Share

2. Mengusik Pikiran

Pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dilaksanakan dengan mudah. Bukan pula pilihan yang gampang layaknya memilih gorengan hangat di pagi hari. Hidupku saja sudah susah saat ini. Bagaimana mungkin aku menikah? Terlebih lagi dengan orang yang belum pernah bertemu. Aku memang suka bagaimana hubunganku dengan Kakek Chu setahun terakhir. Tapi permintaannya kali ini terasa berat. Namun janji yang kubuat dengannya dua bulan lalu juga membuatku tak punya pilihan selain menerimanya.

Aku mengeluarkan jam tangan dari dalam tas kecil yang sudah usang. Bentuknya sudah lusuh, salah satu talinya terlihat sudah dijahit beberapa kali. Aku mendesah pelan, hari sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah waktunya untuk ke supermarket.

Aku meletakkan beberapa botol kaleng minuman ke rak. Menyamakan merek dan ukurannya. Satu tanganku memegang papan berisikan daftar nama barang yang akan disusun. Namun seketika gerak tanganku terhenti. Permintaan Kakek Chu tadi siang tiba-tiba melintas di benakku layaknya papan berjalan.

Kakek Chu terkekeh melihat raut wajahku yang ternganga. “Tutup mulutmu.” Sontak aku langsung mengatupkan kedua mulut, masih terlihat bingung dan linglung. “Aku tak memintamu menikahinya sekarang,” jelas Kakek Chu berusaha menenangkanku yang mulai terlihat tak setuju dan bersiap untuk menolak permintaannya mentah-mentah.

Entah mengapa aku menghela nafas lega. Padahal aku tetap harus menikahi cucunya meskipun tak sekarang. “Tapi kenapa aku? Aku bukan siapa-siapa,” tanyaku. “Eh, tidak.” Aku menarik pertanyaan barusan. “Maksudku, bagaimana bisa aku menikah sekarang? Aku bahkan belum pernah bertemu dengan cucumu,” Aku menatap Kakek Chu dengan penuh tanda tanya. 

“Kakek Chu, aku bisa mengabulkan permintaanmu yang lain. Permintaanmu ini terlalu berat untukku, bisakah kau meminta permintaan yang lain?” Aku membujuk Kakek Chu untuk mengganti permintaannya. Entah apa yang dipikirkan Kakek Chu sehingga mau menikahkan cucunya dengan diriku. Terlepas dari itu semua, sejujurnya aku tak terlalu tahu siapakah sebenarnya pria tua yang duduk di hadapanku ini. Aku melirik ke jendela luar. Sebuah mobil sedan hitam tengah di jaga oleh dua orang berbadan besar. Kemudian aku juga melirik pada Em yang berdiri tak jauh di belakang Kakek Chu.

“Kau bisa berkenalan dengannya dulu, bagaimana kalau kau tinggal di rumahku?” Wajah Kakek Chu berubah sembringah. Dia merasa bangga dengan ide yang baru saja diucapkannya. “Kau bisa lebih cepat untuk kenal dan dekat dengannya, bagaimana?”

Berbeda dengannya. Mataku semakin membesar setiap Kakek Chu membuka mulut. Tapi lidahku tak mau diajak bekerja sama. Tidak. Aku tidak mau. Aku menolak. Seakan-akan aku tak mengenal kata-kata itu sehingga sulit sekali untuk diucapkan.

“Karena kau tak menjawab, aku anggap kau setuju.” Kakek Chu memutuskan sepihak. Lalu meraih tanganku yang bebas di atas meja.

“Akan kupastikan kau mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Tak lagi menderita. Sejujurnya hatiku sakit melihatmu bekerja keras seperti ini,” kata Kakek Chu pelan. Nada suaranya melunak. Tatapannya menyiratkan sebuah perasaan yang sulit untuk kujelaskan. Ada semacam rasa bersalah bercampur penuh harap padaku. Karenanya aku tak kuasa menolak.

Kring!!

Dentingan lonceng pintu membuatku terlonjak kaget, membuyarkan lamunanku. Aku bergegas kembali ke meja kasir. Sekilas aku memperhatikan seorang anak kecil mendatangi sebuah rak yang dipenuhi cemilan ringan. Mengambil satu yang berukuran sedang bertuliskan “kentang original”. Aku tersenyum kecil memperhatikan anak yang tampak lucu itu kemudian berlalu menuju meja kasir. Namun langkahku terhenti ketika ujung lengan bajuku di tarik dari belakang. Aku menoleh dan mendapati seorang anak kecil yang kulihat tadi. Dengan ragu, dia memberikan secarik kertas yang dilipat. Tanganku menerima kertas dengan sedikit terheran-heran.

Kak, berikan aku satu ini saja, nanti hal baik pasti akan terjadi padamu.

Aku tersenyum ringan. Kupandangi wajahnya yang terlihat memelas dengan korengan yang sudah mengering. Dia menatapku penuh harap. Kedua tangannya memangku sebungkus cemilan ringan yang diambilnya tadi. Tidak banyak. Dia hanya mengambil dua bungkus cemilan berukuran sedang.

Apa boleh buat, aku membiarkannya sekali ini saja. Membayar dua cemilan itu tidak akan membuatku mati kelaparan. Aku berpikir panjang. Apabila nanti aku berada diposisi itu, apakah ada yang akan membantuku seperti yang kulakukan pada anak itu?

“Baiklah. Aku akan memberikanmu secara gratis,” kataku sambil membungkuk dan mencubit manja sebelah pipinya, “kau juga mau minuman?” Aku memberikan seotol air putih yang kebetulan berada di dekat kasir. “Ini,” Anak itu menerima dengan cepat kemudian dia langsung berlari keluar supermarket.

Aku menghembuskan nafas. Tersenyum simpul menatap anak itu hingga menghilang dari pandangan. Tak lama, aku menggeleng-gelengkan kepala kembali fokus bekerja, masih banyak yang harus dilakukan. Ini sudah tahun kedua aku bekerja paruh waktu di sebuah supermarket dua puluh empat jam. Aku mengambil shif malam. Gaji yang didapatkan memang tidak seberapa, tapi cukup untuk menutupi kehidupanku yang sudah susah ini. Aku tidak pemilih soal pekerjaan. Mendapatkan pekerjaanku ini saja sudah sangat sulit, apalagi untuk seorang gadis dua puluh tiga tahun yang hanya lulusan sekolah menengah.

“Lagi-lagi kau melakukannya!” Untuk kedua kalinya, aku kembali terlonjak kaget ketika pemilik supermarket tiba-tiba masuk. “Gaji kau kupotong!”

“Tapi pak, saya membayarnya dengan uang saya sendiri. Saya tidak pernah mencuri,” aku membela diri. Enak saja dia memotong gajiku hanya karena membiarkan anak kecil tadi memasuki supermarket ini.

“Ini sudah yang keberapa kali, huh? Kau pikir aku tidak tahu? Bisa-bisa aku rugi kalau kau seperti ini terus,” kata pemilik supermarket yang biasa kupanggil Pak Wang itu. Temperamennya memang buruk. Tak sekali ini aku menerima teriakannya. Aku akui memang aku sering memberikan cemilan pada anak-anak jalanan yang memasuki toko. Pada awalnya mereka memang berniat untuk mencuri, tetapi kebanyakan dari mereka ketahuan olehku sehingga aku membiarkan dan membayar makanan yang mereka ambil dengan uangku sendiri. Tapi Pak Wang selalu curiga, mengatakan jika aku komplotan mereka ikut mencuri di supermarketnya.

“Kalau kau gak mau dipotong gajinya, berhenti saja!” seru Pak Wang lagi.

            Tanganku berhenti memindai barang. Ucapannya kali ini terdengar begitu menyinggung hati. Seolah itu kesalahan terbesar yang aku lakukan. Sejujurnya aku tak tahu apa salahku sehingga harus berhenti? Aku bukannya mencuri. “Apa?”

            “Kau tak dengar? Kau kupecat. Jelas?” ulangnya lebih lantang. “Sana!” Pak Wang menarik dan mendorongku menjauh dari meja kasir. Aku masih tak terima dengan perlakuannya tapi aku juga sudah muak bekerja di sana. Dua tahun bukan waktu sebentar. Jika melihat ke belakang. Sering kali ucapan bosku ini yang menyakitkan, bahkan menghinaku. Tapi selalu aku tahan karena butuh pekerjaan ini, hanya untuk bertahan hidup.

            Aku melepaskan rompi hijau yang biasa kukenakan selama bekerja, kemudian meletakkannya dengan kasar di atas meja kasir. Kemudian berjalan ke belakang mengambil tas dan barang-barangku. Tak lama, aku kembali keluar dan melirik sinis pada Pak Wang sebelum keluar. Berharap supermarketnya benar-benar dimaling atau bangrut. “Dasar pria tua,” rutukku dalam hati.  

            Di tengah jalan, perhatianku teralihkan pada sebuah pemandangan yang kembali membangkitkan kenangan masa lalu. Dari balik kaca sebuah café, seorang gadis tampak cantik dengan balutan gaun merah jambu yang dilengkapi sepatu kaca layaknya cinderella di zaman sekarang. Gaids itu tersenyum sembringah seolah-olah tidak ada beban dalam hidupnya. Lain halnya dengan diriku yang berpakaian lusuh yang menatap iba dari kejauhan. Pelupuk mataku berlinang, mengenang memori kehidupanku dulu. Sebelum peristiwa itu menyapa secara tiba-tiba.

“Tidak bisakah aku memutar waktu?” ucapku lirih berbalik badan menyusuri sebuah gang kecil yang gelap. “Tidak bisakah aku kembali?” ucapku sekali lagi sambil mengusap air mata yang sudah membasahi pipi. 

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status