Share

Bab 3

Seminggu berlalu. Bayu sudah berhasil menenangkan diri. Selama seminggu belakangan, walau dengan sangat terpaksa, ia berusaha untuk menerima kenyataan. Ia berusaha untuk menerima kenyataan bahwa dunianya sudah tidak akan sama lagi seperti dulu. Ia harus menerima kenyataan bahwa mimpinya sudah pupus. Kenyataan bahwa bumi yang dipijaknya kini akan berbeda.

“Bayu, saatnya pemeriksaan, Nak.”

Bayu hanya mengangguk mengikuti ayahnya. Selama ini, ayahnya berusaha dengan sangat keras untuk menenangkan hati Bayu yang terpukul atas kenyataan pahit bahwa ia sudah tidak dapat berdiri seperti dulu lagi. Kecelakaan itu telah ‘membunuh’ sosok Bayu yang piawai menari.

Bayu sadar bahwa meskipun ia melakukan pemeriksaan dan menerima perawatan, ia tidak akan dapat berdiri di panggung lagi. Ia sudah cukup dewasa untuk mengerti hal tersebut. Namun, ia masih menuruti perkataan ayahnya untuk mengikuti perawatan seperti yang disarankan dokter. Ia hanya tidak ingin melihat ayahnya khawatir. Sama seperti dirinya, ayahnya pasti sangat terpukul oleh kenyataan ini. Di balik senyum ayahnya, Bayu dapat melihat kegetiran yang berusaha ditutup-tutupi.

“Ayah, aku ingin pulang,” kata Bayu ketika ia telah selesai melakukan perawatan. “Ayah juga rindu dengan ibu dan Tari, kan?”

***

Sudah lebih dari seminggu Tari berbaring di ranjang rumah sakit. Ia sudah merasa lebih baik, namun ibunya tak kunjung mengajak Tari untuk keluar dari rumah sakit.

“Ibu, kapan kita pulang?” tanya Tari suatu ketika. Ia sudah merasa benar-benar bosan. Bagaimana tidak? Setiap hari ia hanya berbaring sambil menggambar untuk mengisi waktu.

“Nanti, kalau kamu sudah sembuh kita pasti akan pulang,” sahut ibunya diplomatis.

“Tapi aku sudah sembuh, Bu.”

Ibunya tidak menjawab. Pura-pura tidak mendengar.

“Aku kangen rumah. Aku kangen Kak Bayu dan ayah,” kata Tari mantap.

***

Siang itu, ayah akhirnya membawa Bayu pulang ke rumah. Bayu sudah lama merindukan kehangatan suasana rumahnya. Sudah lama ia ingin makan bersama ayah, ibu, dan Tari sambil tertawa bersama. Ia juga sangat ingin mengantar Tari ke sekolah, dengan sepedanya. Akan tetapi, apa daya hal itu tampaknya tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Bayu sangat sadar akan hal itu. Bagaimana tidak? Tongkat yang dipegangnya seakan selalu mengingatkannya untuk membuang semua harapan-harapan palsunya. Sebaiknya aku tidak mengharapkan hal-hal yang tidak mungkin terjadi, putusnya kemudian.

Suasana rumah sangat sepi. Entah kenapa, Bayu merasa asing dengan suasana rumahnya tersebut.

“Bu, aku pulang,” ujarnya ketika melihat ibu sedang sibuk di dapur.

Ibunya tidak menoleh. Ia terlihat sangat sibuk.

“Aku bantu cuci piring, ya…”

“Tidak usah,” sahut ibunya cepat tanpa menoleh. “Beristirahat sajalah di kamarmu.”

Bayu hanya mengangguk dan perlahan mulai bergerak meninggalkan dapur. Bayu dapat merasakan sikap ibunya yang sedikit aneh. Mungkinkah karena tongkat ini? Apa ibu mulai tidak menyukaiku karena aku bukan lagi anaknya yang lincah dan jago menari? Mungkinkah karena keadaanku sekarang yang sangat menyedihkan ini membuat ibuku pun tidak sudi untuk menatapku lagi?

***

Tari sedang bermain di kamarnya ketika sayup-sayup ia mendengar suara Bayu. Kak Bayu sudah datang, gumamnya.

Tari menatap pantulan dirinya di kaca dan merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan. Tidak lupa ia menyematkan pita di rambutnya, berusaha menutupi perban yang ada di kepalanya. Sambil berlari-lari kecil, Tari melangkah menuju kamar Bayu.

“Kak Bayu, lihatlah gambar apa yang aku buat…”

Tari berdiri di ambang pintu kamar Bayu sambil memegang sebuah buku gambar dengan sebelah tangannya. Langkahnya terhenti ketika melihat Bayu yang berusaha keras untuk berdiri tegak di sudut kamar dengan bantuan tongkat penyangga. Otak kecilnya mulai bekerja, mencoba memahami apa yang telah terjadi. Kepingan kenangan mengerikan mulai berkelebat di benaknya. Memori itu membawanya kembali pada peristiwa naas yang terjadi lebih dari seminggu lalu. Akhirnya, ia ingat dengan jelas. Hal terakhir yang dilihatnya sebelum tidak sadarkan diri adalah sosok Bayu yang tersungkur dengan kaki penuh darah, tepat di depan matanya. Tanpa sadar, bulir demi bulir air mata mulai menetes di pipinya, diikuti dengan isak tangis yang tidak tertahankan. Tari berlari ke kamarnya, menutup pintu, dan menangis sekeras-kerasnya.

***

Bayu terdiam di sudut kamarnya dengan wajah murung. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa reaksi ibunya terhadap keadaannya saat ini akan seburuk itu. Ibu bahkan tidak sudi untuk menoleh ke arahnya. Selama lebih dari seminggu di rumah sakit, ibu tidak pernah sekalipun melihat keadaannya. Walaupun demikian, Bayu sama sekali tidak pernah berpikiran negatif. Ia pikir ibu terlalu sibuk untuk mengurus Tari dan kegiatan mengajarnya di sekolah. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ibu akan bersikap acuh tak acuh padanya.

Bayu baru saja hendak mencoba berdiri tegak dengan menggunakan tongkat ketika tiba-tiba ia mendengar suara derap langkah Tari mendekat ke arah kamarnya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia bertemu dengan Tari. Bayu sangat merindukan adik kecilnya itu.

“Kak Bayu, lihatlah gambar apa yang aku buat…” kata Tari dengan girang.

Bayu sangat tidak sabar ingin mengetahui gambar yang telah dibuat oleh adiknya. Perlahan, masih dengan bantuan tongkat, ia mencoba melangkah mendekati Tari. Namun, reaksi Tari membuatnya mengurungkan niat tersebut. Wajah Tari yang mulanya sangat girang seketika berubah. Ekspresi terkejut dan bingung tampak jelas di wajahnya. Cukup lama Tari berdiri di ambang pintu kamar. Ketika Bayu mencoba mendekat, dengan pelan Tari mundur selangkah demi selangkah hingga akhirnya berlari menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Bahkan Tari pun tidak sudi berada di dekatku.

PRAANNGGG.

Suara gaduh terdengar dari dapur.

Masih dengan bantuan tongkat, Bayu perlahan berusaha mendekat ke arah sumber kegaduhan tersebut.

“Apa maksudmu?”

“Aku sudah tidak sanggup.”

Bayu mendengar ayah dan ibunya sedang berdebat.

“Aku benar-benar tidak mengerti,” kata ayahnya.

“Aku sudah tidak sanggup lagi. Aku sudah tidak tahan. Aku tidak tahan lagi untuk berpura-pura tegar di depan banyak orang,” sahut ibunya. “Sungguh, aku sudah tidak kuat lagi. Bayu… aku... aku tidak sanggup melihatnya…”

PLAKK!

Tamparan keras mendarat di wajah ibu.

Mata Bayu memanas. Baru kali ini ia melihat ayah dan ibu bertengkar dengan sangat hebat.

“Pergi!” teriak ayah. “Bisa-bisanya kamu mengatakan hal itu. Kalau kamu menerima kenyataan ini, sebaiknya kamu pergi dari sini!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status