Share

4. Hari Pertama

Author: Vaya Diminim
last update Huling Na-update: 2021-11-22 21:48:05

Ada-ada saja kejadian yang menimpaku hari ini. Tidak ada yang berjalan sesuai dengan keinginanku. Terlebih lagi, posisiku sekarang sangatlah tidak menguntungkan. Pria yang memasukkan tangan ke saku di depanku ini menyeringai. “Kalau kau mau bekerja sekarang juga bisa,” lanjutnya lagi, sedangkan aku masih mematung menatapnya lamat-lamat. Wajar saja keempat pria berbadan kekar itu patuh pada perintahnya. Tapi aku tak tahu harus bereaksi apa saat itu. Entah harus bahagia karena berhasil mendapatkan pekerjaan baru, atau merasa bersalah karena sudah membantingnya ke lantai atau marah karena perbuatannya padaku tadi, walaupun tak sengaja. Hanya senyum tipis yang bisa kutunjukkan. Meskipun agak dipaksakan, semoga dia bisa menangkap perasaan terima kasihku melalui senyuman palsu ini.

            “Sa-saya bisa langsung bekerja sekarang pak,” kataku gelagapan. Hwan mengangguk kemudian memanggil salah satu pelayan wanita untuk mengantarku menuju ruang ganti di belakang.

            “Oh ya, aku belum tahu namamu,” Hwan menghentikan langkahku. “Jinnie, Park Jinnie. Bapak bisa panggil saya Jin atau Jinnie,” aku langsung menjawab.

            “Jangan panggil pak,” Hwan tak suka dengan sebutanku padanya. Kalau mataku tak salah lihat, dia terlihat agak lebih tua dariku. Tapi jika dia lebih muda dariku, salahkan saja lampu ruangan yang redup ini. “Panggil Hwan saja, lagi pula kulihat usiamu tak terlalu jauh dariku,” Hwan mengintruksikan.

            Pelayan wanita yang dipanggil Hwan tadi bernama Haeri. Dia langsung membawaku menuju belakang dan menunjukkan loker untukku.

            “Kau bisa pakai yang ini,” kata Haeri ramah. Aku balik tersenyum padanya. “Terima kasih,”

            “Kuharap kita bisa akrab ke depannya,” Haeri kembali tersenyum sembringah. “Di sini pelayan wanita seperti kita sangat sedikit, hanya ada kau, aku dan Mina, tapi dia kebagian shift pagi,” jelas Haeri. Dia tampak begitu senang karena tak lagi bekerja seorang diri pada jam shiftnya.

            “Kuharap juga begitu.” Aku juga tersenyum melihat senyum di wajah cerah Haeri. Sepertinya dia seumuran denganku. “Boleh aku tau kau kelahiran tahun berapa?” tanyaku hati-hati jikalau dia merasa tersinggung.

            Ternyata Haeri jauh lebih ramah dari yang kupikirkan. “Tahun ini umurku dua puluh dua, kau?” tanya Haeri balik bertanya. “Aku dua tiga, kau panggil aku Jin saja, cuma beda setahun,” terangku cengengesan.

            “Kutinggal ya, nanti kau langsung menuju meja bar panjang oke? Disana nanti ada Jisung.” Haeri meninggalkanku di ruang ganti agar segera berganti baju. Itu baju kemeja putih dengan celemek hitam setengah badan. Haeri bilang kalau sudah bekerja agak lama di sini, aku tak perlu lagi berpakaian formal seperti ini. Menurut Haeri juga, tujuan memakai baju formal ini agar pelanggan mengenali mereka, sehingga nanti mereka tak salah mengenali jika pelayan di bar tak lagi mengenakan baju kemeja putih itu.

            Aku berganti baju dengan cepat. Lalu segera pergi menuju tempat yang di tunjuk oleh Haeri tadi. Bagaimanapun Haeri lebih senior dariku meskipun usianya setahun lebih muda. Karena dia bekerja lebih dulu di bar ini. Aku melihat seorang pria jangkung tengah meracik minuman dari balik meja bar panjang. Mungkin dia Jisung yang dibicarakan oleh Haeri tadi.

            Aku menghampiri Jisung. “Halo, aku baru bekerja hari ini, semoga kita akur, dan aku bisa belajar banyak darimu. Mohon bimbingannya,” sapaku berbasa-basi.

            “Tadi Hwan sudah bilang padaku,” balasnya masih sibuk memotong es batu dari kotak menjadi bulat licin hingga muat di gelas bir.

            Pria yang kupanggil Jisung itu menoleh padaku. Lalu tersenyum. Entah kenapa aku merasa tenang setelah bertemu rekan kerja yang menyenangkan seperti ini. “Kau bisa bantu keringkan gelas itu dulu.” Jisung melirik gelas basah di bawah meja bar, lalu kembali tersenyum tipis dengan mata sipitnya.

            “Oh, oke.” Aku bergegas mengambil lap kering tak jauh dari tempatku berdiri. Lalu mengerjakan sesuai dengan instruksi Jisung.

            “Kau sudah pernah bekerja di bar? Kulihat kau masih terlalu muda,” katanya mengajakku mengobrol sambil bekerja.

            “Ah itu, belum pernah, ini pertama kali,” jawabku singkat. Jisung mengangguk-ngangguk. “Gelas yang kau keringkan itu dipakai untuk minum wiski, minuman yang paling sering di pesan di sini,” jelas Jisung. Gelas yang aku keringkan ini berbentuk bulat di bawahnya menyerupai balon, sedangkan bibir gelas memiliki ukuran yang lebih kecil.

            “Gelasnya sengaja dibuat seperti itu agar aroma wiski bisa terhirup sempurna saat mendekatkan mulut ke bibir gelas,” lanjut Jisung menjelaskan. Aku merasa kagum karena ini dunia baru bagiku. Sebelumnya aku memang pernah meminum minuman beralkohol ketika usiaku baru saja menginjak dua puluh tahun. Tetapi hanya minuman beralkohol dari supermarket. Aku tak punya uang untuk membeli yang lebih mahal.

            “Aku juga ingin mencobanya,” gumamku pelan yang bisa di dengar oleh Jisung. “Sepulang kerja aku traktir,” sahut Jisung tiba-tiba. Aku menoleh. “Benarkah?” Jisung mengangguk. “Kedepannya mungkin akan lebih sering,” balas Jisung sambil menyerngitkan hidungnya manja. Dia sepertinya tipe pria yang banyak disukai oleh perempuan yang datang ke bar mereka. Buktinya saja sedari tadi sudah banyak wanita yang mengenakan baju setengah bahan mengedipkan mata padanya. Pria di sampingku ini juga membalas dengan kedipan mata. Menikmati. Bahkan beberapa ada yang memberikan secarik kertas berisikan nomor ponsel. Jisung memang menerimanya tetapi selalu mengabaikannya.

            “Kenapa dibuang?” tanyaku heran melihat Jisung memasukkan sebuah kartu nama ke dalam kotak sampah.

            “Terlalu merepotkan jika disimpan,” balasnya singkat. Aku hanya mengiyakan apa yang dibicarakan Jisung. Tak bertanya lebih lanjut. Di tengah pembicaraan kami waktu itu. Seorang pria duduk di salah satu bangku meja bar tepat di hadapanku. Pria dengan potongan wajah tajam itu tak bersuara. Tetapi Jisung sudah memberikan secangkir minuman untuknya. Aku menyimpulkan kalau pria ini pelanggan tetap bar ini.

            Aku tak lagi berbicara dengan Jisung. Tetapi masih sibuk mengeringkan beberapa gelas yang tersisa. Aku menatap pria yang duduk di hadapanku ini dalam diam. Sesekali mencuri pandang padanya. Potongan wajahnya terlihat jelas meskipun di bawah pencayaan yang kurang. Tahilalat kecil di sudut matanya tampak menambah keindahan matanya. Namun aku langsung memalingkan wajah ketika dia mengangkat wajah dan menatap ke arahku. Aku menjadi salah tingkah. Apa dia menyadari kalau sedang kuperhatikan dari tadi. Tiba-tiba pria itu mengangkat pandangannya ke arahku. Seketika aku terkesiap dan langsung memalingkan muka. Melihat apa saja asal bukan matanya.

            Setelah agak lama, aku kembali mengarahkan pandangan padanya. Kudapati dia manatap kosong gelas di depannya. Lalu menenggaknya dalam sekali tegukan. Kemudian dia langsung pergi begitu saja setelah gelasnya kosong. Akupun segera membersihkan gelas yang sudah kosong. Tak sengaja, walaupun tak terlalu jelas, aku melihat sebuah dompet kulit berwarna hitam. Aku mengitari meja bar hendak mengambil dompet itu. Mungkin saja itu milik salah satu pengunjung barnya barusan, pikirku sejenak.

            Aku agak membungkukkan badan untuk mengambil dompet itu di lantai. Belum sampai tanganku untuk menyentuh, sebuah tangan sudah lebih dulu mengambilnya dengan cepat. Dengan posisi yang masih terbungkuk, aku mendongak untuk melihat siapa pemilik tangan itu. Ternyata dia adalah pria yang minum di hadapanku tadi. Dia memainkan dompetnya lalu berlalu meninggalkanku di sana. Aku membetulkan posisiku dan kembali berdiri tegak dengan tatapan yang tak lepas dari pria pemilik mata indah itu.

            “Apa yang kau lakukan di sana?” Suara Jisung membuatku sadar.

            “Oh? Tidak ada,” kataku sembari kembali berjalan menuju meja bar dengan mata yang masih menatap punggung pria tadi yang mulai menjauh.

****

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Rahasia Di Antara Kita   50. THE TRUTH

    Sesuai intruksi dari Eliyah, aku tiba di stasiun kereta bawah tanah tepat pukul sebelas siang. Suasana stasiun ramai namun masih terkendali. Kakiku lincah bergerak memotong beberapa orang yang berjalan cepat di depan. Aku merapatkan topi kemudian berjalan ke arah pintu keluar sebelas. Tempat dimana loker yang harus kubuka. Sebuah mesin penjual minum otomatis di sebelah loker menarik perhatianku. Sebelah tanganku mengeluarkan dua buah koin lalu memasukkannya ke dalam mesin. Tidak lama keluar sebuah minuman kaleng rasa jeruk dari kotak hitam di bagian bawah mesin. Tapi bukan minuman itu yang kucari melainkan sebuah kunci yang terletak pada lantai tempat minuman itu keluar. Ah, dapat! Eliyah memang jenius. Bisa-bisanya dia kepikiran untuk meletakkan kunci di sana. Tidak akan ada yang tau. Angka sebelas tertulis pada mainan kunci. Aku berjalan mendekati loker nomor sebelas. Memutar kunci dan kenop pintu kecil itu terbuka. Ada sebuah map dan

  • Rahasia Di Antara Kita   49. POTONGAN MISTERI

    “Hm? Hanya kita berdua?” Jay bertanya santai saat Madam Bong ikut bergabung di meja makan pagi itu. Dia melihat seluruh kursi dibalik meja kosong lantas mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan hingga mendongak ke arah lantai dua. “Yang lain pada kemana?” “Aku juga tidak tau, mereka semua tidak ada di rumah saat aku ke kamar mereka pagi tadi?” “Benarkah?” Raut wajah Jay berubah kecewa. “Padahal aku bela belain untuk pulang, tapi ternyata mereka tidak ada di rumah. Keterlaluan sekali. Jinnie juga nginap di luar?” Madam Bong mengangguk. “Sepertinya dia pergi dengan Hwan ke suatu tempat. Aku melihat mereka keluar bersama kemarin siang,” tambah Madam Bong. Jay mengangguk pelan. Dia tidak heran karena semua orang di rumah juga tahu jika aku lebih sering pergi keluar dengan Hwan ketimbang Sam. Jadi tidak ada yang perlu di pertanyakan. “Bagaimana dengan Sam?” Madam Bong mengangkat bahu bersamaan dengan helaan nafas panjang. “Rum

  • Rahasia Di Antara Kita   48. The Second Touch

    Kami mampir di salah satu kedai tepi pantai terdekat. Kerang bakar sudah tercium dimana-mana. Katanya itu menu andalan mereka. Bahkan suasana kedai masih sangat ramai meski hari sudah mendekati tengah malam. Aku menatap jauh ke arah pantai yang gelap. Hanya menyisakan desiran ombak yang menggulung dalam malam pekat. “Ayahku..” kataku pelan dengan suara yang agak bergetar. Ini pertama kalinya aku membahas tentang keluargaku dalam tiga tahun terakhir. Hwan melipat tangan di meja. Dia menatapku dengan saksama. Mendengarkan dengan setia. “Aku punya banyak penyesalan terhadapnya. Mengapa begitu tega meninggalkanku seorang diri di sini. Jahat sekali,” desisku lagi. Kali ini mengambil seteguk soju yang baru saja dihidangkan oleh pelayan kedai. Aku sempat memberikan seulas senyum sebagai ucapan terima kasih tepat sebelum dia meninggalkan meja kami. “Apa sekarang kita bukan lagi orang asing? Karena kau mulai menceritakan tentan

  • Rahasia Di Antara Kita   47. Maaf dan Terima Kasih

    Hwan berjalan mantap mendekati meja makan. “Sekali lagi kau bicara kasar padanya, aku tidak akan tinggal diam.” “Ho..hoo.hoo,” balas Sam menyeringai sambil mengangkat kedua tangan. “Aku lupa. Sekarang kau sudah berlagak menjadi pahlawan untuknya karena sudah berstatus tunangan? Sorry aku lupa padahal baru kemarin.” Sam menurunkan kedua tangan. Dia melanjutkan menyusun sendok di atas meja. “Mari kita lihat berapa lama sandiwaramu itu akan bertahan,” gumam Sam pelan. “Kau tidak bisa menutup mulutmu itu, huh?” Hwan semakin naik pitam. Sam mengedikkan bahunya tak peduli. Dia terus sibuk menyusun sendok di atas meja. “Awas, awas, panas.” Madam Bong bergerak cepat membawa satu mangkuk besar sup panas ke atas meja makan. Memecah suasana tegang di langit-langit meja makan. “Ayo semuanya duduk. Kita makan bersama.” “Selera makanku sudah hilang. Kalian makan saja tanpaku.” Sam meninggalkan meja makan dengan wajah sombongnya itu. Dia ma

  • Rahasia Di Antara Kita   46. Dua Mangkuk Nasi

    Pagi itu Sam berlari menuruni anak tangga. Melewati dapur dan menyempatkan diri menyapa Madam Bong yang sudah sibuk di dapur. Ya. Pagi itu Madam Bong juga seorang diri. Tak seperti biasanya yang selalu bersamaku saat menyiapkan sarapan. Madam Bong hanya bisa berteriak mengatakan hati-hati pada Sam yang sudah tiba di ujung pintu. Entah apa yang membuatnya sangat terburu-buru pagi itu. Begitu pula dengan mobil Sam yang melaju kencang meninggalkan kepul asap di belakang. Tangannya lincah memutar stir mobil, berbelok menuju sebuah rumah yang sudah menjadi tujuannya setelah terbangun dari kamarku. “Aku mau bertemu dengan Kakek,” kata Sam pada Em dengan memasang wajah sangar. Merah padam. Saking tidak sabarnya, Sam langsung mendorong pintu kamar Kakek Chu hingga pintu terhempas keras. Kakek Chu yang tengah menyesap kopinya tampak agak terkejut karena cangkir di tangannya agak bergetar. Bahkan kini Sam sudah berdiri tepat di hadapannya. Em hany

  • Rahasia Di Antara Kita   45. First Kiss

    “Ini tidak seperti yang kau lihat,” jelasku mengikuti Hwan hingga ke dalam kamar. Sementara kami mengabaikan Sam yang sudah lebih dulu berjalan acuh tak acuh menuju kamarnya sendiri. “Aku tahu,” balas Hwan santai sambil berjalan mendekati tempat tidur lantas melemparkan ponsel sembarangan di atasnya. “Lalu?” “Apanya yang lalu?” Hwan beranjak duduk dan mulai melonggarkan kancing lengan bajunya. “Tidak, aku hanya takut kau berpikiran yang tidak-tidak,” kataku salah tingkah dengan sebelah tangan terangkat memegang belakang kepala. Hwan menyeringai. “Kau khawatir aku salah paham?” “Aku? Padamu? Oh, tentu tidak.. jangan kepedean dulu,” sahutku lagi sambil melambaikan kedua tangan. Berusaha membantah. Untunglah Hwan terus sibuk dengan lengan bajunya sehingga tak melihat ke arahku. Karena kini aku bisa merasakan getaran panas yang menjalar di kedua pipi dan telinga. Astaga, apa ini yang di namakan salah tingkah?

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status