Share

ROSALINE (GADIS MAWAR)
ROSALINE (GADIS MAWAR)
Author: Mawar_Hitam

Tumbal.

Hosh ... Hosh ... Hosh ...

Seorang gadis remaja terus berlari di dalam hutan.

Tak peduli tubuhnya terkena semak berduri, atau kakinya yang harus menginjak semak belukar hingga menggores luka di beberapa bagian tubuhnya.

Namun sekuat apa pun gadis itu berlari, tentu saja dia tak menemukan tempat untuk bebas.

"Lepasin, Aline!" teriak gadis yang bernama Aline itu.

"Diam! Ikuti saja kami!" bentak salah seorang dari empat manusia tersebut.

Rosaline, gadis remaja berparas cantik memiliki hidung mancung dan kulit kuning langsat. Rambut lurus berwarna hitam dan memiliki bulu mata yang lentik.

Membuat remaja berusia sembilan belas tahun itu semakin mempesona.

Malam ini tepat malam rabu kliwon.

Dimana malam ini, tepat pukul tengah malam gadis remaja itu bertambah usianya.

Namun kejutan besar akan dia alami malam ini.

Di sebuah gubug sederhana, jauh di dalam hutan.

Beberapa orang berdiri mengelilingi sebuah ranjang dengan taburan bunga tujuh rupa.

"Lepasin! Aline gak mau ikut andil dalam kesesatan, kalian!" gadis itu berteriak dengan sorot matanya yang tajam menyiratkan kekecewaan.

Tak ada rasa takut sama sekali dalam diri gadis muda itu.

"Diam! Kamu harus berkorban untuk kami, sudah cukup selama ini kami memberi kamu tumpangan dan itu tidak gratis! Sekarang, saatnya untuk kamu membalas budi kebaikan kami, berdua!"

Gelak tawa menggema dalam gubug itu.

"Cuih! Kalau saja aku bisa memilih, tak sudi aku terlahir dan mempunyai orang tua sesat macam kalian! Bahkan, rasanya kalian pun tak pantas mendapat julukan orang tua! Kalian semua, gila!"

Plak!

Sebuah tamparan mendarat dipipi mulusnya meninggalkan jejak merah.

"Kamu gak pantas bicara seperti itu pada orang tua kamu, Ibu kecewa sama kamu!" ucap wanita yang mengaku dirinya sebagai Ibu.

"Kecewa? Ibu bilang kalau Ibu kecewa sama, Aline? Lalu bagaimana dengan perasaan Aline saat ini, Bu. Bapak hendak menjadikan aku sebagai tumbal di sini, dan Ibu hanya diam saja bahkan tak melarang, Bapak!" teriak gadis itu.

Tak ada air mata dalam sorot mata wanita tersebut.

Namun jauh dilubuk hati wanita paruh baya itu, hatinya sangat terluka.

"Sudah, cepat baringkan anak tak tahu diri itu, cepat!"

Para anak buah itu pun membaringkan tubuh gadis tersebut dan mengikat kuat kaki serta tangannya. Tak lupa menutup mata gadis tersebut.

Mereka duduk mengelilingi ranjang tempat di mana ritual akan dilakukan.

"Aku tak akan mengikhlaskan tubuh ini, jiwa ini, sukma ini, raga ini, bahkan jasad dari tubuh ini tersentuh dan diberikan kepada junjungan kalian! Ingat lah janji ku ini, aku akan menuntut balas kepada kalian semua dan akan ku pastikan neraka lah tempat kalian berada!"

Jleb!

Sret!

Tepat setelah sumpah yang di ucapkan gadis itu ucapkan, saat itu pula akhir dari hidupnya.

Darah mengalir deras membasahi ranjang.

Dengan cepat, mereka melakukan ritual akhirnya.

Tepat pukul dua belas malam, ritual telah usai di laksanakan, tepat pula usia gadis itu genap dua puluh tahun. Namun harus mengalami hal tragis seperti ini.

Para gerombolan tadi, juga kedua orang tua Rosaline pergi meninggalkan gubug tersebut dan membiarkan jasad Sang Anak begitu saja.

Setelah kepergian mereka semua, seorang wanita yang berkisar tujuh puluh tahun itu melesak masuk ke dalam gubug.

Dibelainya rambut gadis itu. Diseka dan dengan gerak perlahan mengusap wajah gadis itu agar matanya menutup.

Air mata menetes membasahi pipi remaja tersebut.

Sebuah kidung pun di dendangkan.

Ana kidung, rumeksa ing wengi.

Teguh ayu, luputa ing lara.

Luputa bilahi kabeh.

Jin setan datan purun.

Peneluhan tan ana wani.

Miwah panggawe ala.

Gunane wong luput.

Geni atemahan tirta.

Maling adoh tan ana ngarah ing kami.

Guna duduk pan sirna.

Perlahan diusapnya tubuh gadis itu, mulai dari kepala hingga ujung kaki.

Gemetar jemari tua itu menyeka gadis yang amat disayanginya itu.

Apa boleh buat, dirinya tak bisa mencegah hal ini terjadi.

"Nduk, cah ayu. Aku minta maaf kepada mu, aku tak berdaya. Aku tak bisa mencegah semua ini terjadi. Maafkan lah aku yang tak mampu melindungi mu dari kebengisan orang tuamu, itu." ucap wanita itu.

Angin berhembus kencang, membuat suara bising daun bergesekkan.

Bahkan gubug pun turut bergoyang.

Kencangnya angin, tak menggentarkan wanita yang bernama Mbok Mar itu.

Kidung rumekso ing wengi di nyanyikan dengan sepenuh hati.

Kesedihan, makna itu yang terkandung dalam kidung yang dinyanyikan Mbok Mar itu.

Hembusan angin bertambah kencang, suara binatang malam pun saling bersahutan seiring kidung dinyanyikan.

Dan saat kidung tersebut selesai, angin dan suara binatang malam pun berhenti.

"Selesai, semua luka mu sudah tak berbekas lagi, Nduk. Buka matamu, Rosaline." ucap Mbok Mar.

Perlahan, mata gadis itu terbuka.

Senyuman terbit di wajah Mbok Mar. Tak sia-sia usahanya membangkitkan Sang Cucu, meski hanya sementara.

"Mbok," ucap Rosaline.

Dengan penuh kasih sayang, Mbok Mar membelai rambut Sang Cucu dan mencium keningnya.

"Maafkan Mbok yang tak bisa melindungi mu. Mbok telah gagal melindungi cucu kesayanganku sendiri, maafkan Mbok." ucapnya menangis.

Rosaline memeluk Mboknya itu dengan penuh kasih sayang.

Meski terasa dingin, namun kehangatan hatinya mampu membuat Mbok Mar tak kuasa membendung kesedihannya.

"Maaf, maafkan Mbok!" raungnya.

"Sstt, Mbok jangan menangis. Ini semua bukan salah, Mbok. Aline tak mengapa harus pergi seperti ini. Tapi maafkan lah cucumu ini, Mbok. Sumpah telah terucap, aku hanya ingin, menuntut keadilan." ucapnya dengan sorot matanya yang mengguratkan amarah di dalamya.

Mbok Mar menyeka air matanya, lalu menangkup pipi gadis yang di sayanginya itu.

"Tak apa, tak apa. Aku izin kan kau untuk membalas apa yang telah mereka perbuat, ambil lah apa yang memang menjadi bagian mu. Keserakahan, kekayaan, kedigdayaan yang mereka cari itu, sudah membutakan hati dan logikanya sebagai orang tua! Lakukan lah, aku mengizinkan. Namun perlu kau ingat, jika kau membutuhkan bantuan atau apa pun itu. Mbok mu ini akan membantumu, sekali pun cara itu, salah!" ucap Mbok Mar dengan tegas.

Rosaline pun menggeleng.

"Tidak, jangan kotori tangan Mbok untuk sesuatu yang sanggup aku lakukan. Akan ku tumpas habis hingga ke pangkalnya. Semua ini harus segera di selesaikan." ucap nya.

"Mbok, waktu Aline sudah tak banyak. Maafkan Aline yang harus meninggalkan Mbok sendirian. Namun Aline akan tetap mengawasi Mbok. Aline pun akan datang kepada Mbok, mau kah Mbok menerima kehadiran ku, walau aku bukan lah lagi manusia?" tanyanya.

"Tentu, tentu sayang. Mbok akan tetap menerima kehadiran mu. Ini, bawa lah ini. Bunga mawar kesukaanmu, akan Mbok tanam dan rawat tanaman kesayangan mu itu. Pergi lah, jangan risau kan Mbok mu ini." ucap Mbok Mar melepas kepergian Cucu semata wayangnya itu.

"Pergilah, cucuku." ucapnya lirih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status