Rinai menganjur napas pelan sebelum mengetuk pintu bercat putih di hadapan. Ini hari pertama dia bekerja mengurus pria yang ada di balik pintu kayu itu. Pria yang membuat dia harus menahan malu. Bagaimana tidak? Rinai harus menarik ucapannya. Pria yang dia bilang gila itu adalah sumber keuangannya. Mana mungkin Rinai menolak pekerjaan yang sudah dia setujui beberapa hari yang lalu. Bisa-bisa dituntut mengingkari perjanjian kerja, lagipula dia sangat membutuhkan gaji yang dijanjikan.
Sejak mendapati Reinart tak setia, Rinai merasa dunianya hancur detik itu juga. Dia juga tak mengira reaksi Reinart yang datar, seolah-olah apa yang dilakukan pria itu bukan sesuatu yang menyakitkan."Jelaskan, Rien!" Rinai mencoba menahan genangan air mata yang mulai membanjiri kelopak matanya. Dia tak ingin terlihat lemah di hadapan pria itu."Pulanglah, nanti aku jelaskan di rumah."Rinai tertawa sumbang, mengalihkan pandangan sesaat. "Ke mana? Apa aku punya rumah di sini? Kamu tau, berapa puluh kilo meter yang harus kutempuh untuk menemuimu? Nyatanya ...."Rienart mengusap wajahnya kasar, sesekali dia melihat ke dalam kamar. Bahkan, pria itu lebih mencemaskan Amanda bila mengetahui keberadaan Rinai."Aku enggak bisa menjelaskan sekarang." Reinart merogoh saku belakangnya untuk mengeluarkan dompet lalu menarik beberapa lembaran merah dari sana. "Aku rasa ini cukup untuk ongkos pulang atau carilah penginapan. Nanti aku akan menghubungimu."Reinart meletakkan uang tersebut ke telapak tangan Rinai yang membeku. Wanita itu masih tidak percaya sang suami tega mengusirnya dengan cara seperti itu. Bahkan, Reinart sama sekali tak menunggu jawaban Rinai. Bodohnya, dia tak mampu melakukan apa-apa. Tubuhnya seolah-olah terpancang ke lantai. Irisnya membeku menatap pintu hotel yang tertutup di hadapannya."Hei! Apa aku menggajimu untuk menjaga pintuku?"Rinai tersentak ketika suara Kenshi menembus membran telinganya, membuyarkan lamunan kejadian beberapa hari yang lalu. Dia mengangkat pandangan dan mendapati sang pria bersedekap di atas kursi roda, tepat di depan pintu."Maaf, aku baru saja ingin mengetuk," balas Rinai datar. Dia tak mau memancing konflik di pagi hari dengan pria tengil itu.Kenshi berdecih, dia memutar kursi rodanya membelakangi Rinai. "Lakukan tugasmu, aku ingin mandi."Otak Rinai mencoba memproses perintah yang diberikan Kenshi. Pria itu menggerakkan kursi rodanya ke pembaringan, lalu menunjuk ranjang yang terlihat berantakan. Rinai mengerti jika dia harus merawat pria itu, tetapi apa dia juga harus membersihkan kamar pria itu?"Masih belum mengerti juga tugasmu?" Kenshi bertanya dengan wajah datar, tetapi sebenarnya otak pria itu sedang merencanakan sesuatu. Dia mengulum senyum ketika tangan Rinai bergerak melipat selimut, membersihkan ranjang, dan mengumpulkan pakaian kotor yang berserakan di atas lantai.Kenshi tersenyum melihat wajah Rinai yang ditekuk serta bibirnya yang tak berhenti bergerak. Entah apa yang wanita itu katakan, sepertinya dia keberatan dengan tugas yang diberikan Kenshi."Eh, mau ke mana?" Kenshi menahan langkah Rinai yang hendak keluar kamar."Meletakan kain kotor Anda ke ke bawah.""Nanti saja. Aku ingin mandi." Kenshi menarik baju kaos yang dia kenakan hingga memperlihatkan dadanya yang bidang. Walau pun duduk di kursi roda, tetapi dia selalu menjaga bentuk tubuhnya dengan melatihnya setiap hari.Rinai memalingkan wajah melihat tubuh bagian atas Kenshi. Meski bukan sekali ini melihat tubuh seorang pria, tetapi ada risih ketika pria tersebut melakukannya. Apalagi mereka ada di dalam kamar, membuat canggung menyerang dada Rinai."Apa harus menunggu siang sampai kamu melangkah ke sini?"Lagi-lagi teguran Kenshi membuat Rinai harus melapangkan dadanya. Bagaimana tidak, pria itu sekarang berada di dalam kamar mandi, membuat sang wanita ketar-ketir. Apa tugasnya juga termasuk memandikan sang pria?Rinai menyesali kecerobohannya. Harusnya dia membaca kontrak perjanjian kerja yang disodorkan dokter Gunawan dengan lebih cermat. Namun, rasa putus asa dan terdesak membuatnya kehilangan kewaspadaan. Bagaimana mungkin dia memandikan seorang pria yang tidak memiliki hubungan dengannya. Apalagi pria itu tak bisa dikatakan tidak menarik.Lihat saja kulitnya yang bersih dengan rambut-rambut halus di sekitar dada. Garis wajah yang tegas dan tulang hidung yang tinggi, serta cambang yang tumbuh tipis tak beraturan di sekitar rahang membuatnya terlihat seksi. Seksi?! Rinai menepuk dahinya, bisa-bisanya dia menilai fisik pria itu sekarang. Salahkan pria itu yang seenaknya memamerkan tubuhnya. Rinai masih mampu mengenali pria berkualitas."Aku kedinginan, Rinai."Rinai berdehem. Meski terasa berat dia memaksakan langkah mendekat menuju kamar mandi. Sedikit gemetar tangan wanita itu ketika menyabuni bahu Kenshi. Berkali-kali dia menggigit bibirnya untuk menetralkan gugup yang menghantamnya. Baru saja hendak menyiramkan air, suara Kusuma membuat keduanya menoleh."Apa yang kalian lakukan?!" Kusuma menatap lekat keduanya yang menampilkan ekspresi berbeda. Rinai dengan kegugupannya dan Kenshi dengan senyum tengilnya."Maaf, Buk. Saya kesiangan memandikan Pak Kenshi."Mata Kusuma melebar mendengar pengakuan Rinai. Dia menggelengkan kepala seraya menganjur napas panjang. Wanita itu sudah menduga jika putranya pasti berulah lagi."Kenshi! Jangan sampai Rinai berhenti di hari pertama. Ibu capek nyariin perawat baru buat kamu."Kenshi hanya tertawa mendengar teguran sang ibu, dia melirik Rinai yang terlihat kebingungan masih memegang sabun dan selang air."Salah dia sendiri, Buk. Dia enggak nanya apa tugasnya, ya aku biarin aja dia mandiin aku. Lumayankan, hemat tenaga.""Kamu keterlaluan, Ken!" Kusuma benar-benar kehilangan kata-kata menghadapi sifat tengil sang putra. Kusuma mengalihkan pandangan kepada Rinai yang masih tak mengerti. "Tugas kamu itu cuma merawat Kenshi, memastikan dia makan dan minum obat dengan teratur. Tidak ada selain itu." Jelas Kusuma.Rinai terperangah mendengar penjelasan Kusuma. Matanya melirik Kenshi yang susah payah menahan tawa agar tak tersembur keluar. Rinai sadar jika pria itu membodohinya lagi. Andai saja tidak ada Kusuma, dia pasti akan memukul kepala pria itu dengan gayung."Jangan marah, lain kali tanya dulu tugasmu apa. Aku enggak salah, lho. Kamu aja yang ngebet pengen mandiin aku." Kenshi menjelaskan tanpa raut bersalah membuat otak Rinai membentuk rencana untuk meracuni pria itu dengan racun paling ganas di dunia.Rinai mengikuti perintah kusuma yang memintanya membawakan sarapan Kenshi yang sudah disediakan di meja makan. Melihat Kusuma juga berjalan keluar, dia berbalik mengambil kesempatan dengan menjambak rambut Kenshi dengan kuat. Rinai tak peduli jika dia dipecat di hari pertama bekerja. Hari pertama saja sudah dikerjain seperti itu, entah apa yang akan dilakukan pria itu di hari selanjutnya. Jika dia tidak dipecat, Rinai ingatkan pada dirinya sendiri untuk menyantet pria itu nanti malam.Rinai memicingkan mata menatap kantong kresek yang diulurkan Kenshi. Meski pria tersenyum tetap saja dia tidak ingin tertipu. Dia semakin meningkatkan kewaspadaan terhadap pria tersebut. Apalagi setelah dikerjai tadi pagi, membuatnya semakin insecure."Ini hanya buah. Aku minta tolong dikupasin, ya." Kenshi mengeluarkan sebutir apel merah dan menunjukkan pada Rinai. Dia mengulum senyum melihat reaksi sang wanita yang masih saja dingin seraya menatapnya dengan sorot curiga. "Aku rasa itu bukan tugasku," jawab Rinai sambil bersedekap. Dia tak ingin bersimpati pada pria itu.Kenshi mendesah pelan. "Ya, aku cuma minta tolong. Kalau kamu enggak mau, ya, sudah." Dia memutar kursi rodanya menghadap jendela. Memang dari jendela itu dia bisa melihat pemandangan di bawah sana. Tepat di depan rumah Kenshi, terdapat taman terbuka yang digunakan warga sekitar untuk berjalan-jalan menunggu senja tiba. Dulu dia juga sering menghabiskan waktu di sana. Sekadar berlari mengitari taman, lalu memperhat
Rinai mengaduk minumannya tanpa semangat. Sesekali mata bulat wanita itu melirik ke arah pintu restoran, dia menunggu seseorang yang kemarin mengirimkan pesan padanya. Dia sama sekali tidak mengira jika Reinart mengajaknya bertemu. Hampir satu bulan setelah Rinai memergoki perselingkuhan suaminya, baru kali ini Reinart menghubunginya kembali. Padahal sang pria berjanji akan menghubunginya secepat mungkin. Rinai tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Yang pasti dia penasaran apa yang akan disampaikan Reinart. Langkah kaki yang mendekat, membuat Rinai mengangkat pandangannya. Mata wanita itu menangkap sosok Reinart yang telah berdiri di hadapan. Pria itu terlihat sangat kacau, cambangnya dibiarkan tumbuh begitu saja. Padahal Reinart adalah tipe pria pesolek. Dia sangat memperhatikan penampilan hingga untuk memangkas rambut pun harus ke barber shop ternama."Sorry, kamu lama nunggu?" sapa Reinart duduk di hadapan Rinai. "Enggak terlalu lama. Kamu apa kabar?" Rinai mencoba bersikap
Kenshi berdecak kesal, berkali-kali teleponnya ditolak Rinai. Sejak sore kemarin wanita itu bersikap aneh, dia lebih banyak diam dan membuang wajah setiap kali bersitatap dengannya, membuatnya urung untuk menggoda wanita tersebut. Hari ini pun sama, Rinai meminta izin untuk keluar seharian. Dia beralasan ingin menemui keluarganya. Kenshi penasaran, apa wanita itu berkata jujur atau tidak. Meski belum terlalu lama mengenal Rinai, tapi pria tersebut mampu mengenali bahasa tubuh seseorang dan dia tahu si wanita berbohong. Oleh karena itu Kenshi menghubungi seseorang untuk mengawasi Rinai. Dia tak mengerti mengapa wanita itu menarik perhatiannya.Saat Kenshi ingin menghubungi orang suruhannya, sebuah taksi berhenti tepat di depan rumahnya. Dari jendela kamarnya, pria itu bisa melihat sosok Rinai keluar dari sana. Wanita itu berjalan dengan cepat sambil menunduk. Kenshi bisa merasakan sesuatu yang tidak beres sedang menimpa sang wanita. Setelah sosok Rinai hilang dari pandangan, sang pria
Rinai masih tak percaya dia menyetujui permintaan Kenshi. Apa rasa kecewa pada Reinart membuat otaknya juga tak bisa berpikir logis. Bagaimana dia bisa menjalin hubungan dengan seseorang yang baru dikenal dalam hitungan hari. Bahkan, dia tak tahu siapa nama lengkap pria tersebut. Sebenarnya dia buta tentang Kenshi. Bagaimana karakter dan masa lalu pria itu.Wanita berambut panjang bergelombang itu memperhatikan Kenshi yang sedang tertidur. Pria itu baru saja terlelap setelah meminum obat dan dipijat kakinya oleh Rinai. Dia bilang, pijatan sang wanita merilekskan kondisi tubuhnya. Entah benar atau tidak, tapi Kenshi benar-benar tertidur. Rinai bangkit dari pembaringan, gerakannya sangat pelan seolah-olah takut mengganggu tidur si pria.Setelah menyelimuti Kenshi, Rinai masih sempat memperhatikan wajah pria tersebut. Saat tidur Kenshi terlihat seperti bocah. Raut wajahnya begitu tenang, tak terlihat gundah yang terkadang ditangkap mata Rinai. Deru napasnya pun sangat tenang dan entah me
"Udah, dong, Rin. Aku minta maaf." Kenshi berusaha meraih tangan wanita tersebut, tapi Rinai menepisnya pelan."Kamu itu kebiasaan. Ngomong itu difilter napa?""Lah! Salahnya di mana, coba? Kita, kan, udah sepakat memulai hubungan. Siapa tau emang beneran jodoh," ujar Kenshi ringan sambil tersenyum yang di mata Rinai terlihat menyebalkan."Dengar ..." Rinai menganjur napas sejenak. Menghadapi Kenshi seperti mendebat seorang balita. "Ini enggak logis. Gimana mungkin kita bisa bareng kalau enggak ada rasa sama sekali.""Ini bisa," balas Kenshi dengan sorot jenaka.Rinai mengembuskan napas panjang dan dalam. Dia benar-benar kehabisan kata mementahkan argumen pria itu. "Udahlah, jangan bahas lagi. Liat aja, ntar.""Nah, gitu dong. Keknya kamu emang calon istri idaman." Kenshi hendak tertawa setelah melemparkan candaan itu pada Rinai, tetapi urung setelah melihat sorot sang wanita menajam, persis silet."Wanita tadi siapa?" tanya Rinai seraya mengulurkan mangkok kecil yang berisi obat-obat
Kenshi menatap Rinai dalam diam. Setelah selesai melakukan fisioterapi, pria itu mendapati si wanita duduk di ruang tunggu khusus ruangan terapi dengan mata sembab. Meski Rinai mati-matian menyembunyikan keadaannya, dia tahu ada sesuatu yang membuat sang wanita bersedih. Saat ditanya, wanita itu menjawab jika dia baik-baik saja sembari mengulas senyum. Jelas berbanding terbalik dengan rautnya yang terlihat suram. Sepanjang perjalanan menuju pulang hanya hening yang mengambil tempat di antara keduanya. Rinai selalu menghindari bertatapan langsung dengan Kenshi. Wanita itu memilih melihat keluar melalui jendela kaca mobil. Otaknya masih saja mengira-ngira sejak kapan pengkhianatan itu dimulai. Di dalam surat itu jelas tertulis jika Amanda mengandung selama dua belas minggu. Jika benar, artinya janji pernikahan yang diucap Reinart hanya bertahan enam bulan, sisanya adalah sandiwara yang sangat sempurna."Kalau mau cerita aku siap dengerin." Suara kenshi mengembalikan kesadaran Rinai. P
Tangan Rinai menyeka kaca yang berembun perlahan hingga dingin terasa di telapak tangannya, sedingin hatinya saat ini. Kata-kata Kenshi terus memantul-mantul di gendang telinganya, membuat ngilu tak henti merayap di sekujur tubuhnya. Rinai heran, harusnya sakit dan kekecewaan ini tak perlu ada. Bukankah sudah jelas bagaimana hubungan mereka sejak awal? Hanya sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan. Tidak ada rasa di sana dan dia begitu percaya diri tak akan jatuh cinta pada pria tersebut.Tunggu, cinta?! Rinai tertawa pelan ketika pemikiran itu masuk ke benaknya. Tak mungkin dia jatuh cinta secepat itu. Sedangkan bersama Reinart saja dia tak yakin apakah mereka menikah karena cinta, sebab sakit yang diberi pria itu seolah-olah lenyap begitu saja. Namun, bersama Kenshi dia menemukan kenyamanan itu. Rinai menggelengkan kepalanya dengan cepat. Dia menampik asumsi itu sekuat hati. Tak mungkin jatuh cinta kepada pria itu."Kamu aneh."Suara Kenshi membuat Rinai menoleh. Matanya menang
Aku tidak tahu sejak kapan rasa itu berkembang. Tapi, melihat keadaan Kenshi membuat rasa bersalah membakar dadaku. Andai saja aku tak berpura-pura tak tahu tentang perasaannya, andai sejak awal aku tegas padanya, tentu dia tak akan putus asa seperti itu. Dan sekarang bukan hanya perasaan bersalah, tapi keinginan untuk merawat dan membuat dia sembuh seperti semula. Aku tahu, kecelakaan itu tersebab kekecewaan berlebih kepadaku. Ah, Kenshi ... mengapa dadaku kini mulai berdebar setiap mengingat namamu? Tapi, ini tak boleh, kan? Aku tak mungkin menodai hati pada suamiku, Kakakmu. Tuhan ... aku harus bagaimana? Tak mungkin ada dua cinta dalam hatiku. Bila aku bersama Riyad, pikiranku berkelana pada Kenshi. Begitu pula sebaliknya.*Riyad berkali-kali mengembuskan napas perlahan. Wajah pria itu terlihat begitu gelisah. Berkali-kali dia membaca buku yang ada di tangannya, perasaan bersalah semakin berdenyut di dadanya. Andai saja dia tahu hubungan Kenshi dan Nailah sedekat itu, tentu dia t