Share

RF5

Ruby mengangguk pelan. "Mau gimana lagi? Aku nggak mungkin tinggal di sini terus. Tom pasti akan datang ke sini mencariku."

"Kamu tidak mau bertemu dengannya lagi? Ayolah Ruby, katakan ada apa sebenarnya! Mengapa tindakanmu sangat tidak masuk akal begini. Bukankah kalian berdua saling mencintai?" Alena beringsut. Kini dua gadis itu duduk berdampingan.

Ruby mendesah. Sebuah tarikan napas panjang terdengar darinya. "Haruskah aku ceritakan semuanya sekarang? Aku harus segera berkemas." Mata Ruby terpaku pada jam dinding yang berdentang dua kali.

"Kalau kamu tidak mau menceritakan versi lengkap, ceritakan saja versi singkatnya. Setidaknya aku tahu apa yang terjadi padamu dan aku tahu apa yang harus aku lakukan untuk itu." Alena mengusap punggung Ruby. Memberinya kekuatan.

Ruby terdiam. Bibirnya bergerak-gerak, seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun tak sepatah katapun meluncur. Setelahnya, Ruby berpaling. Kedua sahabat itu saling memandang.

"Bolehkah aku bercerita nanti saja, Al? Sungguh aku sendiri masih belum bisa menerima apa yang kualami ini. Rasanya semua impianku itu hancur dalam sekejap." Ruby menekan dadanya. Bulir-bulir air bening meluncur begitu saja dari kedua sudut mata. Suara yang bergetar, seolah memberitahu Alena bahwa apa yang dialami Ruby memang sangat berat.

Tak mau memaksa sahabatnya, Alena menarik napas dalam dan mengangguk. "Baiklah. Kapan pun kau siap untuk bercerita, aku akan selalu ada untukmu."

Ruby mengangguk dan keduanya pun berpelukan. Alena mengusap-usap punggung Ruby, memberinya kekuatan.

Sementara itu, di rumah mewah milik George Smith, Tom sedang bicara serius dengan ayahnya.

"Bagaimana bisa kau membiarkan Ruby pergi begitu saja, Tom? Betapa sangat cerobohnya kamu! Aku tidak mau tahu, kau harus bisa menemukan Ruby secepat mungkin. Kalau tidak, perjanjian kita batal. Semua aset yang tadinya akan aku serahkan padamu, kuserahkan pada Clara dan Sarah." George memberi ultimatum yang membuat jantung Tom seperti melompat dari tempatnya.

"Jangan begitu, Pa. Tolong beri aku waktu! Aku pasti bisa menemukannya," jawab Tom memelas. Keringat dingin mengalir dari pori-pori di dahi. Menghadapi sang ayah, Tom seperti anak kecil saja. Tak mampu melawan.

George bangkit dan berjalan menuju jendela. Dipandanginya bukit Halley dari kejauhan. Sekilas terbayang peristiwa belasan tahun yang lalu dibenaknya. Peristiwa yang menyebabkannya hampir gila karena terus dihantui sesal.

"Aku hanya bisa memberimu waktu enam bulan saja. Lebih dari itu semua keputusanku tidak lagi bisa diganggu-gugat. Jangan salahkan aku jika kuserahkan semua aset pada dua saudara perempuanmu itu. Sebab …." George berkata dengan nada dingin.

"Tapi mereka itu kan …," sergah Tom.

George berpaling dan menatap Tom tajam. Membungkam mulut Tom.

"Jangan beralasan! Katakan, apakah kau bisa menemukan Ruby dan menikahinya?" 

Tom menunduk. Bahunya luruh. Lelaki tampan itu tampak tak bertenaga.

"Baiklah, Ayah. Aku akan menemukannya," ujar Tom lirih.

"Ingat, temukan Ruby dalam enam bulan dan buat dia bertekuk lutut padamu, bukan hanya sekedar sayang. Setelahnya, kau akan memiliki semua aset perusahaan yang aku janjikan." 

George berbalik dan melangkah menuju pintu, akan keluar ruangan. Namun sebelum membuka pintu dan keluar, George kembali berkata dengan nada mengancam. 

"Enam bulan atau tidak sama sekali!"

Tom mengacak rambutnya kasar.

"RUBY, DIMANA KAU?" teriaknya gusar.

Beberapa detik setelah berteriak, Tom tiba-tiba terdiam. Mata lelaki itu terbelalak setelah ia mengingat sesuatu.

Tom berdiri dan menyambar kunci mobil.

"Ruby pasti ke apartemennya," gumam Tom sambil berlari.

***

Peristiwa kaburnya Ruby di hari pertunangannya dengan Tom menjadi topik hangat di televisi. Saluran manapun yang dipilih, semuanya membahas periatiwa itu, seolah Ruby adalah selebriti yang beritanya pantas menjadi trending topik.

Awalnya Ruby tidak mengetahui hal itu, sebab dia terlalu sibuk membereskan barang-barang dan mengatur kepergiannya dari apartemen. Akan tetapi suara Alena yang berteriak mengejutkannya.

"Kurasa kau benar, Ruby. Mungkin Tom akan segera ke sini. Lihatlah itu! Bukankah itu berita tentang pertunanganmu dengan Tom?" Alena menunjuk televisi yang sedang menyiarkan berita tentang Ruby dari tempat kejadian.

Ruby melirik ke arah televisi. Akan tetapi gadis itu hanya mengangkat bahu, seolah tidak peduli dengan pemberitaan itu.

"Daripada kau hanya duduk di situ dan menonton tivi, akan lebih menyenangkan kalau kau mau membantuku, Al. Meski barang-barangku tidak terlalu banyak, tapi aku butuh bantuanmu karena aku sedang terburu-buru," tukas Ruby. Ia berbicara sambil mondar-mandir di sekitar Alena.

Alena memandangi Ruby dan tersenyum canggung. "Ma-maaf, Rub. Oke, aku akan membantumu."

Ruby yang sedang menunduk sambil memasukkan sweater ke dalam koper, tersenyum dan mengangguk.

Alena mendekat. "Apa yang bisa kubantu, Rub?"

"Sebetulnya tidak banyak lagi yang harus dikerjakan, mengingat barang-barangku juga tidak banyak." Ruby berlari ke kamar dan mengambil beberapa pasang sepatu, lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik sebelum ia letakkan di dalam koper.

"Tolong pesankan tiket pesawat untukku, Al."

"Hah? Tiket pesawat? Memangnya kau mau kemana?" Alena terbelalak. Seketika gerakan tangannya yang sedang mengunci koper Ruby, terhenti.

"Hampton."

"Kenapa? Ada apa di sana?"

Ruby mendengkus. "Tolong pesankan saja, okey? Aku butuh bantuan, bukan butuh protesmu!"

Alena menarik napas panjang. Merasa menyesal telah menanyakan hal yang mungkin sensitif bagi Ruby saat itu.

Ponsel Ruby berdering. Nama Tom tertera di layarnya.

"RUBY! TOM MENELPON!" teriak Alena. 

Ruby yang saat itu sedang berada di kamar mandi, buru-buru keluar dan menyambar ponsel yang ia letakkan di atas meja ruang tamu. 

Tanpa banyak bicara, Ruby mematikan ponselnya lalu menghembuskan napas.

"Kau lupa ya?" tanya Alena sambil terkekeh.

Ruby tidak menjawab. Ia duduk begitu saja di lantai di sebelah Alena. Jantungnya berdebar kencang. Kemudian ditekuknya kedua lutut ke atas, setelahnya kedua tangan Ruby memeluk lutut.

Alena menepuk pundak Ruby.

"Rub, kurasa kita memesan tiket pesawat di dalam taksi saja. Kalau firasatku benar, sebentar lagi Tom akan sampai di sini."

Ruby terkesiap. Ia tersadar dan melihat ke jam dinding. 

Sementara itu, mobil Tom sudah berada di persimpangan terakhir sebelum sampai apartemen Ruby. 

Tom terus berusaha menelpon Ruby. Akan tetapi, hanya suara tut panjang yang terdengar.

Lampu merah telah berganti hijau. Tom menekan pedal gas kuat-kuat. Laju mobilnya begitu cepat menyalip beberapa mobil yang ada di hadapannya.

"Kau tidak bisa kabur lagi, Ruby! Aku pasti akan menemukanmu!" geram Tom sambil mengerem. Ia kini telah sampai di depan apartemen Ruby.

Tom bergegas keluar mobil dan berlari menaiki tangga. Dibukanya pintu masuk apartemen dengan tergesa-gesa. Lalu ia berlari menaiki tangga menuju lantai tiga secepat mungkin.

"Aku datang, Ruby," gumam Tom dengan senyum terangkai di bibirnya. Pria itu sudah sampai di depan pintu. Dari dalam ruangan, terdengar suara-suara bising.

"Baiklah, Ruby. Aku akan memberimu kejutan," ujar Tom sambil membuka pintu itu dengan tiba-tiba.

Dua kepala menoleh dan terkejut begitu mereka melihat Tom.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status