“Ya Allah. Kenapa rumah berantakan begini?”
Riyanti baru saja pulang dari bekerja selepas Adzan Isya dan terkejut mendapati kondisi rumahnya yang sangat berantakan. Bola matanya terbelalak lebar melihat rumahnya seperti habis digondol maling.
“Ibu ….”
“Putri!”
Terdengar samar-samar suara tangisan kecil. Pikiran Riyanti mengawang kemana-mana dan tanpa pikir panjang dia langsung bergegas mencari sumber suara itu. Betapa terkejutnya dia ketika melihat sang anak tengah meringkuk menangis di sudut kamar sambil memeluk lututnya. Riyanti langsung memeluk sang anak yang sedang ketakutan.
“Putri! Kamu nggak apa-apa, ‘kan, Nak?” tanya Riyanti panik. Air matanya mulai membanjiri pelupuk matanya dan perlahan jatuh membasahi pipi.
“Ayah, Bu. A-Ayah ….”
“Kenapa sama Ayah, Sayang?”
Suara Putri bergetar, kedua manik indah milik sang anak membengkak. Pandangannya kosong menatap pintu yang terbuka. Riyanti memeluk erat putri satu-satunya itu, mendekapnya penuh dengan kasih sayang. Tapi, dalam hati Riyanti menangis meratapi apa yang mereka alami.
‘Maafkan ayahmu, Sayang. Gara-gara kami kamu jadi seperti ini. Maafkan Ibumu, Sayang.’ Riyanti bersedih dalam hati. Ibu berhati baja itu merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada puteri tunggalnya.
“Ta-tadi A-ayah pulang sambil marah-marah, Bu. Ayah ngacak-ngacak lemari, aku baru pulang mengaji. Ayah bentak-bentak pas aku tanya. Mata Ayah serem, Bu,” jawab Putri masih dengan suara bergetar tapi tangisannya mulai mereda.
Riyanti menarik napas berat. Semakin hari kelakuan Hendra–sang suami, semakin menjadi-jadi saja. Dan sekarang, sang buah hati yang menanggung resikonya.
“Tapi, kamu nggak kenapa-napa, 'kan? Ayah nggak mukul kamu, 'kan?”
Putri menggeleng pelan. “Nggak, Bu. Cuma … Putri takut ngeliat Ayah kayak gitu.”
“Maafin Ayah ya, Nak. Ayah nggak bermaksud nyakitin Putri, kok.” Riyanti membelai kepala Putri, berusaha menenangkan sang putri yang masih terguncang. “Kamu sudah makan, Nak?”
Putri menggeleng pelan. Dia menunduk sambil memegang perutnya. Riyanti tersenyum meski sebenarnya hatinya tersayat, dia tahu kalau Putri belum makan karena tidak ada siapa-siapa. Hendra datang dan pergi sesuka hatinya, bahkan dia sama sekali tidak memperhatikan anaknya, sudah makan atau belum.
Riyanti mengajak Putri duduk di ruang tamu sederhana rumah warisan peninggalan keluarga Riyanti. Sebelum langkahnya menuju dapur, dia berbelok ke arah belakang dan membuka lemari pakaiannya yang sudah berantakan. Lagi-lagi Riyanti menarik napas berat dan dia merasa dadanya dipenuhi beban hingga terasa sesak. Pasalnya, uang yang disimpan dalam amplop itu adalah hasil lemburan minggu lalu. Hendra mengambil semua uang itu, padahal uang itu akan dia kumpulkan untuk biaya pendidikan Putri.
‘Tega kamu, Mas!’
Riyanti menghapus air matanya, lalu kembali menuju dapur untuk membuatkan makan malam untuk sang anak. Saat sedang memasak, bayang-bayang masa lalunya bersama Hendra belakangan ini kembali muncul. Dia tidak menyangka sikap Hendra berubah mengerikan seperti itu.
Saat awal pertama mereka menikah sikap Hendra seperti pasangan pengantin baru pada umumnya. Perhatian yang Hendra berikan kepadanya begitu hangat dan penuh cinta. Hendra selalu menyempatkan waktu menjemput Riyanti pulang kerja. Semua berjalan normal seperti biasa.
Akan tetapi, semua tidak seindah apa yang Riyanti bayangkan. Semua berubah sejak Hendra mengenal hobi barunya, yaitu judi. Semua dipertaruhkan di meja judi. Mulai sejak itu sikap Hendra berubah padanya. Ditambah saat Riyanti mengandung Putri, sikap Hendra semakin menjadi jadi.
***
“Nasi goreng spesial sudah matang untuk anak Ibu yang paling spesial,” seru Riyanti tersenyum lebar sambil membawa sepiring nasi goreng untuk Putri.
Aroma nasi goreng yang menggugah selera membuat sepasang mata gadis kecil itu terbuka setelah terlelap sejenak saat menunggu sang ibu memasak.
“Wanginya enak banget, Bu.”
“Iya, Sayang. Ini nasi goreng spesial khusus untuk anak Ibu yang paling pintar dan yang paling kuat.”
Putri mengangguk cepat. Lalu, dengan lahap Putri menyantap nasi goreng buatan Riyanti. Riyanti memandang gadis kecilnya dengan tatapan penuh kasih sayang, walau dalam hati dia merasa sedih dengan perlakuan Hendra kepada Putri.
“Makasih, Ibu. Nasi gorengnya enak banget!” seru Putri sambil terus menyantap.
“Pelan-pelan. Makan yang banyak, Sayang. Kalau gitu, Ibu beresin rumah dulu,” ucap Riyanti.
Selagi Putri menyantap makan malamnya, Riyanti mulai membersihkan rumahnya yang berantakan akibat kekacauan yang Hendra perbuat. Meski tubuh Riyanti sudah tak berdaya karena lelah seharian bekerja di pabrik.
Tanpa sang anak tahu, bahwa Riyanti menangis sambil membereskan rumah. Meratapi nasibnya yang tidak seindah kisah di negeri dongeng. Karena selama ini hanya dia yang bekerja mencari nafkah, sedangkan Hendra hanya menghabiskan uang di meja judi. Seperti yang dia lakukan malam ini.
Riyanti tidak habis pikir dengan jalan pikiran sang suami. Bukan kali pertama Riyanti menasehati Hendra untuk berhenti berjudi. Entah setan apa yang merasuki pikiran Hendra. Tanah warisan milik peninggalan Kakeknya Hendra jual begitu saja. Bukan habis untuk membuka usaha, tapi habis untuk berjudi. Dan ketika kalah, Riyanti dan Putri menjadi sasaran kekesalan dan amarahnya.
***
“Ayo! Siapa yang mau pasang lagi!”
“Pasang lagi!”
“Yah kalah lagi!”
Suasana sebuah tempat seperti saung berdinding bambu dan kayu berdiri di tengah kebun makin malam makin ramai saja. Meski berada jauh dari perkampungan warga desa, saung reyot tersebut menjadi tempat berkumpulnya insan manusia yang terlena akan godaan setan. Saksi kehancuran serta penderitaan bagi keluarga dan orang itu sendiri, dan Hendra salah satunya. Menghabiskan uang hanya untuk mendapatkan sesuatu yang tidak menjanjikan apa-apa.
Meski hanya disinari cahaya remang-remang, saung tersebut tetap menjadi primadona. Berbagai macam arena perjudian ada di sana, mulai dari toge sampai sabung ayam.
“Tuh dia datang lagi!” Seorang pria berkumis tebal menyikut teman di sebelahnya.
“Berani sekali dia. Dapat uang darimana lagi dia?” tanya temannya itu.
“Palingan habis nyolong duit istrinya,” jawab pria berkumis tebal sambil tersenyum sinis.
Hendra datang dengan raut wajah masam. Di tangan kanannya menenteng selembar amplop cokelat, hasil dari mencari harta karun di rumahnya. Hendra mendatangi pria berkumis itu sambil melempar amplop cokelat tersebut ke atas meja togel dengan kasar.
“Nih!”
“Apa ini?”
“Uang taruhan. Aku bertaruh dengan semuanya!” pekik Hendra.
Pria berkumis tebal itu mengangkat sebelah alisnya sambil tersenyum sinis. Diambilnya amplop cokelat itu dan melihat isinya. Dilirknya wajah Hendra kemudian mengeluarkan semua uang itu.
“Kamu yakin?” tanya pria berkumis itu tidak yakin.
“Tentu saja. Kenapa? Kalian tidak percaya? Saya mau menang malam ini!” ketus Hendra berlagak menyombongkan diri.
Melihat Hendra yang begitu yakin akan menang malam ini, membuat pria berkumis itu memiringkan senyumnya. Padahal dalam hati, pria berkumis itu menertawakan Hendra.
“Bukannya nggak percaya. Tapi, dari mana kau mendapatkan uang sebanyak itu? Apa kau mengambil uang jualan Ibumu?” ledek salah satu dari mereka.
“Setan alas! Beraninya kau berkata begitu!” Hendra mulai terpancing emosi, efek dari minuman keras yang tadi diminumnya.
“Hey! Sabar! Gampang sekali kau emosi, Hendra.”
“Jangan mulai memancing emosiku!” bentak Hendra.
“Sudah! Sudah! Jadi masang nggak nih?” Relai pria berkumis itu.
Napas Hendra naik turun karena terbawa emosi. Pria berkumis itu mulai mengocok dua buah dadu yang berada di dalam sebuah kaleng. Hawa ketegangan mulai nampak. Asap putih dari rokok pun mulai memenuhi saung. Tak lupa beberapa botol minuman dan kacang kulit berserakan di atas meja.
Setelah kaleng tersebut dibuka, angka yang keluar tidak sesuai dengan harapannya. Hendra murka. Ia menggosokkan wajahnya kasar. Wajahnya mulai memerah karena marah bercampur malu karena banyak orang menertawainya. Semua uang di amplop itu habis seketika, di atas meja judi.
“Setan Alas!” Hendra murka lantas menggebrak meja sialan itu.
Habis sudah uang yang susah payah dia cari dalam waktu sekejap. Hendra berjalan keluar dari saung itu dengan perasaan marah, menendang apa saja yang berada di hadapannya. Membuat banyak orang menoleh kesal ke arahnya. Hendra berteriak kesal sambil mengacak-acak rambut ikal keritingnya. Frustasi karena tidak menang satu taruhan pun malam ini.
“Curang! Mereka pasti curang. Mereka sengaja membuatku curang agar mendapatkan uang itu. Mereka tahu kalau aku mendapatkan banyak duit. Dasar manusia susah! Kurang ajar mereka.”
“Kamu kenapa marah-marah begitu? Kalah lagi?” Seorang pria berperawakan tidak begitu tua menghampiri Hendra yang duduk di bawah pohon mangga.
“Kalau udah tahu nggak usah nanya!” jawab Hendra ketus.
“Santai, dong! Trus gimana? Mau nyoba lagi?”
Hendra tidak menjawab. Napasnya masih naik turun karena emosi uangnya sudah habis. Kedatangan Joko sama sekali tidak digubrisnya. Justru membuat suasana hatinya semakin semrawut.
“Hen, Hen. Apa kamu nggak bosan begini terus? Nggak mau nyoba sesuatu gitu?” Pria bernama Joko membuka suara lagi. Kali ini terdengar seperti orang yang memberi saran.
“Seusatu apa?”
“Buka usaha gitu. Apa kek, dagang kek.”
Hendra terdiam sejenak. Selama ini dia tidak ada pikiran untuk membuka usaha. Untuk apa? Ada Riyanti yang menjadi tulang punggung, membiayai semua kebutuhannya.
“Ah, aku malas bahas begituan, yang ada makin ruwet.”
“Oke deh, dari pada kamu kayak orang gila begini. Mending ikut aku, kebetulan ada yang nyariin kamu.”
“Siapa?”
“Ada, deh. Pokoknya dia bakal bikin kamu happy!” ajak Joko. Bukannya pulang ke rumah, Hendra justru mengikuti ajakan Joko ke suatu tempat yang membuatnya lupa ingatan.
***
“Sepuluh juta? Dari mana aku bisa dapetin uang segitu?” keluhnya sendiri.Riyanti sedang duduk di pohon mangga setelah mengantar anak majikannya sekolah. Kejadian tadi benar-benar membuatnya semakin pusing. Hendra benar-benar tidak tahu diri, pergi meninggalkan hutang sebanyak itu.Waktu masih pukul jam sebelas, tapi matahari terasa begitu membakar. Mungkin sudah memasuki musim kemarau. Keringat mengucur deras membasahi punggungnya. Tukang es teh di depan sana sungguh menggodanya. Namun, dia sama sekali tidak memegang uang. Terpaksa dia harus membasahi kerongkongan dengan air liurnya.“Yanti? Kamu Yanti, kan?” Riyanti menoleh ke sumber suara.Seorang pria berdiri dihadapannya. Riyanti tidak bisa melihat jelas wajah pria itu karena silau sinar matahari, ditambah kondisinya yang belum pulih betul.“Siapa ya?” tanya Riyanti lirih.“Masa nggak kenal saya?”Riyanti mengernyit. “Emang siapa, ya?”Pria itu merubah posisi duduk di sebelah Riyanti. Wanita itu refleks bergeser.“Yogi. Kamu lupa
Asap putih mengepul dan memenuhi seluruh penjuru dapur. Pagi-pagi sekali Riyanti bangun untuk membuat sayur dan lauk matang. Tubuh kurusnya masih terasa lunglai, wajahnya masih sebenarnya dia belum pulih betul, tapi hidup harus berjalan. Tidak selamanya dia harus berdiam di kasur saja.Hampir seminggu Hendra tak kunjung pulang. Riyanti tahu bahwa sang suami pasti bersama wanita penggoda itu. Riyanti sudah mati rasa, kejadian malam itu masih dia ingat betul. Bagaimana Hendra menamparnya dengan begitu keras hingga membekas tidak hanya di pipi, melainkan di hati.“Lihat dirimu! Apa yang bisa dibanggakan?!”Riyanti mengambil seember air dari kamar mandi. Saat melintas di depan pintu kamar mandi, dia melihat pantulan dirinya di cermin. Pipi yang tirus, kelopak mata yang menghitam, dan tubuh yang kurus. Sekejap dia mendesah pasrah. Pantas saja kalau Mas Hendra bilang kayak gitu, batinnya.Adzan subuh berkumandang, semua sayur dan lauk sudah matang. Riyanti menatanya dengan rapi lalu mulai m
“Putri!”Gadis kecil itu menoleh ke sumber suara yang memanggilnya. Rupanya Dewi yang memanggilnya. Teman sebangkunya itu terlihat tersengal-sengal seperti habis berlari keliling lapangan sekolah sebanyak sepuluh kali.“Putri! Aku panggil kok nggak jawab? Kamu sakit?”Putri menggeleng.“Apa kamu sudah sarapan?” Dewi seperti peramal, bisa tahu kalau hari ini dia memang belum sarapan. Mendengar Dewi bertanya seperti itu membuat perut bocah kelas lima SD itu langsung keroncongan. Diam-diam Putri memegang perutnya. Tadi sebelum berangkat sekolah, dia hanya minum teh tawar hangat saja. Sudah tiga hari ini sang Ibu terbaring lemah di ranjang. Tubuhnya lemas sekali, akibat pertengkaran dengan sang suami. Keesokan harinya tubuh Riyanti demam sehingga tidak bisa berjualan. Sedangkan Hendra, tidak pulang ke rumah sama sekali.“Hey! Pagi-pagi kok melamun?” Tepukan pelan di pundak Putri membuatnya sadar dari lamunan. “Eh, nggak.” Putri menggeleng samar.“Nah, kebetulan aku juga belum sarapan.
“Kamu tega, Mas! Tega!”“Apa? Kamu mau apa? Hah!”“Jahat kamu, Mas! Ternyata omongan orang itu bener, kamu berani selingkuh terang-terangan di depan banyak orang tanpa mikirin perasaan aku.”Hendra tersenyum sinis melihat Riyanti menangis terisak. Malam ini rumah Riyanti heboh karena pertengkaran mereka. Riyanti marah karena mengetahui perselingkuhan Hendra tadi siang di rumah makan Padang. Bukannya merasa bersalah karena ketahuan, justru Hendra bersikap biasa saja. Hendra sibuk bermain ponsel sambil tersenyum tidak jelas. Hal itu membuat Riyanti tidak habis pikir dengan suaminya itu.“Peduli amat sama omongan orang. Lagian kenapa sih kamu rempong banget!”“Aku? Kamu bilang aku rempong? Aku ini istri kamu, Mas! Wajar kalo aku kesel sama kamu!”Prang!!!Gelas aluminium di atas meja seketika terbang dan jatuh di lantai. Membuat Riyanti terlonjak kaget sampai menutup telinganya.Di dalam kamar, Putri mendengar pertengkaran orang tuanya. Gadis mungil itu meringkuk di pojok kamar, memeluk
Riyanti sangat bersyukur dengan pekerjaan yang dia dapatkan. Pagi berjualan makanan matang lalu sesudahnya mengantar anak tetangga sekolah, kemudian menjadi tukang cuci di rumah orang. Selama pekerjaan itu halal akan Riyanti lakukan demi masa depan Putri.“Mbak Yanti!”“Eh, Retno! Aku pikir siapa. Mau kemana kamu?” tanya Riyanti kepada seorang wanita cantik bernama Retno.“Mau ke rumah Bu Lurah. Katanya lagi ada sembako murah di sana. Kamu mau ikut nggak?” ajak Retno.“Sembako murah? Wah kebetulan sekali sembako di rumah juga menipis. Aku ikut dong!” seru Riyanti.Riyanti bersama dengan temannya itu berjalan bersama menuju rumah Bu Lurah yang sedang mengadakan sembako murah di tengah gempuran harga bahan pokok yang melambung tinggi. Tak hanya mereka saja, ada beberapa ibu-ibu lain ikut membeli sembako murah.Riyanti sangat bersyukur Bu Lurah mengadakan sembako murah. Sekarang dia sedang krisis keuangan. Dulu saat masih kerja di pabrik dia bisa membeli kebutuhan pokok, tentunya sebelum
Suara desis nasi yang ditanak di atas tungku api terdengar bagai alunan suara pagi nan indah, asap putih yang mengepul menambah kehangatan di dapur mungil rumah ini. Riyanti bangun lebih pagi dari biasanya, bahkan sebelum ayam berkokok. Nasi sudah matang dan air panas sudah dituang ke dalam termos. Aroma lauk dan sayur yang sudah matang sungguh menggugah selera, membuat Putri terbangun dari tidurnya.“Eh, anak Ibu yang cantik sudah bangun? Kamu kebangung karena kebrisikan ya?”“Ibu lagi apa? Kok pagi-pagi sudah di dapur?” tanya Putri sambil menggosok kelopak matanya yang sulit terbuka karena masih mengantuk.“Ibu lagi masak lauk dan sayur mateng buat di jual keliling komplek depan sana, Cantik. Kamu mau mandi dulu atau makan dulu? Biar Ibu siapin.”Putri menggeleng pelan. “Nanti saja, Bu. Putri bisa nyiapin sendiri.”Riyanti tersenyum seraya membelai putri semata wayangnya penuh kasih sayang. Kemudian, kembali menata sayur dan lauk matang yang sudah dikemas dalam plastik ke keranjang.