Rinai mengaduk minumannya tanpa semangat. Sesekali mata bulat wanita itu melirik ke arah pintu restoran, dia menunggu seseorang yang kemarin mengirimkan pesan padanya. Dia sama sekali tidak mengira jika Reinart mengajaknya bertemu. Hampir satu bulan setelah Rinai memergoki perselingkuhan suaminya, baru kali ini Reinart menghubunginya kembali. Padahal sang pria berjanji akan menghubunginya secepat mungkin.
Rinai tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Yang pasti dia penasaran apa yang akan disampaikan Reinart. Langkah kaki yang mendekat, membuat Rinai mengangkat pandangannya. Mata wanita itu menangkap sosok Reinart yang telah berdiri di hadapan. Pria itu terlihat sangat kacau, cambangnya dibiarkan tumbuh begitu saja. Padahal Reinart adalah tipe pria pesolek. Dia sangat memperhatikan penampilan hingga untuk memangkas rambut pun harus ke barber shop ternama."Sorry, kamu lama nunggu?" sapa Reinart duduk di hadapan Rinai."Enggak terlalu lama. Kamu apa kabar?" Rinai mencoba bersikap setenang mungkin. Dia ingin menyelesaikan masalah mereka tanpa ada keributan.Reinart menatap Rinai sesaat. Ada rasa iba menyelinap ke hatinya. Kebersamaan bersama wanita itu melintas di ruang mata. Dia yang awalnya merasa sangat yakin mencintai sahabat kecilnya itu, tiba-tiba berubah bimbang sejak bertemu dengan Amanda. Tidak ada niat Reinart untuk mengkhianati pernikahan mereka. Semua terjadi begitu saja.Tekanan dari sang mama yang tak menerima pernikahannya dengan Rinai, membuat Reinart bingung. Dia yang awalnya merasa yakin bisa meyakinkan Irene Darmawangsa berubah bimbang setelah sang mama memperkenalnya pada Amanda. Gadis cantik putri sahabat Irene. Memang sejak lama wanita itu berniat menjodohkan Reinart dengan gadis tersebut. Irene merasa, Amanda adalah figur yang tepat untuk mendampingi putra. Gadis itu berpendidikan tinggi, berasal dari keluarga sepadan yang jelas bibit, bebet, dan bobotnya."Rin, aku minta maaf. Aku enggak bisa melanjutkan pernikahan kita."Ucapan Reinart yang tanpa basa-basi seperti anak panah beracun yang melesat tepat menusuk jantung Rinai. Menghancurkan dan mematikan rasa cinta yang tersisa untuk sang suami. Meski wanita tersebut telah beberapa kali mensugesti dirinya bahwa dia akan baik-baik saja, tetap saja kalimat yang keluar dari raut dingin Reinart memanaskan retinanya. Mata beriris gelap itu dengan cepat melinangkan air mata."Apa wanita itu penyebabnya?" tanya Rinai dengan suara bergetar, tanpa bisa dicegah air matanya meluncur jatuh ke pipi setelah melihat anggukan Reinart."Maaf, Rin. Kupikir aku sangat mencintaimu hingga tak bisa lagi melihat wanita lain, tapi kehadiran Amanda merubah segalanya."Tanpa beban Reinart bercerita bahwa semua terjadi begitu saja. Paksaan dari sang mama yang membuat dia harus sekantor dengan Amanda, membuat interaksi mereka tak terelakkan. Tadinya Reinart mengira jika gadis itu manja dan tak bisa diandalkan. Nyatanya, semakin dia intens berinteraksi, sang pria mengagumi sifat Amanda. Hingga tanpa bisa dicegah perasaan nyaman hadir begitu saja. Perlahan kenyamanan itu berubah menjadi tidak bisa dipisahkan karena bibit cinta itu telah tumbuh. Hingga cinta pada Rinai lenyap begitu saja.Rinai hanya mampu mengepalkan kedua tangannya di bawah meja. Dia merapatkan bibirnya agar tangisnya tidak pecah. Setiap kata-kata Reinart seperti berondongan peluru yang menyasar tubuhnya, menyarangkan berjuta-juta rasa sakit. Telinganya seolah-olah tuli mendengar penjelasan Reinart selanjutnya, betapa pria yang masih berstatus suaminya itu memuji Amanda. Dari sinar matanya Rinai menyadari jika sang pria benar-benar jatuh cinta pada gadis tersebut."Aku enggak mengira pernikahan kita hancur begitu saja," ujar Rinai lirih, dia berusaha tegar menatap Reinart. Namun, air mata itu kembali luruh juga."Maafin aku, Rin. Aku juga enggak pernah ngira bakal seperti ini. Ternyata apa yang kurasakan padamu bukan cinta," balas Reinart dengan sorot penuh penyesalan.Mendengar itu Rinai tertawa sumbang. Dia menyeka air mata yang berderai jatuh. Semudah itu Reinart mengatakan jika dia keliru mengartikan perasaannya, semudah mengajaknya menikah dulu. Rinai bukan wanita bodoh. Dulu, dia berkali-kali meminta sang pria untuk berpikir ulang untuk menikahinya. Namun, dengan gagah Reinart mengatakan jika dia tak bisa melihat wanita lain selain Rinai karena hanya wanita itu yang selalu hadir dalam proses kehidupan sang pria sejak kanak-kanak hingga dewasa."Jadi, kita benar-benar berpisah?" tanya Rinai memastikan setelah keduanya terdiam lama."Maaf ....""Aku enggak butuh maafmu," desis Rinai menajamkan mata ke arah Reinart."Aku akan memberimu kompensasi atas perceraian kita. Tenang saja, janda Reinart Darmawangsa tidak akan jatuh miskin."Sudut bibir Rinai terangkat naik membentuk senyum sinis. Dia tak pernah mengira jika Reinart menilainya serendah itu. Seolah-olah kebersamaan keduanya sejak kecil tak berbekas di ingatan sang pria."Aku bukan wanita gila harta. Jika kamu ingin berpisah, siapkan saja surat cerainya agar statusku jelas. Aku enggak butuh hartamu karena aku enggak pernah dikenal sebagai istri seorang Reinart Darmawangsa."Setelah mengatakan itu, Rinai meraih tasnya yang berada di atas meja dan bergegas pergi meninggalkan Reinart yang terdiam. Namun, pria itu segera mengejar langkah Rinai yang telah berada di luar restoran. Dia menahan lengan sang wanita dengan maksud agar Rinai berhenti."Rin, aku tau kamu marah sama aku, tapi aku mohon sekali ini pahami aku.""Dengar Tuan Reinart yang terhormat. Di bagian mana aku tidak pernah memahami Anda? Sejak dulu hingga sekarang aku selalu mendahulukan Anda.""Bukan begitu." Reinart menyugar rambutnya kasar, wajah pria itu terlihat gusar, "Amanda meninggalkanku karena tak ingin menjadi pengganggu rumah tangga kita. Dia enggak mau bertemu, bahkan selalu menolak panggilan teleponku.""Lalu?" Rinai berusaha menahan gemuruh di dadanya. Reinart benar-benar melukai hatinya sangat dalam. Rinai mulai paham jika penampilan sang pria yang berantakan karena dia patah hati ditinggalkan Amanda.Rinai tersenyum getir. Awalnya dia mengira Reinart mencemaskan dirinya hingga terlihat kacau. Nyatanya, dia yang terlalu besar kepala. Pria itu bahkan tak pernah memikirkan keadaannya bahkan mungkin tidak pernah menganggapnya ada."Bisakah kamu mengajak Amanda bertemu dan menjelaskan kalau kita akan bercerai?"Seperti karang yang dihantam jutaan kubik ombak, hati Rinai hancur sehancurnya, tetapi dia mencoba tegar. Andai saja dia tahu seperti ini akhir rumah tangganya, sejak awal akan menolak Reinart sekuat tenaga. Ternyata dia benar-benar tidak mengenal pria itu. Tak ada lagi Reinart yang baik hati dan perhatian, yang di hadapannya sekarang adalah pria kejam tak berperasaan. Bagaimana mungkin pria tersebut memintanya untuk menemui wanita yang telah merebut hati suaminya?Rinai melepas paksa tangan Reinart yang masih menahan lengannya. Tanpa bicara dia meninggalkan sang pria begitu saja. Dia menegakkan tubuhnya agar tak terlihat hancur, tetapi jauh di dalam dada sekerat daging berperasa tercabik-cabik tak berbentuk. Dia merasa hidup, tetapi mati.Kenshi berdecak kesal, berkali-kali teleponnya ditolak Rinai. Sejak sore kemarin wanita itu bersikap aneh, dia lebih banyak diam dan membuang wajah setiap kali bersitatap dengannya, membuatnya urung untuk menggoda wanita tersebut. Hari ini pun sama, Rinai meminta izin untuk keluar seharian. Dia beralasan ingin menemui keluarganya. Kenshi penasaran, apa wanita itu berkata jujur atau tidak. Meski belum terlalu lama mengenal Rinai, tapi pria tersebut mampu mengenali bahasa tubuh seseorang dan dia tahu si wanita berbohong. Oleh karena itu Kenshi menghubungi seseorang untuk mengawasi Rinai. Dia tak mengerti mengapa wanita itu menarik perhatiannya.Saat Kenshi ingin menghubungi orang suruhannya, sebuah taksi berhenti tepat di depan rumahnya. Dari jendela kamarnya, pria itu bisa melihat sosok Rinai keluar dari sana. Wanita itu berjalan dengan cepat sambil menunduk. Kenshi bisa merasakan sesuatu yang tidak beres sedang menimpa sang wanita. Setelah sosok Rinai hilang dari pandangan, sang pria
Rinai masih tak percaya dia menyetujui permintaan Kenshi. Apa rasa kecewa pada Reinart membuat otaknya juga tak bisa berpikir logis. Bagaimana dia bisa menjalin hubungan dengan seseorang yang baru dikenal dalam hitungan hari. Bahkan, dia tak tahu siapa nama lengkap pria tersebut. Sebenarnya dia buta tentang Kenshi. Bagaimana karakter dan masa lalu pria itu.Wanita berambut panjang bergelombang itu memperhatikan Kenshi yang sedang tertidur. Pria itu baru saja terlelap setelah meminum obat dan dipijat kakinya oleh Rinai. Dia bilang, pijatan sang wanita merilekskan kondisi tubuhnya. Entah benar atau tidak, tapi Kenshi benar-benar tertidur. Rinai bangkit dari pembaringan, gerakannya sangat pelan seolah-olah takut mengganggu tidur si pria.Setelah menyelimuti Kenshi, Rinai masih sempat memperhatikan wajah pria tersebut. Saat tidur Kenshi terlihat seperti bocah. Raut wajahnya begitu tenang, tak terlihat gundah yang terkadang ditangkap mata Rinai. Deru napasnya pun sangat tenang dan entah me
"Udah, dong, Rin. Aku minta maaf." Kenshi berusaha meraih tangan wanita tersebut, tapi Rinai menepisnya pelan."Kamu itu kebiasaan. Ngomong itu difilter napa?""Lah! Salahnya di mana, coba? Kita, kan, udah sepakat memulai hubungan. Siapa tau emang beneran jodoh," ujar Kenshi ringan sambil tersenyum yang di mata Rinai terlihat menyebalkan."Dengar ..." Rinai menganjur napas sejenak. Menghadapi Kenshi seperti mendebat seorang balita. "Ini enggak logis. Gimana mungkin kita bisa bareng kalau enggak ada rasa sama sekali.""Ini bisa," balas Kenshi dengan sorot jenaka.Rinai mengembuskan napas panjang dan dalam. Dia benar-benar kehabisan kata mementahkan argumen pria itu. "Udahlah, jangan bahas lagi. Liat aja, ntar.""Nah, gitu dong. Keknya kamu emang calon istri idaman." Kenshi hendak tertawa setelah melemparkan candaan itu pada Rinai, tetapi urung setelah melihat sorot sang wanita menajam, persis silet."Wanita tadi siapa?" tanya Rinai seraya mengulurkan mangkok kecil yang berisi obat-obat
Kenshi menatap Rinai dalam diam. Setelah selesai melakukan fisioterapi, pria itu mendapati si wanita duduk di ruang tunggu khusus ruangan terapi dengan mata sembab. Meski Rinai mati-matian menyembunyikan keadaannya, dia tahu ada sesuatu yang membuat sang wanita bersedih. Saat ditanya, wanita itu menjawab jika dia baik-baik saja sembari mengulas senyum. Jelas berbanding terbalik dengan rautnya yang terlihat suram. Sepanjang perjalanan menuju pulang hanya hening yang mengambil tempat di antara keduanya. Rinai selalu menghindari bertatapan langsung dengan Kenshi. Wanita itu memilih melihat keluar melalui jendela kaca mobil. Otaknya masih saja mengira-ngira sejak kapan pengkhianatan itu dimulai. Di dalam surat itu jelas tertulis jika Amanda mengandung selama dua belas minggu. Jika benar, artinya janji pernikahan yang diucap Reinart hanya bertahan enam bulan, sisanya adalah sandiwara yang sangat sempurna."Kalau mau cerita aku siap dengerin." Suara kenshi mengembalikan kesadaran Rinai. P
Tangan Rinai menyeka kaca yang berembun perlahan hingga dingin terasa di telapak tangannya, sedingin hatinya saat ini. Kata-kata Kenshi terus memantul-mantul di gendang telinganya, membuat ngilu tak henti merayap di sekujur tubuhnya. Rinai heran, harusnya sakit dan kekecewaan ini tak perlu ada. Bukankah sudah jelas bagaimana hubungan mereka sejak awal? Hanya sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan. Tidak ada rasa di sana dan dia begitu percaya diri tak akan jatuh cinta pada pria tersebut.Tunggu, cinta?! Rinai tertawa pelan ketika pemikiran itu masuk ke benaknya. Tak mungkin dia jatuh cinta secepat itu. Sedangkan bersama Reinart saja dia tak yakin apakah mereka menikah karena cinta, sebab sakit yang diberi pria itu seolah-olah lenyap begitu saja. Namun, bersama Kenshi dia menemukan kenyamanan itu. Rinai menggelengkan kepalanya dengan cepat. Dia menampik asumsi itu sekuat hati. Tak mungkin jatuh cinta kepada pria itu."Kamu aneh."Suara Kenshi membuat Rinai menoleh. Matanya menang
Aku tidak tahu sejak kapan rasa itu berkembang. Tapi, melihat keadaan Kenshi membuat rasa bersalah membakar dadaku. Andai saja aku tak berpura-pura tak tahu tentang perasaannya, andai sejak awal aku tegas padanya, tentu dia tak akan putus asa seperti itu. Dan sekarang bukan hanya perasaan bersalah, tapi keinginan untuk merawat dan membuat dia sembuh seperti semula. Aku tahu, kecelakaan itu tersebab kekecewaan berlebih kepadaku. Ah, Kenshi ... mengapa dadaku kini mulai berdebar setiap mengingat namamu? Tapi, ini tak boleh, kan? Aku tak mungkin menodai hati pada suamiku, Kakakmu. Tuhan ... aku harus bagaimana? Tak mungkin ada dua cinta dalam hatiku. Bila aku bersama Riyad, pikiranku berkelana pada Kenshi. Begitu pula sebaliknya.*Riyad berkali-kali mengembuskan napas perlahan. Wajah pria itu terlihat begitu gelisah. Berkali-kali dia membaca buku yang ada di tangannya, perasaan bersalah semakin berdenyut di dadanya. Andai saja dia tahu hubungan Kenshi dan Nailah sedekat itu, tentu dia t
Tangis Nailah terdengar menyayat hati saat jenazah Riyad dimasukkan ke dalam kubur. Wanita yang tengah mengandung enam bulan itu tak sanggup menahan beban kehilangan yang tiba-tiba. Padahal sebelum kecelakaan terjadi, dia telah mempersiapkan sebuah makan malam romantis dengan sang suami. Dia ingin mengembalikan perasaan yang seharusnya utuh diberikan kepada pria yang memberi begitu banyak cinta. Namun, takdir berkata lain. Saat dia begitu bersemangat menunggu kepulangan Riyad, justru telepon dari kepolisian datang dan mengabarkan sang suami meninggal karena kecelakaan beruntun di jalan tol. Dunia Nailah seolah-olah runtuh di hadapan seketika itu juga. Airmatanya tak berhenti jatuh berderai kala hari-hari bersama pria tersebut melintas di ruang mata seperti slide sebuah film."Sudahlah, Nak. Ikhlaskan suamimu, jangan beratkan dia dengan airmatamu." Kusuma mencoba membujuk Nailah yang kini memeluk nisan almarhum sang suami."Enggak, Bu. Riyad enggak mungkin ninggalin aku. Dia sayang sa
Semua orang yang berada di ruangan dokter Gunawan bertepuk tangan saat Kenshi berhasil berjalan tanpa bantuan kruk. Meski masih sangat pelan, tetapi pria itu sudah mampu mengerakkan kakinya kembali. Dia menghampiri Kusuma yang tak bisa menahan airmata saat sang putra memeluknya. Tangis wanita itu pecah seketika, dia membalas pelukan Kenshi lebih erat dan meracau bahwa tak pernah mengira bisa melihat putranya berjalan kembali. Rinai hanya memperhatikan dari tempatnya berdiri. Saat Nailah juga ikut memeluk Kenshi dan keduanya bertatapan lama, dia hanya bisa menyalurkan sesak di dada dengan meremas kain yang tadinya dipakai untuk menutup kaki sang pria. Mereka semua lupa akan keberadaannya, terlalu larut dengan kebahagiaan seolah-olah dirinya hanya orang lain. Tanpa sengaja Rinai menatap pantulan wajahnya sendiri di dalam cermin yang terpasang di ruang praktek dokter Gunawan. Wajah seorang wanita malang yang kembali merasa tersisih dalam cerita cinta. Tadinya dia berharap kisah cindere