Masih jelas membekas di hati Jessica, bagaimana hidupnya jungkir balik 180 derajat semenjak kejadian seminggu lalu dimana ia menemukan sebuah fakta menyakitkan. Selama seminggu pula Jessica memutar otak untuk menyelesaikan masalah finansial yang harus ia tanggung sendirian sebab, dalang dari masalah ini justru sibuk mencari pembelaan publik alih-alih bertanggung jawab.
Belum usai urusan finansial, Jessica juga harus terbiasa untuk berdiri sendirian. Di saat dulu ia selalu mengandalkan Teddy untuk menemaninya, kali ini ia dituntut untuk menata ulang masa depan dan kisah cintanya dari nol lagi. Seperti pepatah, uang bisa dicari, sakit hati tak mudah diobati. Kalimat itu terus berseliweran di kepala Jessica. Rasanya mau pecah dan mati saja tiap kali Jessica teringat pada momen kelam itu. Tetapi, satu hal yang patut Jessica syukuri. Di tengah kondisi finansial yang morat-marit, malaikat tanpa sayap berwujud sahabat, Tita, membantunya mendapatkan solusi terbaik untuk salah satu masalah peliknya. Hingga di sinilah Jessica sekarang. Di sebuah ruang kerja seluas rumah tinggalnya, Jessica duduk dengan jantung yang bergetar. Ruangan itu hening, hanya terdengar deru napas sosok pria di depannya yang naik turun disusul suara serak kertas yang dibolak-balik halamannya. Masa bodoh dengan istilah titipan orang dalam. Jessica tidak munafik, ia menerima tawaran pekerjaan ini dari Tita, sebab ia membutuhkan pekerjaan tambahan untuk segera melunasi hutang dan membalas sakit hati yang Teddy torehkan. “Apa yang bikin kamu yakin akan diterima bekerja di sini?” Pertanyaan itu mengalun di telinga Jessica begitu saja. Sejak sepuluh menit lalu matanya tidak beralih sedikitpun dari bibir tebal nan cipokable milik pria di depannya. Sosok pria itu mengenakan setelan jas abu-abu dengan model rambut Comma yang menawan, semakin mempertegas garis wajahnya. “Saya punya keahlian di bidang yang saya lamar, Pak. Dengan pengalaman selama lima tahun sebagai penulis, saya yakin bisa kasih kontribusi terbaik saya untuk perusahaan ini,” jawabnya. Meski dalam dada rasanya cenat-cenut, Jessica berusaha memberikan senyum terbaiknya. “Begitu?” balas pria di depannya dengan ekspresi skeptis sambil mencondongkan dada bidang yang tertutupi kemeja ketatnya ke sisi meja kerja. Jessica mengangguk mantap. “Perusahaan ini punya work pace super cepat. Apa kamu yakin bisa menyesuaikan ritme kerja kami? Dan saya juga mau kasih tahu kamu, beban kerja di sini sangat berat. Kamu akan dituntut untuk berpikir kreatif, tanpa mengaitkan urusan personal sebagai inspirasi dalam tulisan.” Diam-diam Jessica menghela napas pelan. Mengurai gelisah yang mendadak singgah dalam batinnya. Butuh waktu beberapa detik untuk menyusun jawaban. Ia pikir, Psikotes adalah tes wawancara tersulit dalam melamar pekerjaan ini. Tetapi nyatanya salah. Sirin hazel gelap milik pria itu menyorot setiap gelagat Jessica secara seksama. Seolah sedang mengulitinya dengan keraguan yang begitu besar hanya untuk mengatakan ‘ya, kamu diterima bekerja di sini.’ Cukup lama Jessica terdiam, hingga kelihatannya, sang penguasa itu tak cukup sabar untuk mendapat jawaban. “Bagaimana? Apa kamu mulai goyah sama keputusan kamu?” tanya pria bernama Marco ini. Ekspresi wajahnya tidak menampakkan minat terhadap kemampuan yang dimiliki oleh Jessica. Sedang Jessica, menaruh harapan besar dirinya bisa mengisi posisi penulis di divisi kreatif Agensi Kkumui Haneul. Sebuah perusahan agensi digital sekaligus rumah produksi film-film terbaik yang berpusat di Korea. Dan pria tampan berwajah maskulin ini adalah pemilik agensi ini. Jessica tidak pernah meragukan kemampuannya dalam menulis berbagai naskah cerita selama ini. Ia pun cukup optimis dengan pengalaman yang ia miliki. Rasa percaya dirinya terus berkobar tanpa sedikitpun tersentuh keangkuhan hingga hari ini, Jessica bertemu dengan Marco. Seorang Presiden Direktur yang akan mengambil keputusan atas nasib surat lamaran kerja yang Jessica ajukan. Menghirup napas dalam-dalam, Jessica kembali membangun kepercayaan diri yang sempat porak-poranda dengan membalas tatapan Marco. “Tidak, Pak. Saya sangat yakin kemampuan saya akan memberikan pengaruh besar untuk agensi ini. Pengalaman yang saya punya memenuhi kriteria yang diminta perusahaan. Selain itu, kepribadian saya yang mudah beradaptasi akan membantu saya untuk menyesuaikan diri lebih cepat dengan lingkungan kerja baru nantinya,” jawab Jessica percaya diri. Ia sudah melewati banyak rintangan untuk sampai di sini. Mulai dari menerobos padatnya kota Jakarta dan berperang dengan polusi yang mengudara bebas hingga mengganggu pernapasan. Tentu Jessica tidak akan menyerah begitu saja. Setelah lima tahun melalang buana sebagai pekerja lepas, Jessica memutuskan untuk keluar dari zona nyaman, lebih tepatnya, karena tuntutan hutang yang mencekik leher saat ini. Sekali lagi, Marco membaca selembar kertas curriculum vitae milik Jessica. Ekspresinya tak mudah dibaca oleh Jessica membuat wanita berusia 25 tahun itu geram. “Sampai saat ini saya belum merasa tertarik sama kamu. Padahal ini adalah tahap interview user terakhir. Seharusnya kamu bisa membuat saya yakin dengan kemampuan kamu. Tapi kalau cuma pengalaman lima tahun dan..” Marco menggantungkan kalimatnya. Melirik CV milik Jessica lagi, “kemampuan mudah beradaptasi, fresh graduate pun bisa.” Deg! “Saya rasa interview hari ini cukup, ya. Kamu boleh pulang sekarang,” ucap Marco dingin. Ia mengangkat sebelah tangannya ke udara, menunjuk dimana posisi pintu ruangan berada. Jessica masih mencerna ucapan Marco. Tidak percaya semudah itu pria kharismatik ini mengusirnya tanpa mempertimbangkan lebih jauh. “Um, apa Bapak tidak ingin mencoba mempertimbangkannya lagi? Saya lihat Bapak menolak saya bukan karena saya tidak memenuhi kualifikasi. Tapi karena-” “Terima kasih atas waktunya hari ini ini, Mbak Jessica Aozora. Senang bertemu dengan Anda dan hati-hati di jalan.” Belum usai Jessica menyelesaikan kalimatnya, Marco sudah menyela. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama sesi interview ini berlangsung pria kharismatik itu tersenyum padanya. Meski Jessica tahu senyuman Marco bukanlah senyum yang benar ia berikan sebagai penghormatan. Melainkan sebuah sinyal untuk merendahkan. “Baik kalau begitu, Pak. Terima kasih juga atas waktunya,” balas Jessica. Dengan perasaan kesal yang membulat di dadanya ia berbalik. Tanpa di sadari, ujung blazer yang ia kenakan menyenggol dokumen di atas meja kerja Marco. Melihat itu, sesuatu dalam diri Marco lantas bergejolak. Emosinya seakan ditarik sampai ke ubun-ubun. Sedangkan Jessica, melangkah menuju pintu dengan perasaan dongkol. Bibirnya tidak henti meracau dengan suara rendah. “Dasar om-om tua bangka. Ketahuan banget kalau dia ada sentimen sama aku. Lihat aja, kalau aku ketemu sama dia lagi, aku bakal buktiin sentimen dia itu nggak beralasan. Aku akan buat dia mohon-mohon buat jadi timnya,” gumam Jessica seraya mengulurkan tangannya hendak membuka pintu. Tetapi… “Hey, tunggu!” Langkah Jessica terhenti tepat di ambang pintu. Ia kemudian memutar tubuhnya menghadap Marco yang memandangnya dengan sorot tajam sekaligus menaikkan sebelah alisnya. “Ya, Pak. Ada apa?” Ketika pandangannya kembali bertemu dengan Marco. Sebagian ruh dalam diri Jessica seolah melayang. Terbawa daya magis yang menguar dari wibawa Marco sebagai seorang pimpinan. “Kemarilah,” ucap Marco. Lebih terdengar seperti sebuah perintah dari pada permintaan. Sial! Jessica baru saja ia tolak mentah-mentah sebagai karyawan tapi pria itu bersikap seolah dirinya adalah atasannya. Sambil mendengus dengan keterpaksaan, Jessica mendekat. “Apa lagi, Pak? Apa Bapak mulai berubah pikiran dan memutuskan terima saya sekarang?” tanya Jessica malas. Masa bodoh dengan sikap hormat, sejak awal Marco yang sudah tidak menunjukkan respek terhadapnya. Marco menggeleng pelan. “Tidak, kamu menyenggol dokumen saya itu,” katanya. Menunjuk sebuah map yang posisinya melenceng diantara map lain di bawahnya. “Kembalikan lagi posisinya seperti semula.” Mendengar itu, syaraf-syaraf di kepala Jessica memanas. “Bapak bercanda?” balasnya dengan emosi yang siap meledak. Kedua matanya memicing tak percaya. “Kenapa?” “Masa panggil saya balik cuma buat benarkan posisi dokumen yang tergeser begini? Memangnya Bapak tidak bisa benahi sendiri?” “Kamu yang geser, kenapa saya yang harus bertanggung jawab? Lakukan saja, itu kan salahmu. Saya nggak suka barang-barang saya terusik. Jadi kamu harus kembalikan ke posisi semula.” Ruang kerja berukuran besar dengan model interior minimalis itu mendadak diselimuti ketegangan. Auranya mengalahkan ketegangan saat interview tadi karena dua orang dengan kepribadian yang bertolak belakang kini berperang dengan harga dirinya masing-masing. “Astaga!” Jessica mendengus. “Oke-oke, ini udah saya balikin ke posisi semula. Sudah, ya. Jangan panggil saya lagi untuk hal konyol seperti ini.” Menggunakan ujung jarinya Jessica menggeser ujung map hingga berada pada posisi yang presisi. Marco mengangguk puas sambil bersedekap. “Bagus! Kamu boleh pergi sekarang,” katanya. Tanpa menyahut lagi, Jessica langsung berbalik. Kali ini benar-benar meninggalkan ruangan tanpa pamit. Hatinya dongkol bukan main. Sepanjang lorong lantai dua belas, mulutnya tidak berhenti mengutuk. “Dasar cowok gila! Bisa-bisanya perusahaan sekelas Kkumui Haneul memilih dia sebagai Presdir agensi sebagus ini!” Jessica menggerutu kesal. Harapannya untuk membangun karir di Kkumui Haneul kandas sudah hanya karena tingkah konyol seorang Presdir gila seperti Marco. Sedangkan pria itu, di ruangannya masih duduk diam menatap pintu yang tadi dibanting sedikit keras oleh Jessica. Tatapannya menyorot penuh arti menggambarkan isi kepala yang semrawut dihadapkan pada sosok wanita bar-bar dengan kesabaran setipis tisu. Ketika teringat sesuatu, pandangan Marco beralih ke arah telepon interkom. Tangannya menjangkau benda itu dan memencet satu nomor. Nomor telepon divisi HRD. “Kandidat terakhir tadi tidak bisa saya terima untuk mengisi posisi penulis skenario..” ujarnya dari balik telepon.Langit sore menua, semburat jingga di ufuk barat mulai meredup, tenggelam perlahan di balik gedung-gedung pencakar langit. Ruangan luas dengan interior modern terasa senyap, meski hawa panas ketegangan menguar di antara dua wanita yang berdiri berhadapan.Jessica menatap lurus ke arah Sisil, wajahnya tetap tenang, meski amarah telah merayapi hatinya. Sudut bibirnya melengkung tipis, tetapi bukan dalam bentuk senyuman ramah."Maaf, Mbak Sisil," katanya, suaranya jernih dan tegas. "Aku datang kemari untuk menjalankan tugas dari Pak Marco, bukan untuk mendengarkan masalah personal Mbak. Aku juga nggak peduli kalau Mbak berniat melamar Pak Marco jadi kekasih. Tapi kalau aku jadi Mbak Sisil, dengan cara murahan seperti itu, aku akan lebih tahu diri untuk menjaga sikap."Ucapannya meluncur tajam, setajam pisau yang mengiris harga diri Sisil.Sisil membeku. Matanya membelalak, bibirnya yang sedari tadi terbuka hendak berucap kini tertutup rapat. Seumur hidupnya, belum pernah ada yang berbica
Sebelah sudut bibir Sisil berkedut samar. Matanya yang berkilat penuh harap perlahan meredup saat Marco, pria yang sudah lima tahun menjadi incarannya, menolak mentah-mentah permintaannya untuk bicara secara personal.Bukan hanya menolak, Marco bahkan mengalihkan pembicaraan itu pada Jessica, sekretarisnya yang selalu berdiri setia di sisinya.Jessica menatap Sisil dengan sorot mata yang sulit dibaca. Ia tersenyum tipis, ekspresinya tetap tenang, seperti biasa. “Mbak Sisil bisa sampaikan padaku. Aku akan meneruskan pesan Mbak ke Pak Marco.”Suasana di ruangan Sisil terasa hampa. Udara yang tadinya hanya berisi ketegangan kini berubah pekat, seakan menyimpan bara yang bisa menyala kapan saja. Sisil masih duduk di kursinya, jari-jarinya mencengkeram pinggiran meja dengan kuat. Pandangannya beralih sekilas ke sudut ruangan, tempat tumpukan naskah yang hampir setinggi pinggangnya berserakan tanpa arah.Jessica juga melihatnya. Dalam pikirannya, tumpukan itu mirip benteng Takeshi—hanya sa
Maserati milik marco berhenti tepat di depan lobi kantor. Petugas valet yang berjaga sigap menghampiri kedatangan sang bos besar pewaris Haneul Grup. Marco melepaskan sabuk pengaman yang melingkar di tubuhnya secepat kilat. Mengedar pandang ke sekitar, demi memastikan seluruh barang pribadinya tak ada yang tertinggal. Di sebelahnya, Jessica ikut melakukan hal yang sama. Rambut pendek warna almondnya dikibaskan sebelah, menguarkan aroma bunga yang langsung menyapa indera penciuman Marco. Kekesalan Jessica pada sang suami kini berlapis-lapis. Sepanjang perjalanan Jessica membatin, apa yang ada di pikirannya waktu itu sampai berniat untuk menjalin kerja sama dan menyetujui pernikahan kontrak dengan Tuan Lee ini? Setelah pagi harinya dikejutkan dengan kelakuan Marco yang berani menyentuhnya, amarah tertahan di dada Jessica semakin gencar memprotes saat pria itu kembali berulah. Memutuskan untuk langsung terjun ke dalam proyek film yang akan Jessica tulis naskahnya. Padahal, Jessica men
Dari jendela besar yang mengelilingi restoran di lantai enam puluh tiga ini, mata pengunjung akan dimanjakan dengan pemandangan kepul awan tipis yang berarak. Jika mereka sedikit menurunkan pandangannya, mereka akan menemukan deretan gedung yang menjulang tak kalah tinggi di sekitar gedung hotel ini. Begitu juga dengan pemandangan hiruk pikuk kota Jakarta yang mulai padat. Mobil-mobil di bawah sana, hanya nampak sebesar ruas jari. Berjajar rapi membentuk garis lurus yang panjang tanpa akhir. Kontras dengan pemandangan kehidupan di kaki gedung ini, keluarga konglomerat bermarga Lee baru saja masuk ke dalam restoran. Langkah mereka dipimpin oleh Joanna yang berjalan paling depan. Di belakangnya, Marco dan Jessica mengekori. Para pelayan sudah berbaris rapi di pintu masuk, kompak membungkuk memberi salam hormat ketika langkah keluarga itu sudah mencapai bibir pintu restoran. Ini pertama kalinya Jessica memasuki area kelas naratama. Dimana sosok yang berasal dari kalangan menengah
“Jessica, bangun.” Seuntai kalimat itu mampir di telinga Jessica, namun kesadarannya belum pulih sempurna ketika dua kata yang keluar dari suara berat seseorang itu, kembali melantun lembut namun tetap terdengar tegas. “Jessica,” panggil suara itu lagi. Kali ini lebih menuntut. Jessica, masih berkelit dengan selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhnya. Semakin lama dibiarkan matanya terpejam, semakin sulit lepas dari jeratan ranjang nyaman ini. Jessica baru bisa terlelap subuh tadi. Masih sempat berguling ke sana-kemari menguasai permukaan empuk ranjang itu. Sempat terlintas di pikirannya, jika ia berbaring dengan sosok yang ia cintai di sana, pasti malam itu akan terasa lebih istimewa. Sayangnya, itu hanya ilusi belaka. Nyatanya kini Jessica hidup di bawah kuasa seorang pria keturunan konglomerat. Menghamba pada sosok itu demi sebuah pembalasan dendam. Sedangkan, kesabaran Marco pagi ini hanya setipis tisu. “Jessica, bangunlah!” Suaranya lebih keras. Ia tarik sedikit selimut ya
Debat panas tadi, cukup menguras emosi Jessica. Tak terasa waktu sudah beranjak pagi dan Jessica baru bisa merebahkan tubuhnya di ranjang. Matanya menatap langit-langit kamar yang kosong. Sekosong hati dan pikirannya saat ini. Kedua kaki Jessica menjuntai di sisi tempat tidur. Berayun pelan mengiringi gumaman merdu dari mulutnya. Ranjang empuk ini, adalah salah satu dari bagian mimpinya di masa depan. Hidup bergelimang harta tanpa perlu mengkhawatirkan hari esok adalah impian Jessica semenjak hidupnya berubah 180 derajat lima belas tahun lalu. Alih-alih sukses lewat jalannya sendiri, siapa sangka takdir menariknya ke dalam lingkar kehidupan yang semrawut. Jessica tumbuh dengan beban berat di pundaknya setelah ibunya, meninggal tepat setelah melahirkan Thania, adiknya. Sedang, sang Ayah, yang digadang-gadang menjadi garda terdepan, justru mengecewakan. Kecanduan main perempuan dan judi daring membuat Jessica kehilangan sosok orang tua satu-satunya. Masa kecil penuh beban menjadikan