Share

006

006. TOUCHING THE HEART OF THE FUTURE QUEEN

FRUSERR001570

Aku dan Hendery sedang menikmati makan malam di tengah rembulan setelah aku membuka lukanya yang mulai membaik, bagus, lelaki itu bisa pergi setelah semua urusannya selesai. Arloji ku sedang menunjukkan pukul tujuh malam, tentu saja pukul segini listrik tidak nyala dengan rata, hanya sebagian rumah. Sepertinya desa sebelah sudah menyala.

Tapi, suasana malam ini sedikit romantis. Entahla, padahal kemarin malam juga tidak jauh berbeda. Hanya tiga lilin yang menyala, di atas nakas, dapur, dan atas meja.

"Apa listrik akan terus begini?" tanya Hendery membuka topik, ku tatap dirinya sedikit malu. Aku tidak tau, tapi sejak tadi hati ku berdegup kencang saat menatapnya.

"Listrik akan bergilir, sedari kecil desa kami melewati jam-jam seperti ini" jawab ku, perasaan ku mengatakan bila dirinya akan menjadi calon Raja selanjutnya. Sikapnya benar-benar berbeda seperti saat kami pertama bertemu, mungkin karena aku telah mengetahui identitasnya.

"Aneh sekali, kota selalu menyalurkan listrik ketika sore mendatang dan ku rasa semua sudah sama rata"

"Benarkah? Tapi, kami tetap begini, kami juga rajin membayar pajak" jawab ku.

"Berapa pajak yang kau bayar?" ku raih gelas milik ku sebelum meminum airnya. Suaranya tadi terdengar serius sekali, aku hampir mendapatkan kecanggungan ku.

"Setiap kepala keluarga membayar lima belas jok"

"Sesuai juga"

Lelaki itu meletakkan garpu dan pisau di kedua sisi samping piringnya, matanya menatap langit atap seolah sedang memikirkan sesuatu.

"Terimakasih untuk makan malamnya, aku sangat menyukai masakan mu" kata Hendery tiba-tiba, lelaki itu tersenyum menatap ku. Ada apa dengannya? Setiap malam aku juga memasak, telat sekali jika ia memuji ku saat ini.

"Maksud mu apa, kenapa tidak jelas sekali?"

"Aku tidak tau, tapi aku ingin setiap hari memakan masakan mu, bisakah?" tanya Hendery, lelaki ini tidak memiliki penyakit pelupa atau ilang ingatan, tapi kenapa menjadi begini? Batin ku dalam hati.

"Tentu, aku akan mengembalikan peralatan ini" kata ku, badan ku mulai beranjak dari kursi dan mengambil piring hingga alat makan Hendery untuk ku jadikan satu dengan ku.

Setelah sampai dapur, tangan ku bergerak untuk memutar kran. Aku senang sekali beberapa hari ini, biasanya setiap malam aku akan makan sendirian, mencuci piring sendirian. Namun, malam ini aku di temani oleh lelaki aneh itu. Apa aku termasuk orang yang beruntung? Satu rumah, bahkan satu kamar dengan seorang Pangeran tampan. Meskipun tidak satu kasur, jika bibi Rain mengetahui hal ini, beliau pasti akan mengajak ku bergosip.

"Ada lelaki lain yang membuat mu tersenyum?" aku memutar kepala ku sedikit untuk menengok Hendery yang telah berada di samping ku.

"Memang kenapa? Lelaki itu juga belum tentu memikirkan ku" aku kembali menatap piring yang masih setengah berbusa itu sebelum kembali mengusapnya dengan spons berbusa.

"Kalau tau dia tidak memikirkan mu, kau tidak perlu memikirkannya" aku mendelik tidak suka mendengar suara Hendery yang sedikit berubah.

"Kau ini kenapa? Aku memikirkannya, karena aku menyukainya, bisa di bilang begitu" jawab ku, astaga hampir saja aku menyatakan perasaan ku sendiri.

"Setampan apa dia sampai kau memikirkannya begitu?"

"Setampan pangeran" bodoh sekali aku, dasar mulut ini.

"Di negeri dongeng" lanjut ku dengan gugup.

"Cih, aku jauh lebih tampan" mata ku mulai mendatar, bisakah ia tidak membuat pikiran ku bercampur? Padahal aku memikirkan dirinya, tidak peka sekali. Tunggu dulu, kenapa aku baru sadar jika aku memikirkannya? Astaga.

"Ya ya, kau memang tampan" untung saja aku sedang membilas piring dan alat makan ini. Dan untungnya ia juga Pangeran, jika bukan, mungkin piring ini ku lempar ke arahnya.

"Sudah selesai?"

"Apa maksud mu?"

"Mencuci piringnya"

"Sedikit lagi"

"Baiklah, akan ku tunggu di ruang depan"

Aku tidak terlalu memikirkan ucapan Hendery barusan, kegiatan menyelesaikan bersih-bersih jauh lebih penting. Setelah membilas semua dan mengelap alat makan, badan ku berbaik menuju ruang depan.

Mata ku hampir keluar saat melihat ruang makan saat ini sedikit berbeda, meja makan dan kursi telah di rapikan sedikit memojok ke arah dinding. Dan membuat ruangan menjadi lebih luas, kemudian yang membuat ku tercengang adalah banyak lilin kecil yang tertata di beberapa sudut, sehingga ruangan menjadi lebih terang.

"Kau sudah selesai?" tanya Hendery, kepala ku mengangguk tanpa menatapnya.

"Kemarilah, ada sesuatu yang harus kita lakukan malam ini"

Seolah tersihir, kaki ku berjalan mendekati Hendery yang tengah mengotak-atik sebuah radio di sana. Aku tidak merasa memiliki benda itu, lalu darimana ia mendapatkannya?

"Sebenarnya aku sudah menyiapkan ini dari siang tadi, tapi kau tidak kunjung pulang" Hendery mulai menoleh ke arah ku, lelaki itu tersenyum manis sembari mengarahkan tangannya.

Maksud dari gelagatnya membuatku tidak mengerti, aku pernah melihat Ayah bersikap seperti ini saat bersama Ibu di kamar. Tunggu dulu, apakah ia mengajak ku berdansa.

"Ck, kau lama sekali"

Hendery langsung membawa tubuh ku mendekati tubuhnya, deru nafas kami yang saling bersentuhan membuat bulu kuduk ku berdiri. Aku tidak begitu berani menatap matanya, mungkin karena aku terlalu cupu untuk menyetujui perasaan ku sendiri yang kini sedang berbunga.

"Hanya malam ini, aku ingin membiarkan malam ini diisi oleh kisah kita" aku mulai mendongakkan wajah ku menatapnya. 

Kami berdansa perlahan saat alunan musik terdengar, sedikit aneh ketika merasakan tangan besar Hendery merangkul pinggang ku. Entahlah, aku tidak mengerti, tangannya yang kebesaran atau pinggang ku yang kecil. Tapi, yang ku tau adalah mata kami tidak bisa memutuskan kontak begitu saja, seolah hanya kepada satu titik itu aku akan kembali. 

"Hendery"

"Iya?"

Aku menelan ludah ku sedikit kasar, gugup sekali malam ini. Tidak, setiap aku berdekatan dengan Hendery, aku selalu gugup.

"Kenapa kau melakukan semua ini?" tanya ku, tubuh ku berputar sebelum akhirnya aku jatuh di pelukan Hendery dengan keadaan ia memeluk ku dari belakang.

"Hanya ingin, pertama kalinya aku berdansa dengan gadis seusia ku"

"Dan aku senang, karena memilih mu untuk menjadi bagian pertama dalam hidup ku" lanjut Hendery, aku beruntung saat ini kami tidak saling berhadapan, karena pipi ku sedang memerah saat ini.

"Aku juga suka melihat kedua pipi mu bersemu karena ku" aku tertegun mendengar kata Hendery. Lelaki itu langsung membalik tubuh kami seperti sebelumnya.

"Kenapa kau tidak melihat ada cermin di depan mu tadi, nona?" seolah dapat membaca pikiran, percakapan kami semakin membuat wajah ku tidak menentu. Hendery menuntun tangan ku yang sebelumnya berada di genggamannya kini berada di lehernya, kemudian ia menangkup pipi ku.

Aku malu sekali, sungguh, apalagi saat mata kami sekali lagi bertemu. Boleh kah aku menghentikan waktu? Aku ingin merasakan perasaan berbunga sekaligus degupan kencang ini lebih lama lagi.

"Aku berjanji akan kembali untuk merangkul mu lagi" aku hanya diam setelah mengerti tatapan Hendery tengah mengungkapkan kesedihan.

"Maksud mu kau akan pergi?" tanya ku perlahan, Hendery hanya tersenyum tipis sembari berujar "Tenang saja, aku tau dimana tempat ku pulang"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status