ログインAthena mencoba menegakkan tubuhnya, meski lututnya nyaris tak sanggup menopang. Nafasnya sesak. Seluruh tubuhnya bergetar, tapi ia memaksa untuk tetap berdiri. Mata sayunya menatap dua orang di hadapannya, Max dan Celine. Dua sosok yang menatapnya penuh benci.
Tatapan mereka bukan sekadar dingin, tapi mematikan. Seolah-olah Athena bukan manusia, hanya alat yang bisa dipakai, dipatahkan, dan dibuang kapan pun mereka mau. Tak ada belas kasih. Tak ada celah untuk menolak. Bibir Athena bergetar, jemarinya mengepal kuat menahan gemetar yang semakin menjadi. Ia gigit bibirnya, berharap rasa sakit itu bisa mengalihkan hatinya yang sedang hancur. Ia ingin diam. Ia ingin menolak. Tapi itu tak mudah. “Aku … aku.” Suara Athena bergetar. “Aku bersedia.” Suara itu lirih. Patah. Dan penuh luka. Sesaat setelah kata-kata itu meluncur dari bibirnya, air mata Athena jatuh dalam diam namun dalam. Tubuhnya goyah, tapi ia tak jatuh. Karena jika ia jatuh, maka semuanya benar-benar berakhir. Celine tersenyum puas, melirik Max dengan tatapan penuh kemenangan. Max hanya menunduk sebentar, lalu menatap Athena tapi bukan dengan iba, tapi penuh penghakiman. “Bagus,” ujar Celine dengan nada meremehkan. “Akhirnya kau tahu tempatmu.” Athena memejamkan mata, dadanya terasa seperti dirobek dari dalam. Menjadi rahim pengganti. Mengandung anaknya sendiri. Tapi tak bisa mengakuinya. Tak bisa memeluk, tak bisa menyentuh, bahkan tak bisa mengatakan bahwa itu darah dagingnya. Takdir ini jauh lebih kejam dari kematian. Tubuhnya mungkin masih hidup. Tapi jiwanya sudah dikubur dalam neraka buatan Max dan Celine. Malam itu, Athena kembali ke paviliun belakang di mana tempat sunyi yang menjadi penjaranya sendiri. Tubuhnya terkulai di sisi tempat tidur, lututnya jatuh lemah ke lantai marmer yang dingin. Ia diam, membatu namun perlahan, punggungnya mulai bergetar. Dan tangis itu pun pecah. Tersedu. Tertahan. Tersayat. Tangis yang tak ada yang mendengar dan tak ada yang peduli. Dalam ruang sepi itu, Athena meluapkan semua luka, semua rasa hancur yang menyesaki dadanya. Hingga malam larut dan akhirnya ia tertidur dengan air mata yang belum sempat mengering. Keesokan Paginya. Athena membuka mata perlahan. Pandangannya buram, bola matanya merah dan bengkak. Ia terduduk di ranjang, membiarkan tubuhnya bersandar pada sandaran kayu, memandangi keluar jendela dengan tatapan kosong. Norah masuk dengan langkah hati-hati. “Anda sudah bangun, Nyonya.” Athena hanya melirik. Hatinya sudah lelah untuk menjawab dengan antusias. “Maaf jika mengganggu,” lanjut Norah. “Tuan Max memberikan perintah agar Anda menjalani pemeriksaan kesehatan lengkap hari ini, terutama pemeriksaan rahim Anda, sebagai calon penerus keluarga Gregory.” Athena terdiam. Hatinya mencelos mendengar kata “rahim” bukan karena takut, tapi karena merasa diinjak. “Aku bersih,” gumamnya pelan. “Tidak pernah disentuh siapa pun. Tapi tetap saja, dia menganggapku kotor.” Norah menunduk, tak berani menyahut. “Aku akan pergi,” lanjut Athena lemah. Norah mencoba tersenyum lembut. “Setelah itu, sarapan pagi sudah disiapkan.” Athena hanya mengangguk kecil, lalu Norah pun pergi meninggalkannya sendiri. Tak lama setelahnya, Athena turun ke ruang makan. Meja panjang dengan taplak putih itu kosong dan sepi, seperti hatinya. Hanya satu kursi yang terisi, dan satu piring makanan yang tak disentuh. “Duduklah. Temani aku makan,” ujar Athena tanpa menoleh. Norah, yang berdiri tak jauh, terlihat gelisah. “Maaf, Nyonya. Rasanya saya tidak pantas.” Athena mengembuskan napas keras. Ia hanya menatap makanannya sebentar, lalu mendorong piring itu menjauh. Nafsu makannya menguap entah ke mana. Ia berdiri, melangkah pergi tanpa sepatah kata pun. Di rumah sakit, Athena menjalani serangkaian pemeriksaan. Dari darah, tekanan darah, hingga USG rahim. Dokter mengangguk puas. “Kondisi Anda sangat baik, Nyonya. Rahim sehat, subur. Sangat ideal.” Kata-kata itu menusuknya. Ideal untuk siapa? Untuk mereka? Untuk rencana keji mereka? pikirnya pahit. Saat menunggu hasil akhir, Athena duduk di bangku koridor rumah sakit. Di seberangnya, seorang ibu hamil besar sedang memegangi perutnya. Wanita itu berusaha berdiri, namun tampak kesulitan. Tanpa pikir panjang, Athena segera berdiri dan membantunya. “Terima kasih, Nona,” ucap wanita itu dengan senyum lelah. “Saya antar sampai depan,” kata Athena pelan. “Boleh. Maaf merepotkan.” Wanita itu tersenyum ramah. Athena hanya mengangguk. Mereka berjalan beriringan menyusuri koridor. Ada sesuatu yang hening namun hangat dalam momen itu. Saat melihat perut wanita itu, hati Athena berdesir bukan karena iri, tapi karena kesadaran yang menohok. Dia akan merasakannya juga tapi bukan sebagai ibu. Sesampainya di pintu keluar, Athena berhenti. “Hati-hati di jalan,” ucapnya. Wanita itu tersenyum, lalu mengambil sesuatu dari tas kecilnya. Sebuah buku mungil dengan sampul bergambar siluet ibu dan anak. “Simpanlah,” katanya sambil menyerahkan buku itu ke tangan Athena. “Siapa tahu akan berguna nanti.” Athena ingin menolak, tapi tatapan teduh wanita itu membuatnya tak tega. Ia pun menerima buku itu dan mengangguk pelan. “Terima kasih.” Wanita itu melangkah pergi. Athena masih berdiri mematung, menatap buku di tangannya. Sebelum sempat membuka, suara klakson dari mobil jemputan membuyarkan pikirannya. Ia pun melangkah, kembali masuk ke dalam mobil. Tapi jauh di dalam hati, sesuatu terasa mengendap. Buku kecil itu, entah bagaimana, terasa penting. Seperti isyarat atau peringatan. Max tak menunda rencananya, dan malam ini telah dipersiapkan. “Ini semua sudah disiapkan oleh Tuan Max untuk Anda kenakan malam ini, Nyonya,” ujar Norah pelan, meletakkan sebuah gaun sutra hitam berpotongan anggun di atas ranjang. Athena hanya menaikkan satu alis, memandangi gaun itu tanpa berkata apa-apa. Jemarinya menyentuh kainnya sebentar, lalu menarik napas dalam-dalam. Pikirannya kosong. Atau mungkin terlalu penuh. Tak lama kemudian, ia berdiri di depan cermin, membiarkan Norah membantu menyematkan kancing dan merapikan rambutnya. Tak ada perlawanan, tak ada protes. Ia seperti tubuh tanpa jiwa. Di ruangan lain. Max duduk di kursi besar berbalut kulit, kakinya disilangkan lebar, kedua tangan bertumpu pada sandaran, wajahnya gelap namun tenang. Ada sesuatu yang mengendap dalam tatapannya, murka yang tak lagi membakar, tapi membeku. Dingin. Kejam. Lalu, suara ketukan heels itu terdengar. Pelan. Mengusik. Mengisi ruang dengan ketegangan yang menyesakkan. Athena melangkah masuk. Max mengangkat wajahnya. Dan pandangannya tak beranjak sedetik pun darinya. Athena berdiri diam. Wajahnya tanpa ekspresi. Hanya matanya yang memancarkan sisa-sisa luka dan ketakutan yang terbungkus rapat. Max bersandar ke depan, tangan kini bertaut di depan dagu. Tatapannya mengunci Athena seperti mangsa. Lalu, dengan suara pelan namun menohok. “Mulai malam ini kau akan menjadi milikku. Sepenuhnya. Dan dari rahimmu akan lahir anak untuk istri tercintaku, Celine.” Athena memejamkan mata, bibirnya bergetar.Athena berjinjit, jemarinya mencengkeram kerah jas Max seolah takut momen itu lenyap jika ia melepasnya. Bibirnya akhirnya menyentuh bibir pria itu, pelan, ragu, namun sarat emosi yang lama terpendam. Ada getar halus di dadanya, campuran lega, haru, dan keyakinan bahwa apa yang selama ini ia impikan akhirnya terwujud.“Aku mau, Max,” bisiknya lirih setelah mereka saling melepaskan diri, napasnya belum sepenuhnya teratur. “Kita bisa memulai semuanya dari awal.”Max tersenyum tipis, tangannya terangkat menahan tengkuk Athena, lalu ia menyatukan dahi mereka. Jarak sedekat ini membuat Athena bisa merasakan napas hangat Max, juga ketenangan yang selama ini jarang ia dapatkan darinya.“Syukurlah,” jawab Max pelan namun mantap. “Kita pasti bisa melakukan ini.”Kata-kata itu sederhana, namun bagi Athena terasa seperti janji yang lama ia tunggu. Setelah drama panjang rumah tangga mereka, pengkhianatan, luka masa lalu, dan berbagai insiden yang hampir menghancurkan mereka sepenuhnya, akhirn
“Apa yang terjadi dengan bayi kita?” Max seketika ikut memegangi perut Athena.Sejenak Athena terdiam, bukan karena sikap Max yang memegangi perutnya. Tapi lebih pada perkataan pria itu, bayi kita. Ya, ia tak salah dengar kalau Max mengatakan hal itu. Biasanya pria itu selalu menyebut bayi milikku dan tak pernah menganggap Athena sedikit pun, tapi kini berbeda.Athena tersenyum dan menggeleng, “bayi kita baik-baik saja.”“Lalu kenapa kau memegangi perutmu? Jika tidak nyaman kita bisa ke rumah sakit,” kata Max kini mulai menunjukkan perhatiannya.Athena menggeleng, dan melebarkan senyumnya. “Aku lapar, aku malu jika kau mendengarnya maka aku memegangi perutku.”Max terdiam, ia pun ikut tersenyum.“Kalau begitu ayo kita makan, maaf membuat kalian menunggu lama,” ajak Max mengulurkan tangannya.Athena dengan senang hati menyambut tangan Max, ia tersenyum tipis dan berjalan mengikuti suaminya itu. Begitu sampai, Max menarik kursi supaya Athena duduk dengan nyaman. “Ini untukmu,”
Semenara itu, Hudson dikurung di ruang bawah tanah keluarga Gregory. Ia tak bisa menghubungi siapa pun karena semua telah disita, ia mengumpat dan memaki Max dengan penuh emosi yang mendalam.“Apa yang terjadi?” tanya Celine yang menemui Hudson dengan alasan mengantar makanan.“Ini ulah Max sialan itu, dia sudah tahu tentang proyek kota Zora. Padahal kita sudah berhati-hati dalam melakukan hal ini, tapi bisa bocor,” seru Hudson memukul jeruji besi di depannya.“Lalu apa yang harus kita lakukan? Mungkin setelah ini target Max adalah aku,” jawab Celine sedikit takut.Celine tampak gelisah, padahal ia baru saja bersepakat dengan Athena tapi Max bertindak jauh di depan mereka. “Mungkin ada yang berkhianat,” ujar Celine berpikir.“Mungkin, tapi siapa. Semua orang yang tahu tentang hal ini adalah orang kepercayaanku, tidak mungkin,” sahut Hudson sangat yakin.Celine terus berpikir, “apa mungkin Emery? Bukankah dia menyusup masuk ruang kerjamu, bisa jadi dia menukar segala buktinya.
Hudson membeku, keadaan ini di luar dari kendali dan prediksinya. Seharusnya baru ketahuan setelah proyek kota Zora selesai, sehingga Max akan kehilangan kepercayaan dari dewan direksi dan mencopot posisi CEO. Tapi kenapa keadaan kini berbalik, disaat rencananya hampir usai malah semua terbongkar.“Polisi akan menjemputmu besok!” perintah Max membuat suasana kembali gaduh.Banyak yang protes kenapa harus ditunda, dan Max mengangka tangannya tuk memberi isyarat supaya semua diam.Hudson tersenyum tipis, ia tahu Max pasti tak akan tega padanya. Apalagi hubungan mereka cukup dekat sejak kecil, apalagi saat orang tuan Max tiada.“Kita keluarga, aku tahu kau pasti mempertimbangkan hal itu,” kata Hudson penuh percaya diri tinggi.Max pun tertawa, “Paman mengira aku masih anak kecil yang masih bisa dikendalikan? Kau salah besar!”“Apa maksudmu?” Hudson masih menebak-nebak.“Sebagai hukuman, Hudson akan diberhentikan dari perusahaan tanpa gaji atau tunjangan sedikit pun. Dia juga harus
“Beri aku waktu untuk memikirkannya.”Athena masih belum bisa memutuskan hal itu, dan lagi ia masih memiliki tanggungan tugas dari Rosetta yang harus ia selesaikan sebelum melahirkan.“Baiklah, aku bisa menunggu tapi jangan terlalu lama,” kata Celine pun beranjak dan mengambil tas mahalnya lalu melenggang pergi.Pintu tertutup, Athena berembus pelan dan bersandar. Tawaran Celine memang menggiurkan, ia juga penasaran tentang berkas yang berisi tentang keluarga Harrington. Ia memang sudah dekat dengan Max, tapi belum memiliki kepercayaan penuh atas pria itu.“Sungguh memusingkan,” keluh Athena yang merasa semua menjadi lebih rumit.Norah masuk dan meliat Athena sedang memejamkan mata. Tentu saja ia khawatir dan bertanya dengan pelan.“Nyonya, Anda baik-baik saja? Perlu saya ambilkan sesuatu?”“Aku tidak apa-apa, hanya sedikit lelah saja,” kata Athena pelan, “setelah ini rapat dan pekerjaan lainnya kau tunda dulu untuk sementara.”“Baik, Nyonya,” jawab Norah pun pergi.Begitu sa
Max masih terdiam, ia masih enggan menjawab. Lalu mobil berhenti di lobi perusahaan Harrington, dan pembicaraan mereka terpotong.“Lebih baik kau masuk,” minta Max.“Baiklah, sampai jumpa nanti malam.” Athena mencium pipi Max sebelum pergi.Athena keluar saat Norah membuka pintu untuknya, mobil Max mulai meninggalkan tempat. Dalam perjalanan, ia berpikir tentang ucapan Athena tadi, apa ia harus melakukan hal itu?“Tuan,” panggil Elio pelan.“Katakan,” minta Max singkat.“Apa Anda sedang mempertimbangkan perkataan Nyonya?” tanya Elio pelan, ia sangat tahu keadaan Max dulu hingga sekarang.“Aku tidak tahu, aku masih bingung harus berbuat apa padanya.” Max bersandar, perasaannya mulai goyah.“Saya tahu masa lalu kalian cukup kelam, banyak kebencian dan pertumpahan darah. Rasanya memang belum tuntas saja kalau masih belum saling balas, hanya saja kini terasa berbeda saja.”“Apa maksudmu?” tanya Max.“Ucapan Nyonya tadi, itu solusi yang cukup baik mengingat Nyonya sendiri mencint







