Langit malam kota Seoul tak pernah sepi. Suara klakson mobil saling sahut menyahut. Lampu gedung, bar, restoran, café saling berlomba-lomba berusaha mengalahkan ribuan cahaya bintang di langit. Aku mendongak menatap langit. Kenapa hidupku tak pernah secerah itu?
Aku mendesah panjang. Angin berhembus cukup kuat malam itu karena sudah hampir memasuki musim semi. Kakiku melangkah tanpa arah. Masih terlalu cepat untuk pulang. Mau tidak mau aku harus segera mencari pekerjaan pengganti jika tak ingin diusir dari flat yang aku tempati kini. Sebenarnya, pemilik flatku itu sudah lebih dari baik karena masih membiarkanku di sana meskipun sudah menunggak selama tiga bulan.
Aku menyusuri jalanan paling ramai di kotaku. Itaewon memang tempat terbaik jika menyangkut pertunjukkan malam. Mulai dari busking, street dance dan pagelaran seni lainnya digelar secara bebas di sini. Tidak hanya itu, sepanjang jalan berjejer bar dan diskotik yang penuh dengan antrian yang mengular di luar. Aku mendekati salah satu bar yang agak sepi. Mataku lamat-lamat memperhatikan setiap sudut. Berharap menemukan sesuatu yang aku cari. Benar saja. Tepat saat itu mataku langsung berbinar ketika melihat sebuah kertas tertempel di salah satu kaca besar. Bar itu sedang mencari pekerjaan paruh waktu. Semoga aku bisa mendapatkan kesempatan itu. Aku melihat papan nama besar yang menggantung. Channel A. Itulah nama bar yang tertulis.
Aku agak menjauh dari kaca itu. memperhatikan siluet diriku dalam kaca yang tak terlalu jelas. Setidaknya masih bisa terlihat apakah penampilanku tampak berantakan. Aku merapikan rambut hitam lurusku yang melebihi bahu, tak terlalu panjang. Dan menyeka lengan kaos putih longgar yang kukenakan. Pakaianku memang agak lusuh tapi masih rapi dan bersih. Celana jins yang kupakai bahkan sudah agak robek dibagian lutunya, tapi kuanggap sebagai gaya. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Aku mendorong pintu. Dua orang berbadan besar langsung menghadang langkahku.
“Kau tidak bisa masuk sembarangan ke sini,” kata salah satu pria itu dengan suara beratnya.
“Aku melihat kalau bar ini sedang mencari pekerja paruh waktu, jadi aku datang untuk itu,” terangku sambil bergantian menatap kedua pria itu. Mereka memindai penampilanku dari atas kepala hingga ujung kaki. “Sana masuk! Lain kali lewat pintu belakang, jangan lewat sini,” kata salah satu pria itu terdengar tak ramah. Mana aku tahu peraturan seperti itu. Aku membungkukkan sedikit badan lalu berjalan cepat meninggalkan kedua pria itu di pintu masuk. Aku agak takut melihat wajahnya karena tampak sangar dan mengerikan.
Suara musik keras mulai terdengar memekakkan telinga. Tetapi kupaksakan untuk terus melangkah. Sungguh penampakan yang asing bagiku di bawah sana. Sebelumnya aku pernah mendengar tempat-tempat seperti ini, tetapi belum pernah datang. Teringat janji kakak laki-lakiku waktu itu. Namun kini dia tak sempat memenuhi janjinya untuk membawaku ke tempat-tempat seperti ini.
Aku menuruni anak tangga perlahan. Sudah pasti raut wajahku sangat norak dengan mulut ternganga melihat banyaknya orang-orang yang sedang menari dan berjoget asik di tengah kerumunan diiringi alunan musik disko. Di depannya ada seorang DJ yang memimpin musik. Di samping DJ itu ada tiga orang yang menari sambil bergantungan pada tiang. Aku memandangi penampilan dan melihat bajuku yang jauh berbeda dengan orang-orang di sana.
Lampu bar yang redup dan lampu sorot yang menyilaukan membuat penglihatanku menjadi tak jelas. Aku bingung kepada siapa harus bertanya tentang pengumuman yang kulihat di depan. Aku mengedarkan pandangan. Celingak-celinguk kanan dan kiri. Mataku setengah terbuka karena lampu sorot yang tepat mengenai mataku. Remang-remang aku melihat seorang pelayan berbaju putih sedang membawa nampan di balik kerumunan orang-orang di depanku ini. Aku hanya perlu berjalan menyibak kerumunan orang yang sedang menari itu.
Selangkah. Dua langkah masih aman. Tetapi langkah ketigaku tak berjalan lancar karena kakiku tersandung sesuatu di bawah sana sehingga membuat diriku kehilangan keseimbangan. Tepat saat itu sepasang tangan manangkap dan menarik tanganku agar wajahku tak menyatu dengan lantai. Sepasang tangan itu menarikku cukup kuat hingga membuat badanku berbalik sepersekian detik. Aku mendarat dalam sebuah dekapan seseorang. Tetapi aku merasakan sesuatu yang aneh. Aku menunduk dan mendapati sepasang tangan sudah berada di dadaku dan berdiam di sana. Sontak aku langsung mengangkat pandangan dan mendapati orang yang menolongku itu seorang laki-laki.
“Aaaaaa…” teriakku.
Aku berteriak kaget lalu menarik kuat lengan pria itu dan membalik badannya hingga terangkat, kemudian menghempaskannya ke lantai dengan keras. Seketika itu juga musik berhenti dan semua perhatian terpusat padaku. Orang-orang yang menari tadi juga berhenti, mereka otomatis membentuk lingkaran mengelilingiku dan pria yang sudah tergeletak di lantai itu. Aku menguasai teknik bela diri judo sabuk hitam. Dulu ayah selalu memaksaku untuk ikut kelas judo agar bisa menjaga diri katanya. Tak aku sangka kepandaianku itu bisa kupakai sekarang.
Aku terengah-engah. Kemudian tersadar tempat yang disentuh pria tadi, sontak tanganku langsung terangkat menyilang di dada. “A-apa yang kau lakukan?” tunjukku pada pria yang berusaha untuk bangkit. Dia memegangi pinggang yang terhempas tadi. Lampu bar menyala lebih terang dari yang sebelumnya. Beberapa pria berbadan besar berlarian menghampiriku. Tetapi yang membuatku terkejut adalah mereka langsung menanyai kabar pria itu. Apakah dia baik-baik saja dan tidak terluka? Jelas-jelas korbannya di sini adalah aku.
“Belum bekerja saja sudah membuat masalah, keluar sana!” Pria berbadan besar yang aku temui di pintu masuk tadi menarik lenganku paksa. Dengan sekuat tenaga aku menahan agar badanku tak terseret keluar.
Pria yang kubanting tadi mengangkat tangan menyuruh empat orang pria berbadan besar itu berhenti. Pegangan tangan pria berbadan besar itu melonggar. Aku mengambil kesempatan untuk melepaskan cengramannya dengan cepat dan berdiri agak menjauh. Pria yang kubanting tadi menyuruh mereka pergi. Tak membantah. Mereka membungkukkan badan dan langsung meninggalkan kami sesuai perintah. Pria itu mendekatiku sambil tersenyum picik. Setidaknya itulah yang aku pikirkan saat itu. Karena orang-orang cenderung mempercayai hal-hal yang terlihat oleh mata mereka. Dan aku sama dengan orang-orang itu.
Aku memasang kuda-kuda bersiap membanting pria itu lagi jika dia macam-macam denganku. “Maaf, aku tak sengaja menyentuhmu di sana.” Pria itu melirik dadaku lalu dengan cepat mengalihkan pandangannya kemanapun. Aku mengeratkan silangan tangan di dada. Memastikan dia tak bisa melihatnya. “Apa yang kau lihat?” tanpa sadar aku mengangkat tangan yang terkepal. Masih saja bersiap untuk menyerang.
“Kudengar kau ingin bekerja paruh waktu di sini?” tanya pria yang masih belum kuketahui namanya. Aku masih terdiam enggan untuk menjawab. Lagi pula apa urusannya dengan pria yang sedang memasukkan kedua tangannya ke saku itu.
“Aku bisa membantumu,” pria itu mengulurkan tangan mengajak bersalaman dengan menunjukkan senyuman termanisnya. Tapi entahlah, bagiku senyumnya tampak begitu aneh. Alisku terangkat, mencoba mencerna situasi apa yang tengah terjadi. “Kim Hwan,” katanya memperkenalkan diri. Pria bernama Kim Hwan itu kembali menarik tangannya karena tak kunjung mendapat balasan dariku.
“Hmmm mungkin kau belum tahu, tapi aku yang akan memperkerjakanmu di sini,” jelasnya lagi semakin membuatku terbelalak.
“Apa?”
****
Ada-ada saja kejadian yang menimpaku hari ini. Tidak ada yang berjalan sesuai dengan keinginanku. Terlebih lagi, posisiku sekarang sangatlah tidak menguntungkan. Pria yang memasukkan tangan ke saku di depanku ini menyeringai. “Kalau kau mau bekerja sekarang juga bisa,” lanjutnya lagi, sedangkan aku masih mematung menatapnya lamat-lamat. Wajar saja keempat pria berbadan kekar itu patuh pada perintahnya. Tapi aku tak tahu harus bereaksi apa saat itu. Entah harus bahagia karena berhasil mendapatkan pekerjaan baru, atau merasa bersalah karena sudah membantingnya ke lantai atau marah karena perbuatannya padaku tadi, walaupun tak sengaja. Hanya senyum tipis yang bisa kutunjukkan. Meskipun agak dipaksakan, semoga dia bisa menangkap perasaan terima kasihku melalui senyuman palsu ini. “Sa-saya bisa langsung bekerja sekarang pak,” kataku gelagapan. Hwan mengangguk kemudian memanggil salah satu pe
Mataku terbuka. Aku menyempatkan tidur sore setelah pulang bekerja dari restoran. Aku duduk. Menghidupkan lampu tidur di samping ranjang. Aku menatap seluruh isi flat. Tak ada yang istimewa. Tidak ada barang-barang mewah di dalamnya. Jangankan maling, seekor kucing pun enggan untuk memasuki rumah karena tidak ada yang bisa dicuri dari ruangan itu. Aku tersenyum getir. Kalau diingat-ingat lagi, Ini tahun ke-lima aku menempati sebuah flat sempit yang letaknya cukup jauh dari keramaian. Tempat ini cukup berbahaya apabila berkeliaran diluar rumah terutama bagi seorang gadis sepertiku. Terkadang aku sering tertawa sendiri, apakah ruangan yang aku tempati ini masih bisa disebut rumah? Di lain sisi, aku juga tersenyum lega yang dipaksakan. Setidaknya aku bisa berlindung dari panas dan hujan.Sudahlah. Tak ada waktu untuk menyesali kehidupan kini. Toh waktu tak akan berhenti untuk memberi ruang bagiku. Aku bergegas bangkit untuk segera berangkat ke bar. Sebentar lagi matahari a
Belum genap empat jam mataku terpejam. Jam weker usang di atas meja nakas yang tak kalah usang berbunyi. Sudah jam sembilan pagi. Aku mengerjap sambil meraih jam weker yang masih berbunyi, lalu dengan cepat memutar tombol mati. Badanku terasa pegal. Aku merutuki Jisung yang tega menyuruhku menggendong Sam keluar untuk naik taksi semalam. Ingin rasanya menolak, tapi aku juga tak bisa meninggalkannya di meja begitu saja. Jisung menunjuk Sam yang sudah tergeletak di lantai. Ya. Di lantai. Sebelumnya dia masih di meja hingga beberapa menit ketika aku membersihkan bar karena sudah waktunya untuk tutup, entah kapan dia terjatuh ke lantai. “Kau bawa dia keluar,” kata Jisung sambil menutup pintu lokernya di belakang. “Apa? Kenapa aku?” Aku tak habis
Sam terbangun sambil memegangi kepalanya yang masih terasa pusing. Dia duduk, lalu menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya semalaman. Dia menghela nafas setelah menyadari kalau dirinya tertidur di kamar yang tak asing. Dia mengerjap sekali. “Kenapa aku bisa sampai ke sini?” gumamnya lagi.Kenop pintu di putar. Dia berjalan menuruni anak tangga. Dilihatnya beberapa pelayan sudah sibuk di bawah sana menyiapkan sarapan. Dia memilih untuk mencuci muka lebih dulu. Dilihatnya potret wajahnya di cermin. Mata sayu dengan rambut berantakan. Ia melihat kancing bajunya terbuka setengah yang membuatnya mulai berpikiran yang aneh-aneh. Dia berusaha mengingat-ngingat kejadian semalam. Tapi usahanya sia-sia. Ingatan terakhirnya adalah ketika dirinya sempat beradu mulut dengan Hwan, ia benar-benar tak ingat sama sekali kejadian setelahnya. “Bagaimana aku pulang semalam?” Sam menanyai salah sa
Aku kembali menarik pintu dengan cepat setelah melihat Em sudah berdiri tegap di pintu. Dia datang lagi. Aku menghela nafas lalu memutar knop pintu. “Selamat pagi nona,” sapanya hangat seperti biasa. “Rasanya aku sudah bilang kemarin kalau aku tak bisa dan tak mau,” jelasku. Hari ini aku berniat akan mencari pekerjaan baru karena aku tak bisa lagi bekerja di restoran jepang tempat aku bekerja dulu. Entah apa yang di katakan Em pada managerku di sana. Dia bilang tak mau lagi mempekerjakanku. Terpaksa aku harus mencari pekerjaan baru. “Kakek Chu bilang dia akan membiarkanmu tetap bekerja asalkan kau mau tinggal di rumah utama. Dia hanya memintamu tinggal di sana, tak akan mengganggu kehidupanmu yang lain,” terang Em. Dia menyampaik
Hwan bertepuk tangan. Setuju dengan ide kakeknya barusan. “Wow,” Hwan melirik Sam yang menatap tajam ke arahnya. Dia bergantian menatap raut mukaku yang tak kalah kesal. Kenapa Kakek Chu mengungkap pernikahan sekarang? “Kakek,” ucapku. Kakek Chu tertawa puas tak peduli dengan suasana canggung yang diciptakannya. Justru Sam bangkit dan meninggalkan meja makan begitu saja. Dia sudah cukup kesal dengan kembali tinggal di rumah utama. Sekarang kakeknya malah membual yang tidak-tidak. “Bagaimana bisa kau terpikirkan ide seperti itu?” Hwan masih saja bercanda dengan kakek Chu. “Tak buruk,” sahut Jay juga setuju. Dia meminum jus jeruknya. “Bagaimana menurutmu?” tanya Jay padaku. “Tentu aku tak setuju,” Aku menjawab mantap. “Bukan.” Jay terkekeh mendengar jawaban spontanku. “Maksudku, menurutmu Sam bagaimana?” goda Jay. Ia laru
Aku meletakkan sendok di meja menyudahi sarapan. Seleraku langsung hilang. Aku langsung bangkit, malas berdebat dengannya. “Kau menghindar lagi rupanya. Persis seperti orang-orang yang tak punya keluarga,” desis Sam sambil melipat tangan di dada dan menyilangkan kaki. “Ya…. mereka tak mau menyelesaikan masalah sedangkan hobinya membuat masalah,” lanjut Sam sambil mengangkat bahu tak peduli. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa adanya rasa bersalah. Apa dia memang tipe orang yang suka merendahkan seperti ini? Jikalau iya, sungguh dia sangat bertolak belakang denganku. “Oh ya?” balasku kemudian berbalik. “Kalau begitu kau persis seperti orang yang berkeluarga. Punya banyak uang, punya semuanya tapi selalu merasa kurang. Apa mungkin karena kau kesepian?” balasku tak mau kalah. Aku menunjukkan smirk kemudian meninggalkann
Park Jinnie. Begitulah nama lengkap pemberian dari orang tuaku. Ya, nama yang cukup pasaran. Sering kali aku mengabaikan siapa saja yang memanggil nama itu ketika aku di tengah jalan. Bisa jadi itu Jinnie yang lain. Bukan diriku. Bisa dibilang semenjak lima tahun yang lalu, aku merubah kepribadianku menjadi lebih dingin dan tertutup ketika bertemu dengan orang baru. Aku selalu was-was jika mengingat kejadian masa lalu, walau banyak hal yang terlewatkan dan juga terlupakan. Apa kalian pernah mendengar tentang de javu? Seolah kejadian itu pernah terjadi sebelumnya. Padahal itu pertama kali. Lucu bukan? Langkah kakiku terhenti ketika Hwan memanggil namaku. Ingatan masa lalu ketika kakak laki-lakiku memanggil namaku kembali melintas di benakku dengan otomatis. Suaranya, tawanya setelah memanggil namaku. Semuanya.