Share

7. Sarapan Yang Sempurna

Renata menatap pantulan dirinya di cermin. Dress selutut warna pastel berkerah V dengan bahan lembut jatuh membuatnya terlihat seperti orang asing. Bagaimana tidak, ia sangat jarang mengenakan dress, bahkan di lemarinya hanya ada dua gaun sederhana berharga murah, sangat jauh berbeda dengan gaun yang sekarang melekat di tubuhnya. 

"Ck, harga memang tidak pernah bohong," gumam Renata, menganyun ujung dress ke kanan dan kiri.

"Kau terlihat cantik, Nona."

Renata menoleh, menemukan Samudera Biru bersandar di dinding dengan tangan terlipat. Rapi dan bertabur aroma kayu serta cherry yang manis.

"Terima kasih,"sahut Renata acuh tak acuh sambil memasukkan baju kotor ke dalam papper bag yang sebelumnya berisi seperangkat dress bersama underware berwarna senada yang terlihat cantik dan mahal. "Aku akan mengembalikannya setelah kucuci," sambungnya melewati Samudera Biru. Ia mengambil dompet dan ponsel dari nakas.

"Apa kau memintaku menyimpannya sebagai kenang-kenangan?" Samudera Biru mendekat membuat Renata mundur beberapa langkah, tak ingin mabuk aroma. Ini masih pagi dan ia tak menginginkan masalah.

"Kalau begitu aku akan menggantinya, berikan saja nomor rekeningmu."

"Apa aku terlihat miskin?"

Renata mendesah, sadar tak akan menang berdebat.

"Baiklah, terima kasih atas kemurahan hati Anda, Pangeran." Renata membungkuk lalu menegakkan badan dengan sedikit bingung, kenapa ia bersikap demikian? Wujud penghormatan pada seorang pangeran? Yang benar saja, ia bukan rakyatnya.

Samudera Biru mengedikkan bahu, pura-pura tidak peduli namun bibirnya terlihat menahan tawa. Ia tahu Renata melakukan itu karena kesal sekaligus takut. Manusia mana yang tidak menjadi defensif saat berada di sarang makhluk asing? 

"Lekas turun, setelah sarapan sopir akan mengantarmu pulang."

"Sopir? Tidak, tidak usah. Aku akan memesan taksi saja," tolak Renata sambil mengejar langkah Samudera Biru.

"Aku tidak mengizinkan taksi masuk ke pekarangan rumahku."

"Kalau begitu aku akan menyuruh menunggu di jalan."

"Tidak," tegas Samudera Biru.

"Ck ...." Renata berdecak, sulit sekali bicara dengan orang ini, salah, peri ini."

"Silahkan Nona," seorang pelayan mendekati Renata, menarik sebuah kursi di samping kiri kursi Samudera Biru. 

"Terima kasih." Renata melempar senyum, mengira-ngira apakah perempuan di hadapannya peri atau manusia sungguhan. Setelah itu ia mengangguk sopan pada lelaki paruh baya yang duduk di seberang meja. Lelaki bernama Lucas yang tadi memberinya baju ganti, si manusia seribu persen.

Renata menyeringai mengingat percakapan singkatnya dengan lelaki itu.

"Maaf, boleh saya tahu, Anda manusia atau peri?"

"Saya seribu persen manusia seperti Nona."

Ada raut geli di wajah Lucas, membuat Renata meringis malu.

"Syukurlah. Oh iya, apakah Tuan Biru itu benar seorang pangeran peri?"

"Betul."

"Oh. Apa ia jahat? Apa saya akan baik-baik saja setelah ini?"

"Tidak. Itu tergantung bagaimana Nona bersikap. Kalau Nona bersikap baik maka Pangeran Biru akan seribu kali lebih baik, jika Nona bersikap buruk maka ... Nona pasti mengerti maksud saya."

Renata mengangguk. Mengantar kepergian Lucas dengan hati ketar ketir. "Mati aku," gumamnya mengingat sikap judesnya pada Samudera Biru selama ini.

Desah kasar lolos dari mulut Renata. Sesi sarapan yang belum kunjung dimulai ---karena sang pangeran masih terlihat sibuk dengan gawainya-- terasa mencekam. Renata menggaruk kepala,  iseng-iseng mengamati ruang makan. Dominasi warna putih, meja panjang dengan sepuluh kursi model welton semi klasik, lampu gantung kristal, guci-guci tua dan lukisan abstrak abad pertengahan mengisi ruangan dengan serasi. Sebuah taman terhampar di belakang jendela kaca besar, di belakang kursi Samudera Biru. Pohon, rumput dan aneka bunga menyubur di sana, bersisian dengan kolam batu berair jernih. Koi besar warna-warni berenang gemulai disela gemercik air, mencipta harmoni alam yang memanjakan panca indra.

"Makanlah," suara Samudera Biru mengalun, menyudahi tur singkat Renata.

Gadis itu mengangguk, menatap meja antusias, namun kulit keningnya seketika mengerut. Mereka hanya bertiga tapi makanan yang tersaji cukup untuk satu keluarga besar yang sedang mengadakan arisan. 

Dan, tunggu. Apa ini asli? Bagaimana kalau ternyata aneka serangga atau bintang melata lain yang disihir menyerupai makanan manusia? Mata Renata membesar.

"Semua makanan ini sungguhan, Nona. Jangan khawatir." Lucas meyakinkan, seolah bisa mendengar isi kepalanya.

"Begitu," Renata mengangguk bodoh, kalau bisa ia ingin menggali lubang untuk bersembunyi saking malu dan khawatir memancing kekesalan makhluk di sampingnya.

Beruntung makhluk itu hanya tersenyum mengejek, tidak sampai membuat mulutnya miring, lubang hidungnya hilang atau hal mengerikan lainnya.

Dengan canggung Renata mengambil salad dan beberapa sosis goreng. Sungguh hatinya menjerit ingin menerjang semua makanan yang ada di depannya, mencicip satu-satu sampai perutnya terasa ingin meledak. Tapi ia harus mempertahankan image-nya sampai akhir, menunjukan pada peri di sampingnya jika ia adalah negosiator manusia yang bertata krama. Sungguh berat, tapi biarlah, setelah ini ia bisa membeli ketoprak untuk menghibur diri. Sekarang yang terpenting adalah bisa pulang dengan dalam kondisi sehat walafiat. Dan tiba-tiba sepotong daging panggang mendarat di piringnya.

"Makanlah yang banyak, kau butuh energi untuk mengumpatku."

Renata mengerjap, entah harus berterima kasih atau menggerutu. Lelaki peri ini hobi sekali menabuh genderang perang, namun Renata teringat ucapan Lucas, dia harus bersikap baik, apa pun keadaannya.

"Terima kasih," dua kata itu lolos dengan berat.

Samudera Biru tersenyum, matanya menatap penuh arti pada Renata yang mulai memotong daging.

"Apa kalian hanya akan menonton?" Samudera Biru kembali bersuara, kali ini pada ruang kosong jauh di ujung meja.

Lalu "wussss!!!" Kursi terisi penuh oleh peri-peri berpakaian serba putih. 

Mereka membungkuk pada Samudera Biru, Lucas dan Renata, kemudian mulai memilih menu masing-masing.

Renata menggigit sosis, terpesona. Ia baru tahu jika peri memakan makanan yang sama dengan manusia. 

Dengan penasaran ditatapnya satu per satu wajah peri yang sedang makan, mengamati fitur wajah yang serupa tapi tak sama, laiknya idol K-pop di mata emak-emak polos bermata lamur yang pertama kali melihat dari televisi, setelah beberapa saat barulah nampak perbedaannya. Dan peri-peri tampan ini memiliki dua persamaan yaitu aura dingin dan ujung telinga yang sedikit lancip. Tapi kenapa telinga Samudera Biru tidak lancip?

Renata mengingat-ngingat saat lelaki itu menunjukan wujud aslinya. Ah, karena terlalu kaget ia sampai tidak memperhatikan secara detail. Tapi tak apa, lain kali ia akan mengamati dengan baik. Apa, lain kali? Apa ia sedang berharap bertemu dengan lelaki itu lagi? Renata bergidik, kembali fokus pada piringnya.

"Sarapan bersama para peri, sungguh pagi yang sempurna," kekehnya dalam hati.

Ujung bibir Samudera Biru terangkat geli menyadari Renata sedang bergibah ria. Ekspresi konyol di wajahnya itu menjelaskan segalanya. 

Selesai sarapan Samudera Biru mengantar Renata ke garasi. Mata gadis itu tak berkedip menyaksikan jejeran mobil mewah yang terparkir. Nyaris seperti showroom. Pikirannya melesat, membayangkan dirinya sedang mengendarai salah satu mobil itu di jalan dengan laut dan bebukitan di kanan kirinya. Angin mengibarkan rambutnya manja dan ia merentangkan sebelah tangan ke luar jendela. Aduhai surga dunia.

"Sedang apa kau?" 

"Brukkkk!!!" Semua khayalan Renata ambruk. Ia membuka mata, menurunkan kedua lengannya yang terentang lebar perlahan-lahan. Tawa-tawa tertahan membuat cuping telinganya memerah, tembus hingga ke kulit wajahnya yang tanpa bedak.

"Bukan apa-apa," jawab Renata, buru-buru mengganti ekpresi wajahnya menjadi datar.

Samudera Biru terkekeh. "Tawaranku masih berlaku, satu kencan untuk satu mobil," bisiknya membuat saraf di sekujur tubuh gadis itu berlarian.

"Tidak, terima kasih," sambar Renata ketus, lupa pada saran Lucas untuk bersikap baik. 

"Sayang sekali," Samudera Biru kembali terkekeh. "Antar Nona ini pulang." Perintahnya pada sopir yang berdiri di samping BMW 840i hitam. Ia mengangguk dan sigap membuka pintu mobil.

Renata menatap Samudera Biru dengan sorot keberatan namun lelaki itu malah menekuk kepalanya, mendorongnya masuk dan menutup pintu.

"Walau kau seorang pangeran, aku tidak akan mengampunimu kalau melakukan itu lagi," desis Renata dengan kepala melongok ke luar.

"Aku sangat senang ternyata kau ingin bertemu denganku lagi." Mata kiri Samudera Biru mengedip membuat Renata segera menarik kepalanya kesal.

Sopir dan dua penjaga menatap tak percaya pada interaksi di antara keduanya. Bagaimana bisa gadis itu berbicara tidak sopan dan kenapa Samudera Biru bersikap genit. Jelas Ini sangat jauh berbeda dari sikap pangeran yang mereka kenal. Pangeran mereka dengan segala keseriusan, kesopanan, kecerdasan dan keanggunannya tidak mungkin melakukan hal norak seperti itu. Lantas ini apa? Semua pertanyaan itu hanya bisa mereka simpan dalam hati. Mencoba percaya jika pangeran mereka tidak akan bertindak tanpa perhitungan. 

Melihat raut keheranan di wajah sopir dan kedua penjaga membuat Lucas menarik napas, menggerutu pangerannya yang tidak bisa menahan barang sedikit rasa sukanya pada Renata. Tapi apa dia menyadari rasa sukanya? Lucas yakin tidak. Pangerannya itu bodoh kalau soal asmara. 

Tanpa sadar Lucas tersenyum geli lalu kembali berkonsentrasi pada kelanjutan percakapan dua insan di depannya.

"Terserah kau saja, tapi terima kasih atas semua pertolonganmu." Renata membungkukkan badan.

"Tidak masalah dan katakan pada teman-temanmu aku akan datang dalam waktu dekat untuk bicara, jadi jangan melakukan hal konyol."

Renata mengangguk lalu menatap Lucas yang kebetulan sedang menatap ke arahnya. Gadis itu tersenyum manis. "Terima kasih atas bantuannya Tuan Lucas," ucapnya dengan suara lembut.

"Sama-sama, Nona." Lucas balas membungkukkan badan.

Sebelah alis Samudera Biru terangkat, merasa tidak terima Renata lebih bersikap manis kepada Lucas dari pada kepada dirinya.

"Pergilah" usir Samudera Biru ketus. Renata mendelik, decakannya teredam laju mobil.

"Tadi kenapa kau tersenyum begitu?" 

"Apa? Ah, saya merasa geli, Pangeran," aku Lucas yang sedikit kaget mendapat interogasi dadakan dari Samudera Biru.

"Apa kau menganggapku lucu?"

"Tidak, Pangeran. Anda hanya terlihat sedikit menggemaskan pagi ini."

"Apa kau bilang?" Samudera Biru mendesis.

Lucas tertawa, lalu membungkuk. "Maafkan saya."

"Ah, lupakan. Tolong awasi gadis itu," perintah Samudera Biru pada Lucas kemudian berlalu bersama dua penjaga pribadinya.

Lelaki paruh baya itu mengangguk, memberi kode pada dua penjaga lain yang berdiri tak jauh dari situ. Mereka mengangguk lantas menghilang dari pandangan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status