna selain aneka wajah dedemit tentu saja. Bahkan sampai sekarang ia masih menyukainya dan menuangkannya dalam bentuk lukisan yang tergantung di dinding kamar. Bukan tanpa alasan, setiap menggambar atau menatap sayap yang terbentang hati Renata akan merasa hangat. Kenangan manis bersama anak lelaki kecil, putra sahabat ibunya terpampang. Hatinya hangat, mengingat dia satu-satunya anak lelaki yang tidak menganggapnya aneh.

"Tidak, kecuali kau beri aku sebuah ciuman."

Wusss!!! Semua kekaguman Renata tersapu angin. Ia berdiri lalu mendelik penuh sewot. "Dalam mimpimu."

Tawa Samudera Biru kembali pecah ia ikut berdiri dan menatap lurus ke wajah yang masih terlihat kesal.

"Jadi, bisa kau jelaskan cahaya hijau milikmu semalam?" 

Deg! Jantung Renata seperti akan tanggal. Ia tak ingin siapapun mengetahui siapa dirinya, meski ia sendiri pun tidak benar-benar paham siapa dirinya sebenarnya. Ia hanya mengingat pesan ibunya untuk tidak membuka identitasnya kepada siapapun. Apalagi kepada pangeran asing yang baru kemarin dikenalnya. Bagaimana jika ia mengincarnya seperti makhluk bermata merah darah itu? Tidak, ia tak akan mengambil resiko.

"Cahaya hijau, cahaya apa?" tanya Renata berpura-pura tidak tahu.

"Kau tidak ingat?"

"Ti ... tidak, aku sama sekali tidak tahu," jawab Renata sedikit gugup, berharap ada keajaiban yang membuat Samudera Biru percaya kebohongannya yang payah.

"Begitu," Samudera Biru mengangguk-angguk, mengulum senyum geli. "Baiklah, pergilah mandi lebih dulu."

"Mandi? Tidak, tidak perlu. Aku akan langsung pulang, selain itu aku tidak punya baju ganti."

"Jangan khawatir, aku akan menyuruh Lucas menyiapkan keperluanmu. Kau pergi setelah sarapan. Aku tidak akan membiarkan tamuku pulang dengan perut kosong." 

"Tapi ...."

"Apa lagi? Kau ingin mandi bersamaku?" 

Renata mengejang, berlalu dengan kaki menghentak .

Samudera Biru terkekeh, senang karena gadis itu mudah dikontrol bahkan oleh satu gertakan kosong. Puas tertawa ia beranjak keluar kamar, meminta Lucas  menyiapkan keperluan Renata. Pria paruh baya itu mengangguk patuh, memanggil pelayan untuk membantunya. sementara Samudera Biru masuk ke dalam ruang kerja yang merangkap ruang baca.

Lelaki itu mengambil sebuah buku tua berwarna coklat dari rak khusus yang tersembunyi di dalam dinding di belakang rak berisi buku-buku lain. Ia membuka halaman demi halaman dan terpukau pada gambar cahaya kehijauan di sana. 

"Tak salah lagi," desisnya dengan senyum miring.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status