Share

Bab 4

Sepuluh tahun kemudian…

“Hei! Ngapain sendirian di sini?” suara Natasya yang cempreng hampir membuat jantung Tari copot.

“Ngagetin orang aja, deh. Ada apa?” tanya Tari.

“Yaelah… pake nanya ada apa. Yuk, buruan. Pertandingan basketnya udah mau mulai, tuh.”

Natasya menyeret Tari menuju lapangan basket. Sahabatnya yang satu ini memang sangat berbakat dalam memaksa Tari untuk melakukan segala hal. Mau tidak mau, Tari terpaksa ikut melangkah menuju lapangan basket.

Pertandingan basket antara kelas XII IPA 1 melawan XII IPA 3 telah dimulai. Tampak pemain-pemain jangkung dari kedua tim berusaha untuk merebut bola dan memasukkannya ke dalam ring lawan.

“Kok diem aja, sih! Kasi semangat dong buat Ryan,” kata Natasya dengan keras di tengah gegap gempita teriakan supporter, berusaha agar perkataannya didengar oleh Tari.

“Emangnya aku harus bagaimana lagi?” tanya Tari tidak mengerti. Ia merasa sudah cukup memberi semangat dengan turut menyaksikan pertandingan dan bertepuk tangan setiap kali Ryan berhasil memasukkan bola ke ring.

“Ryan… GO! GO! GO!” teriak Natasya dengan keras disertai gerakan yang heboh.

Tari merasa sangat malu berdiri di dekat Natasya. Temannya itu selalu saja bertindak heboh.

“Sssttt…” Tari mendesis sambil meletakkan jari telunjuknya di mulut Natasya. “Nggak usah keras-keras gitu, dong.”

“Kalau nggak teriak keras, siapa yang bakal denger? Rumput yang bergoyang?” cecar Natasya.

Tari hanya menggeleng mendengar jawaban sahabatnya itu. Percuma berdebat dengannya. Tari selalu saja kalah dibuatnya.

Sepanjang pertandingan, Natasya terus berteriak memberikan semangat untuk tim XII IPA 1, sampai-sampai Tari yang berada di sampingnya merasa seolah-olah telinganya terbakar. Suara seorang Natasya bahkan mengalahkan suara tim pemandu sorak yang sedang berjingkat-jingkat di pinggir lapangan basket.

Natasya berteriak semakin heboh ketika wasit meniupkan peluit tanda pertandingan telah usai. Pertandingan berakhir dengan skor 45-40 untuk kemenangan tim XII IPA 1. Natasya langsung menyerbu ke arah Ryan dan memberikan pelukan hangat sebagai ucapan selamat atas kemenangan timnya. Tari sudah biasa melihat keakraban Natasya dan Ryan. Mereka telah berteman sejak di bangku sekolah dasar sehingga sebuah pelukan merupakan hal yang sangat biasa bagi keduanya.

Tari mendekat ke arah Ryan lalu mengelap bulir-bulir keringat di dahinya dengan handuk kecil. “Selamat, ya…” bisik Tari pelan di telinga Ryan.

Ryan langsung menarik Tari ke dalam dekapannya. “Makasih.”

“Ekkheemmm…” suara Natasya keras. “Aduuhh, sepertinya hawa di sini semakin panas, ya. Aku mau pergi dulu, deh. Cari udara segar,” kata Natasya lantas meninggalkan Tari dan Ryan. Tari sadar bahwa sahabatnya itu sengaja pergi agar Tari bisa berduaan dengan Ryan.

Tari baru mengenal Ryan sekitar setahun lalu. Waktu itu, Tari, Natasya, dan Ryan sama-sama duduk di kelas XI IPA 4. Karena Ryan adalah sahabat Natasya sejak kecil, mau tidak mau Tari pun menjadi akrab dengan Ryan. Hari demi hari berlalu, kedekatan mereka mulai menimbulkan ketertarikan. Sejak lima bulan lalu, Tari secara resmi berpacaran dengan Ryan. Tentu saja Natasya memegang peranan penting dalam memperlancar hubungan mereka. Natasya ibarat seorang pemandu yang menuntun Tari untuk berlabuh ke hati Ryan.

“Kamu pasti lelah. Sebaiknya kamu segera pulang dan istirahat,” ucap Tari.

Ryan langsung menggeleng mendengar perkataan Tari tersebut. “Aku punya cara tersendiri untuk mengusir semua kelelahanku,” kata Ryan sambil merengkuh Tari lebih kuat dalam dekapannya. Lima menit berlalu. Tari hanya diam dalam dekapan Ryan.

“Aku lapar,” kata Ryan akhirnya.

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benak Tari. “Mau kuajak makan di tempat spesial?”

Ryan mengangkat alis tanda tidak mengerti. “Di mana?”

***

“Bagaimana? Enak?”

“Hhmm…” Ryan tampak berpikir sambil tetap melahap makanan di depannya.

“Enak, nggak?” tanya Tari lagi.

“Kalau aku bilang nggak enak, gimana?” canda Ryan.

“Kamu harus tetap menghabiskan semuanya. Tanpa bersisa,” kata Tari dengan nada mengancam.

Ryan tertawa pelan. Mereka sedang berada di rumah Tari. Rumah Tari cukup luas, bahkan sangat luas sampai-sampai bisa membuat orang yang baru datang berkunjung tersesat di dalamnya. Tari kerap kali dibuat kesepian tinggal di rumah seluas itu. Hanya Bi Inun yang selalu setia menemaninya di rumah.

“Rasanya enak, kok. Enak banget malah. Bi Inun emang top banget, deh,” kata Ryan sambil mengacungkan jempol ke arah Bi Inun yang sedang mencuci perabotan di dapur. Bi Inun membalas pujian tersebut dengan turut mengacungkan sebelah jempolnya.

“Jangan salah. Aku kan juga ikut membantu,” ucap Tari membela diri.

“Bantu nyemangatin kan maksudnya?” canda Ryan.

“Bukan. Bantu ngeliatin masakannya. Takutnya kan keburu gosong,” kata Tari berusaha mencari alasan.

Ryan langsung dibuat tertawa mendengar perkataan Tari.

Tidak lama berselang, terdengar suara mobil yang diparkir di garasi rumah. Ibu dan papa Tari sudah pulang.

“Selamat malam, Om, Tante,” sapa Ryan pada papa dan ibu Tari.

“Eh, ada Ryan. Apa kabar?” ujar papa Tari.

“Baik, Om,” ucap Ryan sopan.

Meski masih tergolong baru menjalin hubungan dengan Tari, Ryan sebelumnya secara terang-terangan telah meminta izin ke papa dan ibu Tari. Semenjak itu pun, Ryan menjadi dekat dengan orang-orang di rumah Tari.

“Silakan dilanjutkan ngobrol-ngobrolnya. Om sama tante masuk ke kamar dulu, ya.”

“Terima kasih, Om, Tante.”

Papa dan ibu Tari pun lantas masuk ke kamar mereka, meninggalkan Tari dan Ryan yang masih asyik di ruang makan.

Tari menatap punggung papa dan ibunya yang perlahan menghilang. Pikirannya melayang. Sekitar sepuluh tahun lalu, terjadi perpecahan pada keluarga Tari. Ia yang saat itu masih kecil, belum begitu mengerti tentang perselisihan yang terjadi. Ibu dan ayah kandungnya bertengkar hebat kala itu hingga akhirnya memutuskan untuk bercerai. Tari ikut dengan ibunya. Mereka meninggalkan kampung halaman dan mengadu nasib ke Bandung. Ibunya pun akhirnya bertemu dengan papanya, menjalin hubungan, kemudian memutuskan untuk menikah. Karena papa adalah seorang pebisnis, ibu memutuskan untuk senantiasa mendukung pekerjaan papa dengan cara bekerja di perusahaan. Ibu menjadi sekretaris pribadi papa. Tak jarang mereka menghabiskan waktu bersama seharian di kantor dan tak kunjung pulang hingga larut malam.

“Aku pulang dulu, ya,” kata Ryan menyadarkan Tari dari lamunannya.

Tari mengangguk. “Beristirahatlah. Kamu pasti sudah sangat lelah, kan.”

Tari mengantar kepulangan Ryan hingga di depan gerbang.

“Tidur yang nyenyak, ya,” kata Ryan sebelum pulang.

“Siap, komandan!” ucap Tari seraya meletakkan tangan kanannya di sebelah alis, berlagak layaknya seorang prajurit yang memberi hormat ke atasannya.

“Nanti aku mampir lagi,” kata Ryan. Ia tampaknya masih enggan untuk berpisah dengan kekasihnya itu.

“Hah?” Tari tak mengerti dengan maksud perkataan Ryan.

“Mampir ke mimpi kamu maksudnya. Hehe…”

Pipi Tari langsung memerah mendengarnya. Ia pun tersipu-sipu malu.

“Sampai rumah, aku kabari, ya.”

Tari mengangguk sembari melambaikan tangannya. Ditatapnya sosok Ryan yang perlahan mulai menjauh dari pandangannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status