Bab 5
Mas Reno menghentikan langkahnya, lalu beradu pandang denganku.
"Sebentar saja, tolong sembunyi di gudang," bisiknya.
"Iya, tapi siapa yang datang?" tanyaku penasaran.
"Mertuaku ada di depan, tidak ada pintu lain untuk kamu keluar dari sini, jalan satu-satunya bersembunyi, tolong jangan keluar sebelum aku panggil," pesannya sambil membawaku ke gudang kecil ukuran satu meter persegi.
Gudang itu hanya cukup untuk aku berdiri, langit-langitnya pun dipenuhi sarang laba-laba. Mas Reno membuka pintunya sedikit untuk celah aku bernapas, sebab memang tidak ada lobang untuk sirkulasi udara.
Mas Reno terlihat memakai kaos sambil bergegas membuka pintu, aku coba mengamati dari celah yang sengaja dibuka sedikit.
Kulihat ia membuka pintu lebar-lebar, yang datang mertua wanitanya. Kulihat ia menenteng tas dan beberapa belanjaan.
"Amira menyuruh Mama antar oleh-oleh ke sini, mana orangnya?" tanya wanita yang sudah beruban itu. Kulihat Mas Reno meraih punggung tangannya lalu menggantikannya membawakan belanjaan tersebut.
"Amira kan ke luar kota, Mah. Memang kapan dia hubungi Mama? Barusan aku hubungi nggak aktif." Mas Reno terlihat berusaha mengorek informasi dari mertuanya.
"Loh kok tanya Mama? Amira nyuruh dari semalam, nggak tahu kalau sekarang teleponnya sudah tidak aktif, coba kamu cari tahu, kalau sayang sama istri pasti cemas," ucap ibunya Amira justru menyudutkan Mas Reno.
"Iya, Mah. Nanti aku cari tahu, tapi Mah. Tadi ada yang bilang ke aku, katanya Amira selingkuh," celetuk Mas Reno membuatku terkejut. Aku tidak menyangka ia berani menanyakan hal ini pada mertuanya.
"Loh, barusan tetanggamu itu justru malah ngegosipin kamu, kata mereka, kamu yang selingkuh," tukas wanita itu membuatku terkejut. Astaga, tetangga sini sudah curiga? Gosip apa yang sedang mereka perbincangkan?
Aku menyandarkan tubuh ini di dinding. Sambil coba mengingat apa ada yang melihat Mas Reno ketika ke rumah?
'Nggak mungkin ketahuan, aku sudah sangat hati-hati, mungkin tetangga hanya menduga-duga, kalaupun mereka curiga, aku bisa berkelit, sebab tidak ada bukti yang mereka tunjukkan,' gumamku dalam hati.
Aku intip lagi dan meneliti dari kejauhan, untungnya telingaku masih bagus dalam hal pendengaran. Kebetulan jarak ruang tamu dan gudang pun tidak terlalu jauh, hanya berjarak beberapa meter.
"Mama jangan malah nuduh aku, tetangga hanya menduga-duga, namanya juga gosip, kalau aku ke Amira bukan sembarangan nuduh, ada bukti akurat bahwa Amira berselingkuh dengan tetangga belakang rumah," terang Mas Reno.
Di sini aku senyum semringah ketika mendengar ucapan Mas Reno. Rupanya ia cukup pintar untuk berkelit, tidak mudah mengakui kesalahan kalau belum bukti yang mengatakan.
"Bukti apa?" tanyanya.
"Ada flashdisk yang berisikan anak Mama sedang duduk berdua dengan tetangga belakang rumah, aku maklum sih, kan suaminya nggak kerja, jadi ia pasti tidak tahan hidup denganku. Tapi nih Mah, ada tapinya, meskipun aku nggak kerja, uang pesangon kemarin Amira yang pegang, jadi tidak seharusnya ia menginjak harga diriku," ungkap Mas Reno membuatku mengangkat kedua alis. Ternyata ia pintar sekali berkelit, hingga uang pesangon pun dibahas olehnya.
"Nggak mungkin anak Mama seperti itu!" sentak wanita tua itu.
"Buktinya ada, Mah. Nanti aku kasih tahu jika sudah bertemu dengan orang yang pegang bukti," timpal Mas Reno. Bagus sekali jawabannya, aku juga lupa tadi seharusnya bukti itu ia yang pegang saja, agar tidak perlu nunggu aku memberikannya. Seandainya bisa kulempar ke ruang tamu flashdisk yang ada di tas ini, pasti semua langsung selesai.
"Baiklah, Mama tunggu bukti itu nanti, sekarang Mama pamit dulu, kalau Amira terbukti selingkuh, Mama yang akan urus semuanya, itu berita memalukan bagi keluarga besar, Mama tidak pernah mendidik anak seperti itu," sahutnya sambil berdiri.
"Iya, Mah. Nanti kukabari lagi, kalau sudah mendapatkan buktinya, tapi ada kok," sahut Mas Reno. Nanti kalau sudah terbukti Amira selingkuh dengan suamiku, bukan hanya Amira yang akan diurus, Mas Taka juga, aku tidak terima jika suamiku mendua, sebab tidak ada alasan untuknya selingkuh, aku kuat melayaninya kapan pun, tak pernah menolaknya.
Kulihat jam yang melingkar di tangan telah menunjukkan hampir jam lima sora. Aku sangat berharap nenek tua itu cepat angkat kaki, sebab di ruangan yang ukurannya terbilang sempit ini sangat gerah dan menguras keringat.
"Ya sudah, Mama pamit dulu," ucapnya sambil menyodorkan tangan. "Tapi, di depan masih ada tetangga yang ngumpul, Mama jawab apa ya?" sambungnya dengan pertanyaan aneh. Ngapain juga ngurusin tetangga yang kerjaannya ngerumpiin orang?
"Ayo, Mah, aku antar sampai depan, biar nggak ada yang berani tanya-tanya!" ajak Mas Reno. Namun, tiba-tiba langkah nenek tua itu berhenti. Lalu matanya menyorot ke bawah, dan ia terlihat mengambil sesuatu.
Mas Reno tampak cemas, terlihat dari gelagat tangannya yang mengusap rambut belakangnya. Aku semakin penasaran apa yang diambil oleh mertuanya Mas Reno.
"Ini kalung siapa?" tanya wanita itu. Aku sontak memegang leher, astaga apes sekali aku hari ini, sudah disembunyikan di dalam gudang, kini wanita tua itu menemukan kalung yang kukenakan. Hancur sia-sia kebohongan yang ditutupi Mas Reno sedari tadi, hanya karena kalung yang putus.
Mas Reno tampak gugup itu terlihat saat ia coba meraih kalung yang dipegang oleh mertuanya.
Bersambung
Bab 6Mas Reno memegang kalungku yang tidak sengaja terjatuh dengan tangan terlihat bergetar. Pasti ia bingung harus jawab apa. Sementara mertuanya tampak menyecarnya dengan mata penuh menyoroti wajah menantunya."Mah, ini kalung untuk Amira, aku mau kasih ia surprise, tapi kelihatannya tadi jatuh, aku lupa," jawab Mas Reno membuatku menghela napas lega. Akhirnya, aku selamat. Kulihat mulut mertuanya sedikit bulat membentuk huruf O seraya ia percaya dengan apa yang menjadi alibi Mas Reno."Oh, gitu. Ya sudah Mama pulang dulu, itu belanjaan Amira taro di kulkas, Mama pulang, ya, sopir sudah nunggu," ucapnya sambil melambaikan tangan.Kuperhatikan wanita tua itu hingga tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Setelah itu, barulah aku keluar menghampiri Mas Reno kembali. Sepatu high heels membuatku agak sedikit kesulitan melangkah dengan cepat.
Bab 7Kemudian, ia membuang ikat pinggangnya. Lalu bertanya padaku. "Sudah berapa tahun kita kenal?" tanyanya sinis.Aku tak kuat dengan tatapannya, takut bercampur gemetar, sebab ia tidak pernah marah terhadapku, ini kali pertamanya ia menyorotiku seperti itu.Kupeluk tubuh kekarnya, agar reda amarahnya. Meskipun ia belum cerita apa yang membuatnya marah."Kita sudah menikah sekitar dua tahun, tanpa pacaran, dan baru kali ini aku melihatmu marah tak terkendali, ada apa, Sayang?" Aku balik bertanya di pelukannya.Mas Taka melepaskan pelukan, lalu mengajakku duduk. Namun, tiba-tiba ada suara ketukan pintu terdengar."Assalamualaikum." Salam pun menyertai setelah ketukan pintu terdengar."Waalaikumsalam," jawab kami berdua."Sebentar, Mas. Aku buka pintu dulu," ucapku."Ya sudah, aku mandi dulu," jawabnya masih dengan nada datar, lalu aku bergegas membuka pintu.
Bab 8Rupanya kami dihadapkan di depan RT. Kulihat yang tegang hanya aku dan Mas Reno. Sedangkan Amira dan Mas Taka tampak biasa saja.Aku dijejerkan dengan Amira oleh Bu Sonia. Sementara Mas Taka, ia disuruh duduk di sebelah Mas Reno. Lalu pintu ditutup oleh Pak Riko, dan ia duduk di hadapan kami berempat. Ini seperti rapat keluarga, bukan rapat RT dan warga.Pak Riko menghela napas, lalu menoleh ke arah istrinya. Setelah itu, mereka berdua mengangguk secara berbarengan.Mataku melirik ke arah Mas Reno seraya mencuri pandangan, ia pun sedikit mendongak seraya kode bertanya apa yang akan dibahas Pak Riko?Tak lupa kulirik ke arah Mas Taka yang fokus ke arah Bu Sonia dan Pak Riko. Terlihat tidak ada beban di matanya.
Bab 9"Oh itu, iya memang itu saya, kalau benar Anda mau apa? Jangankan saya, kalian pun curiga kan pada suami saya dan Amira, iya kan?" tanyaku balik. Sebenarnya aku sudah menyusun kata-kata ini jika Mas Taka tahu keberadaanku di rumah Mas Reno. Sebab, tadi ia sangat berperilaku aneh. Jadi saat itulah sanggahan sudah terlintas di otakku ini."Maksudnya Bu Diana itu awalnya juga curiga pada Bu Amira dan Pak Taka? Jadi, Bu Diana berniat menanyakannya gitu?" tanya Bu Sonia sambil mengangguk seraya percaya dengan ucapanku."Ya, seperti itu, jadi kedatanganku ke rumah Amira, ya karena ingin menanyakan langsung padanya gosip itu, dan kebetulan mamanya tiba-tiba datang, saya nggak mungkin dong nunjukin wajah, yang ada malah mencurigai saya, jadi ketika mamanya Amira datang, ya saya sembunyi," jawabku membuat Pak Riko menutup rapat kali ini."Baiklah,
Bab 10"Tidur dulu, istirahatkan badan, aku juga lelah seharian ini, please kamu tidur, ya," suruhnya dengan lembut. Mataku berkaca-kaca ketika mendengar sosok lelaki yang kukhianati bertutur lembut."Mas, jangan ucapkan talak lagi ya, jadi jika emosimu sudah mereda, kita bisa balikan lagi," pintaku sambil menggenggam tangannya.Ia hanya diam, menatapku nanar, kemudian berbaring membelakangiku."Aku tidur di kamar ya, selamat malam," ucapku sambil turun dari ranjang. Ya, aku terpaksa bersikap lembut, khawatir ia mengucapkan talak satu kali lagi, bahkan talak tiga, astaga kalau sampai tiga kali dia berucap talak, maka kesempatan aku balik lagi harus merelakan ia menikah dengan wanita lain lebih dulu, dan aku nggak mau itu terjadi.Aku pindah ke kamar utama. Berbaring ke kanan, lalu balik ke kiri, tetap saja mata
Bab 11"Kenapa jika kamu punya bukti, sewaktu Pak Riko dan Bu Sonia menyidang kita tidak diberikan saja bukti itu?" tanyaku memastikan.Mas Taka tertawa kecil, lalu ia menghela napas sambil tersenyum. "Diana, aku tidak ingin masalah rumah tangga kita dibuka di depan umum, aku mencintaimu, tidak ingin membuka aibmu di hadapan orang lain, meskipun kamu telah menyakitiku," jawabnya membuatku tambah menyesal.Astaga, kenapa setan merasukiku, hanya karena Mas Reno lebih tampan, aku melepaskan Mas Taka yang penyabar. Ibarat berlian aku telah melepaskannya hanya demi menggenggam perak. "Satu lagi, aku tidak akan memberitahu masalah ini pada kedua orang tuaku, agar kamu tidak diusir dari rumah ini," tambahnya lagi."Mas, aku sangat menyesal, bisakah kita perbaiki?" tanyaku seraya memohon."Sudah tidak ada yang perlu diperbaiki, kamu wajib perbaiki kelakuanmu, tapi dengan lelaki yang akan menyuntingmu nanti setelah masa i
Bab 12"Ini ada apa? Diana gatal sama siapa?" tanya Mama Kenny ketika datang. Lalu aku meraih punggung tangannya untuk aku kecup."Nggak, Mah. Nggak ada apa-apa," jawab Difa. Ia pun melakukan hal yang sama mengecup punggung tangan mamanya."Mama ngapain ke sini?" tanya Difa. Ia tampak tidak menyukai kedatangan mamanya."Mau kasih ini ke Diana," jelasnya.Mama mertuaku duduk sambil meletakkan sebuah bingkisan yang ia bawa di atas meja. Difa pun langsung meraihnya dan melihat isi bingkisan itu tanpa bertanya lebih dulu. Kemudian dengan mata membulat, ia marah pada mertuaku. "Mah, yang anaknya Mama tuh aku, bukan Diana, kenapa beliin kalung emas segala untuk perempuan gatal ini?" tanya Difa dengan nada tinggi. Ini kebetulan sekali, kalungku putus kemarin.Aku jadi teringat obrolanku beberapa bulan lalu pada Mama Kenny. Ya, aku memang sangat dekat dengannya.***Flashback"Ini bagus nggak,
Bab 13Aku letakkan ponsel itu di kamar yang sudah disediakan mertuaku. Kemudian, aku bergegas membantunya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, mama mertuaku berubah sikapnya. Aku bagaikan orang asing yang sengaja ia bawa lalu dicampakkan."Kamu di kamar saja, nggak usah bantu mama. Lagian sudah ada pembantu di sini yang akan merapikan nantinya," tuturnya saat aku menyentuh piring kotor.Aku kembali ke kamar. Mondar-mandir memikirkan apalagi yang harus kukerjakan. Rasanya benar-benar sudah tidak mengenakan.Kemudian, ada pesan masuk dari Mas Reno. Bisa-bisanya ia baru mengingatku sekarang.[Diana, kamu di rumah? Tiap gang sekarang ada cctv, jadi kita tidak bisa ketemu di sini. Bisakah kita ketemuan di luar?] tanyanya membuatku geram. Mau apalagi lelaki itu? Belum puas kah menghancurkan hidupku ini?