LOGIN“Datanglah padaku, Athena.”
Suara Max terdengar dalam, berat, dan dingin. Bukan panggilan biasa tapi perintah. Athena berdiri di ambang kamar dengan jubah tidur tipis berwarna merah anggur yang menempel sempurna di lekuk tubuhnya. Kain itu seolah sengaja dirancang untuk menyiksa imajinasi siapa pun yang melihatnya dan Max tahu persis mengapa ia memilihnya. Langkah Athena terdengar ringan di atas lantai marmer. Pelan, anggun, namun penuh beban. Dia berdiri di hadapan Max, memandangi pria itu dengan tatapan dingin. “Kau pasti sangat menantikan malam ini.” Max menyeringai kecil, menyapu tubuh Athena dari kepala hingga ujung kaki. “Malam pengantin kita.” Athena menatapnya tajam. “Dulu mungkin iya,” katanya pelan, “tapi tidak untuk sekarang.” Senyum Max langsung pudar. Emosinya memuncak dalam hitungan detik. Ia berdiri cepat dan mencengkeram leher Athena dengan satu tangan kuat, mendekatkan wajah mereka sedekat napas. “Jika bukan karena Celine,” bisiknya tajam, “aku tidak akan sudi menyentuh tubuhmu. Bahkan sekadar memandangmu saja sudah membuatku muak.” Kilatan amarah menyala di mata Max. Tapi bukan Max saja yang terbakar. Tatapan Athena justru semakin tajam. Lehernya masih dicekik, tapi sorot matanya tak goyah sedikit pun. Seolah memancing Max. “Bukan karena kau tidak sudi menyentuhku, Max,” ucapnya dengan suara tertahan, “tapi karena kau takut ... takut jatuh hati padaku.” Max melepaskan cengkeramannya dengan kasar, membuat Athena terdorong dan terhuyung. Ia tersedak, menarik napas dalam-dalam, sisa cekikan masih terasa menyiksa. “Kau sungguh percaya diri aku bisa mencintaimu,” Max tertawa miring, sinis. “Itu tidak akan pernah terjadi. Sampai mati pun hatiku hanya milik Celine.” Max membuka kancing kemeja hitamnya satu per satu. Setiap gerakannya begitu tenang namun penuh ledakan emosi yang ditahan. Saat kemejanya jatuh ke lantai, tampak jelas tubuhnya yang memancarkan pesona sempurna mulai dari bahu lebar, otot tegas, dan kulit yang berkilau dalam cahaya temaram. Tapi bukan hanya tubuhnya yang berbahaya tapi tatapan matanya lebih dari itu. Athena diam, mencoba tak terpengaruh. Tapi detak jantungnya berdebar tak terkendali. Max sungguh membuatnya gila dan benci secara bersamaan. Max duduk di atas ranjang, menyandarkan tubuh dengan santai, bertumpu pada satu tangan di belakang kepala. Tatapannya menusuk ke arah Athena seperti predator. “Bukankah kau penuh percaya diri, Athena?” suaranya rendah dan menghina. “Kalau memang sehebat itu godalah aku.” Dia menyeringai penuh tantangan. “Buat aku mau menyentuhmu.” Athena mengepalkan tangan pelan. Ini bukan sekadar malam pengantin biasa, ini takdir paling kejam yang harus dia lalui seorang diri. Jantungnya berdentam hebat di dada. Dan ia tahu, malam ini bukan tentang cinta. Bukan tentang keintiman. Ini adalah siksaan yang dibungkus kemewahan yang abadi. Sebuah permainan kekuasaan yang menyamar dalam ritual suami istri. Max masih di tempat tidur, menyandarkan tubuhnya dengan santai namun mengintimidasi. Tatapannya menuntut, dingin, dan kejam. "Apa yang kau tunggu?" gumam Max. "Kau ingin aku menyentuhmu? Buktikan bahwa kau pantas untuk disentuh." Athena menggigit bibirnya, menahan amarah dan malu yang bersatu. Ia melangkah pelan, satu demi satu, mendekat ke ranjang. Ia tahu ini adalah bagian dari rencana Max untuk membuatnya tunduk, menyerah, remuk. Namun Athena tak ingin kehilangan dirinya sendiri. Ia berdiri tepat di hadapan Max, kemudian perlahan menaikkan lutut ke ranjang, mengatur napas agar tetap tenang. Max menatapnya tajam, memperhatikan setiap gerakannya. "Jangan pura-pura kuat, Athena. Aku bisa mencium ketakutanmu dari jauh," ujar Max sinis. "Aku memang takut," jawab Athena lirih, menatap mata pria itu tanpa gentar. "Tapi rasa takutku tidak sebesar kebencianku padamu." Max mendengus, tapi tidak berkata apa-apa. Ia menarik tangan Athena kasar, membuat tubuh wanita itu terjatuh di atasnya. Napas mereka beradu. Keduanya menahan diri, bukan karena rindu tapi karena emosi yang bertabrakan. Athena berusaha menjauh, tapi tangan Max melingkar di pinggangnya, menahan. "Tidak bisa kabur," gumam Max. "Belum saatnya." Lalu, ia membalikkan posisi Athena hingga tubuh wanita itu berada di bawahnya. Mata mereka bertemu dan terlihat panas, tapi bukan kehangatan. Ini adalah api dendam dan luka yang dipaksa menyatu bersamaan. "Aku akan mengukir malam ini dalam ingatanmu," bisik Max di telinga Athena, suaranya serak dan beracun. "Kau akan mengingat setiap inci rasa sakit yang kuberikan. Dan ketika anak itu tumbuh, kau akan melihat wajahku di dalam dirinya. Itu akan menjadi siksaan abadi seumur hidupmu." Athena memejamkan mata. Air mata jatuh tanpa suara. Tapi dia tak meronta. "Aku tidak takut padamu, Max," bisiknya. "Aku takut pada diriku sendiri karena bahkan dalam kebencian ini, aku masih mencintaimu." Max terdiam. Kalimat itu menusuk jauh lebih dalam dari teriakan atau tangisan. Tapi alih-alih melembut, ia justru mencengkeram pipi Athena, menunduk menatap wajah wanita itu. "Kalau begitu, biarkan aku menghapus perasaan tidak berguna itu malam ini." Dan malam pun menjadi saksi dari kekejaman yang dibungkus dengan janji manis. Bukan pelukan, bukan belaian, tapi luka. Luka yang diciptakan bukan untuk sembuh melainkan untuk mengingat. Max duduk di balkon, menyandarkan tubuhnya di kursi menghadap kamar. Bara rokoknya yang menyala perlahan, mengiringi pikirannya yang berkecamuk. Asap tipis mengepul dari sela bibirnya saat ia menyesap rokok itu lagi. Mata tajamnya tak lepas menatap ke arah kamar, lebih tepatnya pada sosok di balik selimut tebal. Athena. Masih terlelap, dengan napas teratur dan tubuh mungilnya menggulung seperti mencoba melindungi diri dari dunia yang telah terlalu kejam. Max menyeringai miring. “Pantas saja dia begitu percaya diri, ternyata dia memang mampu membuatku kehilangan kendali.” Ia mengembuskan napas panjang, seolah baru menyadari bahwa tubuhnya masih menegang, bahkan setelah semuanya selesai. Rasa panas yang menguasainya tadi bukan sekadar amarah tapi ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang jauh lebih berbahaya yaitu keraguan. Tangannya menggenggam rokok itu lebih kuat.Beberapa menit yang terasa seperti jam berlalu. Akhirnya, anak buah Celine melumpuhkan penjaga di depan. Mereka tetap keras kepala, dan terpaksa Celine melakukan hal kejam pada mereka. Di dalam kamar, alat-alat medis berdengung pelan. Hans terbaring di ranjang, wajahnya pucat tertutup selimut, mesin pemantau berdetak monoton. Begitu pintu terbuka, Celine melangkah cepat, senyum sinisnya terkembang saat melihat Hans. “Astaga, lihatlah. Si tua Harrington masih bernapas. Betapa mengharukannya, harusnya dia sudah berada di liang kubur menyusul istrinya,” katanya dengan nada palsu. Ia berjalan mendekat, menatap wajah Hans seperti menilai sebuah trofi.Athena yang baru datang langsung bergegas begitu melihat penjaga di depan kamar babak belur, napasnya tersengal saat sampai. “Kenapa kau di sini? Jangan ganggu papaku!” suaranya pecah, setengah memohon, setengah berteriak. Ia meraih tangan Hans, menekannya lembut.Celine mencondongkan badan, menatap tajam ke arah Athena. “Athena,” suara
Athena berdiri bersandar di dinding dekat pintu ruang rawat, menatap layar ponselnya dengan tenang. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kegelisahan, bahkan terlihat santai seolah tidak terjadi apa-apa di dalam sana.Pintu ruang rawat terbuka keras. Celine keluar dengan wajah merah padam, matanya masih memerah karena amarah yang belum reda. Ia berhenti sejenak saat melihat Athena di depannya, wanita yang paling ingin ia bunuh saat ini.Aroma antiseptik bercampur wangi parfum mahal mengisi udara di antara mereka, dua perempuan yang saling menatap tanpa kata, namun tensi di udara cukup untuk membuat perawat yang lewat segera menunduk dan mempercepat langkah.Akhirnya Athena tersenyum tipis, nada suaranya lembut namun penuh sindiran.“Oh, Celine, akhirnya kau pulang juga,” sapanya santai, menatap Celine dengan tatapan ringan seolah pertemuan ini hanya kebetulan biasa.Celine memutar tubuhnya menghadap Athena sepenuhnya, suaranya tajam seperti pisau.“Kau semakin tidak tahu diri,
Suara bentakan keras menggema di dalam rumah besar milik keluarga Hudson. Emery menatap suaminya dengan amarah yang menyalak di matanya, sementara Hudson berdiri di hadapannya dengan wajah merah padam karena murka.“Keparat kau, Hudson! Cepat lepaskan aku!” Emery mengentakkan kakinya, meronta dari genggaman pria itu. Tangannya yang halus berusaha melepaskan diri, tapi Hudson jauh lebih kuat.“Diam, Emery!” bentak Hudson, menarik paksa pergelangan tangannya lalu mendorongnya ke dalam gudang tua di ujung lorong. “Aku sudah muak dengan sikapmu yang selalu ikut campur urusanku!”Emery menatapnya tajam, dadanya naik turun karena menahan amarah. “Aku ikut campur karena kau sudah terlalu gila, Hudson! Kau pikir aku tidak tahu rencanamu yang kotor itu? Semua orang tahu kau hanya ingin menjatuhkan Max!”Hudson mencengkeram dagu istrinya dengan keras hingga Emery meringis. “Jaga bicaramu,” desisnya pelan namun berbahaya. “Jika kau bertingkah lagi, keluargamu akan tamat.”Emery menatapnya t
Athena merapikan bajunya, sesekali melirik Max yang masih bertelanjang dada dengan santai. Seolah pergulatan panas di antara mereka tadi hanya hal biasa, bahkan dengan enaknya menyesap whiskey padahal masih sakit. Begitu selesai, Athena langsung merebut gelas Max. Pria itu melotot seketika menatap Athena. “Kembalikan!” perintah Max tanpa pengecualian. “Kau belum sembuh, hindari dulu minuman seperti ini. Tunggu kau sembuh seperti sedia kala,” minta Athena yang juga merupakan perintah. “Aku sudah sembuh,” sahut Max asal. “Buktinya kau mendesah paling semangat tadi, bahkan meminta lagi ... lagi. Ternyata kau lumayan liar juga.” Pipi merah Athena mulai bermunculan, ia memegang kedua pipinya yang terasa panas jika mengingat kejadian panas tadi. Gila saja, mereka bercinta dengan panas di Rumah sakit. “Kau ... kau yang menggodaku lebih dulu,” sangkal Athena malu saja. Max tersenyum tipis, “kau terlihat seperti rubah licik yang penggoda.” Athena beranjak, ia lebih memil
Hudson yang emosi pun mencekik leher Athena, ia paling benci wanita sombong dan suka merendahkan dirinya. Seolah wanita itu selalu di atas dan bisa mengendalikan situasi, padahal mereka bukanlah apa-apa kalau tanpa ada laki-laki. Athena terkejut, namun berusaha menahan diri dengan baik. Perlakuan ini sudah biasa ia rasakan dulu saat bersama Max, hanya saja Hudson tak sekasar Max. “Kau semakin tidak tahu diri, Athena!” seru Hudson mendorong Athena hingga membentur dinding. “Bukankah hal itu juga berlaku untukmu, paman Hudson?” sindir Athena halus, seolah perlakuan kasar ini tak ada apa-apanya. “Jangan karena sekarang Max menginginkanmu, kau berlagak berkuasa. Itu hanya sementara, Celine tetaplah istri pertama dan diakui oleh semua orang,” sahut Hudson menyeringai. “Pantas saja terus membela Celine,” seringainya tipis, menahan lehernya yang sakit, “aku sepertinya mencium bau bangkai yang sudah lama ditutupi dengan rapat.” “Apa kau juga menciumnya, Paman?!” Athena sengaj
Menanggapi godaan Max, tentu saja Athena dengan senang hati mengalungkan tangannya dengan manja. Senyuman semanis madu ia ciptakan, hingga membuat suaminya enggan berpaling.“Ternyata aku juga bisa kau rindukan, padahal aku kira kau hanya merindukan istri tercintamu,” sindir Athena tanpa ragu.Max tersenyum tipis, “mulutmu memang tajam.”“Kalau tidak tajam, bagaimana aku bisa menghadapimu selama ini?!” ujar Athena santai, seolah Max sudah tak seperti dulu.Athena mencium bibir Max sekilas, lalu tersenyum, “jadi, apa sekarang kau mulai sadar kalau hanya aku yang tulus mencintaimu?!”“Hmm.” Max tampak berpikir, “bisa dikatakan seperti itu, tapi tetap saja tidak mengubah apa pun.”“Tidak masalah, setidaknya kau tahu bahwa cinta tulus dan ikhlas itu sangat jarang terjadi. Dan sekarang kau memilikinya, yaitu aku,” kata Athena begitu percaya diri, mulutnya begitu pandai merangkai kata.Tulus ... ikhlas.Itu memang dulu Athena rasakan pada Max, namun entahlah rasa itu masih ada atau







