Share

Bab 5

Elan berlari ke balkon kamarnya, nafasnya mengendur kala menemukan tubuh Dina duduk meringkuk di sudut dalam balkon, di dekat pintu. Ia memejamkan mata sejenak, lega. Pikirannya sudah terlanjur kacau membayangkan Dina akan loncat dari balkon untuk mengakhiri hidupnya. Ternyata gadis ini tidak selemah itu.

Elan mendekati Dina yang termenung, melamun tak tahu di mana arah matanya berlabuh. Ia mengulurkan tangan.

"Ayo masuk.." Ajak Elan datar.

Dina merendahkan pandangan, respons tak nyaman pada lelaki yang berdiri congkak di depannya.

"Ada yang ingin aku bicarakan."

Dina masih diam. Ia tak tertarik. Balkon ini lebih menjanjikan kenyamanan daripada di dalam kamar yang mencekam.

"Ini tentang perceraian."

Dina mengangkat wajahnya, tapi menahan diri untuk melihat wajah lelaki itu. Ia tertarik kemudian berdiri dan mengekori Elan yang masuk ke dalam kamar. Perasaannya tak tenang, hanya bisa berdoa semoga Elan mengabulkan permintaannya.

"Duduklah.." perintah Elan menunjuk tepi ranjang.

"Ha.. Harus di sini? Bukan di sofa?"

Dina ragu, masih takut jika Elan akan memaksa melayaninya lagi. Ia gugup, meremas bagian dada bajunya melindungi diri.

"Jangan takut, aku tidak akan memperkosamu lagi." Sindir Elan sembari duduk nyaman di atas ranjang terlebih dahulu.

Dina menurut, duduk miring di tepi ranjang, menjaga jarak mereka tak terlalu dekat. Dina berusaha tenang, tak menampakkan kegugupan. Ia ingin tetap terlihat kuat di depan Elan.

"Kamu ingin bercerai?" Tanya Elan sedikit menggerakkan kepalanya ke arah Dina.

"Ya."

"Siap menjadi janda?" Elan bertanya dengan nada merendahkan.

Dina menelan ludahnya. Janda? Status itu tak terpikir sama sekali olehnya. Ia akan menjadi janda. Ah itu urusan belakangan, yang terpenting lepas dari jerat Elan dulu.

"Tidak masalah." Jawab Dina mantap.

"Oke.." Elan mengangkat alisnya. "Aku punya penawaran yang saling menguntungkan."

Dina menoleh tanpa melihat wajah Elan. Tertarik.

"Katakan!"

"Seperti katamu, kita menikah demi orang-orang yang kita sayangi, kamu karena Raka dan aku karena Asya, tapi yang orang tua kita tahu kita menikah karena cinta."

"Lalu?" Dina ketus tapi mulai penasaran.

"Aku tidak mau menyakiti adikku, sebelum memeriksamu tadi Raka sempat mengatakan kalau adikku terpukul karena merasa bersalah padamu, maksudnya karena kamu tampak memprihatinkan seperti ini ckckck, untung Raka bisa menenangkannya.. Asya begitu karena ucapanmu kan? Kamu melampiaskan kemarahan pada adikku hmm?" Elan menaikkan sebelah alisnya jahat, menanti respons Dina dalam seringainya yang kejam.

Dina gemetar karena perbuatannya pada Asya terkuak. Ia terbayangi perlakuan Elan tadi pagi saat tahu dirinya sudah membuat Asya menangis. Akankah kali ini juga?

"Aku anggap jawabanmu 'ya' karena tak ada yang keluar dari bibirmu. Asal kamu tahu, kebahagiaan adikku adalah prioritas, kamu juga tahu aku bahkan rela menikahimu hanya untuk membalas dendam untuknya. Jadi, jangan sekali-kali menyakiti adikku lagi." Ancam Elan menakutkan.

Dina semakin meremas dadanya sendiri. Takut. Bayangan pemerkosaan Elan pagi ini datang lagi sekelebat, menjadikan sakit di kewanitaannya muncul kembali.

"Takut? Jangan takut Sweety, aku tidak akan menyakitimu lagi. Tapi dengarkan dan pikirkan penawaran ku ini baik-baik."

Elan mendekati Dina yang berusaha menjauh.

"Kita jaga pernikahan ini sampai adikku melahirkan, setelah itu terserah padamu. Aku hanya butuh menenangkan pikiran adikku sampai dia melahirkan. Seperti yang kita tahu, Raka sering bilang kehamilan kembar punya risiko dua kali lebih besar. Psikis Asya harus dijaga, aku tidak mau dia stres karena terlalu memikirkan nasib pernikahan kita yang berakhir, karena perasaan bersalahnya. Hanya empat bulan bukan Asya akan melahirkan? Kamu cukup bertahan selama empat bulan hidup bersamaku."

"Kamu pikir aku bodoh? Kenapa aku harus tersiksa hidup bersamamu selama empat bulan hah?" Dina emosi.

"Jangan lupa, kamu punya hutang padaku, jadi selama empat bulan itu aku memberimu waktu melunasinya. Ah satu hal lagi, kamu tidak memikirkan perasaan orang tuamu? Terutama ibumu jika tahu pernikahan anaknya kandas kurang dari seminggu? Aku dengar hipertensinya sering kambuh sejak memikirkan Raka ditolak mentah-mentah oleh ayahku, kira-kira bagaimana dengan status janda yang akan disandang putri kecilnya? Hehe.. Apa aku salah bicara? Kamu tidak akan rugi Sweety, aku sudah memperhitungkan semua.." Elan mencoba menatap Dina yang terus menghindarinya.

"Kamu mengancamku?? Kamu memang brengsek!"

"Mulai sekarang berhentilah memanggilku dengan ucapan kasar begitu Sweety, bisa jadi dalam empat bulan ke depan kata-kata itu berubah menjadi kata 'Sa-yang' hahaha.."

Panas telinga Dina mendengar ucapan Elan di dekat telinganya. Bisa-bisanya dia mengharap rasa sayang tumbuh di hatinya. Tidak sudi!

"Ah ya masih ada satu hal lagi yang menguntungkanmu. Aku berjanji tidak akan menyentuhmu selama empat bulan itu, kecuali.."

"Kecuali apa?" Sahut Dina cepat, gemas.

"Kecuali kamu yang memintanya." Elan tersenyum mesum.

"Brengsek! Kamu kira aku semurahan itu heh?? Akan kupastikan kamu tidak menyentuh tubuhku lagi."

Elan manggut-manggut sok paham. Senyumannya merendahkan kalimat Dina, seolah kalimat itu mentah.

"Jadi bagaimana? Menerima tawaranku? Kita saling menguntungkan, aku menjaga perasaan dan kesehatan adikku, kamu menjaga perasaan dan kesehatan ibumu. Sudah adil kan?"

"Aku butuh waktu berpikir.."

"Tidak ada satu orang pun yang boleh tahu perjanjian ini, tidak juga Raka. Ini urusan kita berdua Sweety, aku tidak mau pemikiran orang lain mengacaukan kesepakatan kita. Pikirkan sendiri alasanmu padanya mengapa kamu tidak jadi meminta cerai dariku."

Dina berpikir keras. Ia mencoba memikirkan kelemahan penawaran Elan tapi tak mudah. Lelaki itu licik dan sudah memikirkan segala sudut kemungkinan. Ia menjerat karena semua yang dikatakannya tidaklah salah.

"Apa yang menjamin kamu tidak akan macam-macam kepadaku lagi? Maksudku.. Kamu.. Tidak akan menyentuhku lagi."

"Kamu boleh menggugat cerai saat itu juga." Jawab Elan lugas.

Dina tersudut dalam keyakinan. Empat bulan bukan waktu yang singkat untuk hidup bersama lelaki brengsek itu tapi menggugat cerai Elan sekarang akan melukai banyak orang, ibunya, juga kakak iparnya Asya. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Elan lakukan jika Asya kenapa-napa karena ia menggugat cerainya sekarang.

"Aku menunggu jawabanmu Sweety.." Tanya Elan memecah lamunan Dina.

"Tenang saja aku akan mencukupi kebutuhan sehari-harimu selama empat bulan itu, dan kamu tidak perlu menggantinya dengan tubuhmu."

Dina bergidik seram. Ah sudahlah pikirannya sudah mati. Mungkin tidak buruk menerima perjanjian ini. Toh dia tetap bisa memutuskan perjanjian jika Elan melanggar, terutama jika Elan berani menyentuhnya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan bukan?

"Aku menerimanya."

"Bagus. Aku sudah merekamnya di sini," Elan mengangkat ponsel dari saku pakaiannya. "Perjanjian tanpa materai."

Elan menyunggingkan bibir mengejek. Mengingatkan Dina pada perjanjian lamanya yang menguap begitu saja.

Brengsek dia merendahkan perjanjianku.

"Aku akan mengirim rekamannya di ponselmu, kamu bisa menggunakan itu sebagai bukti penunjang di sidang perceraian, siapa tahu aku tidak kuat dan memperkosamu lagi di tengah jalan." Elan tertawa mengejek sambil berlalu.

"Brengsek!! KAMU!?" Dina berdiri emosi.

Elan berbalik sambil tersenyum.

"Hey ayolah jangan terlalu serius, aku hanya bercanda."

Dina menjatuhkan bokongnya kembali di atas kasur. Mengambil nafas panjang, menenangkan diri agar tak terlalu emosi. Dari jauh ia melihat punggung Elan yang lebar bersandar di kursi kerjanya. Sepertinya sibuk memeriksa beberapa berkas mitra bisnisnya.

Suatu saat kamu akan membayar semuanya Elan..

***

"Apa kamu bilang? Kamu tidak jadi bercerai?"

Dina mengangguk menjawab pertanyaan kakaknya. Ia tersenyum.

"Aku sudah bisa menerima pernikahan ini. Tak ada salahnya Kak. Aku yakin bisa bahagia juga seperti kalian. Ah ya, maafkan aku Kak Asya, aku sedang emosi saat itu, jadi menuduhmu yang bukan-bukan." Dina menggenggam tangan Asya yang duduk di sampingnya.

"Dina.." Asya tersenyum bahagia. "Lupakan.."

"Tapi Din?" Raka mendekati kedua gadis yang disayanginya.

"Kak.. Dina sudah dewasa, dia mungkin bisa merasakan kasih sayang kak Elan juga. Pelan-pelan akan tumbuh cinta." Asya menyela ucapan suaminya. "Aku melihat kak Elan menyuapimu tadi pagi, tulus sekali, aku yakin kalian akan saling mencintai, lalu bahagia sepertiku dengan kak Raka Din."

Dina memaksakan senyumnya. Ibu hamil di hadapannya sangat polos. Seperti cenayang yang sok menebak masa depan. Saling mencintai dengan Elan? Bahagia dengan lelaki keparat itu? Kak Asya sedang mimpi di sore hari!

"Din, kamu tidak sedang berbohong kan?" Raka curiga.

"Kak Raka tidak perlu khawatir. Aku sudah cukup dewasa mengambil keputusan.." Dina tersenyum sembari meninggalkan suami istri itu di taman belakang rumah keluarga Wicak.

Yah.. Dina harus bersandiwara, setidaknya hingga bayi di perut kakak iparnya menghirup oksigen bumi dari hidungnya sendiri.

***

Dina keluar kamar mandi, bingung dengan langkahnya sendiri. Ia tak tahu harus di mana tidur malam ini. Di ranjang sudah ada Elan yang bertelanjang dada dengan laptop di pangkuannya. Hanya sofa satu-satunya tempat yang bisa menyenyakkan tidurnya malam ini.

Elan sama sekali tak peduli Dina akan tidur di mana, meskipun sesekali pandangan mereka bertemu saat Dina mulai merebahkan tubuhnya di sofa, kemudian berusaha memejamkan mata.

"Besok kita kembali ke Jakarta. Banyak pekerjaan yang akan ku urus di kantor baru."

"Oh.. Syukurlah aku juga sudah rindu rumah, juga sekolahku." Dina membuka mata, ada harapan untuk bahagia bisa bertemu ibunya.

"Memangnya masih sekolah?" Elan serius dengan layar laptopnya.

"Banyak hal yang harus diurus sebelum kelulusan."

"Ah ya katamu tadi di rumah? Kita akan pulang ke apartemenku Sweety.." Elan enteng berkata tanpa melepas kontak mata dengan layar laptopnya.

"Apa??" Dina bangkit karena kaget. "Aku tidak mau."

"Hey itu sudah kesepakatan keluarga besar saat aku meminangmu, Asya dan Raka di rumahmu, dan kamu ikut aku. Lagi pula Tante Ranti sudah memindahkan barang-barangmu ke apartemenku. Sepertinya Mamamu menyiapkan kejutan di kamar pengantin kita, tadi sore tante Ranti meneleponku dan bertanya kode pintunya. Hmm.. Apa jadinya kalau Mamamu tahu perjanjian kita."

"Tidak! Aku akan pulang ke rumahku!" Dina ngotot.

"Lalu aku ke apartemenku? Lalu semua tahu kita pisah ranjang?" Mata Elan memeriksa ekspresi Dina dengan santai.

Lagi-lagi Dina dibuat terjepit dan tidak tahu harus bagaimana selain mengikuti kemauan Elan. Baiklah ia harus menerima keadaan tinggal berdua dengan Elan.

***

Jakarta.

Dina menggeliat, merasakan kebebasan tidak lagi tidur sekamar dengan Elan. Sudah tiga hari ini ia terbangun di kamar pribadinya, tentu masih di dalam apartemen mewah milik Elan. Ia tak peduli meskipun kamar Elan jauh lebih luas, yang penting ia bebas menghirup udara tanpa tertekan di kamarnya. Tanpa perlu melihat wajah Elan tiap kali membuka mata.

Hubungan Dina dengan Elan pun membaik. Dina memutuskan untuk pelan-pelan melupakan tragedi malam pertama, lebih memilih menatap masa depan. Kehilangan keperawanan adalah hal lumrah bagi teman-temannya. Dari mereka jugalah Dina tahu malam pertama itu sangat menyakitkan. Lagi pula Elan suaminya, setidaknya ia tak berbuat dosa.

Benar kata Elan, beberapa hari lalu Ranti sudah menyiapkan kamar pengantin untuk mereka, dekorasi bunga-bunga cantik nan indah. Sayangnya Elan justru merasa geli karena menikmati kamar itu sendiri.

Dina keluar kamar dan menemukan Elan sudah duduk di meja makan. Dengan jas hitam dan dasi ungu terlihat sangat gagah perkasa, memesona kaum hawa. Perkasa? Diakui Dina Elan memang perkasa. Terbukti saat dua hari persetubuhan mereka, meskipun tersakiti, Elan masih sempat memuaskannya.

Ya Tuhan pikiran mesum macam apa ini?

Dina memukul kepalanya sendiri karena bisa-bisanya berpikir mesum tentang Elan. Tak dipungkiri, bayangan tubuh Elan saat bergerak di atas tubuhnya terlihat begitu seksi. Ah Dina mesum lagi.

Krucuk krucuk.. Perut Dina keroncongan. Ia menuju meja makan, mendekati Elan, berharap ada makanan di sana.

"Sudah bangun?" Elan menengok sebentar pada Dina di hadapannya lalu melanjutkan membaca koran. "Apa aktivitasmu hari ini?"

"Eumm.." Dina agak kaget karena baru hari ini Elan peduli dengan aktivitasnya. Kemarin-kemarin lelaki itu cuek, tak peduli selain membelikannya makan. "Ke sekolah, mengembalikan buku-buku perpustakaan."

"Oh, aku kira menganggur."

"Kenapa kalau menganggur?"

"Akan ku daftarkan kursus memasak, biar kamu bisa masak makanan sendiri. Ya setidaknya buat makanan untuk dirimu sendiri, jangan hanya numpang makan di rumah ibumu. Asya saja bisa masak segala macam makanan, kenapa kamu tidak?"

Dina kaget. Dari mana Elan tahu kemarin ia pulang ke rumahnya dan makan di sana.

"Mama memberitahumu?"

"Hmm.."

"Kenapa Mama jadi sangat respect padamu, hmph.." Dina kesal.

Elan melipat korannya, menyesap kopinya, lalu menyodorkan sepiring roti selai buatannya kepada Dina.

"Makanlah!"

"Tapi ini sarapanmu.."

"Kamu lebih membutuhkan, perutmu sudah cukup merdu menyanyi dari tadi. Aku berangkat." Elan beranjak dari kursinya, berlalu menuju pintu.

Dina malu bukan kepalang karena bunyi perut laparnya sangat nyaring. Pagi ini Elan menyelamatkan perutnya. Muncul ide untuk berterima kasih pada Elan. Siapa tahu sikap care-nya pagi ini akan berlanjut hingga esok, esoknya lagi hingga empat bulan ke depan.

Ckrik! Dina mengambil gambar roti di depannya, menjadikannya story w******p dengan caption, "Thanks, menyelamatkan perutku pagi ini."

Elan tersenyum saat menemukan story Dina. Ia ingin membalasnya, tapi.. Ah tidak perlu mengikuti cara anak SMA bermedia sosial, tidak penting!

Dina menemukan nama Elan di urutan ketiga viewernya. Entah mengapa hatinya tergelitik, gereget merasa umpannya tak dimakan. Padahal sengaja menulis caption itu untuk tahu respons Elan, tapi lelaki brengsek tetap lelaki brengsek.

***

Di kantor Elan.

Berulang kali lelaki dewasa itu memeriksa w******pnya, bukan menanti gambar bangunan atau tanah yang akan diperjualbelikan, tapi memeriksa story.

Dari tadi pagi ia berulangkali memantengi story w******p istrinya. Pikirannya mungkin sudah gila karena menyempatkan waktu sibuknya untuk membuka tutup aplikasi itu karena hal tidak penting.

Elan tak tahan lagi. Ia membuka room chat Dina, mengirim pesan.

Elan: Suka rasa rotinya?

Dina: Heem, not bad

Elan: Ganti besok buatkan aku

Dina: kalo tdk enak?

Elan: Belajarlah lebih giat

Dina: Tdk janji

Elan: Pemalas

Dina: Aq rajin brengsek

Elan: Sudah kubilang hati2 dg sebutan itu, bisa berubah menjadi 'sayang'

Dina: Membuatq mual T_T

Elan: Kamu hamil?

Dina: Brengsek! Aq mens

Elan: Sayang sekali, kukira berhasil menghamili bicah SMA

Dina: Pedofil! Jangan bahas itu ladi dan jangan bermimpi

Elan: Hahaha kamu masih di sekolah?

Dina: Y

Elan: Pulang jam berapa?

Dina:12an, knp?

Elan: Tunggu aku di sana

Dina: Aq bs pulang sendiri

Elan: Kujemput

Dina: TIDAK PERLU

Elan: Aq lapar, butuh teman makan siang. Mau makan apa?

Dina: ?

Elan: Resto jepang waktu itu?

Dina: ^^ Boleh

Elan: Tunggu aku di gerbang

Dina: Aq menunggumu di tengah jalan Brengsek

Elan: Dasar bocah!

Aulia Lapan Bilan

Ditunggu vote dan komentarnya ya say

| 1
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dite
wkwkwkw udah brengsak brengsek, giliran diajak makan lgsg klepek2 bener si elan, dasar dina bocah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status