"Tok! Tokk!"
"Masuk." Samudera Biru melepaskan pandangan dari buku lusuh di atas meja, menukarnya dengan sosok Lucas yang kini berdiri dengan sikap sempurna.
"Apa sudah ada hasil?"
"Belum, mungkin siang ini Pangeran."
Samudera Biru terdiam, kembali menekuni bukunya, bukan, lebih tepat menekuni gerak Renata yang terpampang dalam buku. Bagaimana dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil, bagaimana dia menatap ke luar jendela dan bagaimana dia menyentuh dress pemberiannya. Semuanya, setiap detailnya.
"Pangeran sedang mengawasi, Nona Renata?" tanya Lucas yang sempat melirik dengan ekor mata.
"Ya, aku ingin memastikan dia pulang dengan selamat." Samudera Biru mencoba memberi alasan logis untuk kelakuannya.
Lucas hanya tersenyum, melanjutkan pembicaraan. "Mengenai gedung, apa Pangeran akan benar-benar menghentikan pemugaran?"
"Itu tergantung dari sikap mereka, terutama dia." Dagu Samudera Biru terangkat pada sosok Renata yang tampak sedang berbincang dengan sopir. "Karena itu aku ingin segera mendapat hasil penyelidikanmu."
"Bagaimana dengan keris wastu chandraka yang tertanam di sana?"
"Aku akan tetap mengambilnya, dengan cara lain."
"Maksud Anda, memanggilnya?"
Samudera Biru mengangguk.
"Bukankah itu memerlukan energi besar? Baru sebulan lalu Anda bertarung dengan iblis air, apakah tidak apa-apa?"
"Jangan khawatir." Samudera Biru meyakinkan.
Lucas mengangguk lalu bertanya kembali dengan ragu "Apa Pangeran tidak bisa melihat masa lalu Nona Renata?"
"Tidak, ada penghalang sangat kuat, aku tidak bisa menembusnya. Ada lagi?"
"Laporan keuangan tahun ini sudah saya kirimkan ke email Anda, Pangeran," ucap Lucas sedikit menunduk. Ia tahu Samudera Biru akan menjadi sensitif setiap kali membahas soal uang dan perusahaan.
"Kenapa, apa ada masalah?"
"Tidak ada, Pangeran. Malah kita mengalami keuntungan berkali lipat dari tahun sebelumnya."
"Lalu untuk apa kau beri tahu aku? Bukankah sudah kukatakan aku tidak mau tahu. Terserah mau kau apakan semua keuntungan itu."
"Baik, Pangeran," jawab Lucas cepat. Ia sudah mengantisipasi jawaban Samudera Biru.
Lucas sangat tahu kekayaan bagi lelaki itu adalah hal remeh temeh. Dengan sekali jentik maka emas dan permata akan menggunung. Tapi bagaimanapun dia adalah tuannya, pemilik sesungguhnya dari semua aset dan kekayaan tak berserinya. Lucas dan keluarganya hanya pemilik di atas kertas. Karena itu ia merasa tetap memiliki kewajiban untuk melaporkan seluruh harta kekayaan mereka setiap tahun, tidak peduli Samudera Biru mau melihat atau tidak.
Lucas menatap lelaki rupawan itu lekat. Memutar ingatan bagaimana ia dan keluarganya bisa terlibat dengan Samudera Biru dan kerajaan peri samudera.
Sejujurnya ia tak tahu secara mendetail, hanya tahu melalui cerita ayah dan kakeknya. Konon leluhur mereka yang tengah mengalami masa-masa sulit bertemu dengan Raja Sion, ayah Samudera Biru. Karena kasihan dan tersentuh oleh kebaikan sikap leluhurnya maka Raja Sion menawarkan sebuah perjanjian. Yang mana keluarga Lucas akan melayani semua kebutuhan anggota kerajaan peri samudera ketika mereka sedang berada di dunia manusia. Sebagai imbalan kerajaan peri samudera akan menjamin seluruh keturunan keluarga Lucas dengan harta kekayaan berlimpah.
Kerajaan peri samudera tidak akan peduli atau ikut campur terkait bagaimana cara keluarga Lucas menggunakan kekayaan. Yang terpenting tidak merugikan orang banyak, terutama pihak kerajaan peri samudera. Jika sampai terjadi atau keluarga Lucas berani berkhianat maka konsekuensi yang harus ditanggung sangatlah besar. Bukan hanya kemiskinan tapi juga penderitaan dan kematian mengenaskan.
Lucas tahu itu terdengar mengerikan namun keluarganya tak merasa keberatan sama sekali. Bagi mereka menjadi orang kepercayaan keluarga kerajaan peri samudera adalah sebuah kehormatan. Karena mereka tahu selama berabad-abad kerajaan peri samudera menjadi salah satu pelindung alam manusia dari ambisi para iblis. Jadi mengabdi pada mereka sama seperti membantu menjaga kedamaian dunia.
Lebih dari itu Lucas menyayangi Samudera Biru seperti adiknya sendiri. Meski Samudera Biru secara umur peri lebih tua ratusan tahun tapi secara umur manusia dia jauh lebih muda darinya. Selain itu Lucas merasa iba, meski terlihat tenang dari luar sesungguhnya Samudera Biru menyimpan riak dalam hati. Riak atas kemalangan yang menimpa ibu kandungnya, Ratu Galuh Triwardhani. Satu-satunya Ratu kerajaan peri samudera yang berasal dari bangsa manusia.
Ratu Galuh Triwardhani dipaksa meninggalkan kerajaan peri samudera oleh para sesepuh dengan alasan takut memicu ketidakstabilan kerajaan jika ratu mereka berasal dari bangsa lain. Wanita malang itu dengan berat hati meninggalkan suami dan anaknya yang masih kecil untuk kembali ke alam manusia.
"Berhenti menatapku seperti itu." Samudera Biru menutup buku, kesal pada sinar iba yang dilontarkan mata Lucas.
"Maafkan saya," Lucas menunduk, menyetop kelana pikirannya.
"Aku bukan anak kecil lagi," desah Samudera Biru.
"Saya mengerti," jawab Lucas cepat. Benar, lelaki ini sudah mendewasa dengan luar biasa. Bukan lagi anak lelaki kecil yang akan berjingkrak kegirangan ketika disodorkan sepotong gulali. Kini ia seorang pangeran dengan bahu penuh beban.
"Aku akan mengunjungi Ibu, jadi kau bisa pulang ke rumahmu."
"Anda tidak mau saya temani?"
"Tidak perlu. Apa kau tidak bosan terus mengikutiku?" tanya Samudera Biru menatap Lucas tajam.
"Tidak, saya senang berada di dekat Anda, Pangeran."
"Aku yang bosan."
Lucas tertawa, merasa seperti pacar bertipe posesif.
***
Di dalam BMW 840i.
"Pak, tolong antarkan saya ke pemakaman Garden Hills," ucap Renata pada sopir yang mengantarnya.
"Baik, Nona."
"Terima kasih."
"Sama-sama, Nona."
Renata menatap ke luar kaca. Hari ini bukan hari peringatan kematian mendiang sang ibu tapi hasratnya untuk bicara tak bisa dibendung lagi.
Gadis itu menarik napas berat, membuat sopir melirik melalui kaca spion. Renata menyadari itu dan ia tersenyum kecil.
"Maaf ya Pak, saya lagi banyak pikiran."
"Eh, maaf ... saya tidak bermaksud lancang, Nona."
"Tidak apa-apa."
"Tolong jangan adukan kelancangan saya kepada Tuan Lucas, terutama kepada Pangeran Biru, Nona. Saya mohon. Saya tidak ingin kehilangan pekerjaan."
"Saya mengerti, jangan khawati," ucap Renata yang entah kenapa merasa lega mengetahui jika sopir ini manusia sepertinya.
"Bapak sudah lama kerja di rumah Pangeran Biru?"
"Sudah, sekitar sepuluh tahun Nona. Sebelumnya saya adalah sopir di rumah keluarga Tuan Lucas."
"Oh, lama juga ternyata. Bapak tau kalau Pangeran Biru itu ... ?" Renata menggantung kalimatnya.
"Tahu, Nona." Sopir itu tersenyum.
"Bapak tidak takut?"
"Awalnya sedikit takut. Lama kelamaan saya terbiasa. Pangeran Biru dan para peri sangat baik. Secara keseluruhan kebiasaan mereka tidak jauh berbeda dengan kita. Hanya saja peraturan mereka sedikit lebih ketat."
"Begitu, tapi keluarga Bapak tahu kalau Bapak kerja pada bangsa peri?"
"Tidak, Nona. Tuan Lucas melarang. Selain itu saya juga terikat kontrak, semisal saya berani bercerita kepada orang lain maka saya akan menjadi bisu, miskin dan meninggal mengenaskan. Dan sejujurnya bahkan ketika saya memikirkan untuk bercerita saja maka tiba-tiba otak saya nge-blank, Nona."
"Menakutkan sekali," Renata menyentuh tengkuknya yang meremang.
"Iya, Nona. Tapi mau bagaimana lagi saya butuh pekerjaan ini. Tak ada yang pernah menggaji sopir seperti saya dengan dua puluh lima juta per bulan kecuali di sini, Nona."
"Dua puluh lima juta per bulan?"
"Iya, Nona." Sopir itu terkekeh.
Renata menggaruk kepala dengan kuku telunjuk. Dua puluh lima juta sebulan untuk seorang sopir jelas jumlah yang sangat royal. Mengalahkan gaji seorang manager perusahaan biasa. Ia saja yang membuka bisnis kerajinan tangan dalam sebulan hanya mendapat untung bersih sekitar sepuluh sampai lima belas juta.
Apa ia melamar pekerjaan saja di rumah Samudera Biru? Ah, tidak! Peri itu terlalu berbahaya untuknya secara lahir dan batin.
Mobil memasuki halaman pemakaman. Renata turun dan meminta sopir untuk kembali. Namun ditolak mentah-mentah, bersikeras akan menunggu dan mengantarnya hingga ke toko.
"Terserah saja lah," batin Renata. Ia melangkah menyusuri area pemakaman yang tampak menghijau oleh rumput-rumput jepang lalu berhenti di sebuah makam dengan nisan bertuliskan 'Ratri Maheswari'.
"Hai, Ibu." Renata tersenyum dan duduk di rerumputan. "Maaf aku tidak membawa bunga," lanjutnya sambil menyingkirkan beberapa daun kering dari atas makam.
"Hari ini seseorang memberiku gaun cantik, lihat, Ibu suka?"
Angin sepoi-sepoi bertiup.
"Aku anggap Ibu suka." Renata tertawa.
"Ibu, hari ini aku bertemu seorang pangeran peri. Ya, peri. Ibu pasti terkejut bukan? Atau Ibu juga tahu tentang mereka? Selama ini Ibu kan selalu bermain rahasia denganku." Renata kembali tertawa, tapi kini dengan setitik air mata.
"Kapan Ibu memberiku perisai cantik itu? Kenapa aku tidak diberi tahu? Ada lagi kah yang Ibu lakukan padaku tanpa sepengetahuanku? Kenapa Ibu begitu padaku?"
Angin sepoi-sepoi kembali lewat, mencoba meredam isak Renata yang mulai rapat.
Di kejauhan seorang lelaki berdiri mengawasi. Lelaki itu mendengar isaknya dan hatinya seketika ikut merasa perih.
"Pangeran akan menemui Nona?"
"Tidak," jawab lelaki yang ternyata Samudera Biru itu tegas. Matanya tetap tertuju ke arah Renata. Meski jarak mereka berjauhan mata Samudera Biru bisa melihat dengan sangat jelas bagaimana wajah sendunya. Ia juga bisa melihat tulisan yang tertera pada batu nisan.
Setelah beberapa saat Renata berdiri dan berjalan meninggalkan pemakaman. Samudera Biru tak mengalihkan fokusnya dari sosok Renata. Ketika mobil menghilang barulah ia berkonsentrasi pada makam di hadapannya.
"Maaf Ibunda," bisiknya lalu duduk bersila dan menaburkan kelopak-kelopak bunga berbau sangat harum. Dua pengawalnya mundur menjauh, memberi ruang pada Samudera Biru yang kini memejamkan mata, merapal sebuah doa.
"Aku merindukan Ibunda," bisiknya lirih.
Sebuah kenangan melintas di kepalanya. Kenangan ketika mereka melakukan banyak hal bersama di kerajaan peri samudera. Lelaki itu masih mengingat dengan sangat baik cantik wajah ibunya, lembut suara dan hangat pelukannya.
Samudera Biru tersenyum.
Lalu tiba-tiba ingatan buruk datang seperti badai. Ingatan ketika ibunya menangis memohon untuk membawa Samudera Biru bersamanya.
"Akh," Samudera Biru mencengkram dada yang terasa nyeri. Bahkan setelah beratus-ratus tahun ingatan itu selalu berhasil menyakitinya. Ketidakadilan yang tidak akan pernah ia lupakan, seumur hidup.
"Maaf, Ibunda," Samudera Biru kembali meminta maaf. Ia tahu ibunya membenci dendam. Setiap bertemu selalu meminta untuk melupakan semua hal buruk yang menimpa bahkan meminta agar menjaga Raja Sion dengan baik. Samudera Biru tak mengerti terbuat dari apa hati ibunya, kenapa masih peduli pada lelaki yang mencampakkannya. Bahkan dengan lapang dada menerima kembali tugas lamanya sebagai pemimpin bangsawan penjaga gerbang lotus. Jika ditanya ibunya hanya tersenyum dan mengatakan jika cinta memang begitu.
Samudera Biru meremas kepalanya yang berdenyut oleh amarah lalu menarik napas dalam.
"Maaf, aku terlalu kesal," pinta Samudera Biru lembut. "Oh iya, sepertinya Ibunda sudah bersua dengan teman lama yang Ibunda rindukan ya? Maaf, selama ini aku sudah mencari mereka ke mana-mana dan tak tahu mereka ternyata begitu dekat. Aku memang payah seperti suamimu," sambungnya dengan sedikit kekehan.
Langit cerah, burung-burung bermain di birunya. Cengkrama sepihak itu pun berakhir dengan rindu yang seperti tak akan pernah habis.
"Aku pamit, Ibunda." Samudera Biru membungkuk lalu memutar badan. Saat itulah matanya menangkap sesuatu yang berkilau di rerumputan. Ia mengambil benda yang ternyata sebuah kancing dengan mata berlian. "Aku terkejut kau masih mengingat istrimu," desisnya kemudian beranjak menuju makam ibu Renata.
Dua penjaga mengikuti tanpa banyak bertanya.
"Halo, Bibi. Senang bertemu lagi denganmu."
***
Renata menatap mobil yang mengantarnya menjauh. Serangkum angin datang mendekat bersama energi yang familier, Shiny. "Kakak!!!" Pekik gadis itu lalu memeluk erat. Di belakangnya para dedemit gedung berkumpul, wajah-wajah pucat mereka menyiratkan lega. Renata tersenyum, melepaskan tubuh Shiny yang menggayut manja. "Kita bicara di atas," ucap gadis itu pelan, melirik beberapa toko yang sudah buka. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian karena berbicara tanpa lawan. Semua dedemit seketika menghilang kecuali Shiny. Ia menatap Renata penuh khawatir dan penasaran. "Kakak baik-baik saja? Tadinya kita akan kembali ke sana kalau sampai nanti malam Kakak belum kembali." "Aku baik-baik saja. Kita ke atas sekarang," jawab Renata sambil mengelus pipi Shiny lembut. Gadis itu menurut, mengikuti langkah Renata menuju atap gedung. "Saya bersyukur Anda dalam keadaan baik-baik saja, Nona," sambut Panglima Kuning. "Terima kasih
“Tring!! Tring!! Tring!!”Semua orang menatap ke pintu. Bukan karena dentingan lonceng angin tapi karena sosok yang masuk begitu menyilaukan.Ini sudah tiga hari berlalu sejak insiden dan pangeran peri itu baru menunjukan batang hidungnya lagi.“Selamat malam,” Ken menyapa sopan, sementara Renata diam memperhatikan setiap langkah anggunnya yang mengundang bisik-bisik pembeli.“Selamat malam juga anak kecil.”Wajah imut Ken seketika tertekuk. Lelaki itu melewatinya dengan wajah tanpa dosa.Ia menempatkan diri di kursi, tepat di depan Renata.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya dengan mata menelisik.“A ... aku baik,” sahut Renata terbata. Sedikit menjauhkan kursi agar aroma Samudera Biru tidak terlalu mengganggu saraf-sarafnya yang lapar.“Kau tidak rindu padaku kan?”Renata mengerjap, mulut lelaki ini belum berubah sedikit pun.“Tentu s
Bulan membulat sempurna. Sinarnya terlihat berkali lipat lebih terang. Bintang-bintang rasi tak mau kalah, mereka berpijaran, mengerlip pada wanita luar biasa cantik yang bersila di atas daun lotus raksasa, tepat di tengah kolam berair sejernih kaca.Cahaya putih kebiruan keluar dari tubuh wanita itu. Membumbung ke angkasa, berputar sebentar lalu melesat ke arah seorang anak perempuan yang tertidur dalam gendongan lelaki gagah yang berdiri di tepi kolam.Semua yang hadir terhenyak. Kuncup bunga mendadak bermekaran, kupu-kupu warna warni berdatangan dan bau harum semerbak dilarikan angin ke berbagai penjuru.Wanita di atas daun lotus menghentak lembut ujung kaki, melayang indah menuju tepi kolam.Semua orang menjura, memberi jalan. Dengan anggun wanita itu mendekati anak perempuan yang dilingkupi cahaya. Menyentuh lembut ruang di antara kedua alisnya.Secara perlahan cahaya itu masuk ke dalam tubuh si anak seiring bau harum yang juga menghilan
Renata merasakan tubuhnya gemetar. Meski diucapkan dengan nada santai tapi kalimat Samudera Biru sarat akan ancaman. Gadis itu menarik napas dalam sebelum akhirnya menatap tajam lelaki di depannya. “Kau sangat mengagumkan, Pangeran.” Samudera Biru mengedikkan bahu, balas menatap mata Renata yang berkilat sinis. “Jadi?” “Aku setuju.” “Gadis pintar.” Lelaki itu mengacak rambut Renata “Aku bukan anak kecil,” tepis gadis itu, menyingkirkan lengan Samudera Biru. “Ah, aku lupa kau sudah tumbuh menjadi gadis yang seksi.” “Memangnya kau tahu masa kecilku?” dengus Renata. Samudera Biru mengangguk, membuat mata Renata menyipit serius. “Benarkah? Apa kita pernah bertemu?” “Menurutmu?” “Aku harap tidak.” “Kenapa?” “Karena kau itu rubah jantan yang licik.” “Rubah? Aku peri.” “Terserah, bagiku kau itu rubah licik.” Samudera Biru tertawa lalu menjentikan jari, men
Harapan menyala di mata Renata. Bertemu dengan orang, bukan, peri yang mengenal ayahnya adalah sebuah kemajuan besar dalam pencariannya yang terasa mustahil.“A ... anda tahu di mana ayah saya?”“Tidak, kami terakhir bertemu sekitar sembilan belas tahun lalu, di tempat ini.”Nyala itu memudar menjadi muram. Mengusik hati lelaki berparas indah di depannya.“Jangan khawatir, dalam waktu dekat aku akan mencari tahu, hem?”Renata mengangkat wajah, menemukan manik mata Samudera Biru yang setenang telaga. Sesaat ia tenggelam di sana seperti musafir tersesat.“Terima kasih,” hanya itu yang mampu diucapkan Renata. Ia menunduk, mengundang secuil senyum makhluk di depannya.“Pangeran, apa yang akan Anda lakukan pada iblis Kali Maya?” tanya Panglima Kuning.“Aku akan menghancurkannya.”“Bukankah itu akan sulit karena dia pernah mencuri sedikit darah
“Rena ... Renaa ... Renataa.” Mata gadis cantik itu terbuka perlahan. Sayup-sayup seseorang memanggil namanya. Semakin lama semakin jelas dan ia mengenali sebagai suara Singgih Wirayudha, ayahnya. “Ayah?” gadis itu berdiri, mendatangi sumber suara. “Ya, Rena. Kemarilah, Nak.” Renata berjalan menuju lantai bawah dengan perlahan. “Ayah di mana?” “Ayah di sini. Kemarilah,” suara itu kembali terdengar. Renata membuka pintu dan menggeser rolling door. Selangkah lagi kakinya akan melewati pintu tiba-tiba suara Samudera Biru bergaung di kepalanya. “Jangan pernah keluar, Renata!” Ia tertegun, menarik kakinya kembali. Namun, sosok Singgih Wirayudha menjelma. Ia tersenyum dan melambai. Membuat Renata terpaku oleh ribuan rasa yang berdatangan tanpa diminta, mereka berkomplot mengabaikan suara Samudera Biru. “Aa ... Ayah,” ucapnya terbata, tanpa sadar melewati dinding pelindung. Singgih Wirayudha kembali ter
Samudera Biru menempatkan Renata di atas meja pipih terbuat dari batu giok hijau muda yang dingin. “Pukk!! Pukk!! Pukk!!" Hei, bangun!!!” Renata mengerang, tubuhnya terasa kosong, seolah seluruh energinya terhisap oleh sesuatu yang tak terlihat. “Apa?” tanya gadis itu nyaris tak terdengar. “Buka matamu.” “Hem.” Kinara mengangkat sedikit kelopak, mati-matian bertahan agar tidak jatuh dan menutup kembali. “Tahan sebentar, ini cukup menyakitkan.” Samudera Biru memegang ujung jarum, lalu menarik dalam satu gerakan kuat. “Arrghh!!” Jeritan Renata dipantulkan dinding-dinding batu. Nyeri teramat hebat mendera, seperti sesuatu yang berakar dicabut paksa dari bahunya. Bagaimana tidak, ujung jarum itu ternyata terpecah menjadi enam bilah sangat tipis dengan ujung menekuk seperti jangkar. Daya cengkeramnya tidak main-main, sejumput daging ikut tercabut keluar. Darah mengalir
Renata membuka mata perlahan. Merasakan dingin batu giok mencucuk hingga jauh ke dalam kulit, daging dan tulangnya.Tak ada lagi rasa panas membara, hanya tersisa rasa ringan yang aneh. Seolah seluruh tubuhnya hanya berisi partikel-partikel kecil yang melayang di udara.“Kau sudah bangun?”Satu suara mengalun membuat Renata seketika terjaga penuh. Di depannya Samudera Biru tampak sedang membaca buku tua dengan kaki terlipat.“Ini jam berapa?” tanya Renata sambil mengusap wajah.“Jam satu siang.”“Astaga, aku harus membuka toko,” ucapnya panik.Samudera Biru menurunkan buku. Memandang penuh geli.“Setelah melewati fase antara hidup dan mati hal pertama yang terlintas di kepalamu adalah membuka toko? Ck, kau luar biasa.”“Tentu saja, toko itu seperti penyambung nyawaku. Dari sana aku bisa bertahan hidup,” sahut Renata sambil beringsut. Namun kembali me