Share

Bab 4

Author: Sachie
last update Last Updated: 2021-08-23 22:30:15

Sepuluh tahun kemudian…

“Hei! Ngapain sendirian di sini?” suara Natasya yang cempreng hampir membuat jantung Tari copot.

“Ngagetin orang aja, deh. Ada apa?” tanya Tari.

“Yaelah… pake nanya ada apa. Yuk, buruan. Pertandingan basketnya udah mau mulai, tuh.”

Natasya menyeret Tari menuju lapangan basket. Sahabatnya yang satu ini memang sangat berbakat dalam memaksa Tari untuk melakukan segala hal. Mau tidak mau, Tari terpaksa ikut melangkah menuju lapangan basket.

Pertandingan basket antara kelas XII IPA 1 melawan XII IPA 3 telah dimulai. Tampak pemain-pemain jangkung dari kedua tim berusaha untuk merebut bola dan memasukkannya ke dalam ring lawan.

“Kok diem aja, sih! Kasi semangat dong buat Ryan,” kata Natasya dengan keras di tengah gegap gempita teriakan supporter, berusaha agar perkataannya didengar oleh Tari.

“Emangnya aku harus bagaimana lagi?” tanya Tari tidak mengerti. Ia merasa sudah cukup memberi semangat dengan turut menyaksikan pertandingan dan bertepuk tangan setiap kali Ryan berhasil memasukkan bola ke ring.

“Ryan… GO! GO! GO!” teriak Natasya dengan keras disertai gerakan yang heboh.

Tari merasa sangat malu berdiri di dekat Natasya. Temannya itu selalu saja bertindak heboh.

“Sssttt…” Tari mendesis sambil meletakkan jari telunjuknya di mulut Natasya. “Nggak usah keras-keras gitu, dong.”

“Kalau nggak teriak keras, siapa yang bakal denger? Rumput yang bergoyang?” cecar Natasya.

Tari hanya menggeleng mendengar jawaban sahabatnya itu. Percuma berdebat dengannya. Tari selalu saja kalah dibuatnya.

Sepanjang pertandingan, Natasya terus berteriak memberikan semangat untuk tim XII IPA 1, sampai-sampai Tari yang berada di sampingnya merasa seolah-olah telinganya terbakar. Suara seorang Natasya bahkan mengalahkan suara tim pemandu sorak yang sedang berjingkat-jingkat di pinggir lapangan basket.

Natasya berteriak semakin heboh ketika wasit meniupkan peluit tanda pertandingan telah usai. Pertandingan berakhir dengan skor 45-40 untuk kemenangan tim XII IPA 1. Natasya langsung menyerbu ke arah Ryan dan memberikan pelukan hangat sebagai ucapan selamat atas kemenangan timnya. Tari sudah biasa melihat keakraban Natasya dan Ryan. Mereka telah berteman sejak di bangku sekolah dasar sehingga sebuah pelukan merupakan hal yang sangat biasa bagi keduanya.

Tari mendekat ke arah Ryan lalu mengelap bulir-bulir keringat di dahinya dengan handuk kecil. “Selamat, ya…” bisik Tari pelan di telinga Ryan.

Ryan langsung menarik Tari ke dalam dekapannya. “Makasih.”

“Ekkheemmm…” suara Natasya keras. “Aduuhh, sepertinya hawa di sini semakin panas, ya. Aku mau pergi dulu, deh. Cari udara segar,” kata Natasya lantas meninggalkan Tari dan Ryan. Tari sadar bahwa sahabatnya itu sengaja pergi agar Tari bisa berduaan dengan Ryan.

Tari baru mengenal Ryan sekitar setahun lalu. Waktu itu, Tari, Natasya, dan Ryan sama-sama duduk di kelas XI IPA 4. Karena Ryan adalah sahabat Natasya sejak kecil, mau tidak mau Tari pun menjadi akrab dengan Ryan. Hari demi hari berlalu, kedekatan mereka mulai menimbulkan ketertarikan. Sejak lima bulan lalu, Tari secara resmi berpacaran dengan Ryan. Tentu saja Natasya memegang peranan penting dalam memperlancar hubungan mereka. Natasya ibarat seorang pemandu yang menuntun Tari untuk berlabuh ke hati Ryan.

“Kamu pasti lelah. Sebaiknya kamu segera pulang dan istirahat,” ucap Tari.

Ryan langsung menggeleng mendengar perkataan Tari tersebut. “Aku punya cara tersendiri untuk mengusir semua kelelahanku,” kata Ryan sambil merengkuh Tari lebih kuat dalam dekapannya. Lima menit berlalu. Tari hanya diam dalam dekapan Ryan.

“Aku lapar,” kata Ryan akhirnya.

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benak Tari. “Mau kuajak makan di tempat spesial?”

Ryan mengangkat alis tanda tidak mengerti. “Di mana?”

***

“Bagaimana? Enak?”

“Hhmm…” Ryan tampak berpikir sambil tetap melahap makanan di depannya.

“Enak, nggak?” tanya Tari lagi.

“Kalau aku bilang nggak enak, gimana?” canda Ryan.

“Kamu harus tetap menghabiskan semuanya. Tanpa bersisa,” kata Tari dengan nada mengancam.

Ryan tertawa pelan. Mereka sedang berada di rumah Tari. Rumah Tari cukup luas, bahkan sangat luas sampai-sampai bisa membuat orang yang baru datang berkunjung tersesat di dalamnya. Tari kerap kali dibuat kesepian tinggal di rumah seluas itu. Hanya Bi Inun yang selalu setia menemaninya di rumah.

“Rasanya enak, kok. Enak banget malah. Bi Inun emang top banget, deh,” kata Ryan sambil mengacungkan jempol ke arah Bi Inun yang sedang mencuci perabotan di dapur. Bi Inun membalas pujian tersebut dengan turut mengacungkan sebelah jempolnya.

“Jangan salah. Aku kan juga ikut membantu,” ucap Tari membela diri.

“Bantu nyemangatin kan maksudnya?” canda Ryan.

“Bukan. Bantu ngeliatin masakannya. Takutnya kan keburu gosong,” kata Tari berusaha mencari alasan.

Ryan langsung dibuat tertawa mendengar perkataan Tari.

Tidak lama berselang, terdengar suara mobil yang diparkir di garasi rumah. Ibu dan papa Tari sudah pulang.

“Selamat malam, Om, Tante,” sapa Ryan pada papa dan ibu Tari.

“Eh, ada Ryan. Apa kabar?” ujar papa Tari.

“Baik, Om,” ucap Ryan sopan.

Meski masih tergolong baru menjalin hubungan dengan Tari, Ryan sebelumnya secara terang-terangan telah meminta izin ke papa dan ibu Tari. Semenjak itu pun, Ryan menjadi dekat dengan orang-orang di rumah Tari.

“Silakan dilanjutkan ngobrol-ngobrolnya. Om sama tante masuk ke kamar dulu, ya.”

“Terima kasih, Om, Tante.”

Papa dan ibu Tari pun lantas masuk ke kamar mereka, meninggalkan Tari dan Ryan yang masih asyik di ruang makan.

Tari menatap punggung papa dan ibunya yang perlahan menghilang. Pikirannya melayang. Sekitar sepuluh tahun lalu, terjadi perpecahan pada keluarga Tari. Ia yang saat itu masih kecil, belum begitu mengerti tentang perselisihan yang terjadi. Ibu dan ayah kandungnya bertengkar hebat kala itu hingga akhirnya memutuskan untuk bercerai. Tari ikut dengan ibunya. Mereka meninggalkan kampung halaman dan mengadu nasib ke Bandung. Ibunya pun akhirnya bertemu dengan papanya, menjalin hubungan, kemudian memutuskan untuk menikah. Karena papa adalah seorang pebisnis, ibu memutuskan untuk senantiasa mendukung pekerjaan papa dengan cara bekerja di perusahaan. Ibu menjadi sekretaris pribadi papa. Tak jarang mereka menghabiskan waktu bersama seharian di kantor dan tak kunjung pulang hingga larut malam.

“Aku pulang dulu, ya,” kata Ryan menyadarkan Tari dari lamunannya.

Tari mengangguk. “Beristirahatlah. Kamu pasti sudah sangat lelah, kan.”

Tari mengantar kepulangan Ryan hingga di depan gerbang.

“Tidur yang nyenyak, ya,” kata Ryan sebelum pulang.

“Siap, komandan!” ucap Tari seraya meletakkan tangan kanannya di sebelah alis, berlagak layaknya seorang prajurit yang memberi hormat ke atasannya.

“Nanti aku mampir lagi,” kata Ryan. Ia tampaknya masih enggan untuk berpisah dengan kekasihnya itu.

“Hah?” Tari tak mengerti dengan maksud perkataan Ryan.

“Mampir ke mimpi kamu maksudnya. Hehe…”

Pipi Tari langsung memerah mendengarnya. Ia pun tersipu-sipu malu.

“Sampai rumah, aku kabari, ya.”

Tari mengangguk sembari melambaikan tangannya. Ditatapnya sosok Ryan yang perlahan mulai menjauh dari pandangannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia Cinta   Bab 18

    Natasya sibuk memasukkan barang-barang miliknya ke dalam koper. Entah kenapa kopernya itu seperti mau meledak saat satu per satu barangnya ia masukkan. Padahal, sebelumnya koper itu masih memiliki banyak ruang kosong.“Beresin yang bener. Jangan sampai ada barangmu yang tertinggal.”“Iya, Kak Bayu yang cerewet.”Natasya sudah lelah mendengar Bayu yang sejak siang tadi terus menceramahinya. Menyuruhnya memasukkan semua benda miliknya agar tidak ada yang tertinggal. Agar tidak membuat repot Bayu di kemudian hari. Agar Bayu tidak perlu bersusah payah mengirimkannya jika memang ada barang penting yang tertinggal.“Kakak pasti bakalan kangen aku, deh. Besok kan aku sudah balik ke Bandung.”“Nggak akan. Justru aku bahagia. Akhirnya besok aku akan mendapat kedamaian. Nggak ada lagi suara berisik yang mengganggu telingaku.”“Kalau Kakak kangen, jangan ragu untuk menghubungiku, ya.”&

  • Rahasia Cinta   Bab 17

    “Aku ikut!” ujar Tari akhirnya.“Hmm… Kamu yakin?”“Ya. Aku mau ikut kamu latihan.”Tari sendiri tidak paham kenapa kata-kata tersebut bisa keluar dari mulutnya. Saat ini, ia sedang menerima telepon dari Ryan. Pacarnya itu baru saja mengatakan bahwa ia akan pergi ke sekolah untuk latihan basket.Sejak dua hari yang lalu, Ryan tiba-tiba rajin menghubungi Tari. Tari merasa hal itu dilakukan Ryan karena sadar telah melakukan kesalahan, tidak memberikan kabar sama sekali selama liburan. Tari sendiri tidak ingin memperpanjang kasus menghilangnya Ryan dari radarnya selama liburan tersebut. Sesuai dengan saran Natasya, ia memutuskan untuk turut aktif menjaga keharmonisan hubungan mereka. Bagaimana caranya? Ia akan berada di dekat Ryan. Tidak akan dibiarkannya gadis lain dengan leluasa bermesra-mesraan ria dengan pacarnya itu.“Jangan diam aja. Kamu harus tunjukin ke mereka kalau kamu pacar Ryan!”,

  • Rahasia Cinta   Bab 16

    Keesokan paginya, Bayu duduk berhadapan dengan Natasya. Mereka berada di meja depan galeri Bayu.“Sampai kapan kamu akan menangis seperti itu?”Natasya tidak menjawab pertanyaan Bayu. Ia masih saja sesenggukan sambil berulang kali menghapus air matanya.Bayu hanya dapat menghela napas melihat pemandangan di depannya.“Berhenti menangis!”Bukannya berhenti, gadis di hadapannya malah menangis semakin keras.“Aku nggak akan tertipu olehmu. Meskipun kamu menangis seperti itu, kamu pikir aku nggak akan marah setelah semua perbuatanmu semalam?” tanya Bayu sambil menunjuk ke arah ruangannya. “Walaupun kamu menangis seperti itu, pintu ruang kerjaku nggak akan kembali seperti semula,” lanjut Bayu lagi.Mendengar perkataan Bayu tersebut, Natasya langsung teringat akan perbuatannya kemarin. Ia telah menghancurkan pintu ruang kerja Bayu. Pintu yang menjadi penghalang bagi orang-orang untuk masuk ke

  • Rahasia Cinta   Bab 15

    Krriiuuukkk… krrriiiiukkkk…Natasya dapat mendengar dengan jelas jeritan cacing-cacing di perutnya. Sudah hampir satu jam perutnya memberontak minta diisi. Apa daya, saat ini tidak ada makanan di rumah Bayu.Sejak sepuluh menit lalu, Natasya terus memelototi nasi di hadapannya. Berharap ada keajaiban sehingga nasi tersebut bisa berubah. Setidaknya menjadi nasi goreng. Lebih baik lagi jika berubah jadi nasi goreng ayam. Nasi goreng yang enak.Sadar bahwa keinginannya itu tidak mungkin terwujud, Natasya tidak punya pilihan selain mengambil tindakan nyata. Disendoknya nasi tersebut lalu diletakkannya di penggorengan. Tidak lupa ia memasukkan garam dan bumbu-bumbuan.Selama lima menit ia terus mengaduk aduk penggorengan di hadapannya. Saking semangatnya ia mengaduk, hampir setengah dari isi penggorengan tersebut kini memenuhi kompor di depannya. Natasya seolah tidak peduli. Ia hanya perlu mengisi kekosongan perutnya agar cacing di perutnya terse

  • Rahasia Cinta   Bab 14

    “Kakak mau ke mana? Kok tega ninggalin aku sendiri? Nggak takut aku hilang? Diculik? Lagian, kalau nanti ada yang datang ke sini aku harus bagaimana? Mau tanggung jawab kalau nanti semua lukisan di galeri ini dicuri?”Natasya langsung mencecari Bayu dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut setelah tahu bahwa Bayu akan meninggalkannya seorang diri di galeri. Bayu berniat menjenguk ibu Shinta. Tentu saja ia tidak berniat untuk mengajak Natasya ke sana. Ibu Shinta sedang sakit. Bisa dibayangkan kalau Natasya yang bersuara cempreng itu ikut dengan Bayu, bisa-bisa ibu Shinta tidak dapat beristirahat dengan tenang. Bayu jelas tidak ingin hal itu terjadi.“Aku kan sudah bilang, mau menjenguk ibunya teman. Kamu tidak kenal dia, jadi nggak ada gunanya kamu ikut,” jelas Bayu. “Lagi pula, kamu kan sudah dewasa. Nggak akan mungkin menghilang semudah itu,” ujar Bayu lagi. “Satu lagi, dengan suaramu yang seperti itu, para penculik pasti akan be

  • Rahasia Cinta   Bab 13

    Hari kelima liburan semester. Tari masih mengurung diri di kamar. Matanya tidak bisa lepas dari layar ponselnya. Ponsel itu tak kunjung berdering. Tari merasa kesepian. Natasya yang biasanya rajin menelepon untuk memamerkan kesenangan pengalaman liburannya pun hari ini tiada kabar. Tentu saja bukan telepon dari Natasya yang sebenarnya Tari nanti-nantikan. Hanya saja, bila temannya yang berisik itu menelepon, setidaknya ia tidak akan merasa kesepian seperti sekarang ini. Setidaknya, ia bisa melupakan sejenak kenyataan bahwa belakangan ini Ryan sama sekali tidak menghubunginya.Tari sudah tidak tahan lagi. Sedikit ragu, ia pun menyentuh layar ponselnya.Tutt… tutt… tutt…Orang di seberang sana tidak menjawab telepon darinya. Tari pasrah. Untuk kesekian kalinya, ia hanya bisa membenamkan wajahnya ke dalam bantal.***“Sudah cukup. Mari kita istirahat dulu.”Albert mengajak Ryan dan Randy beristirahat sejenak. Me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status