Share

[ Roses ] ; 02

“Boleh jadi manusia lain memakai guna-guna ataupun mantera, tetapi manusia ini akan tetap jatuh pada seseorang dengan senyum seindah malam penuh lentera.”

Rosea menggertakkan giginya saat obat merah menyentuh lukanya. Seusai sampai di indekosnya, Rosea bergegas untuk mandi dan mengganti perban. Lukanya memang hanya beberapa senti, namun perihnya saat obat merah mulai menetes satu per satu pada luka yang menganga, perihnya bukan kepalang. Sampai-sampai gadis itu menitihkan air mata. 

Sudah semacam telenovela saja. Rosea memang tak bisa menawar sedikit pun rasa sakit. Sebuah kelemahan yang gadis itu sadari sejak belia.

Sehabis merapikan barang serta obat lukanya, Rosea mengambil boneka kelinci berwarna merah muda untuk mengganjal kaki kirinya, lalu membaringkan badan. Terus terang pantatーtulang ekor lebih tepatnyaーmasih terasa sedikit sengal. Jadi, untuk duduk pun ia harus lakukan perlahan.

Rosea meraba nakas di samping tempat tidur, mencari gawai miliknya yang rasanya sudah pantas menjadi ganjalan pintu. Jarinya bergerak mencari aplikasi pengirim pesan, matanya yang indah memindai kontak yang berjajar, lalu mengetikkan beberapa kalimat. Rosea memberikan kabar pada ibunya bahwa hari ini ia sudah makan tiga kali dan minum obat maag. Rutinitas yang gadis itu lakukan semenjak ia memilih untuk hidup sendiri di indekos.

Sembari menunggu balasan sang ibu, Rosea menatap langit-langit kamarnya yang penuh bintang. Semester lalu ia menghias kamarnya sedemikian rupa. Mulai dari mengganti warna dinding, menata ulang barang-barang, hingga menempel beberapa benda berbentuk bintang beraneka ukuran di langit-langit kamar. Malam sepi yang selama ini terasa sangat muram, kini kabur setelah bintang-bintang tiruan itu berpendar kala Rosea mematikan lampu kamarnya.

Tanpa sadar matanya mulai sayu dan terlelap.

[...]

Sudah beberapa hari berlalu. Luka pada betis kiri Rosea hampir mengering. Untuk duduk juga sudah aman. Siang ini Rosea sudah berada di ruang karyawan Kafe Aletha. Menikmati jus semangka yang ia buat dari dapur kafe. Laptop terbuka di depannya menampilkan jurnal-jurnal yang ia perlu pelajari untuk ujian tengah semester minggu depan. 

Pintu ruang karyawan terbuka, menampilkan Ayu dengan celemek cokelat dengan tulisan Kafe Aletha. Menyadari kehadiran seseorang, Rosea mengalihkan fokus dari layar laptop ke Ayu.

“Ada apa, Yu?” Rosea melihat kerisauan di wajah Ayu.

“Boleh gantiin gua jaga enggak, Ros? Nyokap gua jatuh di kamar mandi, di rumah enggak ada siapa-siapa. Maaf ya ngerepotin, Ros.” Suara Ayu melemah. Ia sangat khawatir dengan kondisi ibunya setelah salah satu tetangganya mengirim pesan singkat.

“Boleh-boleh. Aku juga endak lagi ngapa-ngapain kok.” Bohong. Rosea memang paling handal menenangkan hati orang. Gadis itu mendekat dan menepuk pelan pundak teman kerjanya. “Perginya hati-hati ya, Yu!”

“Iya, Ros, makasih ya.”

Prinsip yang selalu dipegang Rosea. Ketika kamu membantu seseorang, sebenarnya kamu sedang membantu dirimu sendiri. Sebuah seni bertahan hidup yang Rosea pelajari dari sang ayah.

Rosea memakai celemeknya. Menguncir kuda rambut yang berwarna kemerahan. Rambut kemerahan Rosea adalah ulah Mela dan Bela yang menjadikannya bahan percobaan.

Pada saat itu Bela ingin menyemir rambutnya dengan warna merah. Namun, Mela tak mau menjadi bahan percobaan Bela. Rosea pun sukarela melakukannya, lagi pula ia dari dulu ingin mengecat rambutnya, tetapi uangnya sangat sayang jika harus ia gelontorkan untuk pergi ke salon kecantikan.

[...]

Hampir pukul setengah empat petang. Ayu belum kembali dari rumahnya. Perut Rosea sudah bergetar mengeluarkan suara-suara mengerikan. Ia kelaparan.

Kafe siang ini tak begitu ramai. Biasanya pengunjung datang saat sore hingga malam hari karena mayoritas pengunjung kafe pun adalah mahasiswa Satu Bangsa. Setelah ia melayani tiga orang pembeli, barulah Ayu muncul dengan lari tergesa. Rambutnya juga acak-acakan. Nafasnya tersengal-sengal.

"Hah-hah… Makasih ya, Ros…." Ayu masih ngos-ngosan. Mencoba menetralkan napasnya yang tak beraturan.

"Iya, sama-sama. Boleh gantian jagain bentar ndak, Yu? Aku mau beli batagor depan kampus bentar, lagi pengen, hehe." Rosea menampakkan cengiran kudanya, gaya andalan merayu orang. 

"Iya, kamu makan sama istirahat dulu aja." Rosea sumringah dan mengacungkan dua jempolnya, lalu pergi memasuki ruang karyawan dan melepas celemeknya. 

Dari tadi siang sebenarnya ia sudah ingin makan batagor depan kampus, tetapi apa daya kondisi Ayu sangat mendesak. Dari kafe menuju depan kampus butuh waktu sekitar 5 menit untuk berjalan. Lumayan untuk olahraga. 

Kondisi jalanan kota pada sore hari lumayan padat. Mahasiswa Satu Bangsa juga mulai meninggalkan kampusnya. Rosea hari ini hanya memiliki satu kelas, jadi ia bisa kembali lebih awal. 

"Mang, batagor satu porsi ya. Endak usah pakai pare."

"Siap, Neng Ros!" Penjual batagor itu hafal Rosea. Bagaimana tidak, Rosea hampir setiap hari membeli dagangannya sebelum atau sesudah kuliah. Selain enaknya, porsinya banyak, dan harganya murah. Bagi mahasiswa seperti Rosea, hemat adalah koentji.

Sembari menunggu, Rosea membuka novel favoritnya lewat aplikasi membaca buku berbayar. Buku itu karya penulis lokal, berjudul "Rahasia Salinem". Lalu, duduk dengan nyaman di kursi sebelah gerobak yang telah disediakan.

Saking asyiknya membaca, ia tak sadar ada seseorang yang duduk di sebelahnya, memerhatikan wajah seriusnya dengan lekat. Yang diperhatikan malah mengerutkan alis karena adegan yang disuguhkan cerita yang gadis itu baca.  

"Ros…" Rosea dengan gesit memutar badannya ke belakang. Melihat siapa yang memanggilnya, namun tak ada orang. Apa hantu? Banci aja belum pergi mangkal, masa' udah berkeliaran sih? 

"Gua di sini." Miko memutar badan Rosea menghadapnya. Rosea menganga tidak percaya. Tak ia sangka, ia akan bertemu lagi dengan kakak tingkat yang menolongnya. 

Merasa sedikit tidak nyaman ada laki-laki yang menyentuhnya, Rosea melepaskan kedua tangan Miko yang memegang pundaknya perlahan. 

"Ngapain kak?"

"Ya menurut lu gua ke sini ngapain? Mangkal?"

"Ya mungkin aja kan?" Rosea menggembungkan pipinya.

"Ros… Ros… ya enggaklah, gua mau beli batagor, ngidam." Rosea tertawa geli mendengarnya, mana bisa laki-laki ngidam. Biarlah kakak tingkatnya meracau suka-suka.

"Nih… batagornya!" Penjual batagor menyerahkan piring pada Rosea dan Miko. 

"Makasih, mang!" sahut mereka serempak. Penjual batagor tersenyum melihatnya.

"Lu sering beli nih batagor, Ros?" 

Rosea mengangguk menanggapi. Gadis itu sibuk mengunyah siomay di mulutnya. Ia terlihat sangat menggemaskan dengan pipi mengembang karena memakan siomay dalam satu kali lahap. Melihatnya begitu membuat Miko tersenyum tanpa sadar. 

"Pelan-pelan aja makannya!" Miko menyeka ujung bibir Rosea yang terkena bumbu kacang. Rosea terpaku. Tidak tahu harus berbuat apa. Ia tersenyum kikuk dan melanjutkan acara makannya. Ia kelaparan. 

Di tengah-tengah adegan makan batagor berdua, ada segerombolan pemuda yang berteriak dengan semangat.

"AYO DIBELI RISOLNYA…"

[...]

"Ya Tuhan seriusan gua malu, Han!" Gerutuan Royan sedari tadi memenuhi telinga ketiga sahabatnya. Di sebelahnya ada Julian yang berjalan santai dengan kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celana.

Ini semua karena Hanzel. Laki-laki itu menjadi panitia acara kampus, divisi dana lebih tepatnya. Selepas mereka berempat keluar dari kelas setelah dihajar pertanyaan anak sekelas saat presentasi. 

Hanzel meminta tolong kepada sahabat-sahabatnya. Ya seperti biasa mereka langsung mengiyakan. Tetapi jikalau mereka tahu harus membantu menjual 2 kotak risol mayo mana mau. Ini sudah sore, mayoritas mahasiswa Satu Bangsa juga pasti sudah pulang. 

"Ini harus keliling kemana lagi sih, Han?" Dinan yang sedari tadi menawarkan risol sekaligus tebar pesona mulai merasa pegal. Tangannya juga kesemutan akibat membawa kotak risol. 

"Keliling depan kampus gimana? Kan rame tuh biasanya."

"Hanzel tolong ya, gua udah capek banget, seriusan. Gua beli dah semuanya." Royan sudah tak tahan lagi diajak memutari kampus oleh sahabatnya yang kurang ajar itu.

"Eits… Enggak gitu bro cara mainnya. Kalo tinggal lu beli semua, enggak kerasa perjuangannya. Namanya juga cari pengalaman, modal masa depan nih!" Hanzel dengan lagaknya menunjuk kardus risol yang ia dan Dinan bawa.

"Heleh! Mending pake mobil daripada jalan, seriusan enggak bohong gua ‘dah gempor ini." Dinan sudah duduk terkapar di pinggiran jalan, ia sangat lelah bertamasya berjualan risol. 

"Ah gua ada ide!"

"Han…" Julian yang sedari tak berkomentar, kini angkat bicara.

"Tenang Juven Juliansyah Lesmana, kali ini idenya beneran brilian. Royan sama Julian tunggu sini, Dinan ikut gua!"

"Kemana lagi ya Tuhan? Gua capek, Han…," keluh Dinan.

"Kamu kok gitu sih Mas Dinan?" Hanzel melancarkan aksinya berusaha mencium Dinan dan mengeluarkan suara-suara manja. Sungguh menggelikan. Mau bagaimana lagi, Dinan  akhirnya mau-mau saja mengikuti Hanzel pergi. 

Duo istimewa sudah kembali dengan dua sepeda motor entah milik siapa. Sepeda motor yang sepertinya tinggal sekali banting sudah remuk mesinnya. Saat ditanya Royan, Hanzel menjawab milik satpam universitas. 

"Gua bonceng Royan. Dinan bonceng Julian. Nan, lu ikutin rute gua. Jangan sampek ketinggalan, oke?"

Royan mendengus kesal, "Mau jualan risol aja udah kayak pergi konvoi!"

"Sst… Jangan cerewet ya Raden Mas Royan Ezza Alfarizi!" Royan yang diperingati Hanzel hanya bisa memutar matanya jengah. Sebuah kebiasaan buruk Royan yang muncul ketika ia sedang kesal.

"Let's go!"

Tadinya Dinan yang lemas sudah kembali bertenaga setelah melewati gedung fakultas kedokteran. Dasar mata keranjang! Dia menikmati menjajakan risol kepada gadis-gadis cantik di sana.

Fakultas kedokteran memang tujuan yang bagus karena mahasiswanya sering pulang larut malam. Lumayan satu kotak habis terjual. Hanzel bersorak senang, ia hanya harus menjual satu kotak lagi. 

"Kejual sih kejual, tapi enggak dengan beli risol gratis nomer telfon gua sama Julian."

"Royan, beruntung lu banyak yang naksir. Lah gua, udah cakep wangi gini, enggak ada yang minta nomer gua. Lu juga kan enggak pernah pacaran, yaudahlah mungkin aja ada yang kecantol, kan lumayan." Dinan berduka atas dirinya sendiri.

"Kin limiyin." Mulut Royan komat-kamit mengejek Dinan.

"Yaudah lanjut aja. Udah mau jam 4."

"Nah, gini nih suka gua semangatnya Julian!" Hanzel memeluk Julian senang, sedangkan Julian hanya tersenyum. Walaupun sahabatnya itu sangat merepotkan, tetapi Julian senang bersama mereka. Julian bisa melupakan urusannya dengan Serena.

Hanzel dan Dinan kembali melajukan sepeda motor dan berteriak menjajakan risol. Hanzel keluar pagar depan kampus, berniat menjajakan ke kampung-kampung dekat sana. 

"AYO DIBELI RISOLNYA…"

[...]

Rosea melirik ke arah gerombolan berisik tadi yang sekarang berhenti di depannya. Hanzel membenarkan letak rambutnya. Menyisir poninya yang berantakan ke arah belakang. Menampakkan senyum selebar mungkin ke arah Rosea. “Mau beli risol? Kalau buat kamu nanti bisa dapet nomer telepon aku.” Hanzel menggoda dengan mengerlingkan matanya.

Dinan, Royan, dan Julian yang melihatnya malu sendiri. Itu bukan sama sekali seperti Hanzel biasanya. Hanzel yang urakan, suara medok yang menggelegar, dan jangan lupakan bagaimana tengilnya. Dan sekarang, menjadi super lembut. 

“Lu kesurupan dedemit gedung FK?” Dinan yang sudah tak sanggup melihat tingkah menggelikan Hanzel berkomentar.

“Hm… btw kalian lagi jualan risol ya?”

Kali ini Dinan yang melancarkan aksinya mendekati Rosea. Menjelaskan runtutan kesusahan mereka dalam menjual risol. Rosea mendengar dengan saksama sesekali melirik ke arah Julian yang tak acuh dengan keberadaanya. Dia lupa sama aku? Aih… masih sehari masa’ udah lupa?

Di tengah-tengah keadaan yang tidak jelas, Miko pamit kepada Rosea karena berjanji untuk menjemput adiknya. Kemudian diangguki oleh Rosea.

“Gimana kalau ditaruh di kafe tempat aku kerja? Kalo sore rame tuh anak Satu Bangsa, mungkin laku. Kalian jualin aja di sana.”

“Ide bagus.” Pupil Rosea membesar ketika mendengar Julian bersuara. Ternyata suaranya jika sedang berbicara biasa sungguh lembut. Rosea terbuai dengan suara Julian. Rosea jadi salah tingkah sendiri ketika Julian melengkungkan senyumnya. 

[...]

Selepas semua risol terjual karena bantuan Rosea. Dinan, Hanzel, Julian, dan Royan dapat menikmati suasana Kafe Aletha yang memang cocok untuk remaja seusianya. Dekorasi yang unik dengan warna pop-up sangat cocok untuk berfoto ria. 

Mereka, kecuali Julian, asyik bermain uno yang disediakan kafe. Suara tawa ketiga laki-laki itu memenuhi ruangan. Rosea dapat melihat mereka dengan jelas dari meja kasir, namun ada yang mengganjal hatinya. 

Julian. Laki-laki itu hanya diam sedari tadi dengan dahi yang mengerut. Serius banget udah kayak lagi mikirin beban negara aja. Pikir Rosea.

Royan tersadar akan gelagat Julian yang akhir-akhir ini lebih banyak diam, mencoba mengajak bicara laki-laki itu. Ia paham betul bagaimana hubungannya dengan Serena sekarang. Beberapa saat yang lalu, salah satu teman Julian yang satu universitas dengan Serena menghubunginya. Ia mengatakan pada Julian bahwa Serena pergi dengan seorang laki-laki dengan mobil mewah, umurnya sepantaran mereka. Julian mengetuk-ngetuk pelipisnya mencoba mengingat apakah Serena memiliki saudara laki-laki. Seberapa keras pun usahanya mengingat, Serena memang hanya memiliki satu saudara perempuan. Itu pun tidak tinggal di Indonesia.

Julian menanggapi pertanyaan Royan hanya dengan deheman dan anggukan. Hanzel dan Dinan saling menatap dan melirik ke arah samping kafe yang menyediakan alat musik, lalu terkekeh mendapati pikiran mereka yang sama. Hanzel mulai menghitung melalui gerakan bibirnya.

Satu…

Dua…

Tiga…

Hanzel dan Dinan dengan kompak menarik paksa Julian agar berdiri dan mendudukkannya ke kursi yang berada di atas panggung. Julian memberontak dan ekspresinya benar-benar bingung. Hanzel dan Dinan perpaduan elemen gila yang ada di bumi.

“Halo, tes-tes. Ini ada teman saya, Julian, ingin menyumbangkan sebuah lagu untuk kalian semua.” Pengunjung kafe bertepuk tangan menyambut. Bagai disiram air dan terlanjur basah kuyup, Julian melihat ada gitar elektrik yang sudah terhubung dengan speaker. 

Julian mengedarkan pandangannya. Matanya menyipit melihat perempuan dengan celemek kafe. Terlihat samar, namun ia yakin perempuan itu tersenyum padanya. Rabun jauh membuat pandangannya terbatas.

Jemarinya mulai memetik dawai-dawai gitar. Alunan melodi dari senar gitar satu per satu terangkai dengan indah. Dari detik pertama Rosea sudah tahu lagu apa yang Julian bawakan.

“Di Senayan, di bawah sinar rembulan.

Walau berat ‘ku rela engkau pulang.

Ingin kusampaikan semua perasaan.

Jikalau engkau berkenan.”

Malam itu, selepas Julian melaksanakan ujian kelulusan, ia pergi ke Senayan. Dengan kemeja berwarna hitam dengan rambut yang ia sisir ke belakang. Ia memakai lensa kontak agar dapat melihat gadisㅡyang orang tuanya jodohkanㅡdengan jelas. Gadis itu adalah Serena Lim. 

Serena datang dengan gaun berwarna merah tua yang sangat kontras dengan kulit seputih susu miliknya. Rambut cokelatnya terurai dengan bando berwarna senada di kepalanya. Tersenyum anggun di depan Julian yang terlihat begitu tampan malam ini.

Malam itu hubungan mereka resmi menjadi seorang sepasang kekasih dengan dasar cinta, bukan hanya perjodohan. 

Bayangan indah itu terhapus sudah bagaimana Serena memerlakukannya akhir-akhir ini. Kejadian sore tadi seakan mencubit hatinya. Gadis yang ia yakini akan menjadi akhir dari perjalanannya mencari dan akan ia jadikan teman hidup, kini tak bisa lagi ia percayai.

“Mungkin kau kurelakan.

Takkan kulupakan.

Satu malam di Senayan…”

Julian menutup lagunya dengan sangat lembut. Raga Julian memang di sini, namun jiwanya berkelana. Rosea yang menatap manik mata Julian ikut terhanyut dengan kesedihan laki-laki itu. Ini bukan sekadar kesialan, Julian sepertinya memang sedang bersedih.

“Ros…”

Rosea terhenyak. Aletha menepuk pundaknya lumayan kencang, “Suka ya sama mas yang itu? Hayo ngaku…” Aletha malah menggodanya.

“Ah e-endak kok, mbak. Mbak Aletha ngawur ih!” Rosea berlagak tak peduli dengan membuang wajahnya tak lagi terfokus pada Julian. Laki-laki itu sudah kembali ke meja bersama teman-temannya yang tertawa puas melihat Julian dikerjai. Setidaknya kini Julian tersenyum puas setelah melihat bagaimana antusiasme pengunjung atas penampilannya.

Julian sedari kecil ia sangat ingin menjadi seorang penyanyi. Membuat lagu dan menyanyikannya di atas panggung yang megah, tetapi harap dan angannya pupus karena suatu hal yang lebih ingin ia dekap.

“Ke sana gih!”

“Ngapain, mbak?” Rosea bingung dengan Aletha yang menunjuk gerombolan Julian, “Ah, ndak mau mbak. Entar dikira apaan.”

“Halah enggak usah malu-malu gitu. Gih, sana mintain nomer mas-mas yang ganteng tadi, mau mbak rekrut buat jadi penyanyi kafe. Diliat antusiasme pengunjung kayaknya lumayan buat narik lebih banyak pelanggan.” Rosea mengangguk setuju. Kalau kafe ramai, mungkin saja gajinya akan bertambah. Lumayan buat bayar indekos sama makan.

Rosea berjalan ke meja bundar yang di kelilingi laki-laki, yang jujur, menurut Rosea secara penampilan mereka di atas rata-rata. Tampan, kulit bersih, berpostur tegap, dan lebih tinggi dari laki-laki seusianya. 

“Permisi…”

“Eh, Mbak Cantik…,” Hanzel mendapati Rosea berdiri di belakang Julian, membawa secarik kertas dan bolpoin. “Mau minta nomer aku ya?”

“Oh endak, mau minta nomer kakak yang ini-” Rosea menunjuk Julian. “-Bos saya yang minta, katanya mau diajak nyanyi di sini.”

Royan membisikkan sesuatu ke Julian, “Terima aja, lumayan lu bisa nyalurin hobi lu, gajinya juga bisa nambahin duit jajan lu.” Royan dengan segala pikirannya yang realistis dan pandai dalam memanfaatkan situasi memang diperlukan dalam keadaan seperti ini.

Julian menoleh ke belakang, melihat Rosea yang kikuk. Julian mengangkat sebelah sudut bibirnya mendapati gadis itu berada sedekat ini dengannya. 

Bagai mendapat hadiah undian kopi kemasan, hati Rosea bak dibawa terbang ke awan. Senyum Julian seakan mampu menyihir dirinya, membuat dunia seakan berhenti seketika bagi Rosea.

Ketika Julian mengambil secarik kertas dari tangan Rosea, kulit mereka tak sengaja bersentuhan. Badannya membeku dibuatnya. Rosea bisa merasakan betapa halus kulitnya. Ia sampai kesulitan meneguk salivanya kala harum parfum Julian memasuki rongga hidungnya. Aroma sitrus yang menyegarkan benar-benar menawan indra penciuman Rosea. Gadis itu bisa mati karena terpesona dengan makhluk di depannya.

“Ini ya…”

“M-makasih.”

“Iya, sama-sama. Btw, jangan panggil gua kakak lagi. Gua satu angkatan sama lu.”

Dengar! Suara laki-laki itu memanjakan telinga Rosea. 

Aaa… Rosea Damita kamu kenapa? Kena guna-guna? Atau jangan-jangan… jatuh cinta? Astaga! Terus juga, Julian tahu dari mana kalo seangkatan? Ge er boleh enggak sih?

Rosea kembali ke meja kasir sambil memukul-mukul kepalanya dengan bolpoin. Dirinya mendadak jadi orang yang super aneh di dekat laki-laki itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status