Share

Bab 6

Elan memarkir jeep-nya di depan sekolah Dina. Menanti gadis yang tak kunjung muncul dalam gelisah. Jangan-jangan gadis itu sudah pulang karena terlalu lama menantinya.

Nomor ponsel Dina tak bisa dihubungi, w******pnya juga centang satu. Elan yang mulai gusar, memilih turun dari mobil, bersandar moncong mobilnya sembari menengok ke arah gerbang sekolah. Menyeleksi wajah-wajah muda yang terpukau padanya.

Elan menggaruk dagunya tak sabar. Ia memutuskan menuju pos satpam untuk menanyakan posisi Dina, masih di sekolah atau sudah pulang. Lupa Pak satpam bukanlah face detector. Tak pernah ia menanti seorang gadis hingga seresah ini hanya untuk mengajaknya makan siang.

Baru selangkah meninggalkan titiknya, Elan menemukan gerombolan bocah SMA yang baru keluar. Salah satu bola mata mereka bahkan sudah mendeteksi kehadirannya. Pemilik bola mata itu mengatakan sesuatu pada kawan-kawannya lalu mendekati Elan dengan raut masam.

Sesekali Dina menoleh ke belakang dan menyadari bahwa dirinya sedang diperbincangkan oleh kawan-kawannya. Malu atau mau?

"Kenapa harus turun dari mobil?" Tanya Dina mencuri lirikan pada Elan.

"Aku kira kamu sudah pulang." Elan mengernyitkan dahi. "Kenapa murung?"

"Teman-teman pasti menertawakanku.. Kamu tidak perlu datang lagi!"

Elan merendahkan tubuhnya, menyejajarkan wajah mereka hingga mau tak mau bola mata mereka bertemu. Jantung Dina berdetak tak karuan. Tak siap menerima perlakuan.

"Bukankah mereka tahu kamu sudah menikah? Jangan berprasangka buruk. Bagaimana kalau ternyata mereka justru iri padamu? Sejujurnya lelaki sepertiku sangat didamba gadis SMA, tampan, kaya dan proporsional."

"Ish! Memuakkan!"

Dina meninggalkan Elan, menuju pintu mobil dan menyembunyikan senyum bangganya. Ya, sebenarnya ia hanya pura-pura kesal. Ia sengaja berlama-lama berdiri di depan mobil Elan untuk pamer suami sempurnanya di hadapan mereka. Hmm.. Setidaknya itu salah satu keuntungan yang bisa ia dapat sejauh ini.

Selama perjalanan menuju resto tak banyak yang mereka perbincangkan. Dina terlihat lebih kikuk dari biasanya. Rasanya semakin aneh berada di dalam mobil berdua saja dengan Elan.

"Nomormu tidak bisa dihubungi, kenapa?" Elan membuka obrolan.

"Eoh.." Lamunan Dina terpecah.

"Melamun?"

"Eumm.. Apa tadi? Ponselku? Kehabisan baterai, tidak bawa powerbank, tidak bawa charger juga."

"Pakai chargerku di situ.." Elan menunjuk console mobilnya.

"Mana?" Tanya Dina mencari-cari.

"Di situ.." Elan sibuk mengawasi jalan.

"Mana sih?" Dina sedikit kesal karena tak kunjung menemukan.

Elan Memecah konsentrasi antara jalan dan benda yang Dina cari. Tangan kirinya meraba-raba console dan tanpa sengaja menyentuh sebuah kelembutan.

"Ehh.." Dina terperangah, menaikkan bola matanya saat tangannya tersentuh Elan.

Elan pura-pura tak melihat, sibuk mengamati jalan untuk berbelok. Ia justru meremas telapak tangan Dina dalam genggamannya, masih pura-pura tak melakukan apapun.

Dina kikuk, salah tingkah, nafasnya cepat. Kesal. Marah tapi juga merasa aneh, neuronnya tak menyampaikan pesan untuk buru-buru mencabut jemarinya.

"Apa sulit membedakan kabel dan tangan manusia?" Dina geram.

"Oh.. Aku salah pegang ya." Elan menoleh seraya tersenyum menampakkan sikap isengnya, membuat Dina semakin kesal dan melengos ke arah lain.

"Mungkin aku lupa tidak membawa charger."

Elan berkata santai tanpa rasa bersalah. Yah, ia memang sengaja berbohong. Tak pernah ada charger dalam mobilnya.

"Sial!" Dina mengumpat, menyadari dengan mudah jatuh ke jebakan Elan.

Elan tertawa tanpa suara. Sesekali melirik gadis manis di sampingnya, menelitinya dari ujung rambut hingga kaki. Ada satu bagian yang sedari tadi mengganggu pikirannya, paha mulus gadis itu terumbar. Rok yang dipakai terlalu pendek. Rasanya tangannya ingin hinggap dan bekerja di sana.

"Apa semua gadis SMA memakai rok serendah itu?"

Dina sadar dan menarik ujung roknya. Lagi-lagi Elan membuatnya geram dan ingin mengumpat.

"Dasar brengsek! Masih banyak hal yang bisa kamu lihat, kenapa harus melihat pahaku? Kenapa? Terangsang? Itu karena pikiranmu saja yang kotor, mesum!"

"Wah wah wah.. Sudah ku bilang jangan terlalu kasar padaku." Elan santai. "Sebutan itu akan beru.."

"Berubah apa? Jadi sayang? Haloo.. Pak Elan yang terhormat, jangan halu!" Sambar Dina kesal sekali.

Elan hanya tersenyum. Senyum yang penuh arti. Senyum yang tak dimengerti sama sekali oleh Dina.

"Teman laki-lakimu pasti senang setiap hari dapat suguhan paha mulus seperti itu."

"Kamu pikir mereka sepertimu yang mesum akut?" Sangkal Dina.

"Pikiran laki-laki itu sama, tak akan jauh dari selangkangan wanita. Kamu sebagai wanita harus bisa menjaga diri. Yang sudah menjaga diri seperti adikku saja masih kecolongan, apalagi kamu yang mengumbar paha." Elan menggeleng.

Dina sangat geram. Rasanya ingin menapuk bibir Elan yang semakin pedas berbicara. Ia memberanikan diri memandang wajah Elan dengan kemarahan, walau tanpa sedikitpun Elan hiraukan, pura-pura tak melihat lebih tepatnya.

"Marah? Seharusnya aku yang marah. Bagaimanapun aku ini suamimu, kalaupun ada yang boleh melihat pahamu, itu adalah aku. Jadi jangan umbar pahamu lagi, besok belilah seragam baru." Perintah Elan lantang.

Dina tertegun. Tak ada kalimat yang bisa keluar dari bibirnya. Kemarahannya berangsur sirna, menguap perlahan lalu menghilang. Ia sepenuhnya sadar, Elan tak menunjukkan nada ejekan, merendahkan, apalagi candaan. Lelaki itu terlihat serius memintanya membeli rok baru untuk menutup pahanya. Bahkan sesekali terdengar penekanan kemarahan dalam kalimatnya, posesif?

Dina membenahi posisinya yang semula miring menghadap Elan menjadi duduk manis menghadap ke depan. Anteng tapi pikirannya jungkir balik.

"Tapi sebentar lagi sudah tidak terpakai. Paling tinggal sebulan aku ke sekolah, itupun jarang-jarang. Sayang kalau harus beli lagi." Tolak Dina lembut.

"Memangnya harga sebuah rok akan membuatku bangkrut? Kamu bisa berikan ke adik kelasmu kalau sudah tidak terpakai. Asal jangan umbar pahamu lagi begitu, aku tidak suka!"

Lelaki ini, ya Tuhan.. Ucapannya posesif sekali. Memangnya siapa aku? Ya aku tahu aku ini istrinya tapi.. Ah aku harus bagaimana? Apa wajahku merah mendengarnya? Aku malu.

Dina menunduk, menyembunyikan kekaguman yang tidak perlu. Ia akui kali ini ia merasa Elan menjaganya, ada tabuhan kecil di dadanya saat mendengar larangan terakhir kali.

Dina merasa dilindungi oleh kalimat posesif Elan tapi ada rasa penasaran yang menyatroni otaknya. Ia menoleh cepat pada Elan hendak bertanya sekaligus menyangkal.

"Ku belikan cuma-cuma, bukan hutang, juga tidak perlu mengganti dengan tubuhmu."

DEG.

Kurang dari sedetik Dina menarik wajahnya untuk menunduk, lalu menoleh ke arah jendela. Ia tak menyangka, ternyata Elan tulus padanya?

Ada getaran dan debaran. Ada lega dan nafas bahagia. Sepertinya Elan kian baik padanya.

Jadi mengapa aku harus membenci seseorang yang bisa menebak isi pikiranku sebelum aku mengutarakannya?

***

Dina menyumpit beef yakiniku di hadapan mereka, dilanjutkan dengan mencaplok sepotong sushi, lalu menggigit ebi furai. Elan geleng-geleng melihat cara makan Dina yang kemaruk.

"Apa makanan yang tidak kamu sukai?"

"Eoh.." Dina melongo dengan mulut tersumpal makanan. Buru-buru ia mengunyah dan menelan. "Tempe! Alu tidak suka, hambar di lidahku."

"Sombong sekali." Ejek Elan menanggapi.

"Tidak suka ya tidak suka, bukan perkara sombong atau tidak. Lagi pula kenapa tanya begitu?" Dina penasaran, juga keheranan.

"Kalau dipikir-pikir, aku tidak tahu apapun tentangmu. Aku ingin tahu mulai sekarang."

Dina menghindari sorot tajam Elan ke arahnya, mengalihkan pandangannya pada potongan ebi furai yang baru digigitnya. Mengapa tiba-tiba tatapan mata lelaki ini menggetarkan dadanya?

"Untuk apa tahu tentangku? Empat bulan lagi kita akan berpisah." Elak Dina gugup.

"Apa hubungannya? Jangan berpikir terlalu jauh bocah. Aku hanya ingin tahu agar tidak salah ketika membelikanmu makanan, selama kita masih hidup bersama, makanmu masih tanggung jawabku, aku tidak mau disalahkan kalau kamu mati kelaparan.."

"Uhuk!" Dina terbatuk karena rasa malu bertindih kesal. Kepedean.

Bisa-bisanya ia berpikir Elan ingin tahu tentang dirinya, peduli padanya, padahal lelaki itu hanya berusaha tak membuatnya mati kelaparan. Yah sama seperti perutnya yang berdendang tadi pagi.

Dina minum jus plum dengan terburu-buru, melampiaskan gugupnya tapi justru justru tersedak. Elan geleng-geleng karenanya.

"Dasar bocah, minum pun tak bisa pelan-pelan."

Elan menuang air putih di gelasnya, menyodorkannya untuk Dina. Membuat gadis itu menatapnya kebingungan.

"Minum!" Perintah Elan. "Malah bengong?"

Dina menyahutnya, kemudian meminumnya. Ia hanya terdiam kebingungan setelahnya. Sehari ini saja Elan sudah berulang kali membuat degup jantungnya berloncatan tak kenal ritme.

Berhentilah bersikap seperti ini Elan, aku tidak ingin menganggap ini bentuk perhatian.

"Sepertinya kamu sudah tidak takut padaku?"

"Aku?" Dina kaget.

Elan tak menjawab. Ia sibuk menyumpit potongan daging sapi pada mangkuk besar di antara mereka. Melahapnya perlahan.

"Ke, kenapa harus takut?" Dina terbata-bata.

"Tidak takut aku memperkosamu lagi?"

Lagi-lagi Dina dibuat tercengang oleh ucapan Elan. Mengapa lelaki ini menjadi serba penuh misteri? Tak bisa dipahami arah pembicaraan dan pola pikirnya. Dina mengumpulkan keyakinan, ia harus terlihat tegar bagaimanapun caranya.

"Tidak." Jawab Dina pendek.

"Sungguh?"

"Aku rasa seseorang yang memberikanku sarapan dan makan siang hari ini tidak akan setega itu lagi."

"Bagaimana jika sarapan dan makan siang itu rayuan?" Elan mengangkat bola matanya mencari ekspresi Dina.

"Aku tidak mudah dirayu."

Elan tersenyum menghadapi sikap angkuh Dina. Ia pura-pura cuek tak melihat ke arahnya.

"Lagi pula aku bukan tipe perayu."

"Baguslah" Dina mengangkat alisnya.

"Tapi para gadis yang biasa datang ke pelukanku."

"Cih! Kamu pikir aku seperti mereka?" Dina menyunggingkan sebelah bibirnya.

"Mengapa tidak?"

"Dengar! Tidak semua wanita itu sama. Aku tidak semurahan mereka yang dengan mudah jatuh ke pelukanmu."

"Kamu sudah jatuh ke pelukanku, lupa?" Elan menaikkan alisnya.

"Jangan lupa! Kamu memaksaku!"

"Kamu menikmatinya."

Nafas Dina memburu. Emosi pada lelaki di hadapannya yang semakin tak tahu aturan bertutur kata. Ia sudah kehilangan keperawanannya karena pemaksaan dan bisa-bisanya Elan mengatakan hal yang sangat merendahkan.

"Apa aku salah?" Elan menajamkan pernyataannya.

"Seandainya kamu tahu perasaan gadis yang diperkosa itu seperti apa.."

Dina menitikkan air mata. Ia ingin menumpahkan segalanya, semua yang ia rasakan hari itu. Sesak hatinya karena Elan selalu menganggapnya murahan.

Dina mengusap ujung bibirnya dengan tisu, lalu membuangnya kesal ke atas piring. Ia segera menyingkir dari kursinya, meninggalkan Elan sendiri keluar dari tempat itu.

Mata Elan mengikuti arah gerak tubuh Dina yang berjalan cepat ke arah pintu keluar. Ia tetap tenang menghabiskan makanannya. Raut congkaknya tampak jelas sekali. Senyum meremehkan pun masih sempat ia sunggingkan.

***

Kejam! Sebutan yang paling pantas untuk lelaki itu. Menyakiti hati seorang gadis seakan tidak pernah cukup baginya.

Aku membencinya, itu pasti. Dia lelaki yang merampas malam pertamaku, yang seharusnya ku lakukan dengan lelaki yang ku cintai. Bukan dengan lelaki yang hanya menjadikanku obyek balas dendam.

Sekuat tenaga aku melupakan semua. Mengubur kenangan buruk akan perbuatannya. Itu tak pernah mudah bagiku, tapi dia justru terus-terusan menghinaku.

Hari ini aku merasa dibodohi. Ku kira dia sudah berubah. Sikapnya lebih lembut. Perlakuannya pun tak lagi buruk. Tapi kalimat-kalimatnya masih merendahkanku. Menyakitkan.

Harusnya aku tak terlena karena sikapnya. Hanya karena sepotong roti aku begitu mudah ditarik dalam lingkarannya. Aku terlalu lena akan perubahan sikapnya, kurang waspada hingga bisa-bisanya melunak.

Aku berlari kecil dari resto Jepang itu, meninggalkan si brengsek Elan sendiri. Aku tidak tahan dengan kalimat-kalimatnya yang semakin merendahkanku, menyudutkanku. Dia menganggapku sama dengan gadis-gadisnya, yang sukarela jatuh ke pelukannya. Ingin ku tancapkan di ubun-ubunnya bahwa ia yang memperkosaku! Kalaupun aku menikmatinya, itu karena reaksi tubuhku. Bukan kemauanku.

Aku terus berjalan dengan air mata tak henti menetes. Aku hanya ingin menjauh darinya secepat mungkin.

Ciiitt..

Aku kenal mobil siapa yang tiba-tiba berhenti di sampingku. Aku tak peduli dan tetap terbirit-birit tanpa menghiraukan.

"Naiklah!" Perintahnya sembari mengemudi sangat lambat, mengiringiku.

Aku tak berniat meresponsnya sama sekali. Muak! Dia selalu memuakkan.

"Naiklah dan jelaskan kenapa?"

Jelaskan kenapa? Apa ia bodoh? Aku semakin tidak sudi menengoknya.

Tiba-tiba ia menambah kecepatan mobilnya. Memarkir di depan sebuah gerai waralaba. Tidak lama kemudian, dia sudah berdiri di hadapanku, saat aku sibuk mengusap air mata.

"Jangan halangi jalanku!" Usirku ketus.

"Ku antar pulang."

"Tidak perlu!" Jawabku lebih ketus.

"Marah?"

Perlukah dia bertanya tentang kemarahanku? Untuk apa? Menertawakanku? Tapi aku punya harga diri.

"Apa seorang pelacur murahan punya hak untuk marah pada tuannya?" Tanyaku melampiaskan kegeraman. Pertanyaan yang sangat ironi.

Dia diam. Ini kesempatanku menyerangnya dengan segala unek-unek terpendam.

"Aku menjaga kesucianku untuk orang yang kucintai, tapi kamu seenak hati melanggar perjanjian dan merebutnya. Kamu seharusnya bertanya pada adikmu bagaimana perasaan gadis yang diperkosa, kamu tahu? Semua terasa runtuh, tidak punya apa-apa lagi. Apa yang seperti itu kamu sebut murahan? Hiks.."

Aku membentak-bentaknya di tepi jalan. Air mataku pun tak henti mengalir.

"Setiap kali kamu menyebutku murahan, setiap itu juga aku merasa pengorbananku tidak dihargai. Aku sudah rela tidak bahagia demi semua orang, setidaknya jangan membuatku sakit hati. Satu hal lagi! Jangan bangga karena aku sempat menikmati perkosaanmu, itu bukan mauku! Itu reaksi tubuhku. Sedikitpun! Sedetikpun! Aku tidak pernah menginginkanmu!"

"Kamu menyesal memberikan keperawanan untukku?"

"Aku tidak pernah memberikan, tapi kamu merampasnya! Mulai sekarang sampai empat bulan ke depan lebih baik kita tidak perlu banyak bicara, kita jalani hidup masing-masing. Kamu tahu kenapa? Karena semua kalimat yang keluar dari mulutmu hanya menyakitiku."

"Oke."

Keparat! Tanpa merasa bersalah, dengan mudah ia mengatakan persetujuan? Lalu kembali ke mobilnya dan melaju meninggalkanku? Apa yang begitu masih disebut manusia?

***

Dina duduk di taman kota. Ia sudah berhenti menangis, tapi masalah baru muncul. Ke mana ia harus pulang hari ini? Apa ia harus menyerah dan jujur pada orang tuanya? Atau mengatakannya pada Raka? Karena kembali ke apartemen suaminya bukanlah pilihan lagi.

Ya Tuhan aku tidak mau semua orang tahu. Biarkan mereka bahagia agar pengorbananku tidak sia-sia.

Dina berjalan pelan menyusuri trotoar, selangkah demi selangkah tanpa tujuan. Sementara mendung sudah menata diri untuk segera menumpahkan keluh kesahnya. Seolah menanti Dina untuk segera mengambil keputusan, ke mana kakinya dibawa melangkah?

Tik.. Dina menengadah ke atas setelah hidungnya dijatuhi setitik air langit, lalu merentangkan kedua tangannya menyambut hujan.

Bisakah kalian menyucikanku?

Dina terpejam, merasakan air hujan semakin mengguyur wajahnya, lalu membasahi sekujur tubuhnya. Ia berusaha menikmati bersamaan aliran air mata. Berharap hujan mampu mengikis noda kotor di tubuhnya, hingga suci kembali seperti sedia kala. Lama sudah tapi rasanya air hujan tak cukup membasuh noda-noda itu.

Dina memeluk dadanya sendiri ketika merasa bentuk tubuhnya tercetak jelas oleh air. Perlahan ia menyadari bahwa tubuhnya tak lagi terguyur, tapi hujan belum reda, ada kegelapan menaunginya. Ia menyadari sesuatu telah mengatapinya. Bukan payung, tapi sebuah jas hitam.

"Ayo pulang! Aku tidak mau tubuh istriku dinikmati banyak mata." Suara Elan berlomba dengan guyuran hujan.

Dina menelan ludahnya, melangkah ke depan tanpa menghiraukan. Ia tahu itu siapa dan tak sudi menghiraukannya. Sakit hatinya terlanjur dalam.

Tiba tiba tubuh Dina terhuyung ke depan karena ada yang menubruknya dari belakang. Sebuah tangan kekar bak balok kayu mengalung ke lehernya, menyiku dari belakang, sedang perutnya dilingkari tangan lain dari tubuh yang sama.

Lelaki ini..

"Maafkan aku.."

Dina tercekat. Apa yang sebenarnya terjadi? Mimpikah ia kini? Elan memeluknya di bawah guyuran hujan, meminta maaf? Ah ini pasti halusinasi..

"Aku tidak akan mengatakannya lagi lain kali, jadi maafkan aku.."

Bibir Dina tergerak untuk menjawab kalimat ajaib yang keluar dari lelaki di belakangnya. Maaf? Bahasa planet yang tak pernah Elan kenal sebelumnya. Tahukah ia cara menggunakan kata maaf?

"Kamu adalah orang yang pertama kali menamparku hiks.." Dina terisak. "Kamu.."

"Tampar aku lalu pulanglah denganku.."

Lama keduanya terdiam. Dina sangat kebingungan, situasi semacam ini tak pernah ia persiapkan. Padahal Elan sedang menanti reaksinya.

Ah Elan tak sabar. Segera ia balik tubuh Dina lalu mendekapnya dalam dada. Di bawah guyuran hujan yang hampir reda, dua manusia menikmati hangatnya pelukan selepas hujan.

***

Aulia Lapan Bilan

vote dan komentarnya ditunggu ya say

| 1
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sareta Ahmad
lanjut lg bertambah seru
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status