"Bibit pohon yang dibudidayakan selama tiga tahun mungkin lebih murah, tapi tingkat kematian akan lebih tinggi.
Sedangkan bibit yang dibudidayakan selama lima tahun, tingkat kematian akan sangat rendah. Tentu saja, harganya juga akan sedikit lebih mahal!" Pria paruh baya itu menjelaskan. Setelah mendengar penjelasan tersebut, tentu saja hati Fikri lebih memilih untuk membeli bibit pohon yang dibudidayakan selama tiga tahun! Perbedaan harganya terlalu jauh! "Ambilkan aku yang tiga tahun saja!" Kata Fikri kepada pria paruh baya, "Bungkus dengan baik dan ambilkan sedikit tanahnya, karena aku harus membawanya pulang!" Pria paruh baya itu masih tidak menyerah dan terus bertanya, "Kamu yakin tidak mau yang lima tahun? Tingkat kematiannya benar-benar rendah!" Fikri menggelengkan kepalanya. Fikri memiliki tanah dan mata air ajaib di dalam ruang miliknya, sehingga dia sama sekali tidak perlu khawatir tentang tingkat kematian pohon. Melihat tekad Fikri sudah bulat, pria paruh baya itu segera memanggil karyawannya untuk mencabut bibit pohon. Fikri menunggu di dalam tenda dan melihat-lihat sejenak. Pandangannya tertuju pada sekelompok pohon muda yang kering dan gugur. Pohon-pohon itu hanya sepanjang siku dan tampak seperti rumput kalau tidak dilihat dengan saksama. Dibagian akarnya ada tanah kering, daunnya layu dan banyak yang gugur. Fikri berbalik dan bertanya pada pria paruh baya, "Ini pohon apa?" Pria paruh baya mengira Fikri tertarik pada bibit pohon lainnya, jadi dia mengikuti pandangan Fikri, lalu segera melihat bibit pohon kecil di tanah. Ekspresi wajahnya langsung menjadi sedih. Dia menggelengkan kepala dan mendesah, "Hishh!" "Bibit pohon ini, sebenarnya bibit yang bagus! Semua bibit ini adalah Gaharu harum dari Provinsi Hatam! Apakah kamu pernah mendengarnya sebelumnya?" Gaharu harum? Apakah ini adalah Gaharu harum yang merupakan pohon kayu yang digunakan sebagai produk kayu dan daunnya untuk obat tradisional yang sangat berharga itu? Pohon biasa butuh seratus tahun untuk tumbuh besar dengan diameter yang cukup besar, tapi gaharu harum berbeda. Bahkan setelah seratus tahun, pohon ini hanya tumbuh sebesar pergelangan tangan orang dewasa! Artinya tingkat kepadatan kayu ini sangat tinggi, berat dan mahal! Sebuah gelang tangan dari gaharu harum biasa di pasaran dijual dengan harga paling murah dimulai dari 10 atau 12 juta, itu juga terbuat dari potongan kayu sisa! Kalau dibuat menjadi furnitur atau yang lainnya dari satu pohon, harganya akan lebih mahal lagi! Harga paling murah dimulai dari beberapa miliar! Sebuah pemikiran terlintas dalam pikiran Fikri. Dia tersenyum dan bertanya pada bos, "Kenapa bibit pohon Gaharu harum yang begitu berharga ini dibiarkan begitu saja di tanah?" "Hishh! Ini memalukan untuk diungkapkan, aku awalnya berharap bisa menanamnya dan menghasilkan banyak uang! Tapi siapa sangka pohon ini sangat sulit untuk ditanam! Sangat membutuhkan tanah dan suhu yang tepat, setelah satu bulan, tidak ada perubahan sama sekali! Selain itu, aku juga mengeluarkan banyak tenaga dan biaya untuk merawatnya. Lupakan saja, kayu berharga ini, sulit untuk ditanam!" Fikri merasa tertarik. Dia tersenyum pada pria paruh baya itu dan berkata, "Bisakah kamu menjual pohon Gaharu harum ini kepadaku? Aku ingin mencoba menanamnya!" Pria paruh baya itu menatap Fakri dengan sedikit terkejut, "Kamu? Mencoba menanam ini? Kamu bahkan sudah cukup kewalahan menanam bibit pohon ceri ini! Ini adalah sesuatu yang akan sangat merugikan!" Meskipun pria paruh baya itu ingin menghasilkan uang, tapi dia juga tidak ingin menipu orang. Dia mencoba menasehati Fikri. Fikri mengangguk tegas dan menunjuk tumpukan bibit Gaharu harum itu, "Tolong bungkuskan untukku, aku juga ingin menmbelinya." "Wow! Baiklah, baiklah, pemuda memang pemuda! Aku yakin kamu tidak akan percaya seberapa sulitnya menumbuhkan pohon ini sebelum kamu mencobanya sendiri!" Pria paruh baya mengambil beberapa kantong plastik dan membungkus bibit Gaharu harum sembarangan, lalu memberikannya kepada Fikri. "Aku akan mengambil uangmu untuk bibit ceri ini, dan untuk Gaharu harum ini, sebenarnya aku berencana untuk menjualnya dengan harga grosir, tapi sekarang kalau kamu ingin membelinya, maka aku akan memberikan harga grosir, enam ribu per batang, bagaimana?" Dibandingkan dengan enam puluh ribu untuk sebatang bibit ceri, harga itu benar- benar sangat murah! Fikri segera menyetujuinya, kemudian berkeliling di tenda untuk mencari tanaman berharga lainnya, tapi dia tidak menemukan apapun. Akhirnya, dia kembali ke pintu masuk dan menunggu. Sekitar dua jam kemudian, karyawan itu akhirnya sudah selesai mencabut bibit ceri. Bagian bawah bibit itu masih ada tanah, terlihat sangat segar. "Melihatmu datang dengan kendaraan roda tiga listrik, aku yakin kamu tidak terlalu jauh dari sini. Setibanya di rumah segera tanam bibit ini, lalu siram sedikit air, pasti akan hidup! Aku tidak akan menipumu!" Fikri menaruh bibit pohon itu ke dalam kendaraan tiga rodanya, lalu mengeluarkan ponselnya dan melambai-lambaikan tangan ke pria paruh baya, "Totalnya sembilan juta, ditambah enam puluh ribu untuk kayu gaharu harum, aku akan membayar melalui e-wallet." Setelah mendapat notifikasi transfer, Fikri dan pria paruh baya itu pamitan, lalu ia pergi dengan kendaraan tiga rodanya. Fikri menghitung waktu, setelah membeli sayuran, sudah saatnya menjemput Sisi dari sekolah. Setelah membeli sayur dan menjemput Sisi, Fikri segera pulang dan memasak. Sisi mengeluarkan bukunya dari tas ransel dan dengan lengan kecil yang gemuk menarik-narik ujung baju Fikri, "Ayah, hari ini Bu Guru memuji Sisi! Apakah Ayah ada melihat grup orangtua hari ini?" Fikri terkejut. la berbalik untuk membungkuk dan melihat Sisi, wajahnya dipenuhi dengan rasa bersalah. "Maaf Sisi, Ayah terlalu sibuk hari ini dan tidak melihat ponsel. Apa kata BuGuru?" Ekspresi Sisi sedikit kecewa, tapi kemudian dia berlari ke kursi dan membuka tasnya untuk mengambil buku gambarannya. Sisi tersenyum lebar dan berkata kepada Fikri, "Ayah, lihat ini! Ini adalah nilai A++ yang diberikan oleh Bu Lili ke Sisi! Bu Lili bilang gambar Sisi sangat bagus dan mengatakan bahwa aku adalah jenius melukis!" Mata Fikri langsung berbinar-binar mendengar ini. "Sungguh?!" Dia dengan sangat gembira mengambil buku gambaran Sisi dan melihat catatan Bu Lili yang ditulis dengan hati-hati di tempat kosong. "Sisi sangat hebat! Harus terus belajar melukis! Semangat!" Ini adalah catatan penilaian tertinggi yang diberikan oleh guru. Dan di saat ini juga Fikri agak terlambat menyadari bahwa putrinya sepertinya memang memiliki bakat khusus dalam melukis? "Sisi sangat hebat!" Fikri membungkuk dan mencium kepala Sisi! "Hari ini, Ayah akan membuatkan makanan enak untuk Sisi! Membuat udang tumis dengan kacang panjang, serta telur dadar dengan tomat. Oke?" "Yay!" Sisi melompat-lompat kegirangan, menggoyangkan kepalanya yang kecil dengan lengan kecilnya, kemudian berinjit dan menarik-narik baju Fikri. "Muachh!" Pada saat Fikri membungkuk, Sisi mencium wajah Fikri dengan kuat! "Sisi akan selalu mencintai Ayah!" Pengakuan manis dari Sisi selalu menjadi motivasi terbesar untuk Fikri! Pada saat itu juga Fikri merasa matanya berkaca-kaca. "Ya, Ayah juga akan selalu menemani Sisi!" Sampai dia dewasa, sampai ... dia tidak lagi membutuhkan dirinya. Sebelum itu, Fikri akan selalu menjadi perisai terkuatnya! Sisi melompat-lompat dan pergi menonton televisi, sementara Fikri memasak di dapur. Setelah selesai memasak, Fikri melihat ke rice cooker dan tersenyum tak berdaya. Masih belum matang. Ini adalah rice cooker merek wiyako yang paling tua yang selalu membutuhkan pengawasan agar nasi tidak meluap dan menyebar kemana-mana. Rice cooker ini sudah sangat lama digunakan, menyaksikan Sisi tumbuh dewasa bersama Fikri. Waktu memasak pun bertambah lama, dari yang awalnya setengah jam hingga sekarang hampir satu jam barulah akhirnya mengeluarkan bunyi "dutdutdut". Sudah waktunya untuk meluangkan waktu untuk memasang AC dan membeli rice cooker baru, serta membeli pakaian untuk Sisi. Melihat masih ada waktu, Fikri masuk ke ruang lagi. Di ruang miliknya, bibit pohon ceri yang dibeli dari kebun bibit tersusun rapi di atas tanah, dan ada sepuluh bibit pohon Gaharu harum di sampingnya. Dibandingkan dengan bibit pohon ceri yang lebat, daun bibit pohon Gaharu harum sudah menguning dan gugur, benar-benar terlihat buruk. Fikri bergegas mengambil air dari kolam dan menyiramkannya ke bibit pohon Gaharu harum tersebut. Kemudian, sebuah adegan mengejutkan terjadi. Bibit pohon yang tadinya layu dan hampir mati tiba-tiba menmancarkan cahaya samar-samar, kemudian warna hijau yang indah mulai menjalar dari akarnya dan perlahan-lahan menyebar ke seluruh pohon tersebut! Sepuluh pohon muda yang tadinya sudah mati, tiba-tiba hidup kembali, benar-benar luar biasa! Fikri sangat senang, ia segera mengambil alat dan menggali lubang untuk menanam bibit pohon ceri, kemudian menanam sepuluh pohon Gaharu harum di sudut-sudut lainnya. Setelah selesai menanam, ia mengambil pompa air dan memompa air untuk menyirami tanaman yang ada di depannya! Dalam sekejap, bibit pohon kecil mulai tumbuh dengan cepat, seiring dengan semakin banyaknya air yang disiram, pohon-pohon tersebut tumbuh menjadi sebesar pergelangan tangan! Namun, ketika pertumbuhannya melambat, Fikri tahu bahwa ini adalah batas pertumbuhan untuk sekali panen. Seiring dengan waktu pengembangan dan pemanfaatan ruang, Fikri akhirnyabmemahami aturan dan cara menggunakannya.Fikri menggenggam artefak itu lebih erat. Di tangannya kini bukan hanya sekadar kunci rahasia tapi juga sumber kekuatan yang entah datang dari mana, yang mungkin bisa menjadi penyelamat... atau penghancur. “Kalau begitu,” kata Fikri perlahan, menahan gemetar dalam suaranya, “kau harus melewatiku dulu.” Pria itu tertawa pelan, langkah kakinya bergema di ruang bawah tanah yang dingin dan sunyi. “Itu memang rencanaku sejak awal.” Ia mengangkat tangan, dan dari balik jasnya muncullah senjata kecil dengan cahaya merah berkedip di sisinya—teknologi canggih, jelas bukan milik orang biasa. Tapi sebelum pria itu sempat menekan pelatuk, artefak di tangan Fikri mulai berdenyut. Simbol-simbol di permukaannya menyala lebih terang, dan seketika, cahaya biru menyambar keluar dari benda itu, membentuk semacam pelindung energi yang melingkupi tubuh Fikri. Sinar itu menghantam pria tersebut dan melemparkannya ke dinding dengan keras. Ia jatuh dengan suara dentuman, pingsan seketika. Fikri terd
Fikri duduk di ruang kerjanya, menatap peta yang terhampar di hadapannya. Setiap garis, setiap titik, dan setiap jalur yang ada di sana seolah-olah menyimpan rahasia yang lebih dalam dari yang ia bayangkan. Perjalanan yang baru saja dimulai tampaknya akan mengarah ke arah yang tidak terduga. Sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya, dan lebih berisiko daripada yang ia kira.Di luar, suasana malam semakin gelap, tetapi Fikri tahu bahwa ini bukan waktunya untuk beristirahat. Apalagi setelah lelang yang sukses, dunia yang ia masuki semakin sempit. Semua orang menginginkan sesuatu darinya—dan tak sedikit yang siap menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.Tiba-tiba, teleponnya berdering. Fikri menoleh, melihat nama yang tertera di layar: Asha. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengangkatnya."Asha," kata Fikri, suara serius namun penuh rasa ingin tahu. "Ada apa?"Asha terdengar sedikit cemas. "Kita tidak punya banyak waktu. Mereka mulai bergerak lebih cepat dari yang kita perkirakan
Beberapa hari setelah lelang, Fikri merasa angin perubahan berhembus kencang. Ada sesuatu yang telah ia keluarkan ke dunia, dan meski perasaan puas menyelimuti dirinya karena harga yang ia dapatkan dari lelang tersebut, ia juga tahu bahwa hal itu hanya permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar. Penawarannya berhasil, tetapi harga yang dibayarkan—baik secara finansial maupun psikologis—belum sepenuhnya ia pahami.Di ruang kerjanya, Fikri duduk di depan meja besar yang penuh dengan dokumen dan catatan penting. Pikiran-pikirannya melayang jauh, kembali ke percakapan dengan para pengusaha yang hadir di lelang. Ada yang tampak tertarik, ada juga yang ragu-ragu. Namun satu hal yang pasti, mereka tidak tahu apa yang sebenarnya ia sembunyikan.Chelsea menghubunginya melalui telepon, menyadari kegelisahan di balik keputusan besar yang Fikri buat. "Kamu yakin sudah siap, kan?" tanya Chelsea dengan nada khawatir, meskipun ia tahu Fikri tak akan membiarkan apa pun mengganggu rencananya.Fikri
Keputusan Fikri untuk menanam apel langka itu tidak hanya menarik perhatian ruang ajaibnya, tetapi juga memunculkan pertanyaan yang lebih besar di benaknya: apakah ruang itu benar-benar bisa mengubah nasibnya, atau justru mengarahkannya pada jalan yang tidak bisa ia kendalikan? Apakah dia sudah cukup siap dengan semua yang akan datang?Beberapa hari setelah menanam apel tersebut, Fikri mulai merencanakan langkah selanjutnya. Ia tahu bahwa dunia di luar sana tidak akan membiarkannya tenang, terutama dengan potensi yang tersembunyi dalam ruang ajaib dan kekuatan buah langka yang baru saja ia temukan. Ketika tawaran lelang datang dari sebuah perusahaan besar, Fikri merasa ini adalah kesempatan untuk menguji apakah dunia luar bisa menerima ‘keajaiban’ yang ada dalam hidupnya, atau justru menghancurkannya.Perusahaan itu, Sura AgriCorp, dikenal luas karena kemampuannya dalam meneliti dan mengembangkan produk pertanian eksklusif. Mereka menawarkan lelang khusus yang hanya dihadiri oleh sege
Pertarungan terus berlangsung dalam gelap malam, hanya diterangi oleh cahaya temaram dari lampu teras dan kilatan ponsel yang tak sengaja menyala. Asha dan timnya bekerja cepat dan senyap, seperti bayangan yang menari di antara suara benturan dan teriakan teredam. Fikri tetap menjaga pandangannya pada Raymond, yang meski mulai goyah, tidak kehilangan keangkuhannya. Raymond mundur satu langkah, wajahnya masih tersenyum tetapi matanya mulai mencari jalan keluar. “Kau pikir ini sudah berakhir? Ini baru permulaan, Fikri. Aku bukan orang bodoh yang datang hanya dengan satu rencana.” Tiba-tiba, terdengar ledakan kecil dari sisi timur rumah. Asap putih menyelimuti bagian taman, membuat pandangan terganggu. Asha langsung memberi perintah, “Asap gangguan! Tetap waspada, mereka mungkin membawa senjata!” Benar saja, dua dari lima pengawal Raymond yang semula tumbang, bangkit kembali dan mulai menembakkan peluru karet ke arah Asha dan timnya. Namun Fikri telah mengantisipasi kemungkinan itu. I
Raymond menatap Fikri dengan tatapan tajam, seolah-olah mengetahui setiap langkahnya. Fikri bisa merasakan ketegangan di udara—sebuah ancaman yang tak terucapkan, namun jelas terasa. Semua ini bukan lagi hanya soal anggur atau bisnis. Ini adalah permainan yang lebih besar, yang melibatkan nyawa dan masa depan keluarganya."Kenapa kau datang ke sini, Raymond?" tanya Fikri, suara tenang namun dipenuhi perhitungan.Raymond mengangkat bahu. "Mungkin aku datang untuk mengingatkanmu, atau mungkin aku datang untuk menawarmu sebuah 'kesepakatan'. Aku tahu betul apa yang kau simpan di ruang rahasiamu. Tapi aku juga tahu, kau bukan tipe yang mudah dibujuk.""Kesepakatan?" Fikri mendengus, tidak terpengaruh. "Aku tidak butuh tawaran dari orang seperti kamu."Raymond melangkah lebih dekat, seolah tidak peduli dengan jarak yang ada di antara mereka. "Jangan terlalu percaya diri, Fikri. Kau punya banyak hal yang orang-orang seperti aku inginkan—termasuk informasi tentang ruang itu. Anggurmu bukanla