Share

Racun atau Madu Cinta
Racun atau Madu Cinta
Penulis: Qiola J.

Prolog

Detik demi detik. Menit demi menit. Jam demi jam. Waktu terus berjalan tanpa henti. Dengan keputusasaan, wanita itu sudah mengunjungi berbagai tempat di kota, tempat yang ia yakini seseorang yang ia cari ada di sana.

Lelah dan lapar tidak membuat wanita itu menyerah untuk mencarinya.

Kini, angin perlahan semakin kencang mengembus gaun biru sutra dan rambut panjangnya. Tidak karena waktu sudah malam tetapi cuaca sudah mulai menunjukkan langit akan membasahi tanah.

Wanita itu menghela napas kasar, ia tidak mungkin melanjutkan pencarian jika ia kehujanan.

Kehujananan akan membuatnya menjadi mati konyol karena kedinginan atau jatuh sakit. Dia harus mencari tempat untuk berlindung dari cuaca yang dingin.

Mencari pria itu membuatnya lupa dengan dirinya sendiri. Mestinya, ia mencari tempat tinggal terlebih dahulu bukan mencarinya. Ia terlalu semangat hingga lupa dengan dirinya sendiri.

Hujan tiba-tiba turun dengan deras dan angin semakin kencang, dia pun berlari di sepanjang koridor untuk segera menuju halte bus yang tidak jauh dari pandangannya.

Cipratan genangan air membuat sepatu putihnya menjadi basah dan kotor tiap kali ia menginjak genangan.

Di halte, wanita itu mengeluh sambil menyeka air hujan yang sudah membasahi gaun tipisnya. Ia melihat ke sekeliling, ada sebagian orang yang berdiri atau duduk di halte yang memang untuk menunggu bus terakhir. Sebagiannya lagi, sama seperti dirinya, mencari tempat untuk berteduh.

Di ujung kiri ada tempat kosong, Oceana segera mengambil tempat sebelum ada yang menempatinya. Kakinya sudah terasa tegang. Betis dan telapak kakinya terasa sakit, karena ia menahan diri memakai sepatu yang sangat sempit.

Mengingat sepatu, itu mengingatkan kembali kenangan konyol antara dirinya dan pria itu. Meskipun penuh dengan masa pahit, tapi setidaknya ada sedikit kenangan indah yang terselip di antara masa pahit itu.

Tersenyum, tetapi ada hati yang terasa hampa dan penuh penyesalan.

Dia sadar bahwa kebodohan dan kebohongan terburuknya, membuat batu permata yang berharga terlepas dalam hidupnya.

Kini, dengan harapan samar ia ingin permata itu kembali lagi padanya. Permata itu telah memberi banyak madu dalam kepahitan hidupnya. Setidaknya, berkat pria itu, ia masih bisa merasakan manisnya madu dalam hidupnya yang seperti racun.

Terlalu fokus dengan sepatu dan kenangannya, Oceana tidak sadar ada mata buaya yang sedang memandang tubuhnya. Bodohnya, ia tidak segera menutupi badannya. Baju tipis yang basah itu memperlihatkan lekuk tubuh dan juga dalaman yang terlihat jelas dari luar.

Sebelum tubuhnya menjadi ajang otak mesum pria buncit itu, Oceana segera meraih koper lalu menaruhnya di tempat ia duduk. Ia pun membuka ritsleting koper, lalu mengeluarkan jaket ungu dan langsung memakainya.

Sekilas, Oceana melihat wajah kasar itu kecewa setelah lekuk tubuhnya tidak terlihat lagi. 'Dasar lelaki mesum!'

Beberapa saat kemudian, bus terakhir sampai. Orang-orang pada berkerumunan naik ke dalam bus. Sementara, Oceana masih diam di tempat. Sebab, dia tidak punya tujuan. Untuk apa juga ia naik bus, ia juga harus hemat uang untuk bisa nyewa tempat tinggal. Itu pun kalau cukup.

"Dek, boleh pinjam HP-nya, nggak?" tanya seorang ibu tambun berkulit sawo matang. Dia mengulurkan tangannya agar Oceana mau meminjamkan HP padanya.

Oceana tidak sadar, ternyata masih ada orang yang tinggal di halte. "Maaf, Buk. Saya tidak punya HP."

"Dek, saya ini cuman mau telepon anak saya. Sudah sejam lebih saya nunggu dia untuk jemput saya, tapi nggak juga kunjung datang. Hujan semakin lebat pula."

"Tapi saya benaran nggak punya."

"Mana mungkin anak jaman sekarang tidak punya HP. Jangan bohong! Saya cuman pinjam lima menit—ah ... tidak, cuman dua menit. Ayolah, HP saya mati karena baterainya habis."

Seharian belum makan, kaki sudah capek, perasaan lagi nggak enak, malah ketemu orang yang suka maksa seperti ibu ini.

Tidak bisakah hal-hal seperti ini dilewatkan saja. Mengapa situasi tidak pernah memihaknya. Oceana benaran tidak berbohong bahwa dia tidak punya ponsel. Bukan karena dirinya adalah orang yang suka hidup seperti zaman purba, yang mana tidak tertarik menggunakan teknologi zaman sekarang. Akan tetapi, situasinya membuat ia tidak bisa memiliki ponsel genggam.

Kejadian dua bulan yang lalu telah membuat ponselnya hancur terlindas kereta api pada malam itu. Malam itu sangat buruk, bersamaan ia kehilangan orang yang dicintainya.

Setelah kejadian itu, Oceana benar-benar tidak pernah menggunakan ponsel lagi. Itu dikarenakan, pertama ia tidak punya uang, dan kedua ia tidak tahu mau menghubungi siapa dengan ponsel tersebut. Lagian lelaki yang ia cari juga tidak punya ponsel.

Hidupnya kembali dengan kesendirian.

"Demi apapun, saya tidak berbohong. Lagian kenapa maksa kali, sih?"

"Adek kok kurang ajar sekali sama saya. Saya ini tua dari kamu, loh!" Ibu berkerudung biru itu berkecak pinggang. Menunjukkan bahwa dirinya memiliki otoritas dalam memojokan orang yang lebih muda darinya.

Oceana berdiri, rasanya ia ingin menyumpah serapah ibu tersebut. Akan tetapi, ia tahan sebisa mungkin karena tidak mau mencari keributan atau memperbesar masalah.

Dia sadar diri. Keadaannya sebagai tunawisma membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa selain menahan amarah. Sebab, melawan hanya akan merugikan dirinya sendiri.

"Bu! Maaf sekali kalau ibu merasa saya bersikap kurang ajar." Oceana menghela napas berat, rasanya ia ingin menampar dirinya sendiri. Untuk apa dia meminta maaf, dia rasa tidak melakukan kesalahan apapun.

"Saya berkata jujur, ponsel saya rusak total dan saya belum punya uang untuk membeli yang baru. Ibu mau beliin saya HP?"

"Kurang ajar! malah minta beliin HP. BILANG AJA NGGAK MAU PINJAMIN!" teriak ibu itu sambil menjatuhkan koper Oceana yang belum sempat ia tutup. Alhasil, pakaian dan barang-barang di dalamnya terhempas ke lantai yang basah dan kotor karena terkena cipratan hujan.

Setelah membuat Oceana merasa sangat marah, ibu itu langsung pergi dari halte dengan menerobos hujan. Sepertinya, ia mencari 'korban' lain untuk diganggu.

Oceana melihat beberapa pakaiannya menjadi ternodai. Air matanya mulai perlahan menetes, puncak kekesalan dan segala permasalahan yang ia alami menjadi campur aduk. Ada hal yang membuat hatinya merasa meledak malam itu.

Dia menutup wajahnya. Tangisan pecah sambil mengeluh tentang hari ini yang sangat menyebalkan baginya.

Oceana melihat langit gelap yang sedang menumpahkan air awan yang sangat banyak.

Dia bertanya-tanya, mengapa dari sekian banyak orang di dunia ini, kenapa mesti dirinya yang mendapatkan situasi buruk. Tidak bisakah Tuhan memberi dia istirahat sejenak dari dunia yang membelenggu ini.

Dengan dada yang sesak, Oceana melihat ke sekeliling dan melihat kendaraan, gedung dan orang-orang yang lewat. Mengapa ribuan yang ia lihat tidak satupun ada di dalam hidupnya. Tidak ada satupun yang ia miliki.

Satu-satunya yang dimiliki olehnya hanya orang itu. Namun, kesalahan telah membuat ia kehilangannya. 'Di mana kamu sekarang? Tidakkah takdir mau mengembalikkan kamu ke padaku lagi?'

Suara tangis kembali terdengar saat suara petir menyambar. Seakan Oceana mendapatkan jawaban dari suara petir itu. Ia menganggap bahwa ia sudah tidak punya kesempatan dan harapan lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status