Share

Dia Kesepian

Rinai memicingkan mata menatap kantong kresek yang diulurkan Kenshi. Meski pria tersenyum tetap saja dia tidak ingin tertipu. Dia semakin meningkatkan kewaspadaan terhadap pria tersebut. Apalagi setelah dikerjai tadi pagi, membuatnya semakin insecure.

"Ini hanya buah. Aku minta tolong dikupasin, ya." Kenshi mengeluarkan sebutir apel merah dan menunjukkan pada Rinai. Dia mengulum senyum melihat reaksi sang wanita yang masih saja dingin seraya menatapnya dengan sorot curiga.

"Aku rasa itu bukan tugasku," jawab Rinai sambil bersedekap. Dia tak ingin bersimpati pada pria itu.

Kenshi mendesah pelan. "Ya, aku cuma minta tolong. Kalau kamu enggak mau, ya, sudah." Dia memutar kursi rodanya menghadap jendela. Memang dari jendela itu dia bisa melihat pemandangan di bawah sana. Tepat di depan rumah Kenshi, terdapat taman terbuka yang digunakan warga sekitar untuk berjalan-jalan menunggu senja tiba.

Dulu dia juga sering menghabiskan waktu di sana. Sekadar berlari mengitari taman, lalu memperhatikan anak-anak yang bermain ditemani ibu mereka. Entah mengapa Kenshi suka memperhatikan hal tersebut. Mungkin keinginan untuk bertemu sang ibu kandung begitu kuat. Kusuma memang bukan ibu kandung si pria. Menurut wanita yang telah membesarkannya itu, Kenshi ditemukan di depan pos sekuriti perumahan mereka. Tidak ada yang melihat siapa orang yang tega meletakkan bayi malang itu di sana. Bahkan, ari-arinya pun masih melekat. Bayi itu hanya dibungkus selimut yang masih berlumuran darah. Sepertinya bayi itu baru saja dilahirkan.

Tadinya para warga hendak menyerahkan bayi itu ke pihak kepolisian. Namun, Kusuma yang berada di antara warga tergerak hatinya melihat tubuh Kenshi yang melemah, mungkin udara dingin semalaman membuat bayi itu hipotermia. Saat Kusuma meraih sang bayi dan memeluknya, tangis bayi tersebut seketika reda. Begitu pun Kusuma, dia merasakan desiran hebat menjalari sekujur tubuhnya. Dia tidak mengerti, rasa sayang itu muncul begitu saja hingga memutuskan mengadopsi sang bayi.

Kusuma tak pernah menutupi asal-usul Kenshi. Wanita itu ingin sang anak belajar menerima kenyataan. Bukan berarti wanita itu tak memikirkan perasaan sang anak, justru Kusuma ingin Kenshi memahami mengapa dia dan Riyad berbeda. Riyad memiliki fitur wajah Arab-Sunda yang diwarisi dari Kusuma dan sang suami. Sementara Kenshi tidak memiliki kemiripan dengan keduanya.

"Aku enggak bermaksud ngerjain kamu. Hanya saja aku bosen di kamar terus. Kamu tau enggak rasanya terkurung di kamar seharian." Entah mengapa Kenshi mengeluarkan beban hatinya pada Rinai.

Melihat sifat Rinai yang tenang dan tak banyak bicara membuat Kenshi merasa bisa menaruh kepercayaan padanya. "Aku ingin ke luar melihat dunia seperti dulu, tapi sekarang keadaan berbeda," ujar Kenshi lemah, tangannya bergerak mengupas kulit apel.

"Mengapa kamu enggak keluar." Rinai akhirnya bergerak dan meraih pisau dari tangan Kenshi. Wanita itu ikut duduk di depan Kenshi dan mengupas kulit apel perlahan.

"Dengan keadaan seperti ini? Aku rasa enggak."

"Kamu malu?" Rinai menatap Kenshi sesaat.

"Bukan, aku enggak mau jadi beban. Lagipula siapa yang mau bawa jalan-jalan orang cacat kayak aku."

Gerakan tangan Rinai terhenti. Dia tidak percaya di balik kekonyolan Kenshi terdapat sifat rendah diri. Wanita itu mulai merasa semua ketengilan pria itu hanya karena dia kesepian. Memikirkan itu membuat hati Rinai tersentuh. Dia memotong-motong apel tersebut kecil-kecil, lalu menyodorkan pada Kenshi.

"Jalan menilai diri terlalu rendah. Aku enggak suka," ujar Rinai.

"Kenyataan begitu bukan? Aku cuma bisa duduk di sini." Kenshi tersenyum miring, membayangkan jika harus menghabiskan hidupnya di atas kursi roda.

Terdengar helaan napas berat dari Rinai. Entah mengapa dia tidak suka mendengar kata pesimis dari Kenshi. Padahal sangat jelas dokter Gunawan mengatakan jika dia bisa berjalan kembali, meski membutuhkan waktu yang lama.

"Kamu tau, kamu itu bukannya enggak bisa jalan, tapi kamu yang mendoakan diri kamu sendiri seperti ini. Yang kamu butuhkan itu semangat, sayangnya itu yang kamu enggak punya." Rinai berdiri bermaksud meninggalkan Kenshi yang termenung mendengar kalimatnya.

"Kalau aku bisa jalan, untuk apa?"

"Setidaknya kamu bisa membuktikan kamu masih berguna.

Biasanya Kenshi akan mendebat jika ada yang mengatakan hal seperti itu padanya. Namun, saat Rinai yang mengatakan, bibir Kenshi terasa kelu. Sesuatu dalam diri wanita itu membuatnya segan untuk berbalas kata. Entahlah, yang pasti kata-kata Rinai menyasar tepat ke hatinya.

*

Hujan baru saja berhenti beberapa saat yang lalu. Membiarkan sang surya kembali memamerkan sinarnya yang sedikit terik. Tetes-tetes air masih bergelayut di ujung dedaunan, seolah-olah mereka begitu takut jatuh ke tanah kemudian lenyap. Rinai sengaja tidak mengenakan seragam kerjanya. Percakapan dengan Kenshi siang tadi menyentuh sesuatu di dalam hatinya.

Pria itu hanya kesepian dan putus asa. Rinai bisa merasakan hal yang kini dialami pria tersebut. Oleh karena itu, dia bertekad untuk menyulut semangat sang pria. Kenshi hanya butuh orang yang tulus menerima dia apa adanya. Mungkin dengan sedikit paksaan dia akan membuat pria itu mengerti bahwa kesembuhan berasal dari diri sendiri. Sebanyak apa pun kata-kata motivasi atau perhatian orang-orang, jika diri sendiri yang pesimis tak akan berguna.

Rinai mengetuk pintu kamar Kenshi, menunggu jawaban pria itu. Tak lucu kalau dia masuk begitu saja lalu melihat pria itu sedang melakukan sesuatu yang pribadi. Lagipula masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu ke ruangan orang lain sangat tidak sopan kecuali darurat.

"Masuk."

Rinai mendorong pintu kamar setelah mendengar jawaban dari dalam. Dia mendapati Kenshi sedang sibuk dengan stik playstationnya." Pak, cuaca cerah di luar sana. Gimana kalau kita jalan-jalan ke taman?"

"Kamu ngajak aku kencan?" jawab Kenshi cepat sambil mengulas senyum dan menaik-turunkan alisnya.

"Bukan begitu!" Rinai menaikkan nada suaranya. Asumsi Kenshi membuat wajahnya memerah. "Aku mau jalan-jalan di taman. Kukira kamu mau ikut, kan, tadi bilang mau keluar."

"Ciee, diam-diam kamu perhatian juga sama aku." Kenshi semakin gencar menggoda Rinai, membuat wanita itu seketika menyesali niat baiknya.

"Ya sudah, kalau enggak mau." Rinai keluar dengan langkah menghentak. Dia merutuk dalam hati, sudah tahu Kenshi makhluk menyebalkan masih juga bersimpati padanya. Rasanya Rinai ingin memakan mie pedes level dua puluh.

"Eh, tunggu! Aku bercanda!" Kenshi berseru sambil menggerakkan kursi rodanya mengejar Rinai.

"Bodo!" balas Rinai tanpa menoleh.

"Rinai, aku bercanda. Jangan marah."

Rinai masih saja melangkah keluar menuju lift yang memang dibuat  untuk akses turun-naik Kenshi. Namun, sebelum pintu lift terbuka, ponselnya berdering. Dia berhenti sebentar seraya menoleh ke arah Kenshi yang mulai mendekat, lalu merogoh ponsel di dalam saku celana jeansnya. Rinai tak tahu apa yang tengah bergejolak di dadanya saat membaca pesan yang baru saja masuk ke ponselnya. Hanya saja mata wanita itu memanas, bersiap melinangkan bulir-bulir bening di kelopak mata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status