Brummm!!
Elan menurunkan Dina di depan deretan gedung-gedung perkuliahan yang salah satunya menjadi lokasi tes istrinya. Sudah ada Bryan yang mesam-mesem menyambut kedatangan sahabatnya. Ia berdiri melambaikan tangan mengkode posisinya di gazebo, yang tak lama kemudian duduk kembali kala Dina membalas lambaian tangannya.
"Aku parkir motor dulu ya.. Kamu tunggu di sini.."
"Ehh Kakak tidak usah!" Dina tampak keberatan, terlihat sekali ekspresinya melarang.
Elan melipat keningnya. Penasaran sekaligus curiga.
"Kenapa?"
"Malu Kakak! Itu kan banyak anak SMA juga."
"Kamu malu karena sudah punya suami atau malu karena punya suami aku?" Elan menguji jawaban Dina.
"Ya pokoknya malu.." Dina melarikan bola matanya dari tatapan dingin Elan yang sedari tadi mencurigainya. Ia tahu Elan tak suka dengan sikapnya yang demikian. "Kebanyakan mereka kan belum menikah Kak. Aku?"
"Sayang.." Elan mengusap le
vote dan komentar ya say, terima kasih
"Kamu siap meneriakkan namaku lebih keras malam ini hmm?" Elan mengendus leher Dina lalu menjauhinya kala melihat ketegangan di otot jenjang tersebut. Ia kemudian membuang udara dari hidung karena senyum lebarnya, tak menyangka Dina berani mengutarakan kode bercinta. "Kamu inginDaisy?" "Bu.. Bukan. Aku cuma.." "Aku mampu menahannya sampai besok. Tidurlah, aku tidak mau kamu kelelahan.” Elan menutup kalimat dengan kecupan di kening istrinya. Menjadikan kecewa Dina terkubur kedamaian batin, yang justru diimpit perasaan bersalah. Aku telah bersalah karena menaruh banyak curiga padamu Kak.. Kamu tak seperti yang ku duga, kamu bahkan bisa menahan perasaan cemburumu, juga hasrat bercintamu, demi kebahagiaanku.. Aku yakin kamu tak akan kembali pada sifat kasarmu, tapi bagaimana jika aku ternyata mengandung anakmu? Maukah kamu menerimanya? Sedangkan ku lihat kamu sangat fokus pada pekerjaanmu, tak pernah sekalipun menyinggun
Sayup-sayup terdengar suara panggilan ibadah pagi saat Dina membuka mata dan tak menemukan Elan di sisinya. Ia mengintip pakaiannya di balik selimut. Utuh. Semalam Elan benar-benar tak berani menyentuhnya lagi, sejak pengakuan mengejutkan itu. Ia ingat telah memilih menyingkuri Elan dan tenggelam dalam perasaan takut. Bagaimana tidak? Ia tidak mau diperlakukan kasar lagi. Nafsunya menciut kala mengingat betapa momen-momen yang disebut Elan masih terasa sangat menyakitkan. Dina meninggalkan kamar Elan dan mencari sosok yang dicintainya itu, menyapu pandang ke seluruh ruang dan menemukan suaminya sedang menduduki treadmill dengan keringat mengalir dan nafas memburu. Tampak sangat kelelahan. Kepalanya menunduk dengan kedua tangan menjambak rambutnya menahan. Ia tahu Elan memilih menyalurkan kepenatannya dengan berlari hingga mencapai batas kemampuan kaki.Batinnya dilema. Ingin menolong kesakitan suaminya tapi ia tak mau menjadi korban tindakan men
Air yang keluar dari lubang shower mengguyur. Dina berharap rasa sakitnya luntur, pergi beriring lupa. Ia ingin melupakan segalanya. Rasa cintanya pada Elan sudah terlalu dalam. Ia ingin mencintai tanpa kata tapi. Fokus hatinya kini hanya pada Elan. Ia harus belajar dewasa, menerima segala kelebihan dan kekurangan suaminya. Dina menyabun dadanya dan merasakan nyeri di kedua puncaknya. Kakinya masih gemetar tak sanggup berdiri lama-lama. Ia akhirnya terduduk setelah nyaris terjatuh, cukup lama tapi rasa perih di selangkangannya belum juga sirna. Sepertinya karena lecet tergerus gerakan Elan yang membabi buta. Tidak ada kenikmatan di sana. Matanya kembali berair, berlomba dengan air. Ia tak mau begini lagi. Doanya hanya Elan berhenti saat menyadari perbuatannya telah demikian mencipta pedih. Berharap Elan berubah, ia merindukan sosok Elan gila yang penuh kejutan bahagia, bukan sosok menyeramkan yang lebih menyerupai serigala. Rasa bersalah Elan sendiri
Sempoyongan. Berdiri tegak tiba-tiba menjadi hal yang sulit Dina dilakukan. Kakinya berpijak tapi terkulai. Sendinya seolah memuai, memanjang dalam lunglai. Dalam bola mata berguncang tak tenang, ia akhirnya jatuh ke lantai. Debaran jantungnya berpacu dalam kecepatan. Kali ini kepercayaan diri dan ketangguhannya dalam menghadapi badai patut dipertanyakan. Tangan Dina gemetar saat sebuahtestpackdi genggamannya menunjukkan reaksi. Memberi hasil di luar ekspektasinya. Memacu rasa penasarannya kian melingkupi. Ia berusaha keras membuka seluruhtestpackyang tersisa, sempat kesulitan karena gugup mendera. Saking tidak sabarnya hingga ia celupkan semua bersamaan. Dalam batinnya hanya bisa berdoa, semoga semua yang menjadi firasatnya bertentangan dengan realitas. Dalam nafas tersengal dan tubuh hampir mati rasa Dina menanti. Hingga beberapa saat kemudian satu per satu alat penguji kehamilan itu ia punguti, ia cermati,
"Kakak!!" Dina berusaha menahan dada Elan. Betapa lelaki itu selalu menyudutkannya dalam bilik kenikmatan hingga ia kerap susah payah bertahan dari serangan. Seperti saat ini, ia berusaha mengelak tapi dibarengi dengan desahan. "Apa Sayang.. Hmm?" Elan lebih dari siap memasuki, menjelajah ruang istrinya yang selalu istimewa baginya. "Kakaak.." Rengekan Dina mencerminkan kerisauan. Berusaha menemukan cara mencegah Elan memasukinya. Ia baru teringat pesan dokter Diana, bodohnya setelah sekian lama terlena oleh perlakuan Elan di tubuhnya, hingga menghasilkan telaga yang siap membenam milik Elan dalam syahdunya senggama. Ah lelaki itu selalu saja membuat kewarasannya ambyar. Buyar lalu tercerai berai. Sebelumnya, Dina hanya bisa hanya bisa mengeratkan remasan di tepian meja kerja saat Elan berjongkok, lalu lidah profesionalnya bekerja prima hingga sebuah klimaks mudah ia gapai. Jika saja boleh, ia ingin merutuki diri sendiri sepuasnya saa
"Hey! Melamun?" Sergah Vio menggerakkan telapak tangannya di depan wajah Dina. "Eoh.. Eng.. Emm.." Dina salah tingkah, tidak siap menjawab pertanyaan Vio yang terkesanto the point. "Saat menerima undangan pernikahan kalian, sejujurnya aku penasaran siapa yang akan dipersunting Pak Elan. Mas Jarek cerita kalau gosip yang beredar Pak Elan akan menikah dengan anak SMA. Waduh aku hampir tidak percaya, sampai aku datang di pernikahan kalian dan membuktikan sendiri kalau kamu memang masih belia. Asal kamu tahu ya, biarpun waktu itu kamu sudah dimake uptapi wajah beliamu masih sangat terlihat. Mana kamu menyun banget kan?" Senyum Vio memotong sendiri tutur katanya. Dina tersipu-sipu kembali. Ia ingat bagaimana pelaminan tak seindah yang ia bayangkan, tak seperti cerita kebanyakan orang. Kala itu, pelaminan adalah tempat ia harus duduk dalam kepahitan, disanding lelaki dewasa nan matang. Mengumbar senyum kebohongan tanpa tahu mimpi
Dina memeluk tubuh suaminya dari belakang saat lelaki itu sibuk denganpandi atas kompor, cukup kaget karena merasakan kehangatan mengerat dari belakang tubuhnya. Tak biasanya Dina akan lebih dulu memeluknya seperti ini, biasanya dia yang akan lebih aktif mendekap tubuh Dina dari belakang. "Sudah bangun hmn.. Tadinya akan ku bangunkan dengan cara lain kalau belum bangun juga.." "Cara lain?" Dina mengernyit dengan sisi kepala masih menempel di punggung suaminya yang sibuk membuat sarapan mereka. Semakin ia eratkan pelukannya semakin nyaman terasa, tak terlalu peduli maksud kalimat Elan sebelumnya. "Yahh.. Membangunkan dengan sesuatu yang nikmat.." Elan menyunggingkan senyum karena yakin Dina sedang memasang wajah muak di punggungnya. Gadis itu selalu begitu kala ia menggodanya dengan mesum, dan ia suka. "Kakak semalam tidur duluan, tumben?" "Oh ya? Aku bahkan tidak sadar kapan mulai hilang ingatan. Seperti y
Semalam..Tidak! Aku tidak sedang bermimpi. Dia jelas-jelas mengatakan sedang hamil. Kalian semua dengar? Istriku hamil!! Aku dan Daisy akan dikaruniai buah hati. Kami telah benar-benar bersatu setelah memadu.Memandangi wajah lelapnya malam ini seolah tak pernah cukup waktu, selalu saja kurang dan membuatku lapar kasih sayang. Dalam wajah tidurnya seolah tersimpan ketenangan yang mendamaikan. Paras belianya ayu menyatu dalam aura baru. Aku tak pernah menyangka memiliki istri semuda ini, imut yang seolah merangsangku menggigit kulitnya kapanpun aku mau.Terkadang aku geli sendiri jika teringat masa-masa dimana kerap menggendong tubuh mungilnya, Mungil? Nama yang kini ia sebut untuk anak kami. Konyol memang tapi ah sudahlah bagaimanapun aku sudah merampas sebagian besar haknya untuk bersosialisasi dengan kawan sebayanya. Bagiku, untuk dia apa yang tidak akan ku lakukan, ia sudah banyak berkorban, untuk kakaknya, adikku, dan diriku s