Setelah menemukan surat dari toko emas tersebut, Fatma memilih untuk menyimpannya di dalam dompet. Niatnya untuk membeli sabun cuci urung, kebetulan ketika memeriksa lemari penyimpanan sabun ia masih menemukan sisa stok sabun minggu lalu.
Sehabis mencuci piring, Fatma bergegas menghampiri ponselnya yang tergeletak di dalam kamar. Soal cincin emas itu sungguh-sungguh mencuri perhatiannya sehingga ia memiliki niat untuk menelpon Ratna dan menanyakannya secara langsung."Hallo Mbak Fatma, ada apa? Tumben pagi sekali udah telepon?! Mau tanya resep sayur atau bikin sambal ya mbak," goda Ratna ketika mengangkat telepon dari Fatma."Bukan Ratna, hari ini aku nggak tanya resep dulu," jawab Fatma dengan wajah bersemu merah. Saking seringnya bertanya resep-resep pada adik iparnya, Ratna sampai hafal kebiasaan Fatma."Lalu apa mbak? Kayaknya penting ya?" Ratna menebak, cekikikan yang terlontar dari bibirnya mendadak lenyap dan tergantikan dengan nada serius."Iya Ratna, mbak mau tanya soal cincin emas yang dipakai Mas Santoso," ucap Fatma dengan wajah tak kalah serius. Ia berjalan mendekati ranjang lalu duduk di salah satu sisinya."Cincin emas Mbak? Cincin emas apa? Oh, Mas Santoso baru beli cincin baru ya Mbak?" Ratna terlihat bingung dengan perkataan Fatma, ia bahkan mengira Santoso membeli cincin baru."Bukan, bukan itu?!" Fatma menggeleng, ia menggigit bibir. Sepertinya Ratna tidak tahu menahu soal cincin itu, buktinya ia justru bingung dengan apa yang dikatakan Fatma barusan."Lalu apa Mbak? Kok aku nggak ngeh ya dengan apa yang dikatakan Mbak Fatma?!""Ehm, aku mau tanya, apa betul Mas Santoso dapat warisan cincin emas dari almarhumah ibu, Rat?""Warisan cincin? Kata siapa Mbak?" Ratna terlihat heran, nada suaranya sedikit meninggi. "Gak ada warisan tuh?! Memang sih almarhumah ibu ada cincin tapi cincinnya dikasih ke aku Mbak. Mas Santoso sendiri nggak dapat warisan cincin dari ibu."Fatma terdiam, pengakuan Ratna membuat jantungnya mulai berdebar tidak karuan. Jika yang dikatakan Ratna benar, berarti Mas Santoso-lah yang mulai bermain api."Oh gitu ya Rat, ya udah kalo gitu. Maaf ya, Mbak udah gangguin waktu kamu." Fatma segera memutus sambungan telepon tersebut setelah perbincangan mereka menemukan titik terang.Fatma menarik napas, ia meletakkan ponsel di atas ranjang dengan pikiran macam-macam. Jika yang diucapkan Ratna benar lalu cincin emas siapa yang tersemat di jari manis suaminya? Apa benar Nyonya Wati itu yang membelikan cincin untuk suaminya? Lantas, siapa Nyonya Wati itu?Pikiran Fatma bergejolak, ia mendadak gelisah bukan main. Sepertinya Fatma harus turun tangan sendiri untuk mengungkapkan fakta tersembunyi tersebut. Tidak mungkin Mas Santoso akan mengaku tentang siapa Nyonya Wati dan fakta mengenai cincin emas."Aku harus menemui Mas Santoso siang nanti pas jam istirahat. Sekarang aku harus menyiapkan menu makan siang untuknya, ya, dengan membawa bekal makan siang aku bisa mencari tahu siapa yang saat ini tengah dekat dengan Mas Santoso di pabrik."Fatma menganggukkan kepala, yakin dengan niatnya saat ini untuk menyelidiki siapa Wati dan juga cincin itu.Bergegas menuju ke dapur, Fatma berniat untuk memasak makanan untuk menu siang nanti. "Sabar Fatma, Sabar. Kamu pasti bisa menemukan titik terang mengenai cincin itu. Sabar, Tuhan pasti bersamamu, Fatma. Kamu pasti bisa!"****Fatma adalah istri yang baik, meskipun hidupnya sederhana ia sama sekali tidak mengeluh. Pernikahannya dengan Santoso sudah berjalan delapan tahun dan sampai sekarang mereka belum dikarunia anak. Kendati begitu, Santoso sama sekali tidak pernah menyudutkannya mengenai hal ini. Hal yang tentu saja sangat disyukuri Fatma karena memiliki suami sebaik dan sepengertian Santoso.Kehadiran cincin emas itu tentu saja mencubit hati Fatma. Cincin itu bukan cincin kawin melainkan cincin yang baru saja dibeli. Sementara itu Fatma sendiri merasa bahwa Santoso selama ini tak pernah memakai cincin karena tidak suka mengenakannya tapi kenapa pagi ini Santoso berbeda? Apakah mungkin minat seseorang bisa berubah begitu saja?!Setelah menata semua menu makan siang di dalam wadah kesayangan Fatma, wanita berusia dua puluh delapan tahun itu tersenyum lebar. Sebentar lagi ia akan pergi ke pabrik kayu tempat suaminya bekerja dan mengantarkan makan siang. Hal yang tumben sekali dilakukan Fatma hanya demi men
Sore itu Mas Santoso pulang tepat waktu seperti biasa. Tidak ada hal mencurigakan yang terlihat di wajah pria berusia tiga puluh lima tahunan itu. Melihat Fatma yang tengah menyirami bunga mawar di pot-pot koleksinya, Mas Santoso yang baru saja turun dari motor maticnya datang menghampiri dan mengecup kening istrinya."Sore Sayang, masak apa nih?! Mas udah lapar," ucap Mas Santoso dengan wajah berbinar seusai mengecup kening Fatma.Wanita itu masih diam, tubuhnya terlalu kaku untuk membalas tatapan suaminya tersebut. Dulu, sebelum ia melihat kejadian itu tepatnya tadi siang, ia selalu berbunga-bunga ketika melihat motor matic suaminya datang. Fatma juga akan menyambutnya dengan riang, meletakkan selang air dan memeluk suaminya dengan manja.Tapi kini—bahkan aroma minyak wangi Mas Santoso pun sudah bercampur dengan aroma minyak wangi lain yang Fatma yakini mungkin itu minyak wangi milik sang wanita simpanan."Kok diam sih?! Ada apa? Mas tanya loh," ucap Mas Santoso sambil menepuk pipi
"Ada apa Dek?" Santoso tiba-tiba menegur keberadaan Fatma yang berdiri di depan ponsel miliknya. Wajah pria itu menegang, ia berjalan mendekati Fatma seraya berkalung handuk dan bertelanjang dada. "Kamu buka-buka ponsel milik Mas?""Oh, enggak kok Mas. Tadi bunyi sih tapi belum sempat aku liat dari siapa?!" Fatma pura-pura tidak tahu, ia menoleh ke arah suaminya lalu tersenyum. "Ini mau aku buka.""Ah, nggak usah Dek. Palingan cuma spam dari tukang kredit ponsel yang suka nawarin kredit ponsel." Santoso datang, ia dengan buru-buru mengambil ponselnya lalu membawanya masuk ke dalam kamar. "Dek, kamu udah siapin kemeja buatku belum?""Belum Mas, aku siapin dulu ya?!" Fatma lalu berjalan menyusul suaminya ke dalam kamar. Wanita itu melirik sejenak ke arah suaminya yang nampak sibuk dan fokus pada pesan WhatsApp yang baru saja dikirim kepadanya.Wajah Fatma nampak kecewa, pikirannya terus saja berputar saat membaca pesan singkat yang katanya dari Pak Bambang tersebut. Saking tidak fokusny
"Mas, kakiku terkilir, ini sangat sakit. Tolong ya Mas, kamu pulang. Aduh... Aduh..." Layaknya bintang sinetron di FTV Fatma bersandiwara dibalik panggilan teleponnya.Dengan suara menahan sakit sambil sesekali merintih kesakitan, Fatma menirukan adegan orang yang tengah jatuh terpeleset. Tak sia-sia selama ini ia menonton serial FTV dimana ia bisa belajar untuk bersandiwara di depan laki-laki.Mendengar Fatma merintih kesakitan, wajah Santoso memucat. Pria itu memijit pelipisnya dengan gestur tubuh penuh dengan rasa resah. "Baik-baik, aku akan segera pulang. Kamu jangan bergerak ya, aku takut luka di kakimu jadi semakin parah.""I-iya Mas, aduh... Sakit banget Mas. Cepetan pulang Mas, aku nggak tahan ini. Aww...." Fatma pura-pura berteriak, memekik seolah-olah ia benar-benar terkilir malam itu."Iya, ini juga mau pulang. Kamu tutup teleponnya dan tunggu aku ya, oke aku tutup panggilannya sekarang." Santoso lalu mematikan panggilan tersebut, ia menatap ponselnya sejenak lantas mengali
Fatma terus menatap Santoso dengan bola mata menyorot tidak percaya. Pria yang tengah membaluri kakinya yang tidak apa-apa itu dengan balsem terlihat begitu perhatian dan juga lemah lembut. Sungguh tak percaya, dibalik wajahnya yang rupawan dan sikapnya yang polos serta baik hati, Santoso sanggup menghianati pernikahan mereka secara diam-diam.Melihat istrinya terus menatap aneh ke arah Santoso, pria berwajah tirus itu mengerutkan kening. Tangan kanannya berhenti mengoleskan balsem, ia menatap balik ke arah istrinya. "Sayang, ada apa? Kenapa menatap Mas seperti itu?"Fatma tersadar seketika. Wanita berparas biasa itu segera menggeleng dengan cepat dan mengulas senyum. "Tidak Mas. Makasih ya Mas sudah bantuin aku hari ini."Santoso tersenyum, ia kembali melanjutkan aktifitasnya membaluri kaki Fatma dengan balsem. Ia tidak tahu jika kaki yang sedari tadi ia baluri balsem sama sekali tidak sakit dan bisa berjalan dengan sehat."Itu sudah tugas Mas sebagai suami, Sayang." Santoso menjawab
"Sebentar lagi kamu akan tahu siapa saya, Nyonya Fatma." Wanita itu berbisik dengan lembut dan manis. Alih-alih merasa penasaran, Fatma justru merasa ngeri dengan wanita tersebut."Siapa tamunya Sayang?" Santoso akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruang makan, ia menyusul Fatma ke pintu utama dimana istrinya tengah berbincang dengan seseorang.Santoso terpaku sejenak saat melihat Wati berada di ambang pintu tengah tersenyum ke arahnya. Fatma bisa melihat senyum berbeda itu dari wajah wanita yang ada hadapannya lalu menoleh ke arah Santoso."Hallo Mas Santoso," sapa wanita itu dengan akrab, ia dengan berani melambaikan tangan ke arah Santoso.Sejenak wajah Santoso nampak gugup, ia terlihat tegang saat datang menghampiri Fatma dan juga Wati. "Ha-hallo Bu Wati, apa kabar?! Oh ya Fatma, perkenalan ini Bu Wati salah satu atasan Mas di kantor."Wati tersenyum sombong ke arah Fatma, ia mengulurkan tangan dengan anggun yang dibuat-buat. Fatma hanya diam, ia enggan untuk menyambutnya namun d
Wati menghentakkan kakinya di tanah, sungguh tak dapat dipercaya bahwa pria yang ia cintai justru lebih memilih bersama istri sahnya. Keadaan yang berbeda jauh dari angan-angan dimana Santoso sendiri sudah pernah berjanji akan selalu bersamanya dalam suka maupun duka.Membayangkan seringaian Fatma, wajah Wati rasanya terbakar. Ia ingin marah dan meluapkan semuanya.Menoleh ke arah rumah Santoso, kemarahan Wati masih berada di ubun-ubun. "Lihat saja Mas, kamu pasti akan menyesal karena sudah mengabaikanku."Wanita berpakaian lumayan seksi itu melangkah masuk ke dalam mobil. Sungguh tak terkira rasa hatinya sekarang, ledakan demi ledakan kini bergemuruh dalam dada.Memasuki ruang menyetir, Wati memakai sabuk pengaman. Bayangan Santoso dipeluk suaminya sendiri seolah terus menari di pelupuk mata. Wati menelan ludah dengan susah payah, rasa haus kini menyerang kerongkongannya."Haishh... " Napas Wati tampak memburu, ia memukul kemudi dengan kencang lalu menyugar rambutnya. "Kurang ajar se
"Telepon dari siapa Mas?" Fatma bertanya pada Santoso. Wanita berkulit bersih itu bisa membaca keresahan yang tergambar di wajah Santoso.Pria itu masih diam, bersungut tidak karuan. Duduk di kursi rias, ia menggaruk kulit kepalanya lalu meletakkan ponsel. "Ada klien yang memaksa untuk bertemu Sayang. Padahal aku sudah bilang kalo hari ini aku sedang cuti."Fatma hanya diam, meski demikian ia terus menelisik wajah itu hingga tanpa celah. Siapa bilang Fatma akan percaya setelah apa yang ia alami tadi malam. Tidak ada yang tahu juga siapa klien yang dimaksud Mas Santoso saat ini."Dia marah-marah katanya kalo nggak sama aku lebih baik kerjasamanya dibatalkan aja," ucap Santoso mengimbuhi. Ia melirik ke arah Fatma sejenak, membaca ekspresi yang terlihat di wajah istrinya."Tapi kamu kan udah bilang cuti Mas, ntar kalo nggak dibayar gimana? Sayang kan tenagamu Mas." Fatma mencoba mengulur waktu, ingin mendengar apa kira-kira alasan yang akan dilontarkan Mas Santoso setelah ini.Pria itu m