Share

6. Taman Safir

*Flashback

Kelaparan dan haus telah membuatnya lupa tentang apa yang telah ia lalui. Kini yang ada dipikirannya adalah bagaimana ia mendapatkan makanan dan setetes air untuk ia minum. Jangankan untuk minum, untuk dirinya mandi dan membersihkan fasesnya saja tidak punya.

Syukur-syukur kalau hari hujan, ia dapat membersihkan badannya dan minum dari air kotor itu. Sayangnya, sudah seminggu lebih tidak hujan yang membuat persediaan air menjadi habis.

Dengan kepalanya yang sangat pening, Oceana berumur 16 tahun memaksa dirinya berjalan keluar untuk mencari air. Air apapun yang ia temui akan diminumnya. Tidak peduli air itu kotor atau tidak, yang terpenting baginya adalah bisa membasahi tenggorokannya dan perut terasa kenyang. Keadaan telah membuatnya tidak bisa memilih.

Meskipun dirinya punya rumah —peninggalan ibu asuhnya atau tempat panti asuhan yang telah bangkrut, tetap saja ia kesulitan bertahan hidup karena tidak memiliki uang. Ia tidak mampu membayar listrik dan air yang menyebabkan rumah tersebut sudah 6 bulan listriknya dimatikan.

Anak nakal, keras kepala, suka memberontak dan merasa dunia aman-aman saja. Membuatnya tidak mau belajar bagaimana cara bertahan hidup selama ini. Kenakalan remajanya di masa lalu membuatnya kini tidak memiliki apapun selain rumah itu. Hal ini mempertanyakan dirinya sendiri, apakah keputusannya di masa lalu adalah sebuah kesalahan?

***

“Bimo, bangun!” seru Oceana sambil menepuk lengan Bimo yang masih dibaluti selimut tebal berwarna abu-abu. Setelah mendengar erangan dari Bimo, Oceana pun membuka gorden kamar dan membuka jendela agar udara tidak sedap keluar dan udara segar masuk ke dalam.

Bimo pun semakin mengomel karena wajahnya terkena sinar matahari pagi atau tepatnya menjelang siang.

Oceana berdecak pinggang dan menghela napas kasar melihat Bimo yang masih bersembunyi di dalam selimut, menghindar dari sinar matahari.

“Bimo masih ngantuk! Jangan bangunin Bimo, pergi sana!”

Mereka saling menarik selimut satu sama lain. Akhirnya, karena kalah kekuatan, Oceana pun menggelitik badan Bimo yang membuat pria itu mau tidak mau bangun dari kasur.

“Bimo masih sakit. Lihat kepala Bimo habis diperban dan tubuh Bimo masih sakit-sakit akibat kemarin,” ujarnya.

“Oh, maafkan aku. Yasudah, kamu tidur saja kalau begitu. Aku akan pergi ke Taman Safir aja sendirian,” balas Oceana yang hendak meninggalkan kamar Bimo.

Saat berjalan ke arah dapur untuk mencuci piring, Oceana mendengar suara Bimo yang berteriak lalu berjalan turun tangga dari kamar loteng yang dibuat oleh Kalvin. Dulunya, itu adalah loteng biasa yang dijadikan tempat gudang. Namun, saat Oceana membawa Bimo ke rumah, Kalvin pun mengubah loteng itu menjadi kamar yang minimalis dan cantik.

Betapa baiknya Kalvin-nya yang dulu. Mengingat kebaikan suaminya membuat Oceana lupa apa yang telah ia dapatkan dari suaminya kemarin.

“Oceana jangan datang sendirian! Bimo juga pengen pergi ke Taman mau ketemu Om Yuda,” ujarnya sambil mematikan kran air yang sedang digunakan oleh Oceana.

“Kenapa kamu matiin?”

“Pokoknya, Bi-bimo ikut!”

“Bukannya kamu masih mau tidur? Bukannya tadi kamu bilang kalau badan kamu lagi nggak sehat? Lanjut aja saja tidurnya. Gakpapa kok, biar aku aja sendirian yang pergi.”

Bimo pun mengambil piring yang sedang dicuci oleh Oceana lalu ia menjatuhkannya. Hal ini membuat Oceana gemas melihat tingkah Bimo yang merajuk karena tidak diajak ke Taman.

Taman Safir merupakan tempat favorit mereka berdua. Bermain, tertawa, canda gurau dan melupakan apa yang telah mereka alami. Bahagia seakan tidak pernah mengalami hari buruk dalam hidup mereka.

Setelah membersihkan rumah dan juga membujuk Bimo yang merajuk. Mereka pun berangkat ke Taman Safir menggunakan kendaraan umum.

“Kamu berhenti pecahin piring rumah. Kalau Kalvin tahu, ia akan marah!”

“Yasudah, kita tinggal kabur saja dari rumah,” kata Bimo sambil melihat pemandangan luar yang terus bergerak dari kaca jendela mikrolet yang sedang melaju.

Oceana pun memutar bola matanya. “Mulai lagi, berhenti bicara seperti itu.”

Bimo pun tidak merespon ucapan dari Oceana. Kini penumpang di dalam mikrolet semakin bertambah dan mereka duduk secara berdempetan.

Bimo duduk terjepit antara dua ibu-ibu yang sedang membawa ranjang belanja. Wajahnya yang kaku dan pucat membuat Oceana tertawa melihatnya. Wanita itu tahu betul apa yang ada dipikiran Bimo. Pria itu sangat tidak suka berdempetan dengan orang lain.

Itulah mengapa sebelumnya susah sekali mengajak Bimo naik mikrolet. Dia maunya pakai ojek online. Namun, sayangnya tidak bisa. Sebab uang sudah menipis, jadi harus hemat-hemat.

Sesampai di depan gerbang Taman Safir. Badan Bimo berputar-putar sambil menepuk telinganya.

“Bimo, tenang!”

“Aahh, bimo tidak suka, Bimo tidak suka naik mikrolet. Berisik, berisik ... aah,” teriak Bimo yang terus memukul telinganya sendiri.

“BIMO!” Teriakan Oceana membuat Bimo berhenti gelisah.

Untuk sejenak ada keheningan di antara keduanya, setelah itu Bimo melepaskan tangan Oceana dan ia pergi masuk ke dalam taman sambil mengabaikan Oceana.

Oceana hanya menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi sikap Bimo. Mereka pun masuk ke dalam Taman Safir.

Ada beberapa anak-anak dan tiga orang dewasa sedang berkumpul di bawah salah satu pohon paling besar di taman tersebut. Mereka sedang berebut untuk mendapatkan giliran agar si penjual Ice cream membuatkan pesanan mereka.

Terlihat dari kejauhan ada seorang ibu berambut pendek dengan kaos biru yang sangat ketat. Cetakan tubuh yang penuh lemak itu terlihat jelas. Dia sangat tidak sabaran sampai menahan kuat anaknya agar tidak pergi ke mana-mana.

“Yuk, kita ke sana!”

Oceana kembali menarik Bimo menuju tempat si penjual Ice cream. Mereka menunggu antrian dengan sabar.

Selama menunggu, Bimo sibuk bermain dengan teman baru yang sedang bertengger di batang pohon. Teman barunya berwarna putih, punya sayap dan paruh. Dia mengajak bicara dan kadang memberi lelucon pada burung merpati.

Hal ini membuat anak-anak di sekitar tertawa melihat tingkah lakunya. Akan tetapi, Bimo tidak memperdulikan hal tersebut. Jika dia sudah fokus pada satu hal, ia akan mengabaikan yang lainnya.

Sementara Oceana sudah gilirannya untuk memesan ice cream. “Aku pesan ice cream seperti biasanya.”

“Oke siap!” seru si penjual ice cream sambil menyendok cream yang dingin dan memasukkannya ke dalam cone. “Kenapa lagi dengan wajah lebammu itu?”

Oceana langsung menutup wajah lebamnya dengan syal. “Luka biasa.”

“Jangan bohong. Aku tahu ini pasti ulah suami brengsekmu itu lagi, kan? Apa lagi masalahnya?”

“Cuman masalah telat pulang rumah.”

Penjual ice cream bernama Yuda itu menghela napas kasar dan menyendok ice cream dengan kasar. Ia sangat kesal dengan Kalvin. “Sudahlah, nyerah saja! Tinggalkan lelaki pengecut itu. Kau tidak kasihan sama dirimu dan Bimo yang setiap hari ada saja luka memar.”

“Aku tidak akan meninggalkannya sampai aku menemukan penyebabnya. Aku yakin, jika kutemukan penyebabnya pasti aku bisa merubahnya kembali seperti dulu lagi.”

“Mustahil!” sanggah Yuda sambil menyodorkan ice cream yang telah ia buat. “Orang seperti dia mustahil bakal berubah. Itu sudah menjadi kebiasannya yang sulit untuk ditinggalkan. Percayalah sama, Om!”

Oceana tidak merspon pernyataan Om Yuda. Dia masih tegas dengan pendiriannya sendiri. Dia menganggap bahwa dirinya lebih tahu suaminya dibanding orang lain.

Setelah membuat pesanan terakhir untuk Bimo. Om Yuda pun pergi duduk di kursi panjang yang ada di samping kiri gerobaknya. Ia menyeka keringatnya dengan handuk sambil menatap lapangan rumput hijau yang luas.

“Kalvin sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja saat ini. Kau tahu, jika seseorang dalam fase stress berat, temperamen buruknya akan semakin parah. Aku takut-“

Oceana memotong pembicaraan Om Yuda. “Apa maksud Om Yuda bahwa Kalvin sedang tidak baik-baik saja?”

“Kau tidak tahu apa yang sedang terjadi padanya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status