"Rafael, Kakek harap kamu segera keluar dari rumah sakit itu dan bantu Kakek mengurus perusahan. Kau tahu, 'kan, Kakek sudah sangat tua dan tidak ada lagi yang bisa mengurusnya selain kamu," ucap seorang pria paruh baya yang berusia sekitar delapan puluh tahunan. Menatap cucunya yang tampak selalu memasang wajah enggan.
Mereka tengah duduk saling berhadapan di ruang tengah, namun tidak ada satu pun makanan atau minuman yang tersaji di meja. Atmosfer yang mengelilingi mereka juga terasa dingin. Tatapan tajam bak sinar laser tampak menyorot pria tua berkemeja rapi dengan dasi di lehernya. Semua rambutnya tampak beruban, tak menyisakan satu pun yang berwarna hitam. Dialah Guzman, kakek kandung dari Rafael sekaligus pemilik dari rumah sakit jiwa yang Rafael urus. "Aku tidak bisa. Suruh saja Om Mario untuk mengurusnya," balas Rafael dengan nada acuh. Bersandar dan melepas jas putih yang selalu menjadi ciri khasnya sebagai dokter serta menyampirkannya di atas sofa. Rasa lelah tak menyurutkan dia untuk menerima kedatangan kakeknya yang tiba-tiba meminta bertemu di rumah, membuat Rafael diperintahkan pulang setelah memeriksa kondisi mamanya yang sempat kumat. Rafael pikir, ada sesuatu yang sangat mendesak hingga kakeknya meminta waktu untuk bertemu. Meski beberapa kali pertemuannya pun, Guzman hanya membicarakan masalah sepele atau kadang membujuknya menikah. Tidak ada pembicaraan yang benar-benar berbobot, seperti menanyakan bagaimana tentang pekerjaannya atau kondisi ibunya, tapi Rafael juga tidak terlalu memedulikannya, asal kakeknya sudah memberi izin untuknya melakukan apa yang dia mau, Rafael sudah cukup puas. Sayangnya, kenapa saat dia sedang menikmati kehidupannya, kakeknya malah memintanya untuk mengurus perusahaan? Hal yang jelas-jelas akan dia tolak. Rafael jelas tidak suka, dia hanya mau di sini. Mengurus rumah sakit jiwa dan ibunya. "Kau sendiri tahu, kalau pamanmu itu tidak bisa diandalkan. Kakek tidak tahu siapa yang bisa mengurus perusahaan selain kamu dan ayahmu. Andai saja Darren masih ada ...." "Andai saja si berengsek itu masih ada, aku sendiri yang akan membunuhnya," sambung Rafael dengan tatapan marah yang begitu ketara. Kedua tangannya tampak mengepal sempurna. Rafael sangat tidak suka seseorang membicarakan ayahnya, apalagi soal kebaikan. Dia amat sangat muak. "Kalau kau ke sini hanya untuk memuji anak berengsekmu itu, lebih baik kau pergi." Usiran bernada sinis tak tanggung-tanggung keluar dari mulut Rafael. Meski Guzman adalah satu-satunya kakeknya yang masih hidup dan sangat amat menyayangi Rafael, tapi dia tetap tidak suka dengan sikap kakeknya yang selalu mengelu-elukan ayahnya. "Kau masih tidak mau memaafkan ayahmu? Dia bahkan sudah tidak ada di dunia ini." Berbeda dengan sikap kasar yang Rafael berikan, Guzman justru tampak bicara dengan nada santai. Dia menerima kenyataan bahwa anaknya tetaplah bersalah atas apa yang terjadi pada menantu juga cucunya. Darren pantas mendapat kebencian dari Rafael, tapi sayangnya, anaknya sudah tidak ada. Apakah itu sudah cukup untuk menghukum anaknya? Tidak seharusnya Rafael memelihara perasaan benci itu sampai saat ini. Semua percuma, karena orang yang pantas dibenci sudah tidak ada. Satu-satunya harapan Guzman saat ini, Rafael mau bangkit dan menjalani hidupnya sendiri. Membina rumah tangga di umurnya yang hampir kepala tiga dan tentunya melanjutkan bisnis turun-temurun miliknya yang sekarang berada di tangan yang salah. Bukannya tidak ingin Guzman mempercayakan perusahaan pada anak keduanya Mario, tapi, dia tahu jelas sifat tamak dari anaknya itu. Berbeda dengan Darren yang masih bisa dia toleransi. Meski dibanding semua anaknya, dia berkeinginan kuat untuk membuat Rafael yang meneruskan perusahaannya. Melihat sifat dan karakter cucunya yang begitu mirip dengannya waktu masih muda. Keras kepala dan tegas namun juga cerdik. Rafael pandai mengelabui lawannya dan membuat mereka terintimidasi. "Jangan harap aku sudi memaafkannya, setelah apa yang dia lakukan pada ibuku." Mata Rafael tampak lebih berapi-api saat mengingat tentang kondisi mamanya sekarang semakin memprihatinkan. "Baiklah, Kakek tidak akan komentar apa pun, tapi, asal kau tahu, apa pun akan Kakek berikan asal kau mau menjalankan bisnis perusahaan. Hanya kau satu-satunya cucu yang Kakek akui, Rafael." Guzman bangkit dari duduknya dan menatap lama ke arah Rafael sebelum menghembuskan napas kasar. Kali ini, dia kembali gagal membujuk cucu kesayangannya, membuatnya harus pulang dengan tangan kosong. "Ah, iya, segera cari calon istrimu sendiri sebelum Kakek mencarikannya untukmu. Jangan menebar benih sembarangan." "Berhenti mencampuri urusan pribadiku! Kau tahu, aku tidak seperti itu," sinis Rafael sebelum Guzman benar-benar menghilang dari pandangan matanya. Kakek tua itu sangat mengganggu waktunya sampai rasanya, Rafael harus menahan sabar saat berkali-kali berhadapan dengan sang Kakek. Dia tidak suka saat kakeknya menyamakan dia dengan laki-laki mata keranjang. Kelakuan yang menjijikkan dan mengingatkannya pada kelakuan brengsek ayahnya. Dia adalah Rafael dan dia tidaklah sama dengan Darren. Sepeninggal Guzman, Rafael lantas beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju kamar. Dia melepaskan semua pakaiannya dan membiarkan tubuh telanjangnya terekspos. Berjalan menuju sebuah lemari untuk mengambil pakaian dari sana. Memakainya dan kembali berjalan keluar kamar. Langkah kakinya, menuntun Rafael menuju sebuah ruangan di mana dia menenangkan diri setelah pulang kerja. Tempat bersantai sekaligus ruang kerjanya. Tempat di mana beberapa data pasien yang ditanganinya ada di sana, termasuk Kiana dan ibunya. Ruang kerja. Dengan perasaan tak menentu, Rafael membuka lemari berisi berkas-berkas perihal Kiana. Riwayat kejiwaan dan data diri wanita itu yang dia dapat dari orang-orang kepercayaannya. Semua informasi tentang Kiana ada di sini, meski Rafael sendiri tidak bisa mengetahui secara detail kehidupan wanita itu. Dia hanya mendapat informasi dari beberapa warga sekitar yang bertetangga dengan Kiana. Diusapnya selembar foto yang memperlihatkan Kiana memasang wajah murung. Rafael bisa melihat tatapan mata yang sarat akan kesedihan di dalam sana. Nyaris menimbulkan rasa iba dalam hatinya jika dia tidak mengingat kejadian menyakitkan itu. Ada juga beberapa foto yang memperlihatkan beberapa bekas luka di tangan dan kaki Kiana. Entah siapa yang membuatnya, tapi Rafael mendapat informasi kalau banyak anak yang mem-bully Kiana dan melukainya. Tak hanya anak kecil saja, orang dewasa pun ada beberapa yang terang-terangan menunjukkan rasa tidak suka terhadap Kiana dan juga ibu kandungnya yang kini sudah tewas. Jelas semua itu karena mereka tahu bahwa Selina-ibu Kiana-adalah seorang wanita malam yang menjajakan dirinya pada pria hidung belang bahkan kerap kali membawa pulang banyak lelaki ke rumah. Padahal saat itu, Kiana ada di sana. Beberapa fakta lainnya juga Rafael ketahui, kalau Kiana sempat mengalami kecelakaan yang menyebabkan dirinya koma selama dua tahun lebih. Alasannya? Dia tidak tahu. Rafael hanya tahu kalau wanita itu tidak hati-hati dalam menyebrang. Menganggap enteng nyawanya sendiri. Ya, semua itu bisa Rafael lihat sekarang. Tindakan Kiana terlalu impulsif dan selalu membahayakan keselamatan dirinya juga orang lain. Tingkat depresi wanita itu juga tampaknya semakin parah. Meski memang, Kiana melakukannya dalam keadaan sangat sadar. Sekali membaca, Rafael sudah bisa menduga kalau pola asuh dan lingkungan yang buruk sepertinya menjadi penyebab utama Kiana mengalami depresi sampai dua kali melakukan percobaan bunuh diri, namun masih terlihat sinar di mata Kiana. Menandakan kalau masih ada kesempatan untuk membuatnya sembuh dan kembali hidup normal tanpa rasa takut akan apa pun. Jika ditangani oleh orang yang tepat, Kiana tentu bisa bangkit dan memperbaiki dirinya. Sementara sebaliknya, jika tidak, kemungkinan depresi wanita itu akan semakin parah hingga dia benar-benar kehilangan kewarasan. Fakta yang diketahuinya itu, membuat senyum miring di bibir Rafael muncul. "Kiana."Kiana menatap Andrew dengan senyum manisnya. Menggenggam tangan hangat itu dan menciumnya. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah satu minggu lebih berdiam diri di rumah sakit jiwa, akhirnya sekarang Kiana bisa melihat seseorang yang dia kenal, temannya. "Andrew, maafkan aku. Maaf aku membohongimu selama ini, aku hanya memanfaatkanmu," ucap Kiana dengan nada lirih. Tenggorokannya terasa tercekat oleh sesuatu, membuat Kiana sulit menjelaskan, betapa dia amat sangat bersalah pada laki-laki itu. Rasa malu dan penyesalan yang harusnya dia rasakan dulu, kini malah dia rasakan sekarang. "Aku menipumu. Apa kamu membenciku?" Tatapan Kiana terlihat serius, namun terlihat ada ketakutan dalam sorot matanya. Dia takut, jika Andrew akan kecewa dan meninggalkannya sendiri. Sungguh, seumpamanya itu terjadi, dia akan benar-benar sendiri. Kiana akan hidup sendiri, tanpa orang-orang yang menemani dan
Pemandangan taman yang dipenuhi oleh bunga dan rumput hijau, juga pepohonan yang cukup tinggi menjadi satu-satunya pemandangan luar biasa bagi Kiana yang kini masih terjebak di ruangannya. Ruangan yang pertama kali dia tempati. Mereka sudah memindahkannya kembali ke ruangan asalnya. Semua itu karena beberapa hari ini, kondisi tubuh Kiana sudah jauh lebih baik dan yang paling penting dari semua itu adalah saat dirinya kini tak lagi diborgol. Dia dibebaskan. Tentu apa yang Kiana rasakan sekarang, tak terlepas dari hasil protes Andrew beberapa hari lalu yang meminta untuk jangan memborgol atau laki-laki itu akan melaporkan masalah ini. Alhasil, mereka pun setuju. Hal itu juga diizinkan saat melihat Kiana tidak lagi menyerang siapa pun beberapa hari terakhir selama dirawat. Menurut dan meminum obat sesuai anjuran dokter. Meski saat ini, mulutnya justru lebih sering terkunci rapat. Tidak lagi be
"Katakan, apa yang kau alami dan rasakan sebelumnya. Apa kau memiliki trauma?" Rafael menatap Kiana yang duduk di hadapannya dengan tidak nyaman. Semua terlihat dari tatapan Kiana yang seperti enggan melihatnya. Wanita itu berkali-kali menatap pintu keluar dan menatapnya takut. Saat ini, mereka tengah menjalankan sesi psikoterapi untuk Kiana, berdua di ruang kerja Rafael dengan sebuah meja yang menjadi pembatas. Rafael perlu memeriksa kondisi mental wanita itu untuk catatan medis. Apakah Kiana sudah baik-baik saja atau tidak. "Apa itu penting? Tidak ada yang perlu kejelaskan lagi, kau sudah tahu semuanya." Meski tatapannya terlihat enggan dan tak nyaman, namun Kiana masih tetap bisa membantah. Dia tidak bisa lagi percaya pada Rafael setelah laki-laki itu mengatakan kalau dia memiliki gangguan mental. Kiana merasa, dia akan dalam masalah jika mengataka
"Raf, kau kenapa? Kenapa menutup mulutnya seperti itu?" tanya dokter Ken yang baru saja masuk ke ruangan Rafael. Dia sedang bersantai saat tugasnya sudah selesai. Niatnya datang untuk mengajak Rafael makan. Memang, mereka berdua cukup dekat dari kuliah. Sudah hal biasa bagi Ken dan Rafael makan bersama. Meski ada beberapa yang menganggap kedekatan mereka seperti ada sesuatu. Mengingat kalau keduanya tidak pernah terlihat memiliki pasangan, tapi tentu saja itu tidak benar. Tanpa disuruh dan diizinkan sang pemilik ruangan, Ken dengan santainya duduk tepat di hadapan Rafael. Tempat yang tadi Kiana tempati. Menatap rekan kerja sekaligus temannya dengan tatapan seperti sedikit heran. "Bukan apa-apa. Ada apa ke sini?" tanya Rafael tanpa menurunkan tangannya dari mulut. Dia terus menutupinya seolah tidak mau Ken melihat kondisinya.
Lagi-lagi, Kiana terbangun di tempat yang sama, ranjang yang sama dan suasana yang sama. Meski sudah hampir dua minggu berada di dalam rumah sakit jiwa itu, tapi dia masih belum terbiasa. Semuanya terasa sangat asing, membuatnya begitu merindukan rumah. Tentu saja semua itu hanya angan belaka. Hal yang sulit untuk menjadi nyata. Meski beberapa hari terakhir, seperti ucapannya, Andrew selalu datang untuk menjenguknya. Laki-laki itu selalu bercerita tentang kehidupan yang akan mereka jalani nantinya. Senang? Entahlah, seperti biasa, Kiana hanya bisa terdiam mendengarnya. Dia juga berharap seperti itu, tapi bahkan untuk keluar dari ruangan ini pun terasa sangat sulit. Dia hanya diizinkan keluar jika dokter memanggilnya. Satu hal yang bisa Kiana lakukan hanya menatap para pasien lain dari balik jendela. Entahlah, itu terasa seperti kebiasaannya untuk saat ini. Bukan. Bukan Kiana mulai menerima
"Dia membuang semua obat?" tanya Rafael saat dia mendapat laporan dari seorang perawat, yang memberitahunya kalau perawat itu menemukan sebungkus obat yang masih utuh tergeletak di lantai kamar Kiana. "Benar, Dok." "Kenapa bisa terjadi? Kau tidak mengawasinya?" Rafael mengetatkan rahangnya. Menatap tajam perawat wanita yang tampak sedikit bergetar takut. Dia menganggap kalau perawat itu lalai dalam pekerjaannya dan itu artinya, Kiana tidak meminum apa pun selama ini? Shit! Rafael berusaha meredam kekesalannya dengan menutup mata. Membiarkan perawat wanita itu terdiam beberapa saat sampai dengan sedikit terbata-bata, perawat itu menjawab, "Maafkan kami, semua itu kesalahan kami." Sekali lagi, Rafael menghela napas kasar. Dia lantas mengusir perawat itu pergi dari ruangannya
Akhirnya, karena berbagai pertimbangan dan melihat kondisi Kiana yang tampak begitu frustasi berada terus-menerus di dalam ruangan, pihak rumah sakit mengizinkannya untuk keluar. Membiarkan Kiana mengikuti kegiatan seperti pasien lainnya. Senang? Ya, Kiana sangat senang. Akhirnya, setelah terkurung berminggu-minggu, dia bisa menghirup udara segar. Duduk di bawah rindangnya pohon setelah selesai melakukan kerja bakti, membersihkan halaman. Bersama-sama dengan para perawat dan pasien lainnya. Kiana dengan pelan, merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau yang biasa hanya bisa dia pandangi dari balik jendela. Mengabaikan pasien lain dan menatap langit biru yang cerah. Tersenyum lebar sambil memejamkan mata. Dari sana, dia bisa melihat bangunan rumah sakit yang begitu besar. Pagar-pagar kokoh yang menjulang tinggi. Ternyata, rumah sakit jiwa tempatnya
"Siapa wanita tua yang kau ajak bicara waktu itu?" tanya Kiana tanpa basa-basi saat Rafael memberikannya waktu untuk bicara. Sepuluh menit. Laki-laki itu mengizinkannya dan mengajak Kiana ke tempat yang lebih sepi. Di dekat sebuah pohon rindang yang cukup jauh dari posisi pasien lain. "Maksudmu? Apa kau meminta waktuku hanya untuk bertanya hal tak penting?" Ada nada kesal dalam suara Rafael. Kedua alisnya mengernyit, dia sangat amat tidak senang dengan pertanyaan Kiana. Jelas, karena Rafael tahu siapa orang yang dimaksud. Sementara Kiana malah menyelipkan helaian rambutnya ke telinga dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia merasa sedikit terintimidasi dengan tatapan tajam Jonathan. Ekspresi laki-laki itu bahkan terlihat marah. Memangnya apa yang salah dengan pertanyaannya? Dia hanya bertanya karena penasaran. Kiana hanya merasa aneh saat melihat sikap Rafael yang begitu baik pa