Rinai menunduk melihat jemarinya yang terjalin erat di atas pangkuan. Sesekali melihat ke depan, di mana dua orang pria beda usia sedang bercengkerama, mereka ayah dan anak yang sedang bermain di taman rumah sakit. Sang ayah yang memiliki profil wajah bukan keturunan Indonesia murni itu, sedang berlari-lari kecil dikejar putranya yang masih berumur satu tahun. Sesekali bocah itu terjatuh, tapi bangkit lagi begitu si ayah mendekat."Mereka seperti anak kecil, kan?" ujar Nailah sembari tersenyum. Dia tahu Rinai memperhatikan putra dan suaminya.Rinai mengangguk, dia juga mengulas senyum. "Ya, anakmu lucu sekali.""Iya, dong. Karna ayahnya juga lucu. Coba kalau Kenshi jadi ayahnya, tentu enggak seganteng itu anakku." Nailah sengaja menyebut nama Kenshi, dia ingin memancing reaksi Rinai."Pasti gantenglah, Kenshi ganteng gitu." Tanpa sadar Rinai menyelutuk.Nailah tertawa mendengar ucapan Rinai. Memang, alam bawah sadar tidak akan berdusta tentang apa yang kita pikirkan dan rasakan. Saat
Rinai bergegas mengayuh sepedanya. Mujur, hujan semalam sudah berhenti sejak subuh, meninggalkan jejak basah di jalanan dan genangan air di lubang-lubang yang berlumpur. Andai saja semalam dia tak tidur larut malam, mungkin tak akan terlambat mengantar kepergian Ayu menuju tempat kuliahnya.Gadis itu memberi kabar bahwa dia diterima di universitas yang direkomendasikan Rinai. Wanita tersebut memenuhi janjinya membayar uang pangkal masuk ke universitas itu dan berjanji sesekali akan mengunjungi Ayu nanti."Mbak Rinai!" Ayu berseru begitu melihat kedatangan Rinai, dia menyongsong seraya tersenyum melihat Rinai memarkirkan sepedanya. "Aku pikir Mbak enggak jadi datang."Rinai tersenyum, dia memperbaiki anak rambut yang dimainkan semilir angin. "Jadi dong. Mbak enggak akan lewatkan kesempatan ngantar kamu, meski cuma sampai terminal ini.""Makasih, ya, Mbak. Kalau enggak ada Mbak, enggak mungkin Ayu bisa kuliah di tempat sebagus itu." Lirih Ayu, di menggenggam tangan Rinai erat dan menata
Sebuah Villa berdiri sangat kokoh di daerah perbukitan. Satu-satunya bangunan yang berada di tengah-tengah perkebunan teh itu terlihat sangat mencolok, baik dari bentuk maupun catnya. Bangunan yang lebih mirip sebuah kastil di abad pertengahan tersebut milik Kenshi. Tanah itu sengaja dia beli setahun yang lalu saat berkunjung ke rumah Nailah. Tanah itu dia bangun dalam waktu enam bulan, sambil menanam harapan kelak tempat tersebut akan menjadi tempat liburan bersama Rinai dan anak-anak mereka.Kenshi percaya jika kata-kata memiliki kekuatan magis. Oleh karena itu dia selalu mengucapkan semua keinginannya setiap saat. Dia yakin semua ucapannya akan menjadi kenyataan suatu hari nanti. Penantian dan semua harapan pria tersebut dikabulkan Sang Mahakuasa, bangunan megah yang berdiri di atas tanah seluas dua hektar tersebut, kini dipenuhi kendaraan roda empat. Mereka hadir untuk menjadi saksi pernikahan Rinai dan Kenshi. Setelah drama percintaan yang panjang, akhirnya sang wanita menerima l
Rinai membaca lagi tulisan di secarik kertas untuk meyakinkan jika alamat yang didapat dari agenda Reinart tidak salah. Wanita berkulit kuning langsat itu menghela napas pelan setelah memasukkan kertas tadi ke dalam tas yang terlihat usang. Dia melangkah menaiki tangga menuju lobi perusahaan tempat sang suami bekerja.Sejak tiga bulan yang lalu Reinart tak pernah lagi pulang ke rumah. Memang mereka terpisah karena pekerjaan sang suami yang berada di kota berbeda dengan tempat tinggal mereka. Jarak puluhan kilo meter membuat waktu sang pria lebih banyak terbuang di jalan. Oleh karena itu, mereka sepakat hanya bertemu setiap akhir pekan saja.Awalnya semua baik-baik saja. Rutinitas itu berlangsung selama satu tahun. Namun, tiga bulan setelahnya Reinart hanya pulang setiap dua atau tiga minggu sekali. Dia beralasan jika pekerjaan di kantor semakin menumpuk hingga mengakibatkan dia sering mendapat jatah lembur.Rinai tak pernah menanam pikiran buruk terhadap sang suami. Baginya, kepercaya
"Kenshi, kalau kamu seperti ini terus, Ibu yakin enggak ada yang betah sama kamu!" Kusuma sedikit terpancing emosinya ketika perawat yang baru bekerja tiga hari mengundurkan diri. Perawat itu mengeluh jika Kenshi tak mau bekerja sama. Pria yang duduk di kursi roda itu terlalu keras kepala dan selalu melakukan apa saja yang dia suka, termasuk memerintahkan ini dan itu."Emangnya aku salah apa, Buk? Mereka aja yang baper," jawab pria berambut gondrong tersebut dengan raut tenang. Matanya terpancang pada televisi 21 inci di hadapan sementara tangannya sibuk mengendalikan stik playstation.Kusuma menggeleng pelan seraya mengembuskan napas lelah. "Nak, Ibu tau sulit bagi kamu menerima keadaan ini, tapi cobalah mengerti. Ini takdir.""Aku baik-baik aja, Bu." Kenshi menjawab tanpa ekspresi, seolah-olah nada prihatin sang ibu tak berefek padanya."Iya, Ibu berharap kamu baik-baik aja." Kusuma berbalik hendak keluar dari kamar putra bungsunya itu, tetapi baru beberapa langkah dia berbalik. "Be
Rinai menganjur napas pelan sebelum mengetuk pintu bercat putih di hadapan. Ini hari pertama dia bekerja mengurus pria yang ada di balik pintu kayu itu. Pria yang membuat dia harus menahan malu. Bagaimana tidak? Rinai harus menarik ucapannya. Pria yang dia bilang gila itu adalah sumber keuangannya. Mana mungkin Rinai menolak pekerjaan yang sudah dia setujui beberapa hari yang lalu. Bisa-bisa dituntut mengingkari perjanjian kerja, lagipula dia sangat membutuhkan gaji yang dijanjikan. Sejak mendapati Reinart tak setia, Rinai merasa dunianya hancur detik itu juga. Dia juga tak mengira reaksi Reinart yang datar, seolah-olah apa yang dilakukan pria itu bukan sesuatu yang menyakitkan."Jelaskan, Rien!" Rinai mencoba menahan genangan air mata yang mulai membanjiri kelopak matanya. Dia tak ingin terlihat lemah di hadapan pria itu."Pulanglah, nanti aku jelaskan di rumah."Rinai tertawa sumbang, mengalihkan pandangan sesaat. "Ke mana? Apa aku punya rumah di sini? Kamu tau, berapa puluh kilo m
Rinai memicingkan mata menatap kantong kresek yang diulurkan Kenshi. Meski pria tersenyum tetap saja dia tidak ingin tertipu. Dia semakin meningkatkan kewaspadaan terhadap pria tersebut. Apalagi setelah dikerjai tadi pagi, membuatnya semakin insecure."Ini hanya buah. Aku minta tolong dikupasin, ya." Kenshi mengeluarkan sebutir apel merah dan menunjukkan pada Rinai. Dia mengulum senyum melihat reaksi sang wanita yang masih saja dingin seraya menatapnya dengan sorot curiga. "Aku rasa itu bukan tugasku," jawab Rinai sambil bersedekap. Dia tak ingin bersimpati pada pria itu.Kenshi mendesah pelan. "Ya, aku cuma minta tolong. Kalau kamu enggak mau, ya, sudah." Dia memutar kursi rodanya menghadap jendela. Memang dari jendela itu dia bisa melihat pemandangan di bawah sana. Tepat di depan rumah Kenshi, terdapat taman terbuka yang digunakan warga sekitar untuk berjalan-jalan menunggu senja tiba. Dulu dia juga sering menghabiskan waktu di sana. Sekadar berlari mengitari taman, lalu memperhat
Rinai mengaduk minumannya tanpa semangat. Sesekali mata bulat wanita itu melirik ke arah pintu restoran, dia menunggu seseorang yang kemarin mengirimkan pesan padanya. Dia sama sekali tidak mengira jika Reinart mengajaknya bertemu. Hampir satu bulan setelah Rinai memergoki perselingkuhan suaminya, baru kali ini Reinart menghubunginya kembali. Padahal sang pria berjanji akan menghubunginya secepat mungkin. Rinai tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Yang pasti dia penasaran apa yang akan disampaikan Reinart. Langkah kaki yang mendekat, membuat Rinai mengangkat pandangannya. Mata wanita itu menangkap sosok Reinart yang telah berdiri di hadapan. Pria itu terlihat sangat kacau, cambangnya dibiarkan tumbuh begitu saja. Padahal Reinart adalah tipe pria pesolek. Dia sangat memperhatikan penampilan hingga untuk memangkas rambut pun harus ke barber shop ternama."Sorry, kamu lama nunggu?" sapa Reinart duduk di hadapan Rinai. "Enggak terlalu lama. Kamu apa kabar?" Rinai mencoba bersikap