Share

[ Roses ] ; 01

“Jika ilalang bergerak mengikuti arah angin, berbeda dengan manusia yang cenderung berani melawan takdir.”

“Gua sumpahin jadi perawan tua lu!” 

Percakapan antara Rosea dengan Angga berminggu-minggu yang lalu menghantui paginya. Sebuah percakapan yang condong pada adegan monolog drama di mana sang pria tampan dari fakultas teknik ditolak mentah-mentah oleh gadis pujaannya. Rosea berpikir keras untuk memparafrasakan kata-kata penolakan agar mudah laki-laki itu terima. Namun, apa daya Rosea malah mendapat sumpah serapah. 

Ya emang salah kalo aku nolak dia? Dikira jatuh cinta segampang itu?

Persetan hidup menjomblo, Rosea perlu meregangkan sedikit badannya. Hari ini ia harus berhadapan lagi dengan kejamnya hidup dan kelas Pak Jagad. Sebelum beranjak dari tempat tidurnya, Rosea menghirup nafas, menahannya beberapa detik, dan mengeluarkannya. Rosea meniup poninya jengah. Hari-hari menjadi mahasiswa ternyata tak seindah yang ia bayangkan saat masih SMA.

Dahulu saat masih sekolah dan tinggal bersama orang tuanya, menyadari serta mengelola emosi merupakan hal yang berat. Tetapi, karena sekarang ia sudah dewasa, bukan remaja pemula, jadi ia harus belajar menjadi dewasa yang seutuhnya. Dewasa itu pilihan dan Rosea adalah gadis cerdas yang mampu memilih hal itu. Rosea mulai belajar dari bagaimana ia harus menata emosinya, menata pengeluarannya, dan menata ruangan kamar yang tak begitu luas, namun seringkali berantakan ketika ia sedang malas.

Keluar dari pintu indekos bercat merah muda. Rosea sejenak memejamkan mata, merasakan udara yang masuk ke rongga dadanya, udara yang menjadi sumber kehidupannya. Lalu, merapalkan doa keselamatanㅡselamat dari nilai D kelas pak Jagad. 

Entah lagu dari mana yang Rosea dendangkan dalam hatinya. Ekspresi wajah yang ceria, mampu mengundang senyum dari setiap orang yang tak sengaja bertemu tatap dengannya. Ia juga sering membalas sapaan orang ataupun membalas senyum mereka, itu kalau ia sedang tak diburu waktu masuk kelas. Ditambah lagi wajah ayu nan manis ala gadis kota menambah pesonanya. Langkah ringan membawanya menuju tempat ia menimba ilmu di bangku kuliah.

Menyusuri jalan dari indekos menuju jalan utama sudah memakan waktu 10 menit lamanya. Rosea perlu berjalan melewati perempatan lampu merah dan berbelok ke arah kanan di mana Universitas Satu Bangsa berada. Ia harus menaruh fokus lebih saat melewati belokan ke arah kampusnya. Tak jarang kecelakaan terjadi karena mahasiswa yang mengendarai kendaraan bermotor secara ugal-ugalan. Bermaksud agar dipandang keren, namun malah cenderung terlihat seperti orang tak punya tata krama. Hm… bukan cenderung lagi, memang iya, tak punya tata krama.

Baru saja alarm di otak Rosea mengingatkan untuk memerhatikan jalan, seorang pengendara sepeda motor keluaran terbaru perusahaan Jepang menyerempet kakinya. Rosea jatuh terduduk di dekat bak sampah yang penuh lalat. Tulang ekornya terasa begitu nyeri setelah menghantam bahu jalan. Pemilik sepeda motor itu cengo dengan hal yang terjadi di depan matanya. Semua mahasiswa dan pedagang kaki lima yang berada di dekat sana bergerak tergopoh mengerumuni Rosea menawarkan bantuan. 

Masih setia dengan keterkejutannya, pemilik sepeda motor celingukan.

“Ah lu gimana sih, bantuin bego! Malah diem aja!” Sebuah toyoran menghantam bagian belakang helm yang pengendara itu kenakan. Bukannya turun dan meminta maaf, ia malah pergi tanpa bertanggung jawab. Dasar anak muda tidak tahu aturan!

Rosea masih meringis kesakitan kala diangkat oleh dua perempuan yang ia tahu adalah ibu-ibu penjual bubur ayam. Sial! Padahal ia sudah berdoa sebelum pergi keluar. Tetap saja nasib buruk menimpanya. Padahal hari ini gadis itu harus mengikuti kuis Pak Jagad. 

Rosea didudukkan di warung bubur ayam milik ibu-ibu tadi yang menolongnya. Orang-orang menanyakan keadaannya silih berganti, ada pula yang menyodorkan segelas teh hangat. Rosea menerima gelas teh tersebut dan menenggaknya hingga tandas. Hangat dari teh setidaknya memberikan sedikit ketenangan.

Melihat ke arah betis kiri yang terbaret dan membuat celana kulot hitamㅡyang baru minggu lalu ia beli dari pasar kagetㅡterkoyak. Masa bodoh dengan perih lukanya, ia harus masuk ke kelas sebelum terlambat. Dengan perlahan Rosea berdiri membersihkan celana bagian belakangnya yang terkena kotoran. Juga menepuk-nepuk sisa pasir yang bercampur debu jalanan yang masih menempel di telapak tangannya.

"Lho mbak mau kemana? Tunggu bentar ibu tadi masih mau belikan obat merah."

Rosea menyunggingkan senyum, menggeleng perlahan. "Saya sudah endak kenapa-napa kok, bu. Terima kasih sudah menolong saya, tapi saya harus segera masuk kuliah."  

"Loalah mbak, masih sakit gini kakinya. Terus gimana jalannya?" 

"Biar saya antarkan saja." Laki-laki dengan kaus putih dan jaket jeans berdiri di depannya menawarkan bantuan. Dilihat dari kumisnya yang tidak dipotong rapi dan rambut yang sedikit berantakan, sepertinya ia mahasiswa tingkat akhir.

"Ndak usah kak, terima kasih."

"Udah gapapa, gua sekalian ke kampus kok. Lu anak Satu Bangsa kan?"

"I-iya kak," ujar Rosea terbata.

Rosea bukannya tidak mau menerima bantuan, karena ia pun tidak mungkin jalan terpincang-pincang untuk sampai ke kelas. Pasalnya, ia tak mengenal siapa kakak tingkat yang menolongnya. Ya kalau benar kakak tingkatnya, kalau penjual organ dalam? Atau lebih mengerikannya lagi, penjahat kelamin?

Rosea bergidik ngeri membayangkan.

Sedikit melirik jam tanganㅡyang lagi-lagi ia beli dari pasar kaget一10 menit lagi kelas dimulai. Rosea menghembuskan nafas kasar. Mau tak mau ia menerima bantuan laki-laki berkumis tipis itu. 

Dengan perlahan Rosea berjalan yang masih dipapah ibu penjual bubur ayam. Untung saja mobil laki-laki tadi terparkir tepat berada di depan warung.

[...]

"Nama lu siapa?" Laki-laki tadi menoleh ke arah Rosea yang sibuk memerhatikan lukanya.

"Rosea, kak." Rosea mengalihkan tatapannya dari luka ke arah laki-laki di sebelahnya yang fokus mengendara.

"Gua Miko. Lu santai aja, enggak usah takut gitu. Gua bukan orang jahat. Btw, lu fakultas apa? Biar gua turunin depan gedung fakultas."

"FISIP, kak."

"Makmur dong hidup lu?" Miko tersenyum ke arah Rosea, membagi fokusnya dengan jalanan. 

Dahi Rosea mengerut tak paham apa maksud laki-laki yang ia kenal sebagai Miko.

"Hahaha… Enggak becanda. Maksud gua tuh enak fakultas lu kantinnya jual makanan enak-enak. Fakultas gua boro-boro makanan enak, kantin aja kagak ada." Miko tertawa sumbang.

Dengan penjelasan singkat dari Miko, ia tahu fakultas apa yang laki-laki itu maksudkan. Tetapi, agar terlihat tetap menghargai perasaan Miko, Rosea basa basi menanyakan apa fakultasnya. 

"Gua FEB. Prodi bisnis internasional. Eh- udah sampek. Mau gua bantuin jalan? Kelas lu lantai berapa?"

Mendengar tawaran yang terdengar begitu tulus namun pasti mengundang gosip mahasiswa lain saat menatap mereka, membuat Rosea berpikir sesaat. Entah keajaiban darimana, matanya berbinar menemukan dua perempuan yang sedang duduk di koridor fakultas. Mereka adalah Bela dan Mela. Kembar beda kepribadian yang merupakan sahabatnya sejak OSPEK fakultas hari pertama. 

"Endak usah kak, ada temen-temen saya juga kok udahan. Makasih banyak ya, maaf merepotkan." Rosea tersenyum kikuk mencoba menolak tawaran Miko selembut mungkin, kemudian melepas sabuk pengamannya dan memakai tas ransel bercorak bunga mawar merah. 

"Iya, sama-sama." Rosea membuka pintu mobil. Saat ia akan menutupnya, Miko memanggil namanya. 

"Iya, kak?"

"Nih, jaket! Celana lu kotor. Kembaliin kapan-kapan aja kalau ketemu. Good luck buat hari ini!" Miko mengedipkan sebelah matanya. Rosea dibuat mengerutkan dahi untuk kedua kalinya. Apa-apaan tadi? 

Yah, lagi-lagi Rosea tetaplah Rosea yang bagaimanapun kondisinya, senyum adalah senjata andalannya. 

"Astaga lu kemana aja sih, Ros? Lu lupa ada kuis Pak Jagad apa gimana?" Bela dengan suaranya yang melengking menodongkan pertanyaan ke Rosea. 

"Ah lu Bel, mending bantuin temen lu kasian kakinya pincang!" Mela yang melihat Rosea jalan terpincang langsung berjalan membantu memapah.

"Lu kenapa?" Bela bertanya dengan raut wajah khawatir melihat kulot Rosea yang terkoyak dan memperlihatkan lukanya tadi.

"Entar aku ceritain deh selesai kuis. Takut-takut Pak Jagad udah di kelas sekarang." Rosea meraih tangan Mela dan Bela dan membantunya berjalan. 

"Yaudah ayo-ayo!"

[...]

"Dua tiga burung berdandan. Ada apa gerangan Julian?" Dinan dengan jailnya menowel dagu sahabatnya, Julian, yang terlihat suram.

"Udahlah Nan, wajahnya dah kayak kecelup comberan gitu masih lu godain aja!" Royan menunjuk wajah Julian yang cemberut dengan 10 jarinya.

"Lebay amat jari lu! Mau jadi Spider Man apa gimana?" Sewot Dinan, laki-laki bernama lengkap Ardinantyo Dean Nova yang dijuluki si Kasanova oleh teman-temannya. 

“Kalo kata bapak gua ya Jul, orang yang kebanyakan ngelamun itu susah jodohnya.” Hanzel si anak bapak malah membuat pikiran Julian makin runyam dengan segala mitos-mitos yang ia ucapkan.

“Hus! Jodoh lu noh kepatok ayam. Perjaka kok bangunnya siang,” sarkas Royan.

"Hilih! Lu juga kali! Hm… Pasti lu mikirin Serena, ya Jul?" Hanzel menebak-nebak buah manggis apa isi pikiran yang mengganggu sahabatnya dari SMA itu.

Mendengar nama yang sangat tidak asing di telinganya membuat Julian menoleh ke belakang, di mana ketiga temannya mengekor seperti anak ayam. Julian memberikan tatapan tajam pada Hanzel dan pandangannya berganti pada kedua sahabatnya yang lain. 

"Buset! Pandangan matamu menarik hati…." 

“Asek…,” ucap Dinan menyahuti nyanyian Hanzel.

Hanzel dan Dinan adalah perpaduan pas untuk sesuatu yang dikatakan gila. Kelakuan ajaib mereka kadang menghibur Julian, namun tak jarang membuatnya berang. Hanya Royan yang paling rasional.

Julian butuh udara segar. Jika ia terus-terusan bersama manusia-manusia salah pergaulan, pasti mukanya terlipat 100 lipatan mendengar godaan-godaan yang dilemparkan padanya.

"Kalian ke kafe dulu aja, gua mau ke gedung rektorat." Julian mencari alasan untuk menyendiri sebentar.

"Ngapain lu? Bayar UKT? Bukannya udah?" Dinan mencurigai gerak-gerik Julian.

"Mau dibayar dua kali, lima kali, seratus kali per semester suka-suka dia kali." Royan dengan cueknya menanggapi. 

Dinan dan Hanzel malah mengajukan jempolnya secara terbalik ke arah Royan, "Hu…"

"Yaudah, gua duluan ya!"

"Yoi! Hati-hati, Jul!" 

[...]

Rosea berada di atas sepeda air bebek, menikmati pemandangan Universitas Satu Bangsa dari tengah danau kampus. Keadaan hatinya hari ini sangat buruk. Kuis Pak Jagad sungguh tidak masuk akal. Jurnal dari planet mana yang bapak kumis itu pakai untuk dijadikan soal.

Aih… Ya Tuhan, sebel banget! Heran deh aku sama Pak Jagad. Dapet C aja udah syukur banget dah!

Di tengah lamunannya, Rosea merasa ada getaran. Ini gempa? Keburu panik, orang yang sengaja menabrakkan sepeda air bebeknya ke milik Rosea, malah tertawa terbahak. 

"Lu kenapa, Ros? Hahaha… muka lu kocak banget!"

Merasa diajak bicara, Rosea menoleh ke sumber suara. Mendapati laki-laki dengan kaus putih yang dilipat satu senti di kedua sisinya. Mencoba mengingat-ngingat siapa laki-laki yang dengan usilnya membuatnya panik tak karuan. Rosea tak membayangkan kalau benar terjadi goncangan dan jatuh ke dalam air yang tak ia tahu seberapa meter dalamnya. Ah Rosea benci air!

Rosea mencebikkan bibirnya dan mengelus dada karena kejadian barusan. “Kak Miko ngapain ke sini?” tanya Rosea sedikit ketus karena merasa kesal.

“Ya gua yang harusnya tanya, kaki lu udah gapapa? Kuat emang ngayuh bebeknya?” Mata miko menatap kaki gadis itu yang terlihat baik-baik saja sekarang.

“Udah, tadi sempet diobati. Nih, udah gapapa!” Rosea menyingkap sedikit kulotnya, memperlihatkan betis kirinya yang sudah dibalut perban putih yang dililitkan Mela. Miko hanya mengangguk dengan hidung berkerut melihatnya. Terbesit satu ide di otak seksinya.

“Bener nih udah sembuh?” tanyanya dengan tatapan meremehkan.

“Iyalah, emang kenapa?” Rosea menggaruk alisnya, bingung harus bersikap bagaimana.

“Kalo kita lomba gimana?”

“Lomba? Lomba apaan?”

Miko terkekeh pelan, “Lomba ke sana! Cepet-cepetan.” Miko menunjuk ke ujung danau, tempat sepeda air bebek ditempatkan.

Mendengar tantangan konyol itu membuat dirinya tak mau kalah. Tidak tahu saja Miko siapa Rosea sebenarnya. “Oke, siapa takut!” Miko suka dengan sikap Rosea yang kompetitif. Gadis yang menarik.

“Mulai ya… satu… dua… tiga!”

Keduanya bersemangat mengayuh sepeda air bebek hingga tak sadar menabrak satu sama lain. Hal itu mengundang derai tawa keduanya. Rosea menutup mulutnya hingga mendongakkan kepala meredam suara tawa. Adegan balapan sepeda air bebek konyol membuat suasana hatinya membaik.

Setelah tawa reda, mereka mengayuh perlahan sampai ke ujung danau. Menikmati semilir angin yang memasuki pori-pori kulit. Rambut bergelombang Rosea ikut bergerak dibuai angin yang lewat. Sudah lama ia tak merasa setenang ini. Semenjak kejadian beberapa tahun lalu, setiap harinya bagai kiamat. Kelam.

“Hm Ros, gua cabut duluan gapapa? Udah mau jam 2, gua harus jemput adik gua. Maaf enggak bisa nganter balik.” Setelah menepi dan mengambil barang di pos, Miko terburu setelah melihat arlojinya. Ia harus menjemput Taco, Talitha Cornelia, adiknya yang masih duduk di bangku menengah atas.

“Gapapa kok, kak. Oh ya, jaketnya gimana?” Rosea teringat jaket Miko yang masih ia bawa dan berjanji mengembalikannya ketika bertemu kembali.

“Buat lu aja, anggap aja kenang-kenangan dari gua. Yaudah ya gua duluan!” Miko berlari secara mundur melambaikan tangannya pada Rosea. Rosea membalas lambaian Miko. Tanpa sadar gadis itu menarik ujung bibir ke atas. Membentuk kurva senyuman.

Masih ada satu jam sebelum ia harus pergi ke Kafe Aletha untuk menggantikan temannya yang kebagian menjaga kafe pada pagi hari. Rosea memutuskan untuk menikmati cuaca hari ini yang lumayan mendung dengan angin yang sejuk di taman sebelah danau.

Ada satu spot tempat yang sangat Rosea sukai yaitu salah satu pohon di tengah taman, pohon yang mampu memayunginya dari teriknya matahari kala cuaca sangat panas. Pohon besar yang ditaksir usianya lebih tua dari kakek-nenek Rosea yang telah meninggal. Ia sering duduk di bawahnya untuk mengerjakan tugas atau menikmati bekal makan siang yang ia bawa dalam rangka menghemat uang. 

[...]

Dengan asal, Julian mendudukkan tubuhnya. Ia tadi sempat belok ke ruang UKM seni untuk mengambil gitar yang sengaja ia titipkan di sana. Lumayan mengusir suntuk dengan menyanyikan beberapa lagu sebelum menyusul sahabatnya.

Julian mengeluarkan gitar berwarna putih dari tasnya. Di pojok kanan tubuh gitar itu tertulis nama ‘Julian Lesmana’. Julian menyelonjorkan kaki, mencari posisi nyaman. Punggungnya bersandar pada pohon besar di tengah taman. 

Mata Julian terpejam sejenak. Menghirup oksigen yang diproduksi daun-daun yang memayunginya sebanyak mungkin. Mengingat bagaimana Bu Safa melempar tugasnya kemarin semakin membuat pikirannya tak karuan. Ditambah lagi semakin ke sini sikap Serena pada Julian membuat jengkel laki-laki bertubuh atletis itu. Jika bukan karena Julian mencintai gadis itu, ia pasti sudah mengeluarkan semua emosinya.

Jari-jari besar dan panjang Julian mulai memetik senar gitar satu per satu. Memainkan lagu yang selalu ia dengarkan kala hari-harinya terasa begitu menyesakkan, ‘Fine Today’ karya Ardhito Pramono.

"You’re my happiness

And you always going to be the one for me"

Kala menyanyikan lirik itu, pikirannya terbang jauh pada memori beberapa tahun lalu. Memori akan Serena, gadis SMA dengan iris mata biru dan rambut cokelat yang memesona. 

Berbeda dengan Julian yang teringat dengan kekasih yang telah menemaninya selama tiga tahun lamanya, gadis ̶ yang duduk di belakang pohon yang Julian duduki ̶ mengingat sahabatnya yang kini berada jauh di sana, yang sibuk mengenyam pendidikan di negara matahari terbit.

"Though we’ll be fine today"

Lirik itu adalah kalimat yang selalu Hana, sahabat Rosea, katakan. Hana selalu meyakinkan Rosea bahwa semuanya akan berlalu dan semuanya akan baik-baik saja.

“Sekeras apapun hidupmu. Sekejam apapun dunia menghajarmu. Waktu tetap berjalan. Begitupun kehidupan. Tetaplah berjalan walaupun selambat siput.” Sebuah kalimat yang mampu menenangkan Rosea. 

Rosea ikut memejamkan mata, menikmati alunan gitar dan suara Julian yang berat, namun terkesan lembut. Sangat merdu di dengar. Ditambah semilir angin yang menerpa keduanya. Semakin menambah sendu yang dirasa.

Tanpa sadar lagu yang dibawakan oleh Julian telah usai. Suara Julian dan lagu yang dibawakan pria yang tak Rosea tahu itu membuat hari sialnya lebih baik. Gadis itu bersyukur bahwa hari ini masih ada nasib baik yang memihaknya.

Rosea memutar badannya mengintip ke balik pohon yang ia sandari. Mendapati laki-laki dengan hoodie berwarna hijau sedang memejamkan matanya, tangannya bersedekap, dan gitarnya dibiarkan begitu saja di pahanya. Melihat sekilas ekspresi laki-laki itu, Rosea menerka bahwa ia sama dengannya. Sama-sama bernasib sial hari ini.

Itulah Rosea dengan pikirannya yang suka menerka-nerka sesuka hatinya.

Arloji Rosea sudah menunjukkan pukul 3 kurang 15 menit. Ia harus segera pergi ke Kafe Aletha. Namun, sebelumnya ia dengan berinisiatif mengambil selembar sticky notes berwarna merah muda dan menuliskan sesuatu di atasnya. Lalu, mengambil sebungkus bola-bola cokelat kesukaannya dari tas bagian depan. Rosea berjalan jongkok ke balik pohon. Laki-laki itu masih setia memejamkan matanya.

Rosea mengibaskan tangan ke depan wajah laki-laki ber-hoodie hijau itu. Terganggu dengan gerakan tangan Rosea, Julian membuka mata. Mendapati gadis yang menyodorkan selembar kertas dan sebungkus bola-bola cokelat. Alis Julian menyatu di tengah, bingung dengan tingkah absurd gadis di depannya.

“Suara kamu bagus banget. Makasih ya hiburan gratisnya. Semoga harimu menyenangkan!” Julian masih bingung dengan apa yang gadis itu ucapkan. Rosea masih mengulurkan tangannya dengan senyum yang tercetak jelas di wajah ayunya. 

 “Nih!”

 “Buat apa?” 

 “Terima aja!”

Julian menerima dengan ragu. Ya bukan pertama kali baginya menerima hadiah dari seorang gadis. Ia tampan dan populer di kalangan gadis-gadis Satu Bangsa, jadi bukan hal yang mengejutkan jika ia menerima hadiah-hadiah seperti sekarang ini. Julian membalas dengan senyuman yang mampu menenggelamkan iris matanya yang kecokelatan. Mata yang mampu membentuk lengkungan seperti bulan sabit ke arah Rosea. 

Jantung Rosea terasa berhenti seketika. Senyum laki-laki itu…

“Udah ya aku pergi dulu, bye…” Rosea tersadar dari lamunannya, lalu lari terpincang-pincang mengingat ia akan terlambat tiba di Kafe Aletha ya walaupun berada di dekat kampusnya.

Lucu. Batin Julian selepas membaca barisan kalimat yang gadis itu tuliskan untuknya. Sesaat dunianya terpusat pada kurva senyum gadis aneh yang baru saja pergi entah kemana. Dan untuk sesaat ia melupakan Serena, cinta pertamanya.

Julian membaca ulang tulisan di kertas merah muda yang ia pegang.

‘Jika sebuah lagu mampu menawar laramu, tetaplah bernyanyi walaupun burung membenci mendengar suaramu. Tapi suara kakak bagus banget, serius enggak bohong. Udah cocok banget jadi penyanyi. Aku beli deh albumnya kalau udah debut, hehehe^^’ –Rosea

“Kakak? Hahaha emang muka gua setua itu ya?” batin Julian kembali terkekeh membacanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status