"Siapa wanita tua yang kau ajak bicara waktu itu?" tanya Kiana tanpa basa-basi saat Rafael memberikannya waktu untuk bicara. Sepuluh menit. Laki-laki itu mengizinkannya dan mengajak Kiana ke tempat yang lebih sepi. Di dekat sebuah pohon rindang yang cukup jauh dari posisi pasien lain.
"Maksudmu? Apa kau meminta waktuku hanya untuk bertanya hal tak penting?" Ada nada kesal dalam suara Rafael. Kedua alisnya mengernyit, dia sangat amat tidak senang dengan pertanyaan Kiana. Jelas, karena Rafael tahu siapa orang yang dimaksud. Sementara Kiana malah menyelipkan helaian rambutnya ke telinga dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia merasa sedikit terintimidasi dengan tatapan tajam Jonathan. Ekspresi laki-laki itu bahkan terlihat marah. Memangnya apa yang salah dengan pertanyaannya? Dia hanya bertanya karena penasaran. Kiana hanya merasa aneh saat melihat sikap Rafael yang begitu baik paRafael membiarkan air mengalir membasahi tubuhnya yang telanjang. Otot-otot yang selama ini tertutup, terlihat. Begitu mengkilap oleh sabun dan busa yang mengelilinginya. Menggoda setiap mata untuk menyentuhnya. Siapa pun wanita yang melihatnya, pasti menginginkan Rafael menjadi teman tidur satu malamnya. Namun hal itu bagai sesuatu yang amat mustahil, Rafael tidak pernah tertarik dengan wanita. Bukan tidak, mungkin belum. "Ahh, shit!" umpat Rafael saat ingatannya kembali berputar pada kejadian tadi, ketika Kiana menggodanya di halaman belakang. Rafael jelas masih bisa merasakan tangan-tangan itu menyentuh tubuhnya. Tindakan Kiana yang kurang ajar bahkan disalahpahami oleh rekan dokternya yang lain. Rafael harap, masalah ini tidak sampai terdengar ke telinga kakeknya. Akan sangat gawat jika itu terjadi. Memikirkan hal itu, membuat Rafael kesal bukan main. Dia benar-benar marah, hingga
Brakkk .... Suara pintu didobrak kencang, mengagetkan Kiana dan Ken yang sedang sibuk dengan makanannya. Keduanya hampir melompat dari tempat mereka duduk saat melihat seseorang berdiri dengan tegap di ambang pintu. Laki-laki yang menyorot tajam ke arah Ken, saat sedang sibuk membersihkan wajahnya karena semburan Kiana tadi. "Mana makananku?" tanyanya, tanpa menatap Kiana yang duduk di samping Ken. Entah menyadari atau tidak, matanya terus tertuju hanya ke arah Ken saja. "Ah, Raf, kau datang? Duduklah, di sini kita makan bersama," ajak Ken sambil melambaikan tangannya, meminta orang yang ternyata adalah Rafael. Sayangnya, laki-laki itu hanya menatap Ken dengan mata memicing, tanpa beranjak satu langkah pun mendekat ke arah keduanya. Lalu beralih ke arah Kiana yang duduk di samping temannya. Sejak kapan Ken menja
"Akhh ... lebih cepat, Ndrew." Kiana mencengkeram erat punggung kokoh Andrew. Meringis menerima hujaman di bawah sana, saat Andrew bergerak dan mengisi kekosongannya selama ini. Seragam pasiennya basah oleh keringat dan sangat berantakan. Beberapa kancing depannya sudah berhamburan karena Andrew menariknya terlalu kencang, namun Kiana memilih tak peduli. Dia mencari kepuasan dengan kehadiran Andrew di sana. Sama halnya dengan Kiana, Andrew juga memilih tidak peduli. Dia tak lagi memikirkan di mana mereka berada saat ini dan hal tak pantas macam apa yang tengah diperbuatnya. Rasa nikmat karena kembali merasakan kehangatan Kiana, membuat Andrew lupa diri. "Kauhh sangatthh cantik, Kia ...." Tangan besarnya menyeka peluh dari wanita yang berbaring di bawahnya, tanpa sedikit pun mengurangi tempo gerakan yang justru semakin lama semakin liar. Lenguhan dan e
"MATI KAU ANAK DURHAKA!" Seorang wanita berpenampilan menakutkan perlahan mendekati Kiana. Darah tampak merembes di bagian perut dengan sorot mata penuh kebencian. Tubuh Kiana langsung bergetar takut dan mengkerut menjauh. Memeluk tubuhnya sampai saat tangan wanita itu terulur hendak menyentuhnya. "TIDAKKKK!!" Suara teriakan penuh ketakutan itu membangunkan Kiana yang tengah terlelap dalam tidurnya. Matanya seketika terbuka dalam kondisi melotot kaget. Menatap ke segala sudut kamar yang dingin dan hening. Deru napasnya terdengar keras. Jantungnya pun berdegup kencang seolah baru saja lari maraton. Terjadi lagi. "Apa? Mimpi?" gumamnya ketika Kiana tidak mendapati seorang pun di ruangan itu selain dirinya. Hanya matahari pagi yang menyorot melewati jendela kamar. Bagaimana bisa? Kiana benar-benar berpikir kalau semua itu nyata. Mamanya ada di sana dan menuntut balas dend
"Rafael, kenalkan, dia Mili," ucap Guzman pada sang cucu seraya memperkenalkan seorang wanita cantik dengan pakaian glamornya. Tersenyum anggun saat matanya saling bertatapan dengan Rafael. Mili tampak tersipu dan tertarik ketika melihat penampilan Rafael yang mengenakan kemeja biru tua dan rambut hitam yang tampak acak-acakan. Kesan seksi dan nakal terpancar jelas, terlebih saat kemeja itu membungkus tubuh Rafael begitu ketat, memperlihatkan otot-otot lengan dan perutnya. "Salam kenal, aku Mili." Sambil tersenyum, Mili menyodorkan tangannya pada Rafael. Bermaksud untuk bersalaman, namun Rafael dengan tatapan datarnya, hanya menatap tajam Mili tanpa mau menyambutnya. Mendengkus, lalu mengalihkan perhatiannya ke arah Guzman. "Kau menyuruhku datang hanya untuk ini? Membuang-buang waktu saja," ucap Rafael dengan kesal, dia bangkit dan berniat meninggalkan rumah kakeknya. "Rafael, yang sopan! Duduk kembali
Rafael memasuki ruangan tempat Kiana berada. Mencari keberadaan wanita itu di sana, namun sayangnya, dia sama sekali tidak menemukan siapa pun. Ruangan itu kosong. Terlihat selimut yang bahkan ada di lantai, membuat Rafael yang melihat hal tersebut segera kembali keluar. Berjalan dengan langkah tegap dan lebar. Matanya tampak memerhatikan sekeliling. Kiana, di mana wanita itu? Sudah beberapa hari ini, Kiana tidak lagi mau keluar ruangan. Wanita itu bahkan dengan tak tahu dirinya, meminta makanan dibawakan ke ruangannya. Menyuruh ini itu pada setiap perawat yang datang ke ruangannya. Rafael tentu tidak keberatan, tapi sekarang, ke mana perginya wanita itu? Rafael sama sekali tidak menemukan keberadaan Kiana di ruangan mana pun. Tempat kegiatan yang biasanya pasien lain lakukan untuk melatih diri. Memberi mereka semangat untuk sembuh. Di tengah kebingungan yang melandanya, sebuah tempat tiba-tiba terlintas begitu saja da
"Halo, Dokter Ken? Apa kau ada di dalam?" seru Kiana sembari mengintip ke dalam ruang kerja Ken. Melihat sekeliling ruangan laki-laki itu yang terbuka. Anehnya, di sana Kiana sama sekali tidak menemukan siapa pun. Sang pemilik, tidak ada di sana. Lantas, kenapa pintunya bisa terbuka? Hal tersebut membuat Kiana berpikir ulang untuk masuk. Dia bisa dituduh mencuri sesuatu jika ketahuan, meski saat ini sedang jam istirahat. Alhasil, karena tidak mau seseorang melihatnya, Kiana memilih untuk kembali ke ruangannya saja, tanpa bisa bertemu dengan Ken. Sayang sekali, padahal ada sesuatu yang ingin Kiana bicarakan dengan laki-laki itu. Firasatnya mengatakan, kalau Ken adalah laki-laki baik, jauh berbeda dengan Rafael yang sering kali membuatnya susah. Katanya psikiater? Tapi, laki-laki itu justru terlihat lebih seperti seorang tukang jagal. Auranya sangat menyeramkan dan kadang, bisa membuat Kiana takut sekaligus tak nyaman. &n
PRANG .... Gelas yang tengah dipegang Kiana tiba-tiba terjatuh dan pecah, bersamaan dengan dia yang mendengar berita kalau ternyata Andrew dipukuli serta terluka. Untuk sementara waktu, kakinya tidak bisa berjalan. Berita itu disampaikan oleh Ken yang mencari tahu tentang kondisi Andrew, setelah Kiana terus merengek meminta bantuannya. Tentu saja, itu dilakukan tanpa sepengetahuan Rafael. "Apa? Lalu, bagaimana keadaannya? Apa sekarang dia baik-baik saja?" tanya Kiana sembari menatap Ken dengan mata berkaca-kaca. Dia cukup terguncang dan tak menyangka kalau sesuatu yang buruk terjadi pada temannya. Kiana tidak pernah secemas ini dulu, tapi sekarang Andrew adalah satu-satunya orang yang paling penting untuk hidupnya. Dia sangat tidak ingin melihat laki-laki itu terluka. Spontan, tangannya menggenggam erat kedua tangan Ken. Air mata yang keluar, membuat pandangan Kiana menjadi sedikit kabur. "Kumohon, kat