“Hei! Kamu mengacaukan toko saya. Ganti rugi!”
“Saya bisa merapikannya tanpa perlu ganti rugi. Kayaknya gak ada yang rusak,” tolak Oceana dengan tegas.
Oceana yakin bahwa tidak ada barang yang perlu untuk diganti. Dirapikan seperti semula tidak akan ada yang rusak. Selain yakin akan hal itu, Oceana tidak memiliki uang yang cukup untuk mengganti barang-barang yang dijatuhkan oleh Bimo.
Satu spidol saja harganya ada yang lima ribu sampai sepuluh ribu. Sementara spidol dan yang lainnya ada sekitar ratusan buah. Jika dikalikan, itu bisa sampai jutaan.
Mana sanggup Oceana mengganti dengan harga segitu. Uang sakunya saja tidak sampai segitu. Dia hanya ibu rumah tangga yang mengantungkan penghasilan dengan suami. Jika suaminya mengetahui masalah ini, bisa tamat riwayatnya. Hal yang paling ditakuti adalah Kalvin bisa menyakiti Bimo.
Oceana masih bersikeras kalau dirinya tidak perlu mengganti rugi. Barang itu masih bagus dan layak untuk diperdagangkan. “Aku akan bertanggung jawab untuk membereskan kekacauan yang dilakukan temanku.”
“Tidak bisa gitu dong! Ibu sudah mengurangi nilai barang-barang toko ini."
“Dari mananya saya mengurangi nilai barang-barang? Barangnya jatuh tetapi tidak sampai pecah ataupun lecet!”
“Kalau ada yang hilang bagaimana?” tanyanya dengan kedua tangan di pinggang.
Oceana sempat terdiam. Ia juga tidak yakin harus bagaimana kalau ada yang hilang. Akan tetapi, ia meyakinkan karyawan toko bahwa tidak akan ada barang yang hilang. Lagian, bagaimana caranya menghitung barang itu sudah hilang atau tidak. Oceana juga bingung harus bagaimana.“Sudah, gak usah suruh dia ganti rugi. Lagian dia masih mau bertanggung jawab. Kamu bakalan rugi. Wanita ini miskin, meminta tanggung jawab padanya hanya mempersulit keadaan,” ucap seorang ibu bersanggul dengan menggunakan pakaian seperti ibu sosialita. Mewah dan elegan, itulah yang bisa mendeskripsikan pakaiannya.
Nyai Arumi, panggilannya, menatap Oceana dari ujung kaki sampai ujung bawah. Penampilan Oceana yang kacau dengan rambut diikat asal-asalan, baju yang warnanya sudah memudar, membuat Oceana merasa dihina hanya melihat tatapannya yang mendominasi.
“Tapi, Buk? Dia me—“ ucapan karyawan toko itu terpotong saat mendapat sebilah tajam dari sorotan mata Nyai Arumi. Semua orang yang tinggal di daerah sini sudah tahu siapa dia. Dia adalah seorang janda kaya raya yang memiliki pengaruh yang sangat kuat di daerah perumahan.
Membicarakan hartanya saja tiada habis. Auranya yang mendominasi, tatapan yang mengimitasi, dan ucapan seperti panah beracun yang selalu tepat pada sasaran. Oceana tidak yakin, siapa yang bakalan berani melawannya.
“Heh! Bersihkan ini cepat sebelum aku berubah pikiran,” titah karyawan itu yang sebelumnya nada tingginya kini berubah menjadi pelan dengan raut wajah mengancam.
Ia lirik Nyai Arumi untuk memastikan dirinya tidak melakukan sesuatu yang keliru. Baginya, berurusan dengan orang yang berpengaruh itu sangat berisiko.
Setelah karyawan toko itu pergi, para kerumunan yang melihat situasi juga ikutan pergi setelah mendapatkan tatapan dari Nyai Arumi. Sementara Oceana masih diam di tempat sekaligus bingung harus bereaksi seperti apa. Dia sendiri merasa tidak nyaman menghadapi wanita yang sudah berkepala empat tersebut. Menjadi tetangganya saja sudah sangat memberatkan baginya.
“T-terimakasih, Nyai.”
“Sampai kapan kamu menampung anak idiot itu?”
Tidak salah dengarkah? Rasanya lebih sakit hati mendengar Bimo dihina daripada dirinya sendiri dihina. Oceana mengepal kedua tangannya dan mengatup rahangnya. Rasanya keangkuhan wanita ini terlalu sering dibiarkan sehingga ucapannya tidak dapat menyaring kata dengan benar.
“Dia tidak idiot! Dia adalah orang yang cerdas bahkan lebih dari Anda. Saya menghormati Anda sebagai orang yang lebih tua dari saya, akan tetapi bukan berarti saya terima atas hinaan tersebut!"
“Katakan padaku, apa yang kamu pertahankan dari pria itu? Apa dia saudaramu?” tanyanya dengan kedua tangannya dilipat di dada. “Bukan, kan? Tetapi mengapa kamu selalu bersamanya padahal kamu sudah bersuami. Betapa rendahnya dirimu! Hal yang paling menjijikkan bagiku adalah kalian satu atap.”
Sesak di dada terasa lebih padat tiap mendengar ucapannya yang sangat menusuk. “Tau apa Nyai tentang kami? Ada satu hal lain yang membuat saya tidak bisa membiarkan Bimo hidup sendiri. Dia tidak punya siapapun selain saya.”
“Alasan konyol! Kamu hanya memanfaatkannya saja. Membiarkan suamimu melampiaskan emosi kepadanya agar kamu bisa selamat.”
“Apa maksud perkataan, Nyai? Saya tidak pernah memanfaatkan Bimo. Aku murni menolongnya, kami sudah hidup bersama sejak kecil. Ya ... walaupun kami sempat berpisah, tetapi hubungan kami hanya sebatas saudara.”
“Apa kamu yakin soal itu? Bagaimana dengannya? Jangan terlalu percaya pada apa yang kamu lihat dan kamu yakini. Ada banyak hal yang belum kamu ketahui. Jangan terlalu bodoh sebagai wanita, itu hanya akan berubah madu menjadi racun dalam hidupmu.”
Ucapan terakhirnya yang begitu pahit melebihi rasa obat. Entah apa maksud dari perkataannya yang sangat sulit dipahami oleh Oceana.
Setelah meninggalkan ucapan yang menyakitkan, Nyai Arumi langsung meninggalkan Oceana. Jalannya yang anggun dengan dagu yang mendongak membuat semua orang paham betapa angkuhnya wanita tua itu.
Sementara Oceana kembali terdiam membeku. Mencoba mencerna tiap perkata yang diucapkan oleh Nyai Arumi. Apa yang salah pada dirinya yang ingin membantu Bimo. Dia tulus dan sangat menyayangi Bimo. Baginya, sebelum bertemu Kalvin, Bimo adalah bagian keluarga terpenting yang ia miliki.
Sikap Oceana yang suka memberontak di masa lalu, membuatnya tidak memiliki orang yang mau mengasuhnya. Sikap buruknya dulu menjadi berefek buruk padanya sekarang. Akan tetapi, ia tidak merasa menyesal akan semua itu. Sebab, dia memiliki Bimo di sisinya.
“Heh! Cepat beresin barang-barang itu dan rapikan seperti semula. Kalau tidak beresin secepatnya, saya bakal berubah pikiran dan meminta ganti rugi. Cepat!" Teriak karyawan toko yang tadi. Sikap tak berdaya di depan Nyai Arumi kembali berubah seperti semula. Berubah menjadi pria kasar dengan suara nyaringnya.
“Iya, iya. Cerewet kali jadi cowok!”
“Pengen ditampar ni cewek!”
Tangannya yang hendak menampar Oceana, tiba-tiba berhenti di udara karena merasa situasi sedang direkam oleh pembeli yang lain. Hal ini bisa menghancurkan karir karyawan tersebut apabila melanjutkan kekerasan pada Oceana.
Oceana merasa menang. Dunia sudah berubah. Sekarang, semua bisa direkam dan semua orang bisa tahu hanya sekali posting. Dia tersenyum lalu melanjutkan merapikan barang-barang yang berserakan.
Setelah keadaan bersih, karyawan tersebut masih menatap Oceana dengan tatapan yang buruk. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya saja tatapannya sudah menjelaskan bahwa ada dendam yang kuat terhadap Oceana.
Oceana tidak peduli akan hal itu. Dia pun pergi keluar dari toko tersebut. Untung saja Bimo meninggalkan barang yang hendak dibeli, jadinya Oceana tahu barang mana yang harus dibayar.
Kini, ia tidak tahu Bimo pergi ke mana. Ia berharap bahwa pria itu tidak menimbulkan masalah lain lagi.
Helaan napas yang sangat dalam. Ia pun mencoba cek waktu di ponsel genggam. Saat melihat angka di ponsel, matanya langsung membelalak. Andrenalinnya langsung memacu. Ini gawat!
Pintu itu terasa sangat menakutkan. Adrenalin meningkat tiap langkah semakin mendekat ke arah pintu berwarna coklat.Bukan rasa lega setelah melawati pagar tosca itu, tetapi ketakutan semakin menyelimuti jiwa Oceana.Kegugupan membuatnya terus menekan kuku jempolnya dengan jari telunjuk. Alasan apa yang harus ia berikan kalau suaminya sudah ada di rumah. Sebuah ketakutan yang hampir tiap hari menjadi konsumsinya."Semoga Kalvin belum pulang." Sebuah kalimat yang berulang kali terucap di bibir wanita itu. Mungkin angin telah bosan mendengar ucapan yang terus menerus terlontar.Ketika tangan menyentuh gagang pintu, rasanya gagang pintu itu terasa sangat berat daripada mengangkat lima kilo karung beras. Keraguan membuatnya sangat berat memasuki rumah yang entah apa yang akan terjadi di dalamnya.Saat membuka pintu dan masuk ke dalamnya, ada keheningan yang telah menyambut hingga membuat jantungnya ingin meloncat dari kerangka tulangnya. Ia melihat sesosok pria yang tidak diharapkan sudah
Dada terasa sesak, Oceana tidak habis pikir dengan sikap Kalvin yang tidak kenal ampun. Bagaimana bisa ia jatuh cinta dengan pria seperti itu. Padahal sikap awal Kalvin sangat manis meskipun posesif. Siapa sangka pria ini berubah begitu drastis.“Berhenti Kalvin! Apa kau sudah gila?!” teriak Oceana sambil berjalan mendekati suaminya. Hatinya sangat pilu melihat Bimo menjerit kesakitan dengan kulit yang melepuh oleh batang rokok menyala.“Apa sayang? Aku hanya memberikan hadiah pada Bimo sekaligus matiin rokoknya sesuai keinginannya."Kalvin semakin kuat menekan rokok di perut Bimo. “Ampun Kalvin!”“Bukankah ini yang kamu inginkan?”Dengan verbal tidak mempan, Oceana pun langsung bertindak dengan menarik lengan Bimo yang sudah memberontak. Tenaga Kalvin sangat kuat hingga Bimo sulit lepas dari Kalvin yang berusaha melepaskan diri. Namun, Oceana tidak menyerah merebut Bimo dari suaminya. Ia tetap menarik Bimo sekuat tenaga sampai Bimo terlepas dari suaminya hingga mereka terjatuh ke lan
Luka lebam telah menyelimuti tubuh dan wajah Oceana dan Bimo. Namun, luka-luka tersebut tak seberapa jika dibandingkan rasa sakit yang luar biasa yang ada di dalam hati mereka. Harga diri mereka telah dijatuhkan. Batin mereka telah dipermainkan. Mental mereka sedang diuji.Oceana mencoba menahan air matanya jatuh dan berusaha tersenyum di depan Bimo yang terbaring di atas kasur. Wanita berambut hitam bergelombang itu mengobati luka-luka Bimo. Tiap Bimo mengeluarkan suara keluh membuat hati Oceana terasa hancur.“Maafkan ... aku,” ucap Oceana dengan terbata-bata.“Ini salah Kalvin bukan Oceana. Dia yang ha-harus minta maaf sama kita. Bukan Oceana.”“Tapi....” Perkataanya terhenti dikarenakan menahan sesak di dada seakan ada yang sedang mengikatnya dengan sangat kencang. Ia tidak sanggup melanjutkan perkataannya. Rasa bersalah terhadap Bimo menghantamnya berulang kali.Rasa bersalah itu tidak mengantarkannya pada sebuah pencerahan melainkan rasa bingung. Bingung bagaimana ia harus mene
*FlashbackKelaparan dan haus telah membuatnya lupa tentang apa yang telah ia lalui. Kini yang ada dipikirannya adalah bagaimana ia mendapatkan makanan dan setetes air untuk ia minum. Jangankan untuk minum, untuk dirinya mandi dan membersihkan fasesnya saja tidak punya. Syukur-syukur kalau hari hujan, ia dapat membersihkan badannya dan minum dari air kotor itu. Sayangnya, sudah seminggu lebih tidak hujan yang membuat persediaan air menjadi habis. Dengan kepalanya yang sangat pening, Oceana berumur 16 tahun memaksa dirinya berjalan keluar untuk mencari air. Air apapun yang ia temui akan diminumnya. Tidak peduli air itu kotor atau tidak, yang terpenting baginya adalah bisa membasahi tenggorokannya dan perut terasa kenyang. Keadaan telah membuatnya tidak bisa memilih. Meskipun dirinya punya rumah —peninggalan ibu asuhnya atau tempat panti asuhan yang telah bangkrut, tetap saja ia kesulitan bertahan hidup karena tidak memiliki uang. Ia tidak mampu membayar listrik dan air yang menyebabk
“Apa Kalvin tidak pernah menceritakan masalah tersebut padamu?” tanya Om Yuda yang langsung dibalas Oceana dengan kepala menggeleng. “Suami-istri macam apa kalian berdua. Masa masalah keuangan suami sendiri nggak tahu?” “Kalvin tidak menceritakan apapun padaku. Emangnya ada apa?” “Suami brengsekmu itu telah jadi korban penipuan tiga bulan yang lalu. Hal itu memberi dampak buruk pada studio fotonya yang sedang terancam gulung tikar. Meskipun ia masih punya klien, tapi itu tidak mampu menutupi kerugian yang begitu banyak,” terang OmYuda. “Seberapa banyak kerugiannya?” Om Yuda melipat kedua tangannya di dada. Keningnya mengkerut sambil menatap langit. Mencoba mengingat angka-angka yang hendak menelan Kalvin. “Kira-kira ada sekitar 500-an juta.” “Apa?!” seru Oceana yang langsung beranjak dari kursi yang baru saja ia duduki. Ice creamnya telah meleleh di tangan kanannya sedari tadi. Matanya melotot dan mulut menganga. Ia tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. Ia mempertanyakan te
“Ah ... tidak!” teriak Oceana sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan yang menyilang. Dengan reflek ia menutupi wajahnya dari benda tajam yang hendak melayang ke arahnya.Untungnya hal itu tidak terjadi. Sebab Bimo langsung berlari dan memukul Kalvin dari belakang menggunakan panci yang berbahan tebal.Hal ini menyebabkan Kalvin langsung pingsan karena Bimo memukulnya tepat di bagian tulang tengkuk. Yang mana area itu sangat rentan sekali untuk dipukuli, karena hal itu dapat mengakibatkan aliran darah dan saraf dari tengkuk ke otak terhenti sesaat yang menyebabkan seseorang pingsan.“Kalvin!” pekik Oceana yang dengan spontan membangunkan suaminya. “Bimo, bagaimana ini?”“Apa dia mati?” tanya Bimo dengan polosnya. Ia pun tiba-tiba menjatuhkan panci dan berteriak, “aah ... Bimo sudah membunuh Kalvin. Bimo sudah membunuh Kalvin.”Oceana dengan panik langsung memeriksa kepala suaminya.“Syukurlah tidak berakibat fatal.” Oceana langsung berdiri dan menenangkan Bimo yang berlarian di
Keadaan rumah kembali kacau. Lantai dipenuhi serpihan kaca yang berserak di mana-mana. Di tengah serpihan kaca terdapat batu besar. Sepertinya ada yang sengaja melempar batu itu ke rumah mereka.Oceana langsung berlari mendekati Bimo yang sedang ketakutan. Berusaha untuk menenangkan pria tersebut.Sementara Kalvin berjalan mendekati kaca yang pecah. Dengan hati-hati berjalan, ia mencoba mengintip ke luar jendela. Entah kenapa lampu di luar mati, padahal sebelumnya ia merasa bahwa di teras lampunya menyala.Kalvin dapat menyadari bahwa situasi sedang tidak baik-baik saja. Saat Kalvin mencoba untuk membuka pintu rumah, tiba-tiba segerombolan pria besar dan berpakaian hitam langsung menerobos masuk ke dalam rumah mereka.“Kalian siapa?” teriak Kalvin dengan raut wajah yang sangat geram. Ia menarik kerah salah satu gerombolan pria itu. Badannya sedikit pendek dari Kalvin, tapi tubuhnya tidak kalah berotot.Sebelum pria itu menjawab pertanyaan Kalvin, lalu masuklah seorang pria tua denga
"Bimo, ayo sadar! Aku mohon," pinta Oceana dengan tangan gemetar saat memegang kepala Bimo yang sudah berlumuran darah. Air matanya telah bercampur dengan cairan kental itu."Aku minta maaf ... maafkan aku, Bimo!" Dengan tubuh kecilnya itu, ia berusaha untuk mengangkat tubuh Bimo yang sudah tak berdaya. Berulang kali ia coba, namun tetap saja tubuh Bimo selalu jatuh dari punggungnya. Ia semakin panik dan merasa bersalah karena semakin memperburuk keadaan.Tangis semakin pecah. "aah aku harus bagaimana. Aku tidak tahu. Bimo, maafkan aku."Dengan gigih, Oceana mencoba sekali lagi mengangkat Bimo ke punggungnya. Kali ini berhasil. Hanya saja kakinya kesulitan untuk membawa tubuh Bimo ke arah pintu. "Bimo, aku mohon bertahanlah," bisiknya sambil tertatih membawa tubuh Bimo yang masih terkulai. Darah Bimo tidak berhenti menetes hingga memberi tanda tiap jalan yang mereka lewati. Kali ini, Kalvin benar-benar seperti orang kesetanan. Ia menyiksa Bimo tanpa ampun.Malam ini, Oceana tidak me