Langkah Max tergesa menembus lorong rumah sakit. Wajahnya tegang, mata merah menahan emosi yang bergolak seperti badai. Bau antiseptik menusuk hidungnya, menyayat seperti kenyataan yang tak bisa ditolak.Pintu kamar rawat terbuka perlahan. Di sana, Celine terbaring lemah dengan infus di tangan dan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya pucat, matanya sembab. Saat pandangan mereka bertemu, air mata langsung mengalir di pipi wanita itu.“Max, anak kita ... dia ... dia pergi, Max,” isaknya terputus-putus. “Aku tidak bisa menjaganya, aku ... aku gagal.”Max langsung memeluknya erat, mendekap Celine seolah jika ia cukup kuat, ia bisa mengembalikan waktu. “Jangan katakan itu, ini bukan salahmu ... bukan.”Tapi ia sendiri tak tahu kepada siapa kata-kata itu ditujukan. Pada Celine? Atau pada dirinya sendiri?Tangis Celine pecah di dadanya, mengguncang tubuh yang seharusnya ia lindungi dengan seluruh jiwanya. Max menutup mata rapat, berusaha menahan air matanya, tapi gagal.“Kita sudah menu
Terakhir Diperbarui : 2025-07-22 Baca selengkapnya