Share

Rahasia Cincin Emas di Jari Manis Suamiku
Rahasia Cincin Emas di Jari Manis Suamiku
Author: Dacytta-Peach

Bab 1. Cincin Emas

"Cincin siapa yang kamu pakai itu Mas? Kenapa mirip seperti cincin nikah?"

Santoso terpaku sesaat, ia lalu melirik ke jari manis tangan kanannya dimana cincin emas itu tersemat. "Oh, ini? Cincin ini pemberian dari almarhumah ibu, Dek."

"Kok aku baru liat ya Mas?" Fatma mengerutkan kening, menghentikan aktifitasnya menyendok nasi saat mereka tengah sarapan pagi.

"Iya, cincin ini dititipkan ke Ratna. Baru kemarin Ratna ngasihnya ke aku, kamu tahu sendiri 'kan kalo adikku itu orangnya pelupa," jawab Mas Santoso dengan enteng lalu menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

Fatma diam, ia memilih untuk tidak bertanya lagi kendati banyak pertanyaan yang muncul di dalam benaknya.

Cincin itu tipe cincin modern dimana di bagian tengah ada permata kecil berwarna putih, yang berkilau cantik tatkala tertimpa sinar matahari atau cahaya lampu. Lantas, haruskah Fatma percaya jika itu cincin dari almarhumah ibu? Toh, ibu orang yang kuno dan tidak suka neko-neko. Masak iya Ibu punya cincin seperti itu?!

Belum puas pikiran Fatma menjelajah kesana kemari, perhatiannya kembali teralih ketika ponsel Mas Santoso berbunyi nyaring.

Kring.. Kring... Kring... Kring...

"Iya, Hallo?!" Mas Santoso buru-buru mengangkatnya, ia mendengarkan suara yang mengajaknya bicara di dalam telepon. "Iya, saya akan segera kesana."

"Siapa Mas?"

"Pak Bambang Dek," jawab Santoso singkat setelah mematikan panggilan telepon.

"Pak Bambang lagi?" Suara Fatma sedikit naik, ada rasa frustrasi saat ia mendengar nama Pak Bambang disebut.

"Iya, memang kenapa Dek? Kamu tahu 'kan rekan kerjaku ya cuma Pak Bambang. Tiap hari meeting, survey, semua ya sama Pak Bambang. Masa iya sih kamu mau cemburu sama laki-laki?!" Mas Santoso menahan tawa, ia lantas menyambar gelas berisi air putih lalu meneguknya. "Udah ya, Mas berangkat kerja dulu."

Santoso bangkit dari duduknya, ia hendak pergi bekerja pagi itu. Menyodorkan tangan untuk dicium Fatma, pria itu pergi dengan menaiki motor matic yang baru beberapa bulan lalu dibeli.

Fatma mendengkus, menatap bayangan Mas Santoso yang lambat laun menghilang di tikungan jalan.

"Tiap hari Pak Bambang, tiap hari Pak Bambang ckckck... Apa Pak Bambang ini gak ada kerjaan selain gangguin orang?!" Fatma menggeleng heran.

Wanita berambut panjang itu lalu masuk ke dalam rumah untuk membereskan piring-piring kotor, meskipun otaknya masih saja memikirkan perihal cincin emas yang tiba-tiba tersemat di jari Mas Santoso secara ghaib Fatma tidak lupa akan tugas-tugasnya sebagai ibu rumah tangga.

Fatma terhenyak, ia menepuk jidatnya setelah ingat akan sesuatu. "Oh ya?! Sabun cuci piringku habis ya?! Kenapa aku lupa untuk membeli kemarin?!"

Wanita itu menggeleng karena kepikunannya, bergegas mencari dompet di kamar untuk segera membeli sabun ke warung terdekat.

Sesampainya di kamar Fatma dibuat terkejut dengan adanya lipatan kertas yang jatuh di lantai keramik. Karena penasaran Fatma memungutnya dan membaca lipatan kertas tersebut.

"Surat dari toko emas?" Fatma bergumam, dahinya mengerut. Ia lalu membacanya dengan seksama hingga akhirnya sadar sesuatu yang salah telah terjadi. "Oh jadi cincin itu—"

Fatma menggigit bibir, melipat kembali kertas itu seperti semula. "Jadi cincin itu bukan pemberian dari almarhumah ibu tapi— Mas Santoso sudah bohong sama aku."

Wanita itu menatap lipatan surat itu dengan perasaan ganjil, entah kenapa ia ingin membacanya sekali lagi. Akhirnya Fatma membuka kembali kertas itu, membacanya ulang dan —

Ulala, perasaan serta naluri Fatma memang tidak bisa dibohongi. Seperti dicolok dengan gagang sapu, mata Fatma bisa membaca tentang siapa yang telah membeli cincin emas tersebut.

"Nyonya Wati? Siapa Nyonya Wati ini?!" Fatma bergumam, mencoba mengingat siapa tahu ada kerabat yang bernama Wati.

Akhirnya Fatma mengambil kesimpulan, wajahnya terlihat tegang sekaligus kecewa. "Mas, kamu sudah bohong padaku Mas. Cincin itu bukan dari ibu tapi dari—"

Fatma menarik napas, mengendurkan saraf-saraf otaknya yang tegang. "Lihat saja nanti Mas, aku pasti akan menangkapmu tengah bermain api. Jangan panggil aku Fatma jika aku tidak bisa membongkar kebusukanmu. Lihat saja Mas, lihat! Aku pasti bisa."

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status