Wajah Kenshi menegang melihat foto-foto yang diberikan Irene. Di sana terlihat sepasang manusia sangat mesra. Sepertinya keduanya adalah sepasang kekasih. Di foto lain, juga tampak foto pernikahan Irene dengan pria yang sama. Setelah melihat semua foto-foto itu, tangan Kenshi bergerak meraih sebuah surat keterangan lahir atas namanya. Di surat keterangan lahir itu tercatat tanggal 13 Maret tiga puluh tahun yang lalu. "Ini tak bisa membuktikan kalau mereka adalah orang tuaku," desis Kenshi seraya mengulas senyum sinis.Irene tersenyum miring, dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi yang dia duduki. "Coba lihat wajah wanita itu, apa kamu tidak familiar dengan rautnya?"Kenshi melihat foto Aura lebih seksama. Jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Meski berusaha mengingkari tapi wajah wanita di foto tersebut sangat mirip dengannya. Namun, Kenshi tetap menolak jika Aura adalah ibunya."Aku tak percaya apa pun yang Anda katakan. Ini semua bohong! Ibuku adalah Kusuma dan i
Sepanjang perjalanan pulang Kenshi hanya diam menatap jalanan. Tangan pria itu kuat mencengkeram setir mobil dengan erat. Semua perkataan Irene memantul-mantul ke gendang telinganya, juga foto-foto yang tadi dia lihat. Satu sisi hati Kenshi membenarkan apa yang dikatakan Irene, tapi egonya menolak keras. Dia menolak fakta jika Reinart adalah saudara seayah. Tidak selama belum ada pembuktian secara medis. Namun, suara di kepalanya memaksa resah bertandang ke dada. Irene sama sekali tak keberatan dengan tes DNA, malah wanita itu menyerahkan di mana tes itu akan dilakukan. Hal ini semakin membuat pria tersebut kalut. Besar kemungkinan jika apa yang dikatakan mantan mertua Rinai itu benar."Ken, apa yang dibicarakan Mama?" Rinai mencoba bertanya karena merasa tidak nyaman dengan kebungkaman Kenshi.Kenshi menggeleng pelan seraya mengembuskan napas pelan. "Enggak ngomongin apa-apa."Rinai memutar bahunya agar bisa melihat ekspresi Kenshi. "Kukira ada yang masalah penting sampai aku enggak
Kusuma diam mendengarkan cerita Kenshi tentang Irene. Dia tak mengira wanita itu sudah memulai rencananya secepat itu. dia pikir Irene akan mengulur waktu, membiarkan kedekatan Rinai dan Reinart berjalan alami. Tapi, wanita itu sangat tergesa untuk menjadikan Rinai sebagai menantunya kembali. Mungkin faktor keterpurukan putranya berpengaruh pada kestabilan perusahaan. Beberapa waktu setelah kematian Amanda, saham perusahaan Irene sempat jatuh beberapa point. Baru setelah Ayah mertua Reinart mengumumkan bahwa saham perusahaannya telah diberikan kepada putri Amanda, saham itu kembali stabil."Apa waktu Mama menemukan aku, ada petunjuk atau apa pun di sana?" tanya Kenshi membuyarkan lamunan Kusuma. Kusuma menghela napas perlahan. "Mama sudah beberapakali mencoba membicarakan hal ini sama kamu, tapi kamu yang enggak mau." Kusuma membuka laci meja kerjanya, lalu mengeluarkan sebuah kotak kayu seukuran telapak tangan. "Ini Mama temukan dalam kardus tempat kamu diletakkan. Ada nama Kenshi t
"Saya sangat percaya pada dokter, karna itu memilih rumah sakit ini untuk melakukan tes tersebut," ujar Kenshi kepada dokter Gunawan. Saat ini keduanya duduk di dalam ruangan sang dokter."Terima kasih atas kepercayaan Anda, Pak Ken. Rumah sakit kami sangat berkompeten, hingga tidak membiarkan kesalahan terjadi. Apalagi untuk hal sepenting ini."Kenshi mengangguk seraya tersenyum kepada dokter Gunawan. Dua hari yang lalu dia mendatangi klinik di mana dokter tersebut membuka praktiknya. Di sana dia berkonsultasi mengenai tes DNA yang hendak dia lakukan. Kenshi tak bisa terus-menerus bermain dengan pikirannya, tak bisa terus berharap jika yang dikatakan Irene adalah sebuah kebohongan. Dia ingin memperjelas semuanya agar tahu bagaimana harus bersikap."Apa Anda sudah mengabari Pak Reinart?" tanya dokter Gunawan menyadarkan lamunan Kenshi yang sempat singgah sesaat."Sudah, kemarin saya menghubunginya, mungkin sebentar lagi." Kenshi melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dia
Rinai berjalan dengan tergesa-gesa setelah keluar dari lift yang membawanya naik ke lantai tujuh, di mana Kenshi berkantor. Sang sekretaris yang melihat kedatangan Rinai menggangguk sambil tersenyum."Pak Kenshi ada?" tanya Rinai, dia menunjuk pintu coklat yang bertuliskan CEO."Ada, Buk. Bapak baru saja selesai meeting."Rinai menggangguk sambil tersenyum. "Baiklah, makasih. Saya masuk dulu." Rinai mengetuk pintu besar itu beberapa kali, setelah mendengar jawaban dari dalam, wanita itu menekan gagang pintu ke bawah, lalu mendorong ke arah dalam. Aroma apel segera menusuk hidung Rinai kala masuk ke dalam ruangan yang didominasi warna serba putih tersebut. Ruangan itu lebih banyak dipasangi kaca hingga cahaya masuk lebih banyak. Satu set sofa berwarna hitam diletakkan di sisi sebelah kanan Rinai. Bila duduk di sana, kita bisa melihat pemandangan taman kota yang ramai dikunjungi saat akhir pekan.Di sebelah kiri Rinai, satu buah lemari besar diletakkan seperti menempel ke dinding. Di s
Rinai terlihat gusar. Beberapa kali dia mencoba menghubungi ponsel Kenshi tapi selalu ditolak. Dia mencoba menelepon pria itu lagi, namun kali ini justru operator yang menjawab. Wanita itu menatap ponselnya nanar. Benaknya bertanya-tanya ada apa dengan pria itu? Sikap dia sangat berbeda sejak pulang dari rumah Irene tiga minggu yang lalu. Pria itu seolah-olah sedang membentangkan jarak dengannya dan itu menyakiti dirinya. Wanita itu mencoba menggali ingatan apa dia telah melakukan kesalahan hingga Kenshi berubah drastis seperti itu? Makin dia keruk ingatan itu, makin tak ditemukan masalah di antara mereka.Apalagi saat mengetahui Kenshi membatalkan semua yang sudah mereka sewa. Mulai dari gedung, sampai katering. Meski pria itu sudah menjelaskan, tapi tak masuk akal bagi Rinai. Ada sesuatu yang pria itu sembunyikan, entah apa. Dia tak bisa menebak atau mengasumsikan apa pun, karena memang tak ada yang salah dengan hubungan mereka. Malah pikiran-pikiran buruk berkembang liar di benak w
"Nai, maafkan aku melibatkanmu dalam masalahku," ucap Kenshi seraya menerima handuk yang telah direndam air hangat. Dia menempelkan ke pipinya yang ditampar Rinai. Jika satu tamparan saja tak apa, tapi dia juga mendapat tamparan dari Nailah. Wanita itu kesal karena membiarkan kesalahpahaman terjadi antara dirinya dan Rinai. Padahal Nailah hanya ingin berpamitan pada Kenshi. Dia ingin pindah ke kota asalnya dan memulai hidup baru di sana. Sebelumnya Nailah telah membicarakan hal itu kepada Kusuma. Mertuanya itu meloloskan keinginan sang wanita, dia juga memberikan separuh harta yang menjadi hak Nailah, separuhnya lagi akan diberikan saat putrinya dengan almarhum Riyad dewasa. Namun, hal itu bukan prioritas bagi Nailah. Setelah melihat keseriusan Kenshi, dia mulai menyadari kesalahannya, mulai memperbaiki diri menjadi lebih baik. Dia sadar, cinta tak bisa dipaksakan, apalagi dia mengejar Kenshi hanya karena takut kehilangan harta dan hidup menderita. Ternyata, melepas semua ketakutan
Perlahan kelopak mata Rinai terbuka. Warna putih yang menjadi cat langit-langit kamar menjadi benda pertama yang dilihatnya. Bau antiseptik yang menusuk menembus lubang hidung wanita itu, membuat dia menyadari sedang berada di rumah sakit. Rinai mengerjapkan matanya sembari mengingat kenapa bisa berada di tempat itu. Sebuah tabrakan, teriakan. Dia meringis saat mencoba menggerakkan kepalanya, meraba bagian yang terasa sakit. Dia merasakan kepalanya diperban, tangannya menurun ke bagian leher. Pantas saja terasa sangat kaku, sebuah penyangga dipasang di sana agar bagian itu tak bergeser."Kamu sudah bangun?" Sebuah suara masuk ke gendang telinga Rinai. Untungnya dia familiar dengan suara tersebut, hingga tak perlu menoleh."Bagaimana aku bisa ada di sini?" Rinai menatap Reinart yang telah berdiri di sampingnya. Reinart tak menjawab. Dia meletakkan bungkusan yang dia bawa. Memegang kepala Rinai dengan pelan dan menelisik wajah wanita itu."Rei ...." Rinai memanggil lirih. Dia jengah d