Beranda / Romansa / Rahasia Di Antara Kita / 2. Mengusik Pikiran

Share

2. Mengusik Pikiran

Penulis: Vaya Diminim
last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-20 23:38:40

Pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dilaksanakan dengan mudah. Bukan pula pilihan yang gampang layaknya memilih gorengan hangat di pagi hari. Hidupku saja sudah susah saat ini. Bagaimana mungkin aku menikah? Terlebih lagi dengan orang yang belum pernah bertemu. Aku memang suka bagaimana hubunganku dengan Kakek Chu setahun terakhir. Tapi permintaannya kali ini terasa berat. Namun janji yang kubuat dengannya dua bulan lalu juga membuatku tak punya pilihan selain menerimanya.

Aku mengeluarkan jam tangan dari dalam tas kecil yang sudah usang. Bentuknya sudah lusuh, salah satu talinya terlihat sudah dijahit beberapa kali. Aku mendesah pelan, hari sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah waktunya untuk ke supermarket.

Aku meletakkan beberapa botol kaleng minuman ke rak. Menyamakan merek dan ukurannya. Satu tanganku memegang papan berisikan daftar nama barang yang akan disusun. Namun seketika gerak tanganku terhenti. Permintaan Kakek Chu tadi siang tiba-tiba melintas di benakku layaknya papan berjalan.

Kakek Chu terkekeh melihat raut wajahku yang ternganga. “Tutup mulutmu.” Sontak aku langsung mengatupkan kedua mulut, masih terlihat bingung dan linglung. “Aku tak memintamu menikahinya sekarang,” jelas Kakek Chu berusaha menenangkanku yang mulai terlihat tak setuju dan bersiap untuk menolak permintaannya mentah-mentah.

Entah mengapa aku menghela nafas lega. Padahal aku tetap harus menikahi cucunya meskipun tak sekarang. “Tapi kenapa aku? Aku bukan siapa-siapa,” tanyaku. “Eh, tidak.” Aku menarik pertanyaan barusan. “Maksudku, bagaimana bisa aku menikah sekarang? Aku bahkan belum pernah bertemu dengan cucumu,” Aku menatap Kakek Chu dengan penuh tanda tanya. 

“Kakek Chu, aku bisa mengabulkan permintaanmu yang lain. Permintaanmu ini terlalu berat untukku, bisakah kau meminta permintaan yang lain?” Aku membujuk Kakek Chu untuk mengganti permintaannya. Entah apa yang dipikirkan Kakek Chu sehingga mau menikahkan cucunya dengan diriku. Terlepas dari itu semua, sejujurnya aku tak terlalu tahu siapakah sebenarnya pria tua yang duduk di hadapanku ini. Aku melirik ke jendela luar. Sebuah mobil sedan hitam tengah di jaga oleh dua orang berbadan besar. Kemudian aku juga melirik pada Em yang berdiri tak jauh di belakang Kakek Chu.

“Kau bisa berkenalan dengannya dulu, bagaimana kalau kau tinggal di rumahku?” Wajah Kakek Chu berubah sembringah. Dia merasa bangga dengan ide yang baru saja diucapkannya. “Kau bisa lebih cepat untuk kenal dan dekat dengannya, bagaimana?”

Berbeda dengannya. Mataku semakin membesar setiap Kakek Chu membuka mulut. Tapi lidahku tak mau diajak bekerja sama. Tidak. Aku tidak mau. Aku menolak. Seakan-akan aku tak mengenal kata-kata itu sehingga sulit sekali untuk diucapkan.

“Karena kau tak menjawab, aku anggap kau setuju.” Kakek Chu memutuskan sepihak. Lalu meraih tanganku yang bebas di atas meja.

“Akan kupastikan kau mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Tak lagi menderita. Sejujurnya hatiku sakit melihatmu bekerja keras seperti ini,” kata Kakek Chu pelan. Nada suaranya melunak. Tatapannya menyiratkan sebuah perasaan yang sulit untuk kujelaskan. Ada semacam rasa bersalah bercampur penuh harap padaku. Karenanya aku tak kuasa menolak.

Kring!!

Dentingan lonceng pintu membuatku terlonjak kaget, membuyarkan lamunanku. Aku bergegas kembali ke meja kasir. Sekilas aku memperhatikan seorang anak kecil mendatangi sebuah rak yang dipenuhi cemilan ringan. Mengambil satu yang berukuran sedang bertuliskan “kentang original”. Aku tersenyum kecil memperhatikan anak yang tampak lucu itu kemudian berlalu menuju meja kasir. Namun langkahku terhenti ketika ujung lengan bajuku di tarik dari belakang. Aku menoleh dan mendapati seorang anak kecil yang kulihat tadi. Dengan ragu, dia memberikan secarik kertas yang dilipat. Tanganku menerima kertas dengan sedikit terheran-heran.

Kak, berikan aku satu ini saja, nanti hal baik pasti akan terjadi padamu.

Aku tersenyum ringan. Kupandangi wajahnya yang terlihat memelas dengan korengan yang sudah mengering. Dia menatapku penuh harap. Kedua tangannya memangku sebungkus cemilan ringan yang diambilnya tadi. Tidak banyak. Dia hanya mengambil dua bungkus cemilan berukuran sedang.

Apa boleh buat, aku membiarkannya sekali ini saja. Membayar dua cemilan itu tidak akan membuatku mati kelaparan. Aku berpikir panjang. Apabila nanti aku berada diposisi itu, apakah ada yang akan membantuku seperti yang kulakukan pada anak itu?

“Baiklah. Aku akan memberikanmu secara gratis,” kataku sambil membungkuk dan mencubit manja sebelah pipinya, “kau juga mau minuman?” Aku memberikan seotol air putih yang kebetulan berada di dekat kasir. “Ini,” Anak itu menerima dengan cepat kemudian dia langsung berlari keluar supermarket.

Aku menghembuskan nafas. Tersenyum simpul menatap anak itu hingga menghilang dari pandangan. Tak lama, aku menggeleng-gelengkan kepala kembali fokus bekerja, masih banyak yang harus dilakukan. Ini sudah tahun kedua aku bekerja paruh waktu di sebuah supermarket dua puluh empat jam. Aku mengambil shif malam. Gaji yang didapatkan memang tidak seberapa, tapi cukup untuk menutupi kehidupanku yang sudah susah ini. Aku tidak pemilih soal pekerjaan. Mendapatkan pekerjaanku ini saja sudah sangat sulit, apalagi untuk seorang gadis dua puluh tiga tahun yang hanya lulusan sekolah menengah.

“Lagi-lagi kau melakukannya!” Untuk kedua kalinya, aku kembali terlonjak kaget ketika pemilik supermarket tiba-tiba masuk. “Gaji kau kupotong!”

“Tapi pak, saya membayarnya dengan uang saya sendiri. Saya tidak pernah mencuri,” aku membela diri. Enak saja dia memotong gajiku hanya karena membiarkan anak kecil tadi memasuki supermarket ini.

“Ini sudah yang keberapa kali, huh? Kau pikir aku tidak tahu? Bisa-bisa aku rugi kalau kau seperti ini terus,” kata pemilik supermarket yang biasa kupanggil Pak Wang itu. Temperamennya memang buruk. Tak sekali ini aku menerima teriakannya. Aku akui memang aku sering memberikan cemilan pada anak-anak jalanan yang memasuki toko. Pada awalnya mereka memang berniat untuk mencuri, tetapi kebanyakan dari mereka ketahuan olehku sehingga aku membiarkan dan membayar makanan yang mereka ambil dengan uangku sendiri. Tapi Pak Wang selalu curiga, mengatakan jika aku komplotan mereka ikut mencuri di supermarketnya.

“Kalau kau gak mau dipotong gajinya, berhenti saja!” seru Pak Wang lagi.

            Tanganku berhenti memindai barang. Ucapannya kali ini terdengar begitu menyinggung hati. Seolah itu kesalahan terbesar yang aku lakukan. Sejujurnya aku tak tahu apa salahku sehingga harus berhenti? Aku bukannya mencuri. “Apa?”

            “Kau tak dengar? Kau kupecat. Jelas?” ulangnya lebih lantang. “Sana!” Pak Wang menarik dan mendorongku menjauh dari meja kasir. Aku masih tak terima dengan perlakuannya tapi aku juga sudah muak bekerja di sana. Dua tahun bukan waktu sebentar. Jika melihat ke belakang. Sering kali ucapan bosku ini yang menyakitkan, bahkan menghinaku. Tapi selalu aku tahan karena butuh pekerjaan ini, hanya untuk bertahan hidup.

            Aku melepaskan rompi hijau yang biasa kukenakan selama bekerja, kemudian meletakkannya dengan kasar di atas meja kasir. Kemudian berjalan ke belakang mengambil tas dan barang-barangku. Tak lama, aku kembali keluar dan melirik sinis pada Pak Wang sebelum keluar. Berharap supermarketnya benar-benar dimaling atau bangrut. “Dasar pria tua,” rutukku dalam hati.  

            Di tengah jalan, perhatianku teralihkan pada sebuah pemandangan yang kembali membangkitkan kenangan masa lalu. Dari balik kaca sebuah café, seorang gadis tampak cantik dengan balutan gaun merah jambu yang dilengkapi sepatu kaca layaknya cinderella di zaman sekarang. Gaids itu tersenyum sembringah seolah-olah tidak ada beban dalam hidupnya. Lain halnya dengan diriku yang berpakaian lusuh yang menatap iba dari kejauhan. Pelupuk mataku berlinang, mengenang memori kehidupanku dulu. Sebelum peristiwa itu menyapa secara tiba-tiba.

“Tidak bisakah aku memutar waktu?” ucapku lirih berbalik badan menyusuri sebuah gang kecil yang gelap. “Tidak bisakah aku kembali?” ucapku sekali lagi sambil mengusap air mata yang sudah membasahi pipi. 

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rahasia Di Antara Kita   50. THE TRUTH

    Sesuai intruksi dari Eliyah, aku tiba di stasiun kereta bawah tanah tepat pukul sebelas siang. Suasana stasiun ramai namun masih terkendali. Kakiku lincah bergerak memotong beberapa orang yang berjalan cepat di depan. Aku merapatkan topi kemudian berjalan ke arah pintu keluar sebelas. Tempat dimana loker yang harus kubuka. Sebuah mesin penjual minum otomatis di sebelah loker menarik perhatianku. Sebelah tanganku mengeluarkan dua buah koin lalu memasukkannya ke dalam mesin. Tidak lama keluar sebuah minuman kaleng rasa jeruk dari kotak hitam di bagian bawah mesin. Tapi bukan minuman itu yang kucari melainkan sebuah kunci yang terletak pada lantai tempat minuman itu keluar. Ah, dapat! Eliyah memang jenius. Bisa-bisanya dia kepikiran untuk meletakkan kunci di sana. Tidak akan ada yang tau. Angka sebelas tertulis pada mainan kunci. Aku berjalan mendekati loker nomor sebelas. Memutar kunci dan kenop pintu kecil itu terbuka. Ada sebuah map dan

  • Rahasia Di Antara Kita   49. POTONGAN MISTERI

    “Hm? Hanya kita berdua?” Jay bertanya santai saat Madam Bong ikut bergabung di meja makan pagi itu. Dia melihat seluruh kursi dibalik meja kosong lantas mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan hingga mendongak ke arah lantai dua. “Yang lain pada kemana?” “Aku juga tidak tau, mereka semua tidak ada di rumah saat aku ke kamar mereka pagi tadi?” “Benarkah?” Raut wajah Jay berubah kecewa. “Padahal aku bela belain untuk pulang, tapi ternyata mereka tidak ada di rumah. Keterlaluan sekali. Jinnie juga nginap di luar?” Madam Bong mengangguk. “Sepertinya dia pergi dengan Hwan ke suatu tempat. Aku melihat mereka keluar bersama kemarin siang,” tambah Madam Bong. Jay mengangguk pelan. Dia tidak heran karena semua orang di rumah juga tahu jika aku lebih sering pergi keluar dengan Hwan ketimbang Sam. Jadi tidak ada yang perlu di pertanyakan. “Bagaimana dengan Sam?” Madam Bong mengangkat bahu bersamaan dengan helaan nafas panjang. “Rum

  • Rahasia Di Antara Kita   48. The Second Touch

    Kami mampir di salah satu kedai tepi pantai terdekat. Kerang bakar sudah tercium dimana-mana. Katanya itu menu andalan mereka. Bahkan suasana kedai masih sangat ramai meski hari sudah mendekati tengah malam. Aku menatap jauh ke arah pantai yang gelap. Hanya menyisakan desiran ombak yang menggulung dalam malam pekat. “Ayahku..” kataku pelan dengan suara yang agak bergetar. Ini pertama kalinya aku membahas tentang keluargaku dalam tiga tahun terakhir. Hwan melipat tangan di meja. Dia menatapku dengan saksama. Mendengarkan dengan setia. “Aku punya banyak penyesalan terhadapnya. Mengapa begitu tega meninggalkanku seorang diri di sini. Jahat sekali,” desisku lagi. Kali ini mengambil seteguk soju yang baru saja dihidangkan oleh pelayan kedai. Aku sempat memberikan seulas senyum sebagai ucapan terima kasih tepat sebelum dia meninggalkan meja kami. “Apa sekarang kita bukan lagi orang asing? Karena kau mulai menceritakan tentan

  • Rahasia Di Antara Kita   47. Maaf dan Terima Kasih

    Hwan berjalan mantap mendekati meja makan. “Sekali lagi kau bicara kasar padanya, aku tidak akan tinggal diam.” “Ho..hoo.hoo,” balas Sam menyeringai sambil mengangkat kedua tangan. “Aku lupa. Sekarang kau sudah berlagak menjadi pahlawan untuknya karena sudah berstatus tunangan? Sorry aku lupa padahal baru kemarin.” Sam menurunkan kedua tangan. Dia melanjutkan menyusun sendok di atas meja. “Mari kita lihat berapa lama sandiwaramu itu akan bertahan,” gumam Sam pelan. “Kau tidak bisa menutup mulutmu itu, huh?” Hwan semakin naik pitam. Sam mengedikkan bahunya tak peduli. Dia terus sibuk menyusun sendok di atas meja. “Awas, awas, panas.” Madam Bong bergerak cepat membawa satu mangkuk besar sup panas ke atas meja makan. Memecah suasana tegang di langit-langit meja makan. “Ayo semuanya duduk. Kita makan bersama.” “Selera makanku sudah hilang. Kalian makan saja tanpaku.” Sam meninggalkan meja makan dengan wajah sombongnya itu. Dia ma

  • Rahasia Di Antara Kita   46. Dua Mangkuk Nasi

    Pagi itu Sam berlari menuruni anak tangga. Melewati dapur dan menyempatkan diri menyapa Madam Bong yang sudah sibuk di dapur. Ya. Pagi itu Madam Bong juga seorang diri. Tak seperti biasanya yang selalu bersamaku saat menyiapkan sarapan. Madam Bong hanya bisa berteriak mengatakan hati-hati pada Sam yang sudah tiba di ujung pintu. Entah apa yang membuatnya sangat terburu-buru pagi itu. Begitu pula dengan mobil Sam yang melaju kencang meninggalkan kepul asap di belakang. Tangannya lincah memutar stir mobil, berbelok menuju sebuah rumah yang sudah menjadi tujuannya setelah terbangun dari kamarku. “Aku mau bertemu dengan Kakek,” kata Sam pada Em dengan memasang wajah sangar. Merah padam. Saking tidak sabarnya, Sam langsung mendorong pintu kamar Kakek Chu hingga pintu terhempas keras. Kakek Chu yang tengah menyesap kopinya tampak agak terkejut karena cangkir di tangannya agak bergetar. Bahkan kini Sam sudah berdiri tepat di hadapannya. Em hany

  • Rahasia Di Antara Kita   45. First Kiss

    “Ini tidak seperti yang kau lihat,” jelasku mengikuti Hwan hingga ke dalam kamar. Sementara kami mengabaikan Sam yang sudah lebih dulu berjalan acuh tak acuh menuju kamarnya sendiri. “Aku tahu,” balas Hwan santai sambil berjalan mendekati tempat tidur lantas melemparkan ponsel sembarangan di atasnya. “Lalu?” “Apanya yang lalu?” Hwan beranjak duduk dan mulai melonggarkan kancing lengan bajunya. “Tidak, aku hanya takut kau berpikiran yang tidak-tidak,” kataku salah tingkah dengan sebelah tangan terangkat memegang belakang kepala. Hwan menyeringai. “Kau khawatir aku salah paham?” “Aku? Padamu? Oh, tentu tidak.. jangan kepedean dulu,” sahutku lagi sambil melambaikan kedua tangan. Berusaha membantah. Untunglah Hwan terus sibuk dengan lengan bajunya sehingga tak melihat ke arahku. Karena kini aku bisa merasakan getaran panas yang menjalar di kedua pipi dan telinga. Astaga, apa ini yang di namakan salah tingkah?

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status