Share

5. Keributan

Jam menunjukan pukul sebelas malam tapi Renata masih belum bisa memejamkan mata. Meski memilih untuk tak ikut campur urusan para dedemit gedung dengan Samudera Biru, entah kenapa hatinya tetap gelisah.

Bagaimana jika terjadi sesuatu pada para dedemit terutama Shiny?  Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Samudera Biru? Ah, kenapa ia peduli, seharusnya biarkan saja, bukankah ia mendapat keuntungan jika terjadi sesuatu pada lelaki itu? Ya, minimal pemugaran gedung akan ditunda sementara. 

"Tidak," Renata menggelang, menepis pikiran liciknya. Ia bukan jenis manusia yang gemar mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain. Ia hanya takut pada kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. 

Berdasarkan eksistensinya selama bersinggungan dengan alam lain. Renata sangat paham jika makhluk-makhluk itu, terutama kalangan bawah, cukup impulsif. Ditambah insting purba mereka dalam berebut wilayah dengan sistem "yang terkuat yang berkuasa" maka menahan diri adalah hal yang cukup sulit. Kalau sudah begitu maka luka dan kematian tak lagi bisa dihindari.

"Shit!"

Renata menendang selimut, mengambil kartu nama lelaki itu dari laci dan menghubunginya dengan tidak sabar.

Di satu kamar mewah bergaya klasik dengan sedikit sentuhan country. Terlihat Samudera Biru yang baru selesai mandi dan tengah mengenakan piyama hitam satin polos lalu mengambil ponsel yang sejak tadi berdering dari nakas. Keningnya berkerut melihat tujuh panggilan dari nomor asing.

Siapa yang menghubunginya selarut ini? Sepenting apa sampai melakukan panggilan berkali-kali?  Karena itu saat panggilan kedelapan masuk Samudera Biru segera menyentuh tombol jawab.

"Kenapa lama sekali mengangkat telepon? Apa kau tahu seberapa seriusnya ini?!"

Samudera Biru menjauhkan ponsel. Omelan panjang wanita di seberang sana membuat telinganya berdengung. Siapa dia? Berani sekali meneriakinya!

"Siapa kau?!" hardik Samudera Biru kesal.

Terdengar desah halus dari ponsel.

"Aku, Renata."

Renata? Mata Samudera Biru membesar. Apakah dia Renata yang seharian ini memenuhi kepalanya. Apakah dia si pemilik bibir sialan itu? Bibir yang membuatnya memikirkan hal kotor tanpa henti.

"Pemilik toko kerajinan?" sambarnya cepat.

"Ya, itu aku."

Senyum Samudera Biru rekah, cahaya berpendaran di matanya. Meski begitu ia tak ingin gadis itu tahu betapa senangnya ia mendapat telepon darinya. Setelah semua tuduhannya tadi siang, kali ini ia harus lebih bersikap keras.

"Ada apa? Kau tidak lihat ini pukul berapa? Apa kau tidak punya sopan santun?"

Terdengar helaan napas kasar Renata. Samudera Biru tertawa tanpa suara.

"Aku tahu. Maaf aku mengganggumu malam-malam. Ini mendesak. Kita harus bicara. Bisa kau kirim alamat rumahmu sekarang?"

Apa? Gadis ini ingin datang ke rumahnya? Wajah Samudera Biru seketika memerah, membayangkan berbagai kemungkinan liar, misal melumat barang sedikit bibirnya.

Pria itu segera merutuki hasratnya yang muncul tanpa permisi.

"Tidak," tolaknya dengan nada sedingin mungkin.

"Ayolah, ini menyangkut hidup dan matimu!" Teriakan Renata terdengar frustrasi membuat alis Samudera Biru bertaut, meyakini jika sesuatu yang serius terjadi.

"Hidup dan matiku? Apa kau tidak waras?"

Suara decakan terdengar.

"Ya, aku tidak waras. Karena itu aku kesulitan berbicara di telepon. Jadi cepat kirim saja alamatmu. Si gila ini tidak punya banyak waktu."

Senyum Samudera Biru kembali rekah. Entah kenapa suara kesal gadis itu terdengar menggemaskan.

"Aku tidak sembarangan memberikan alamat rumahku kepada orang asing, apalagi dia tidak waras. Jadi kita bertemu dekat tokomu, di brave cafe." 

"Ok, kumohon cepatlah."

Nyesss ... Samudera Biru merasakan hatinya seperti disiram seember air dingin kutub utara. Otaknya kembali merutuk, kenapa sekerat daging dalam dadanya bereaksi berlebihan pada sebuah permohonan tidak jelas gadis yang baru beberapa jam dikenalnya. Bahkan sekarang ia sudah menyambar jaket dan melangkah lebar menuju garasi.

"Sepuluh menit lagi aku sampai."

"Terima kasih." 

Sambungan telepon terputus. Samudera biru memasukan benda pipih itu ke dalam saku jaket. Melewati Lucas, orang kepercayaannya begitu saja.  

"Anda akan ke mana?" tanya Lucas mengekor.

"Cafe brave," jawab Samudera Biru datar lalu melesakkan diri ke dalam mobil. "Jangan ada yang mengikutiku." kali ini suaranya mengalun tegas seperti sebuah titah yang mutlak. Membuat Lucas seketika mengangguk dan mundur beberapa langkah. 

Lamborghini Aventador hitam berdecit, melesat meninggalkan garasi. Lucas menarik napas, bertanya-tanya hal penting apa yang membuat Samudera Biru terburu-buru dan tak ingin dikawal. Sekilas Lucas melihat binar di matanya. Binar manusia kasmaran.

Lelaki paruh baya itu menatap ke arah mobil tuannya menghilang dengan senyum tersungging.

Brave Cafe

Renata melirik ke arah pintu, berharap Samudera Biru segera datang. Meski belum sepuluh menit rasanya ia sudah menunggu terlalu lama. Dan ketika yang ditunggu datang Renata langsung berdiri, ekspresi lega memenuhi wajahnya. Ia melambaikan tangan pada Samudera Biru yang memandang berkeliling.

"Ini belum satu hari tapi kau sudah menghubungiku, apa kau sebegitu merindukanku, Nona Renata?" cicit Samudera Biru sambil melipat kaki. Punggung lebarnya menyandar sempurna pada sandaran kursi. Meski hanya mengenakan piyama berbalut jaket trucker army berbahan canvas nyatanya lelaki itu terlihat seperti pahatan patung dewa ketampanan. 

Renata mengerjap, menolak pesona lelaki itu sekuat tenaga. Berfokus pada kalimatnya yang menyebalkan.

"Memangnya kau mau dirindukan orang tidak waras?" sindir Renata.

Samudera Biru terkekeh, menatap wajah tertekuk di depannya dengan pandangan gemas dan lapar.

"Baiklah, kau bilang ini soal hidup matiku, jadi apa itu?" Samudera Biru melipat tangan di dada.

Renata menarik napas panjang. Membalas tatapan Samudera Biru dengan sangat serius.

"Begini, mungkin ini terdengar gila untukmu. Tapi aku sangat serius. Aku bisa melihat hantu."

Hening. Samudera Biru menatap datar. Renata mendesah, menyadari lelaki itu mulai mempertimbangkan jika ia memang benar-benar tidak waras.

"Lalu?" 

"Gedungmu itu, berhantu." Renata menggantung ucapannya, mengamati reaksi di hadapannya. Senyap, ekspresinya masih terlihat datar. "Mereka tidak suka kau memugar gedung dan sebentar lagi akan menyerbu rumahmu, tidak, tepatnya mereka akan mengganggu orang-orang di rumahmu."

"Jadi hanya karena itu?" Desah kecewa terlontar dari mulut Samudera Biru. Renata menatap putus asa. Dugaannya benar, akan sulit membuat lelaki itu percaya.

"Tolong percayalah, aku tidak mengada-ada."

Samudera Biru mengedikkan bahu. Ia melambaikan tangan pada pelayan, memesan secangkir kopi. 

"Kau mau aku percaya?" tanyanya dengan senyum miring.

Renata mengangguk.

"Baiklah, aku akan mempercayaimu tapi berkencanlah denganku sekali sebagai imbalannya."

"Apa? Kau ...." Renata menghentikan ucapannya, pelayan datang dengan secangkir kopi membuat Renata mengerutkan kening dengan kecepatan pelayanan mereka yang berbeda ketika melayani pesanannya.

"Ini kopi Anda, selamat menikmati," ucap pelayan wanita itu ramah, matanya mengerling kagum pada Samudera Biru. 

"Terima kasih," jawab Samudera Biru tak kalah ramah dan menyesap kopinya dengan gerakan anggun.

Renata melengos. Rasanya ia ingin mendorong cangkir agar mulut kurang ajar itu tersedak.

"Tadi kau ingin berkata apa?"

"Lupakan," desis Renata kesal. "Seharusnya aku tidak perlu mengkhawatirkanmu. Terserah kau mau diapakan oleh demit-demit itu. Biarpun dua penjagamu hebat tetap saja mereka kalah jumlah." Renata berdiri, meraih dompetnya dari atas meja.

"Dua penjaga?" tanya Samudera Biru tampak tertarik.

"Ah, sepertinya kau tidak tahu. Ya, kau punya dua penjaga berpakaian serba putih berwajah dingin. Aku tidak tahu mereka dari jenis apa tapi yang jelas pelipisku memar gara-gara mereka." Renata menyibak sedikit surai, memperlihatkan pelipisnya yang membiru.

Samudera Biru menatap dengan mata berkilat. Wajahnya berubah menjadi lebih serius.

"Jadi kau benar-benar melihat ada dua penjaga di dekatku."

"Ya."

"Apa sekarang mereka ada?"

"Tidak ada."

Renata mengenakan coat yang sempat ia buka ketika memasuki cafe, melipat sedikit di bagian lengan. Meski sederhana coat itu terlihat begitu manis menempel pada tubuhnya, membuat Samudera Biru menelan saliva.

"Kau mau ke mana?"

"Menurutmu? Tentu saja aku mau pulang," jawab Renata ketus.

"Lalu bagaimana denganku? Bagaimana kalau makhluk-makhluk itu menyakitiku?"

Renata mendesah, menatap lelaki plinplan di depannya.

"Aku bisa apa?" desis Renata masih terlihat kesal.

"Bagaimanapun dua penjagaku tidak akan kalah."

Renata seketika menatap Samudera Biru tajam.

"Kenapa? Aku hanya bicara soal kemungkinan." Samudera Biru kembali menyesap kopi.

"Jadi kau tahu tentang penjagamu? Kau bisa melihat mereka?"

Mata Samudera Biru berkilat. Renata melihat jawaban jelas di sana. Gadis itu mendengus, mengeluarkan selembar uang di meja lalu beranjak. Namun langkahnya terhenti oleh kalimat Samudera Biru.

"Dua penjagaku sangat kuat, aku rasa teman-temanmu mungkin akan sedikit terluka." 

Renata berpaling, kesal mendengar penekanan pada kata sedikit lelaki itu.

"Jangan sentuh teman-temanku," Renata kembali ke kursinya, menatap lurus.

"Wow, sepertinya kau sangat peduli dengan mereka." 

"Tentu saja, mereka keluargaku. Aku tak akan membiarkan sesuatu hal buruk menimpa mereka."

Samudera Biru tersenyum, mencondongkan badannya hingga separuh meja.

"Jadi kau menerima tawaranku?" 

"Berkencan denganmu sekali? Lupakan," desis Renata yang ikut mencondongkan badannya sehingga wajah mereka bertemu di tengah meja dengan jarak cukup dekat.

Samudera Biru menatap lekat bibir cantik di depannya membuat Renata buru-buru menarik diri. Sejujurnya dadanya berdebar. Aroma maskulin dan segar dari tubuh Samudera Biru mulai mengganggu kewarasannya.

"Tidak bisakah kau berbaik hati sedikit pada mereka?" Renata bergumam, menurunkan sedikit ego ketika melihat  jam hampir menunjukan angka dua belas.

"Pada dasarnya aku bukan orang jahat, kalau mereka memohon mungkin aku bisa mempertimbangkan untuk menunda pemugaran," sahut Samudera Biru ikut melunak melihat sikap Renata yang tampak memelas.

"Benarkah? Kalau begitu kita temui mereka sekarang," ucap Renata senang. Ia berdiri dan menarik lengan Samudera Biru untuk mengikutinya.

Seperti kerbau peliharaan Samudera Biru menurut, mengikuti langkah gadis itu. Ia tersenyum karena Renata tak melepaskan lengannya bahkan sampai keluar cafe.

Gadis itu celingak-celinguk, mencari taxi yang biasanya mengetem di sekitar cafe.

"Jam segini sulit mencari taxi." Kali ini giliran Samudera Biru yang menarik lengan Renata menuju mobilnya.

Mata Renata menyipit, menatap tak percaya pada kendaraan yang terparkir mencolok di depannya.

"Apa yang kau lihat, cepat masuk." Samudera Biru mendorong pelan gadis itu untuk segera masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah terbuka.

"Ya," jawab Renata sedikit gugup.

Samudera Biru menutup pintu dan segera menempati tempatnya di samping Renata. Mobil melaju cepat di atas aspal. Sementara Renata hanya diam membisu.

"Ada apa?" tanya Samudera Biru melihat gadis itu tampak begitu canggung.

"Tidak apa-apa. Ini kali pertamaku naik mobil bagus," ucap Renata mencoba bersikap santai.

"Begitu. Kalau kau berkencan denganku, aku akan membelikanmu satu."

"Bisakah kau berhenti menyebut kata kencan?" Renata menggerutu membuat Samudera Biru terkekeh.

"Kenapa? Biasanya wanita menyukai sesuatu yang mahal dan mewah."

"Referensi jenis wanitamu sepertinya terbatas Tuan Samudera Biru," Renata mendesis.

Samudera Biru kembali terkekeh, melirik bibir Renata yang terlihat sensual dari samping.

Sesampainya di gedung, Renata segera berlari menaiki tangga. Samudera Biru mengikuti dengan santai. Sayangnya para demit sudah tak ada, bahkan Panglima Kuning tak terlihat jejaknya sama sekali.

"Bagaimana ini, mereka sudah pergi?" tanya Renata cemas.

"Ya sudah, ke rumahku," Samudera Biru menjawab enteng lalu turun mendahului Renata. 

"Bisakah lebih cepat lagi?" tanya Renata pada Samudera Biru ketika mereka sudah di dalam mobil.

"Sesuai permintaanmu, Nona."

Samudera Biru menekan pedal gas, membuat mobil melaju dua kali lebih cepat. Beruntung jalanan lengang karena sudah larut malam, jika tidak mungkin mereka akan mendapat masalah besar.

Samudera Biru menghentikan mobil di halaman sebuah mansion bergaya klasik. Di saat normal mungkin Renata akan ternganga melihat keindahannya namun fokus Renata sekarang hanya tertuju pada perkelahian di sekitarnya.

Gadis itu keluar dari mobil dengan jantung berdegup cepat. Matanya nanar melihat kondisi dedemit gedung  tergelatak seperti ikan cue yang belum disusun di keranjang bambu. Hanya Leon dan shiny yang masih bertahan. Mereka terlihat berusaha mati-matian menghindari serangan penjaga Samudera Biru yang datang seperti air bah.

Renata memekik khawatir, takut Shiny dan Leon ikut terluka. Hatinya semakin cemas ketika derap kaki terdengar dari arah mansion. Puluhan makhluk berbaju putih dengan wajah dingin seperti dua penjaga Samudera Biru yang sedang berkelahi muncul.

Renata memalingkan wajah, menatap Samudera Biru yang sedang menyender santai di mobilnya.

"Siapa kau sebenarnya?" bhatin Renata penasaran sekaligus kesal karena lelaki itu tidak melakukan apapun, hanya menonton tanpa terlihat akan menengahi.

"Arrgghhh!!!" jerit Leon mengudara. Tubuhnya terlempar ke atas lalu menukik ke tanah dengan keras. Di depannya seorang penjaga lain sudah bersiap dengan pukulan berwarna keemasan. Shiny yang sedang dibuat repot oleh serangan lawan menjerit, menghadang dengan pukulannya yang berwarna keunguan. 

"Bumm ... bummm!!!" Satu ledakan tercipta, Shiny terduduk di tanah, mulutnya berlumuran darah sementara penjaga tadi berdiri ajeg tanpa luka sedikit pun. 

Makhluk berbaju putih itu kembali mengangkat tangan, menyiapkan pukulan susulan. Wajah tampannya tak lagi memikat, tertutup ekspresi dingin mematikan. Wajah Renata memucat, kalau dibiarkan Shiny bisa mati.

Tanpa pikir panjang gadis itu berlari ke depan Shiny. Kedua lengannya mencengkram bagian samping coat sementara kepalanya menyamping dengan mata terpejam. 

Samudera Biru yang melihat seketika menegakkan badan dan melesat. Namun tiba-tiba kakinya terhenti, terpana pada cahaya kehijauan yang keluar dari tubuh Renata. Cahaya itu membesar dengan cepat dan membentuk kubah, melindungi gadis itu dari pukulan penjaga Samudera Biru.

"Bummmm!!!" Ledakkan besar terjadi. Beberapa penjaga terpental termasuk yang melepaskan pukulan. Ia terkapar di tanah dengan darah meleleh dari mulut, hidung dan telinganya.

Renata yang tak merasakan adanya pukulan yang menyentuh kulitnya membuka mata. Ia terkesiap melihat cahaya kehijauan milik ibunya kini berpendar dari tubuhnya. Meski tak mengerti gadis itu berpikir cepat, berteriak pada Shiny dan Leon.

"Cepat pergi, bawa mereka semua!"

Shiny yang terkesima tergagap. Ia membantu Leon berdiri. Lalu memandang Renata, memintanya untuk ikut pergi. Renata menggeleng.

"Pergilah lebih dulu, aku akan menyusul," perintah Renata.

"Tapi Kak ...."

"Aku akan baik-baik saja." 

Shiny tampak enggan namun Leon menarik lengannya untuk segera pergi. Tanpa daya gadis dedemit itu berkelebat, menghilang di pekatnya malam bersama dengan para dedemit lain yang masih sadar.

Beberapa penjaga Samudera Biru yang lain mengepung Renata, tangan mereka terlihat berkilauan, siap untuk melumat tubuhnya yang masih diselimuti cahaya kehijauan. Gadis itu pasrah seandainya ia menjadi bubur. Mati demi menolong teman sepertinya tidak terlalu buruk. Lagi pula ia merindukan ibunya.

"Ibu ...." desis Renata lalu kembali memejamkan mata, siap menerima takdirnya.

"Hentikan!" Satu suara menggelegar seperti guntur musim penghujan. Renata mengenali, itu milik Samudera Biru.

Ia membuka mata, menoleh ke arah lelaki yang berjalan mendekatinya dengan anggun dan berkilau.

"Ah, dia memang seksi," desis Renata lalu ambruk ke tanah dengan pandangan gelap.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status